Share

Volume 2 Chapter 0: Zero

Penulis: Zeetsensei
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-18 16:16:14

Rasa dingin menyelimuti tubuh Fabio, membangunkannya dari kegelapan yang tampak abadi. Namun, ini bukan kebangkitan seperti biasa. Tidak ada tanah di bawah kakinya, tidak ada langit di atasnya—hanya kehampaan yang tak terhingga, sebuah dunia yang tidak bisa dijelaskan dengan logika atau imajinasi. Segalanya terasa tidak nyata, namun begitu jelas di depan matanya.

Di tengah kehampaan itu, berdiri sosok yang pernah dilihatnya sebelumnya, namun kali ini dengan penampilan yang berbeda. Tubuh sosok itu hitam pekat seperti malam tanpa bintang, tetapi dihiasi pola galaksi yang berpendar lembut, menciptakan kontras antara kegelapan dan keindahan yang tidak bisa dijelaskan. Pola itu bergerak perlahan, seperti nebula yang melayang di angkasa, memberi kesan kehidupan yang tak terbatas sekaligus kesunyian yang mendalam.

Matanya bersinar seperti supernova—cahaya putih yang menusuk, seolah menembus segala hal. Rambut panjangnya melayang perlahan, seperti berada dalam gravitasi nol, berganti warna dengan spektrum nebula yang terus berubah-ubah, memancarkan kemegahan yang tidak manusiawi. Setiap gerakannya terasa tidak alami, seperti patahan waktu yang melawan alur realitas. Sosok itu berdiri tanpa suara, tetapi kehadirannya memenuhi seluruh ruang, menciptakan perasaan kecil dan rapuh dalam diri Fabio.

Sosok itu akhirnya membuka mulutnya, suaranya dalam dan bergema, seolah berasal dari segala arah sekaligus. “Begitu kecil, begitu rapuh. Itukah bagaimana kau memandang dunia ini sekarang?”

Fabio menatap sosok itu dengan mata penuh kebingungan dan kewaspadaan. Dia tidak tahu harus berkata apa, tetapi dia merasakan tekanan luar biasa dari kehadiran makhluk itu. Setelah beberapa saat, dia akhirnya berkata, “Siapa kau sebenarnya? Kau tampak… seperti bayangan, tapi tidak seperti iblis atau makhluk dunia ini.”

Sosok itu tersenyum samar, ekspresinya sulit dibaca. “Aku?” katanya, nadanya penuh dengan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, antara kemegahan dan kehampaan. “Aku adalah apa yang ada sebelum cahaya pertama menyala, dan apa yang akan tersisa setelah bintang terakhir memudar. Aku adalah kehampaan yang mengintai di balik segala keberadaan.”

Fabio mengerutkan kening, semakin bingung dengan jawaban yang lebih terdengar seperti teka-teki. “Itu tidak menjelaskan apa-apa! Kau berbicara seperti teka-teki. Mengapa kau ada di sini? Mengapa aku di sini?”

Sosok itu melangkah maju, namun setiap langkahnya tidak meninggalkan suara, seolah-olah dia melayang di atas permukaan yang tidak ada. “Kehadiranku adalah keniscayaan,” jawabnya, suaranya tetap tenang namun penuh makna. “Aku adalah penyeimbang, saksi dari setiap awal dan akhir. Kau di sini karena rantai takdir membawamu ke hadapanku, seperti yang terjadi berulang kali… di dunia yang berbeda, di waktu yang berbeda.”

Mendengar kata-kata itu, Fabio merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya—sebuah perasaan bahwa ini bukan pertama kalinya dia bertemu dengan sosok ini. Namun, perasaan itu hanya muncul sekilas sebelum hilang, meninggalkan kebingungan yang semakin mendalam. Dia mengepalkan tangannya, rasa frustrasi mulai membakar dalam dirinya.

“Itu hanya kata-kata kosong!” teriak Fabio dengan nada marah. “Beri aku jawaban! Apa tujuanmu?!”

Sosok itu berhenti, menunduk seolah-olah sedang merenung. Setelah beberapa saat, dia mengangkat kepalanya, dan mata supernova itu bersinar lebih terang. “Tujuan?” ulangnya, seolah-olah kata itu adalah sesuatu yang lucu. “Lucu kau menyebutkan itu. Aku tidak memiliki tujuan. Aku adalah yang tanpa kehendak, terlahir dari kekosongan. Namun, setiap langkahku selalu membawa dampak—seperti riak pada kolam yang tenang. Mungkin, itulah sebabnya mereka memanggilku Zero. Awal sekaligus akhir.”

Fabio terdiam, kata-kata itu menggema dalam pikirannya. “Aku? Adalah? Kau?” bisiknya, matanya penuh keraguan. “Siapa sebenarnya aku? Siapa sebenarnya kau?”

Sosok itu tidak langsung menjawab. Dia hanya mengamati Fabio dengan mata yang seperti bisa melihat inti dari dirinya, seolah-olah sedang menilai sesuatu yang tidak Fabio pahami. Akhirnya, dia berkata, “Mungkin. Mungkin aku lebih, mungkin aku kurang. Namun, satu hal yang pasti: aku adalah kau. Saat ini aku hanya pengamat... hingga tiba waktuku untuk bertindak.”

Fabio merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya, bukan karena takut, tetapi karena rasa ketidakpastian yang semakin dalam. Kata-kata itu begitu asing baginya, tetapi entah bagaimana, mereka terasa akrab, seolah-olah dia pernah mendengarnya sebelumnya. “Pengamat?” Fabio bertanya lagi, suaranya sedikit gemetar. “Apa mak-”

Sebelum Fabio bisa menyelesaikan pertanyaannya, dunia di sekelilingnya mulai bergetar. Lantai kehampaan di bawahnya mulai retak, dan dia merasakan dirinya jatuh ke dalam jurang tanpa dasar. Dia mencoba menggapai sesuatu, tetapi tidak ada apa pun di sekitarnya. Sosok itu tetap berdiri di sana, melihatnya jatuh tanpa bergerak sedikit pun.

Suaranya terdengar sekali lagi, kali ini lebih lembut, namun tetap bergema di seluruh kehampaan. “Hingga tiba waktuku untuk bertindak…”

Fabio terus jatuh, perasaan ringan namun mencekam menyelimuti tubuhnya. Cahaya dari sosok itu perlahan memudar, digantikan oleh kegelapan yang semakin pekat. Tidak ada suara, tidak ada apa pun. Hanya kehampaan.

 

Fabio terbangun dengan nafas terengah-engah, tubuhnya penuh keringat. Dia mencoba duduk, menyadari bahwa dia kembali ