Malam yang mencekam menyelimuti hutan, dan udara terasa lebih berat dengan setiap langkah mereka. Keempatnya melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, berusaha mengidentifikasi sumber ledakan yang telah mengguncang benteng beberapa waktu lalu. Namun, meskipun mereka semakin dekat, ada ketegangan yang mengalir di antara mereka—sebuah perasaan bahwa bahaya sudah terlalu dekat.
Di kejauhan, sesuatu bergerak dengan cepat, melintasi kabut yang mulai turun di antara pohon-pohon tinggi. Tiba-tiba, sebuah teriakan keras, disusul oleh dentuman keras, mengguncang tanah di bawah kaki mereka. Sebelum mereka bisa bereaksi, makhluk itu muncul. Nyxaroth Primus, sosok raksasa yang mengerikan, muncul dari balik bayang-bayang, wajahnya penuh dengan amarah dan kebencian yang terakumulasi selama berabad-abad. Tubuhnya besar, berkilau dengan cahaya merah yang memancar dari dalam tubuhnya, seolah menyatu dengan kegelapan yang menyelimuti hutan. Dengan gerakan yang tidak bisa dihindari, ia melompat ke arah mereka, menyerang dengan kekuatan yang luar biasa. Baizhu dan Jinshi segera bereaksi, dengan serentak mengayunkan senjata mereka—Baizhu dengan pedangnya yang besar, sementara Jinshi menggunakan kekuatan sihirnya untuk memanipulasi api yang menyala di udara. "Kau tidak akan bisa lari dariku!" teriak Baizhu, matanya menyala dengan tekad. Namun, serangan Nyxaroth Primus begitu cepat dan brutal. Cakar besar makhluk itu mengarah ke Jinshi, yang berusaha menahan serangan dengan perisainya yang terbuat dari energi sihir. Sementara itu, Baizhu melancarkan serangan balasan dengan pedangnya, mencoba menghentikan serangan makhluk itu. Namun, secepat itu, Nyxaroth Primus menyerang lagi dengan ledakan kekuatan yang membuat tanah berguncang. Sementara kedua pejuang itu terfokus pada pertempuran dengan Nyxaroth Primus, Thalysa, yang berada di sisi Fabio, tiba-tiba melihat sesuatu yang mengerikan. Fabio, yang sebelumnya sudah terhuyung-huyung akibat ledakan sebelumnya, terempas ke tanah saat serangan Nyxaroth Primus menghantam dengan kekuatan tak terbayangkan. Tubuh Fabio terpelanting, tak sadarkan diri di samping Thalysa yang terkejut melihatnya. "Fabio!" teriak Thalysa, berlutut di sampingnya. Dia segera memeriksa, merasakan denyut nadi Fabio yang lemah. Matanya berkilat dengan kecemasan, sementara pertempuran antara Baizhu dan Jinshi melawan Nyxaroth Primus berlangsung dengan sangat sengit di kejauhan. Thalysa mengguncang-guncang tubuh Fabio dengan lembut, mencoba menyadarkannya. "Fabio! Bangun!" serunya, suaranya dipenuhi ketegangan dan keputusasaan. Namun, tak ada respons. Fabio tetap tergeletak, tak bergerak, seperti terjebak dalam kedalaman yang tak terlihat. Namun, di dalam alam bawah sadarnya, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Dunia di sekitar Fabio tiba-tiba menjadi gelap, sangat gelap—hanya ada bayangan pekat dan kabut tebal yang menyelimuti segala sesuatu. Di tengah kegelapan ini, sebuah sosok mulai muncul, perlahan-lahan melangkah mendekat. Makhluk itu tampak lebih besar dari manusia, tubuhnya terbuat dari malam yang pekat, dihiasi oleh galaksi-galaksi yang berputar di sekelilingnya, menciptakan langit penuh bintang yang tak terhitung jumlahnya. Di kepalanya ada tiga tanduk yang melengkung tajam, sementara matanya bersinar putih, tak memiliki kedalaman atau warna. Sosok itu tidak mengucapkan banyak kata, tetapi ada ketegangan dalam setiap gerakannya. Fabio, meskipun tidak sepenuhnya mengerti, merasa tubuhnya dipenuhi dengan kehadiran yang menakutkan. Namun, makhluk itu hanya mendekat, menatap Fabio dengan mata yang penuh misteri. Kemudian, dengan suara yang dalam dan menggema, makhluk itu berbicara. "Ingatlah siapa dirimu, Ze—" Namun, sebelum makhluk itu bisa menyelesaikan kata-katanya, sebuah ledakan tiba-tiba memecah kegelapan, membuat sosok itu menghilang dalam sekejap. Fabio merasakan tubuhnya kembali terombang-ambing, kesadarannya kembali ke dunia nyata, kembali ke Thalysa yang masih duduk di sampingnya. Thalysa terlihat semakin cemas, mengusap keringat di dahinya, ketika Fabio akhirnya membuka matanya. "Fabio!" serunya dengan lega, matanya penuh perhatian. "Kau sadar akhirnya..." Fabio terengah-engah, jantungnya berdetak cepat. Namun, kesadaran yang baru saja datang terasa seperti mimpi buruk. Di dalam pikirannya, masih terngiang suara itu—makhluk dari kegelapan yang membisikkan kata-kata yang tidak sepenuhnya ia mengerti. "Ze..." Fabio bergumam, kebingungan melanda dirinya. Apa yang baru saja dia alami? Siapa makhluk itu? Dan kenapa suara itu memanggilnya seperti itu? Thalysa memandangnya dengan cermat, matanya penuh pertanyaan namun juga kekhawatiran. "Fabio, kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya lembut namun tegas, memastikan bahwa Fabio kembali sepenuhnya. Fabio mengangguk pelan, meskipun masih merasa bingung dengan apa yang baru saja dia alami. "Aku... aku tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Ada sesuatu, seseorang, yang berbicara padaku. Dia mengatakan... sesuatu tentang siapa diriku." Thalysa terdiam sejenak, seolah merenungkan kata-kata Fabio. Dia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar di balik peristiwa ini—sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar serangan makhluk itu. "Ze...?" bisik Thalysa pelan, seolah mencoba mengingat sesuatu dari kata-kata Fabio. Tiba-tiba, terdengar suara pertempuran yang semakin dekat. Baizhu dan Jinshi sedang berjuang mati-matian melawan Nyxaroth Primus. Thalysa, yang mengetahui mereka tidak punya banyak waktu, segera membantu Fabio bangkit. "Kita tidak punya banyak waktu. Kita harus bergerak. Nyxaroth Primus tidak akan memberi kita kesempatan." Dengan sedikit bantuan dari Thalysa, Fabio berhasil berdiri, meskipun masih lemah. Perasaan cemas kembali menyelimuti dirinya—ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi, dan dia merasa bahwa pertempuran ini hanyalah permulaan dari sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Namun, meskipun begitu, ia tahu satu hal pasti: sesuatu yang besar, yang sangat besar, sedang menunggunya di depan. Hutan yang gelap dan penuh kabut itu seolah mengisap cahaya, menjadikan tempat ini lebih menyeramkan daripada sebelumnya. Angin berbisik melalui pepohonan tinggi, membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang jauh lebih buruk—kehadiran kekuatan jahat yang mengalir di udara. Baizhu dan Jinshi, meskipun terkenal dengan kekuatan dan ketangguhan mereka, kini merasakan beban yang belum pernah mereka hadapi sebelumnya. Nyxaroth Primus—makhluk dari dimensi lain yang datang dengan membawa kehancuran—mendekati mereka dengan langkah berat, setiap gerakan makhluk itu memancarkan kekuatan yang luar biasa. Baizhu memegang pedangnya dengan erat, tubuhnya tegap dan penuh tekad meskipun terhuyung akibat serangan sebelumnya. Pedang besar itu berkilauan dalam kegelapan hutan, cahaya dari api Jinshi menerangi ujungnya. Di sisi lain, Jinshi berdiri dengan anggun, mata putihnya berkilau terang, memanipulasi elemen api untuk melindungi dirinya dan Baizhu. Setiap gerakan Jinshi penuh kehati-hatian, namun juga menunjukkan kekuatan yang luar biasa. "Baizhu!" teriak Jinshi, matanya penuh konsentrasi. "Kita harus bekerja sama, serang dengan bersamaan, atau kita tidak akan bisa bertahan!" Baizhu mengangguk, mengerti bahwa ini bukan saatnya untuk ragu. Dengan gerakan yang cepat, ia melompat ke depan, pedangnya terangkat tinggi, siap untuk menyerang. Namun, Nyxaroth Primus yang jauh lebih besar dan lebih kuat, melangkah maju dengan kekuatan yang mengguncang tanah di bawah kaki mereka. Dengan sekali gerakan, cakar besar makhluk itu menghantam ke arah Baizhu, memaksa pria itu mundur dengan cepat. "Dia terlalu kuat!" Baizhu menggeram, berusaha menghindar. Namun, cakar Nyxaroth Primus menghantam tanah dengan ledakan, memaksa Baizhu terpelanting ke samping. Jinshi segera bergerak, mengarahkan energi api ke arah Nyxaroth Primus. Api menyala dari tangannya, membentuk peluru api yang besar dan menyilaukan. "Mundur, Baizhu!" teriaknya, mengarahkan serangan ke makhluk itu. Peluru api itu terbang dengan cepat, menabrak tubuh Nyxaroth Primus dan meledak dengan kekuatan yang cukup besar. Namun, seolah tidak merasa sakit, Nyxaroth hanya mendengus dan mengayunkan cakarnya dengan lebih cepat. "Tahan dia, Jinshi!" Baizhu teriak, mencoba untuk kembali bangkit meskipun tubuhnya kesakitan. "Kita harus menyerang secara bersamaan!" Namun, saat serangan Jinshi mengenai Nyxaroth Primus, makhluk itu hanya tertawa sinis. Tanpa ampun, dia bergerak maju dan memukul Jinshi dengan cakarnya yang raksasa, mengirimkan wanita itu terpelanting ke tanah. Tubuhnya terhuyung, namun dia cepat bangkit, mata putihnya berkilau dengan intensitas yang bahkan Baizhu belum pernah lihat sebelumnya. “Tidak ada yang bisa menghentikanku!” teriak Nyxaroth Primus dengan suara yang dalam dan menggema. "Kalian hanyalah penghalang dalam perjalanan kehancuran!" Baizhu bergegas maju dengan penuh tekad, namun sebelum ia bisa menyerang, makhluk itu kembali berputar, menyambar Baizhu dengan cakar lainnya. Baizhu mengangkat pedangnya untuk melindungi dirinya, namun serangan itu membuat tubuhnya terlempar ke belakang, terhantam dengan keras ke tanah. Jinshi tidak bisa hanya diam. Melihat Baizhu terpelanting, dia segera melompat ke depan, memanfaatkan kekuatan sihir api yang lebih kuat, menciptakan api yang mengelilinginya. Dengan seruan, dia mengarahkan bola api besar ke tubuh Nyxaroth Primus. Api itu menyelimuti makhluk itu dengan kekuatan yang seharusnya bisa menghancurkannya, namun Nyxaroth Primus hanya menggeram, sedikit terguncang namun tetap berdiri kokoh. "Kau pikir itu cukup untuk menghentikanku?" teriak Nyxaroth Primus, mengayunkan tangannya dengan kejam ke arah Jinshi. Jinshi dengan cepat melompat mundur, menghindari serangan tersebut. Namun, Baizhu yang sudah kembali berdiri, melancarkan serangan lain dengan pedangnya. "Kita harus mengalahkannya sekarang! Jinshi, serang dari sisi kiri!" Baizhu memberi perintah dengan nada yang tegas, suara penuh kekesalan. Jinshi mengangguk, memanipulasi api sekali lagi, kali ini lebih besar dan lebih panas dari sebelumnya. Api itu memancar ke arah Nyxaroth Primus, namun makhluk itu dengan mudah mengangkat salah satu cakarnya dan menangkis serangan Jinshi, membuat api itu meleset dan meledak di udara. "Bagaimana mungkin?" Baizhu mendesis, kekesalan yang semakin terlihat di wajahnya. "Kekuatan ini... terlalu besar..." Jinshi dan Baizhu terlihat terdesak, terjebak dalam pertempuran yang tampaknya tak akan pernah berakhir. Mereka menyerang, namun setiap serangan yang mereka lancarkan hanya dihancurkan oleh kekuatan gelap Nyxaroth Primus. Tak hanya itu, energi mereka pun semakin terkuras, tubuh mereka lelah dan penuh luka, dan makhluk itu hanya semakin kuat. Tiba-tiba, sebuah ledakan besar terdengar dari arah mereka, menyentakkan tanah dengan keras. Sebuah suara menggema dari dalam hutan. “Kalian tidak akan menang.” Nyxaroth Primus mengangkat tubuh besar dan berdiri tegak, memandang mereka dengan senyum lebar dan penuh kebencian. "Aku akan mengakhiri segalanya di sini dan sekarang." Baizhu dan Jinshi, meskipun mereka berusaha bertahan, bisa merasakan tubuh mereka semakin lelah. Jinshi meraih tangan Baizhu, mencoba memberikan kekuatan yang tersisa melalui sihirnya. "Baizhu... kita tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Jika kita tidak melakukan sesuatu sekarang..." Namun sebelum mereka bisa melanjutkan, sebuah bayangan melesat dengan kecepatan luar biasa. Sebuah sosok datang seperti kilat, melompat ke tengah pertempuran dengan kekuatan yang luar biasa. Fabio, yang tiba-tiba muncul di depan mereka, dengan senyum tipis yang penuh ketegasan, melesat di udara, menyerang Nyxaroth Primus dengan kekuatan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. "Kau tidak akan lagi merusak apa pun!" teriak Fabio, suaranya penuh dengan kemarahan yang mendalam. Baizhu, Jinshi, dan Thalysa terkejut. Mereka melihat Fabio dengan mata yang penuh keheranan—pria yang baru saja terbangun dari pingsannya, kini berdiri di depan mereka dengan aura yang begitu kuat dan penuh tekad. Fabio, dengan gerakan cepat, menarik senjata dari ikat pinggangnya—senjata yang terbuat dari bahan tak dikenal, sebuah Khompes, dengan desain yang begitu tajam dan kuat, seolah memiliki kekuatan yang tak terduga. "Ini saatnya!" Fabio berteriak, melesat dengan penuh keberanian. "Aku akan mengakhiri ini!" Ketegangan di udara semakin terasa saat Fabio melesat ke tengah pertempuran, senjata di tangannya bersinar dengan kekuatan yang luar biasa. Nyxaroth Primus, yang sedang berhadapan dengan Baizhu dan Jinshi, mendongak, matanya yang penuh amarah kini tertuju pada Fabio yang baru saja muncul. Serangan besar yang dilancarkan oleh Nyxaroth Primus sebelumnya mengguncang tanah, dan ketika Fabio melesat maju, suasana menjadi semakin panas. Tanah di bawah kaki mereka bergetar, dan bayangannya menutupi seluruh medan pertempuran seolah-olah makhluk itu bisa mematahkan harapan mereka dalam sekejap. Namun, Fabio, yang baru saja bangkit dari keterpurukannya, kini menghadapi makhluk itu dengan tekad yang membara, meskipun tubuhnya masih lemah dan energinya hampir habis. "Kau... tidak akan menang!" teriak Fabio, suaranya penuh keberanian yang membuat udara di sekitarnya terasa lebih tegang. Senjatanya yang berbentuk Khompes, sejenis pedang dengan ujung seperti kapak dan bercahaya, berkilauan dengan kekuatan yang tampaknya datang dari sumber yang tidak mereka ketahui. Bahan senjata itu terasa asing, seperti bukan dari dunia ini, memancarkan aura yang sangat berbeda dari apapun yang pernah mereka lihat. Baizhu dan Jinshi berhenti sejenak, tertegun oleh kemunculan Fabio. Mereka bisa merasakan perubahan yang tiba-tiba pada dirinya—sebuah kekuatan baru yang sangat berbeda dari sebelumnya. Tidak hanya itu, senjata yang ia pegang tampak seperti mengandung kekuatan yang mampu merobek kekuatan gelap Nyxaroth Primus. "Fabio..." Baizhu bergumam, matanya penuh kebingungan dan kekaguman. "Apa itu...?" "Hati-hati!" Jinshi memperingatkan, matanya terbuka lebar saat melihat Fabio melompat ke udara, menyerang Nyxaroth Primus dengan kecepatan yang luar biasa. Dalam sekejap, Fabio berada tepat di atas makhluk raksasa itu, senjata Khompes yang terangkat tinggi, siap untuk menghujamkan kekuatannya. Nyxaroth Primus, yang merasakan ancaman yang datang dengan cepat, mengeluarkan suara geraman yang mengguncang udara. Dengan gerakan cepat, ia mengayunkan cakarnya yang besar, berusaha menghalangi serangan Fabio. Namun, Fabio melesat dengan sangat cepat, menghindari serangan itu dengan kelincahan yang luar biasa. Tubuhnya terbang seakan meluncur di udara, gerakannya seolah tidak terbatas oleh hukum fisika. "Kau tidak akan menghentikanku!" teriak Nyxaroth Primus, seraya melanjutkan serangannya. Namun, Fabio sudah berada di atasnya, senjata Khompes yang berkilau di tangannya bersiap untuk menghujamkan pukulan yang mematikan. Dengan kecepatan yang tak terduga, Fabio melancarkan serangannya ke jantung Nyxaroth Primus. Senjata itu menembus kulit makhluk itu, dan tubuh raksasa itu terhuyung mundur, merasakan betapa tajam dan kuatnya serangan tersebut. Darah hitam mulai mengalir dari luka besar yang diderita oleh Nyxaroth, tapi makhluk itu hanya menggeram marah, tak merasa cukup untuk dihentikan. Baizhu dan Jinshi, yang mengamati pertempuran dengan perasaan campur aduk, terkejut oleh kecepatan dan kekuatan serangan Fabio. "Dia... dia bukan Fabio yang kita kenal!" Baizhu berbisik, matanya lebar, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat. "Senjata itu... itu bukan senjata biasa," Jinshi menambahkan, ekspresinya penuh kebingungan dan rasa hormat yang mendalam. "Itu lebih kuat daripada apa yang kita tahu. Tapi... dari mana dia mendapatkannya?" Nyxaroth Primus mengeluarkan teriakan marah yang menggetarkan tanah di bawah mereka. "KAU!" makhluk itu berteriak dengan suara yang menggema. "Kau tidak bisa mengalahkanku! Aku adalah pemimpin dari semua Nyxaroth!" Namun, Fabio tidak gentar. Dengan senjata yang masih terangkat tinggi, dia mengarahkannya langsung ke tubuh Nyxaroth Primus, yang kini mulai terhuyung, semakin lemah. "Aku tidak akan memberi kesempatan padamu untuk menghancurkan lebih banyak lagi," ujar Fabio dengan suara penuh tekad, meskipun tubuhnya sudah terlihat lelah dan terengah-engah. Di saat yang sama, energi dari tubuh Fabio tampaknya memancar keluar, memancarkan cahaya yang semakin terang, seolah menguasai kekuatan yang lebih besar daripada yang dapat dia kontrol. Senjata Khompes di tangannya menyala dengan terang, dan, meskipun tubuhnya hampir tidak mampu bergerak lagi, dia terus maju, mengerahkan semua kekuatannya. Dengan satu gerakan yang sangat kuat, Fabio mengayunkan senjatanya ke arah Nyxaroth Primus. Tubuh makhluk itu terhantam, dan luka besar menganga di tubuhnya, menyebabkan darah hitam menyembur keluar. Namun, meskipun terluka parah, Nyxaroth Primus tidak jatuh begitu saja. Tubuhnya bergetar, dan dengan suara yang penuh kebencian, ia teriak lagi, "KAU ZERO!" "Bagaimana bisa kau ada di sini sekarang?!" teriak Nyxaroth Primus, matanya menyala dengan kemarahan yang tak terbendung. "Tuanku sudah membunuhmu lima ratus tahun yang lalu! Kau tidak bisa kembali!" Dengan teriakan yang menggema, tubuh Nyxaroth Primus terguncang. Fabio, yang tidak terpengaruh oleh makhluk itu, terus melancarkan serangannya, meskipun ia mulai merasa kelelahan yang sangat dalam. Serangan demi serangan menghujam tubuh Nyxaroth, memotong bagian demi bagian dari tubuh raksasa itu. Jinshi, Baizhu, dan Thalysa mengamati dengan mata terbelalak, kebingungan dan ketakutan bercampur aduk di dalam diri mereka. Zero? Siapa sebenarnya Fabio? Dengan satu serangan terakhir yang sangat kuat, Fabio mengayunkan Khompes dan menembus tubuh Nyxaroth Primus, menghancurkan tubuh raksasa itu hingga menjadi separuh tubuh yang tersisa. Darah hitam berceceran, dan tubuh makhluk itu terjatuh ke tanah dengan suara gemuruh yang menggetarkan tanah. Namun, ketika mereka bertiga merasa bahwa pertempuran ini sudah berakhir, sebuah tawa besar terdengar, menggema di sekitar mereka. Nyxaroth Primus, meskipun tubuhnya hancur, mulai tertawa dengan suara yang sangat besar dan melengking. "INI BELUM BERAKHIR!" teriak Nyxaroth Primus, matanya menyala dengan kebencian yang tak terhingga. "HAHAHAHA! INI BELUM BERAKHIR, FABIOOOO!" Tawa itu menggema seakan berasal dari seluruh hutan. Kemudian, tubuh Nyxaroth Primus hancur menjadi abu, tertiup angin yang tiba-tiba datang. Namun, mereka bertiga (Baizhu, Jinshi, dan Thalysa) menyadari bahwa itu bukan tubuh utamanya—itu hanya sebuah klon. "Ini belum berakhir..." Baizhu bergumam dengan ekspresi serius, matanya penuh peringatan. "Nyxaroth Primus belum kalah." Jinshi menghela napas panjang, mengerutkan kening. "Tapi... kita berhasil menghentikan klon ini... untuk sekarang." Mereka bertiga merasa lega, namun ada ketidakpastian yang tersisa di dalam hati mereka. Fabio, meskipun berdiri di tengah-tengah mereka dengan wajah yang tak terbaca, tidak mengatakan apa-apa. Tubuhnya terasa sangat lelah setelah pertempuran yang luar biasa itu. Namun, yang mereka tidak tahu adalah bahwa Fabio masih terjebak dalam kelelahan yang sangat dalam. Saat mereka melihatnya berdiri diam, Thalysa dan Jinshi menghampiri Fabio dengan hati-hati, kecemasan mulai menyelimuti mereka. "Fabio..." Thalysa berbisik, suaranya lembut. Namun tidak ada respons. Fabio berdiri, tetapi matanya kosong. Sebelum mereka bisa bertanya lebih lanjut, tubuh Fabio tiba-tiba goyah, dan ia jatuh pingsan, terjatuh ke tanah dalam keadaan tak sadarkan diri.Rasa dingin menyelimuti tubuh Fabio, membangunkannya dari kegelapan yang tampak abadi. Namun, ini bukan kebangkitan seperti biasa. Tidak ada tanah di bawah kakinya, tidak ada langit di atasnya—hanya kehampaan yang tak terhingga, sebuah dunia yang tidak bisa dijelaskan dengan logika atau imajinasi. Segalanya terasa tidak nyata, namun begitu jelas di depan matanya.Di tengah kehampaan itu, berdiri sosok yang pernah dilihatnya sebelumnya, namun kali ini dengan penampilan yang berbeda. Tubuh sosok itu hitam pekat seperti malam tanpa bintang, tetapi dihiasi pola galaksi yang berpendar lembut, menciptakan kontras antara kegelapan dan keindahan yang tidak bisa dijelaskan. Pola itu bergerak perlahan, seperti nebula yang melayang di angkasa, memberi kesan kehidupan yang tak terbatas sekaligus kesunyian yang mendalam.Matanya bersinar seperti supernova—cahaya putih yang menusuk, seolah menembus segala hal. Rambut panjangnya melayang perlahan, seperti berada dalam gravitasi nol, berganti warna d
Satu minggu setelah Fabio dinyatakan pulih sepenuhnya, dia akhirnya bisa bergerak dengan normal. Luka-luka yang sebelumnya membuat tubuhnya tampak mustahil untuk pulih kini telah sembuh tanpa jejak, meninggalkan Fabio dengan pertanyaan yang belum terjawab tentang kekuatan misterius dalam dirinya. Namun, tidak ada waktu untuk merenung terlalu lama—pagi itu, seorang utusan kerajaan datang ke rumah sakit, menyampaikan pesan dari Putri Jinshi. Fabio dipanggil ke istana untuk sebuah audiensi penting.Thalysa, yang sedang menemani Fabio saat itu, memutuskan untuk ikut bersamanya. Tidak lama setelahnya, Baizhu juga bergabung, tampak lebih serius dari biasanya, meskipun ekspresinya tetap sulit ditebak.-Istana Thalos: Ruang Singgasana-Istana kerajaan Thalos berdiri megah di tengah ibu kota, sebuah bangunan yang memancarkan wibawa sekaligus keindahan. Pilar-pilar besar dari batu granit hitam menopang atap berlapis emas, sementara dindingnya dihiasi ukiran kuno yang menceritakan sejarah panjan
Ruang singgasana istana Thalos dipenuhi keheningan yang tegang. Jinshi, yang memimpin rapat kecil itu, berdiri di dekat singgasana dengan tangan terkepal di belakang punggungnya. Di depannya, Fabio, Thalysa, dan Baizhu berdiri dalam jarak yang tidak terlalu dekat. Wajah mereka menunjukkan emosi yang berbeda—Fabio dengan ekspresi serius namun tenang, Thalysa yang penuh tekad, dan Baizhu dengan kerutan tajam di dahinya."Fabio," Jinshi memulai, suaranya lembut namun tegas, "Aku ingin kau pergi ke Valtor dan menyusul ayahku, Kaito Akio V."Mata Fabio sedikit membesar mendengar perintah itu. "Menyusul ke Valtor?" tanyanya, nada suaranya penuh keheranan.Jinshi mengangguk. "Ayahku sedang dalam perjalanan diplomatik untuk memperbaiki hubungan dengan kerajaan itu. Tetapi situasi ini sangat sensitif, dan aku khawatir dia mungkin membutuhkan bantuan. Kau telah menunjukkan kekuatan yang luar biasa dalam pertempuran melawan Nyxaroth Primus. Aku percaya kau bisa melindungi ayahku jika sesuatu ter
Perjalanan Fabio dan Thalysa menuju Kerajaan Valtor baru memasuki hari kelima ketika mereka mencapai dataran terbuka yang dikenal sebagai Ashenfield. Matahari senja menyinari lanskap yang suram, menciptakan bayangan panjang di atas tanah abu-abu yang penuh dengan bekas luka bencana. Ashenfield adalah sisa-sisa kehancuran besar selama Cataclysmic Catastrophe, di mana api besar telah melalap kehidupan dan meninggalkan tanah yang penuh energi magis tak stabil. Namun, penduduk setempat yang tangguh berusaha keras menghidupkan kembali daerah ini dengan bercocok tanam, meskipun tanah masih menyimpan jejak kutukan.Fabio memperhatikan sekeliling dengan ekspresi netral, pandangannya menyapu reruntuhan dan ladang yang tak subur. Di sebelahnya, Thalysa menatap dengan penuh perhatian, memperhatikan penduduk yang tampak lelah namun tetap berusaha bekerja di bawah bayang-bayang kehancuran. Mereka memasuki desa kecil di tengah dataran itu, tempat asap tipis dari dapur-dapur kayu mengepul ke udara.
Penginapan kecil tempat Fabio dan Thalysa tinggal selama di Ashenfield tidak terlalu ramai pagi itu. Udara dingin dari luar terasa menusuk, tetapi kehangatan dari api di perapian ruangan utama penginapan membuat suasana sedikit lebih nyaman. Fabio duduk di salah satu kursi dekat jendela, pandangannya terpaku pada jalanan yang mulai sibuk dengan penduduk setempat. Di sampingnya, Thalysa berdiri dengan tangan terlipat, wajahnya menunjukkan ekspresi tidak puas setelah mendengar rencana yang diusulkan Fabio."Kita tidak membutuhkan bantuan," ujar Thalysa dengan nada tegas. "Kita bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Lagipula, Ashenfield hanyalah sebuah daerah kecil. Aku yakin ini bukan prioritas tinggi bagi kerajaan."Fabio menghela napas, menoleh ke arahnya. "Thalysa, aku tahu kau percaya pada kemampuan kita, tapi ini bukan tentang seberapa kuat atau cerdas kita. Ini tentang skala masalahnya. Jika kita gagal di sini, dampaknya bisa lebih besar dari yang kau bayangkan."Thalysa mengerut
Fabio memulai penyelidikannya dengan hati-hati. Sejak tiba di Ashenfield, ada sesuatu yang tidak beres—rakyat tampak murung, pembicaraan mereka berbisik, dan kehadiran para prajurit lokal terasa mengintimidasi. Setelah mendengar desas-desus di sekitar penginapan, Fabio berhasil mendapatkan informasi bahwa tiga bangsawan di wilayah ini memainkan peran penting dalam situasi buruk Ashenfield.Ketiganya memiliki reputasi yang berbeda di mata masyarakat, tetapi kesamaan mereka adalah kuasa mereka yang besar dan jejak kecurigaan yang membayangi. Nama-nama mereka: Lord Gregor Ashbourne, Baron Alaric Whitmore, dan Duke Cedric Ravenshade.Lord Gregor AshbournePeran: Sang manipulator, Gregor adalah dalang di balik upaya menyebarkan konspirasi antara masyarakat Ashenfield dan bangsawan lainnya. Dia menggunakan retorika dan propaganda untuk menciptakan ketidakpercayaan di antara mereka, memperburuk hubungan antar kelas sosial.Ciri Khas: Gregor adalah pria dengan wajah ramah, tetapi matanya taja
Malam masih pekat saat Fabio melompat keluar dari jendela mansion, meninggalkan suara teriakan prajurit dan dentingan logam di belakangnya. Udara dingin menghantam wajahnya, tetapi itu lebih baik daripada bilah tombak yang hampir menyentuh punggungnya. Dia mendarat di tanah dengan ringan, tubuhnya bergerak tanpa ragu ke arah hutan yang gelap, tempat bayangan sang assassin telah menghilang."Aku harus menangkapnya," pikir Fabio, langkah kakinya semakin cepat di atas dedaunan basah. Dia tahu, jika gagal menangkap pembunuh itu, dia akan kehilangan satu-satunya kesempatan untuk membersihkan namanya.Hutan di malam hari adalah labirin tanpa ujung. Pohon-pohon besar menjulang seperti dinding gelap, dan hanya sinar rembulan yang menembus sela-sela dedaunan memberikan sedikit penerangan. Fabio menghentikan langkahnya sejenak, telinganya tajam menangkap setiap suara.“Kau tidak bisa jauh,” gumam Fabio pelan, suaranya hampir tak terdengar. Tangannya menggenggam Khopesh erat, senjata itu memanca
Langit kelabu menggantung di atas kota yang dipenuhi debu, rumah-rumah dengan dinding retak berdiri seperti saksi bisu atas sejarah panjang yang telah dilupakan oleh mereka yang berkuasa. Kisah ini bukan tentang seorang pahlawan yang bangkit untuk menyelamatkan dunia, bukan juga tentang seorang yang ditakdirkan menjadi cahaya dalam kegelapan. Ini adalah kisah yang diturunkan dari generasi ke generasi, kisah tentang seorang anak petani miskin yang bermimpi mengangkat derajat keluarganya—dan bagaimana dunia menghancurkannya dengan kebrutalan yang tak terbayangkan, Ini adalah kisah yang diceritakan turun temurun. Sejak kecil, ia selalu melihat ayahnya membungkuk di ladang, bekerja tanpa henti untuk mendapatkan segenggam gandum demi memberi makan keluarganya. Ibunya menjahit pakaian dengan tangan kasar yang penuh luka, sementara adik-adiknya menangis kelaparan di sudut gubuk reyot yang mereka sebut rumah. Hidup dalam kemiskinan bukanlah pilihan, tetapi sebuah warisan yang dipaksakan ole
Angin panas berhembus perlahan melewati jendela kayu penginapan yang menghadap ke arah selatan kota Ebonhold. Saat matahari tergelincir pelan di atas cakrawala berwarna tembaga, Fabio duduk di kursi tua, membuka lembar demi lembar gulungan peta dan dokumen yang mereka temukan selama perjalanan. Thalysa, duduk tak jauh darinya, menyandarkan dagu di atas tangannya, matanya menyusuri garis-garis lengkung pada peta yang menggambarkan benua yang sedang mereka tapaki—Benua Iblis, tanah yang telah lama hanya disebut-sebut dalam cerita buruk dan bisikan tak berani. Malam itu tidak diisi dengan pembicaraan tentang bahaya atau kematian, melainkan percakapan pelan yang penuh dengan rasa ingin tahu. Mereka tidak sedang bersiap untuk perang atau ritual, tetapi mencoba memahami tanah tempat mereka kini berdiri.Dengan luas mencapai 9,2 juta kilometer persegi, Benua Iblis hampir menyamai ukuran Benua Utama, rumah bagi Thalos, Valtor, dan berbagai peradaban besar lainnya yang telah berdiri sejak zama
Kapal udara melayang rendah, melintasi langit kelam yang mendominasi Benua Iblis. Angin dingin menerpa lambung kapal, membawa serta aroma besi dan tanah basah yang menguap dari permukaan di bawah. Dari kejauhan, Fabio dan Thalysa dapat melihat daratan hitam yang membentang luas, sebuah dunia yang seolah telah mati sejak lama. Tak ada kehijauan, hanya hamparan reruntuhan yang terbengkalai, seakan-akan sisa-sisa dari sebuah peradaban yang pernah ada namun kini hanya menjadi kenangan samar yang terkubur di bawah abu dan debu.Di tengah pemandangan yang begitu suram, ada satu titik cahaya yang menarik perhatian mereka—sebuah kota yang dikelilingi dinding tinggi, berdiri kokoh di antara kehancuran yang meliputi tanah ini. Lentera sihir berpendar redup di sepanjang jalan utama, memberikan sedikit penerangan di kegelapan yang abadi. Fabio mempersempit pandangannya. Kota ini terlihat seperti tempat perlindungan, tetapi tidak ada tempat di dunia ini yang benar-benar aman."Ebonhold," gumam Tha
Di bawah langit yang kelam dan tanah yang masih berbau abu, seorang pemuda berdiri di tengah reruntuhan yang dulunya adalah desanya. Bangunan-bangunan yang dulu penuh kehidupan kini hanyalah puing-puing yang berserakan. Udara masih menyisakan jejak kehancuran, dan setiap langkah yang ia ambil membawa suara kayu rapuh yang patah di bawah kakinya. Namun, meskipun dunia di sekitarnya hancur, matanya tidak memancarkan keputusasaan. Tangan pemuda itu menggenggam erat sekop tua yang ia temukan di antara reruntuhan. Ia menarik napas dalam, menatap tanah yang porak-poranda di hadapannya. "Aku akan membangun kembali desa ini," gumamnya, suaranya hampir seperti janji yang diucapkan kepada dirinya sendiri. Hari pertama adalah yang paling sulit. Ia mulai membersihkan puing-puing, satu demi satu, meskipun tubuhnya masih penuh luka akibat perang yang baru saja berlalu. Setiap kali ia mencoba mengangkat kayu besar atau memindahkan batu bata yang hancur, tubuhnya berteriak kesakitan. Tapi ia ti
Di sebuah kamar penginapan kecil, di bawah cahaya redup lilin yang hampir habis, seorang pria duduk di depan meja kayu tua. Tangannya bergerak perlahan, pena yang dipegangnya menari di atas selembar kertas kosong. Udara malam menyelinap masuk melalui jendela yang terbuka sedikit, membawa aroma laut yang asin dan suara langkah kaki samar dari jalanan di luar.Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, ia menulis surat. "Aku tiba di kota ini menjelang senja. Jalanan sempitnya dipenuhi cahaya lentera yang menggantung di depan rumah-rumah kayu, menari pelan dihembus angin. Ada sesuatu tentang kota ini yang mengingatkanku padamu—mungkin caranya menyimpan kehangatan di tengah udara yang dingin, atau mungkin karena suara riuh pasar malamnya mengingatkanku pada tawamu yang pernah memenuhi hariku."Ia berhenti sejenak, menatap kata-kata yang baru saja ia tulis. Di sebelahnya, bertumpuk lembaran-lembaran kertas lain—surat-surat yang tak pernah dikirimkan. Setiap kota yang ia singgahi, setiap
Langit senja menggantung rendah di ufuk barat, menyelimuti desa kecil ini dengan semburat jingga yang hangat. Udara sore terasa lembut, membawa serta aroma tanah yang masih lembap setelah hujan siang tadi. Angin bertiup pelan, menggoyangkan dedaunan di sepanjang jalan berbatu yang kulewati. Aku berhenti sejenak, menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam warung kecil di sudut desa. Tempat ini tidak banyak berubah—meja-meja kayu sederhana, aroma masakan yang menggugah selera, dan suara orang-orang yang bercakap santai.Dan di sana, berdiri seorang gadis yang kukenal. Senyumnya masih sama. Hangat, menenangkan, dan… selalu berhasil membangkitkan sesuatu di dalam diriku yang sudah lama hilang."Wah, masakanmu enak dek," ucapku dengan nada ceria, berusaha menahan sesuatu yang perlahan mulai menggenang di dalam dadaku. Aku melahap cemilan yang ia buat dengan lahap, seolah rasa itu adalah sesuatu yang sudah lama kurindukan."Duh, makasih loh mas," jawabnya dengan se
Seorang anak manusia lahir di dunia yang penuh kebohongan. Ia tumbuh tanpa mengetahui apa itu kasih sayang, tanpa memahami makna kelembutan. Setiap hari yang ia jalani bukanlah lembaran baru yang penuh harapan, melainkan kelanjutan dari penderitaan yang tak kunjung usai. Sejak kecil, ia melihat bagaimana manusia saling menghancurkan, bagaimana mereka tersenyum di depan tetapi menusuk dari belakang, bagaimana kebaikan hanyalah topeng untuk menutupi niat busuk yang mengendap dalam jiwa mereka. Anak itu tidak pernah tahu seperti apa rasanya dipeluk dengan tulus. Tidak pernah ada tangan yang menepuk kepalanya dengan lembut, tidak pernah ada suara yang mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Yang ia tahu hanyalah kelaparan, dingin, dan suara-suara kasar yang terus membentaknya, memberitahunya bahwa ia tidak diinginkan, bahwa ia tidak pernah seharusnya ada. Setiap malam, ia tidur dalam gelap, bukan karena lampu dipadamkan, tetapi karena kegelapan adalah satu-satunya teman yang tida
Malam terakhir di Valtor terasa lebih sunyi dari biasanya. Fabio dan Thalysa duduk di atas menara tertinggi di kota, menatap laut yang gelap dan tak berujung di kejauhan. Angin dingin membawa suara ombak yang menghantam tebing-tebing batu, menciptakan irama yang tak beraturan, seolah-olah lautan itu sendiri berbisik tentang sesuatu yang tidak bisa dipahami manusia. Lampu-lampu di kota perlahan mulai redup, meninggalkan hanya bintang-bintang yang terpantul samar di permukaan air yang hitam pekat.Thalysa menarik napas dalam-dalam sebelum bertanya, “Apa yang kita cari di sana, Fabio? Apakah hanya jawaban tentang Abyssal, atau lebih dari itu?” Suaranya lembut, tetapi ada kegelisahan yang jelas di dalamnya. Perjalanan mereka bukan sekadar ekspedisi biasa. Ini adalah langkah menuju sesuatu yang bahkan mereka sendiri tidak sepenuhnya pahami.Fabio tetap diam untuk waktu yang lama, hanya menatap cakrawala kosong tanpa ekspresi. Kemudian, akhirnya, ia menjawab dengan suara rendah, “Aku tidak
Setelah ritual berakhir, suasana dalam kuil masih terasa berat. Para Saint dan Septentrion menundukkan kepala saat Fabio, Thalysa, dan Kaito Akio V berjalan keluar dari Ruang Penghakiman. Hanya suara langkah kaki mereka yang menggema di lorong batu, seolah udara di dalam kuil pun menahan napas. Fabio masih diam, tidak berbicara sepatah kata pun sejak jawaban dari Sang Penghakim menggantung di udara. Matanya kosong, tatapannya menembus lantai tanpa benar-benar melihatnya. Seolah pikirannya masih terperangkap di dalam lingkaran ritual yang kini sudah padam.Thalysa mencuri pandang ke arahnya beberapa kali, ingin bertanya sesuatu tetapi tidak yakin bagaimana cara memulainya. Ini bukan pertama kalinya Fabio tenggelam dalam pikirannya sendiri, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Biasanya, dia hanya bersikap acuh, tetapi sekarang... ada sesuatu yang lain. Seakan ia sedang berada di antara dua dunia, berdiri di perbatasan antara masa lalu dan masa depan, tetapi tidak bisa melangkah ke sa
Saat ritual berlangsung, semua orang melihat Fabio hanya berdiri diam di tengah lingkaran tanpa ekspresi. Tidak ada reaksi apa pun. Tidak ada rasa sakit, tidak ada ketegangan yang terlihat di wajahnya. Namun, di dalam kesadarannya, ia tidak berada di ruangan itu lagi.Dunia di sekelilingnya telah berubah menjadi tempat yang tidak nyata—sebuah hamparan kosong yang dipenuhi cahaya pucat yang berkedip-kedip seperti lilin yang hampir padam. Udara di sekelilingnya terasa berat, seperti ribuan suara bisikan yang tak terdengar memenuhi ruang hampa ini. Fabio melangkah perlahan, tetapi tidak ada gema, tidak ada suara dari langkah kakinya. Seolah dunia ini sendiri menolak keberadaannya.Dari kegelapan yang tak berujung, seseorang muncul. Tidak seperti pertemuan pertamanya, sosok ini bukan lagi bayangan hitam tanpa bentuk. Kini, sosok itu memiliki wajah yang sama dengan Fabio, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Matanya lebih dalam, lebih tua, seolah membawa beban yang tak terhitung. Pakaian yang i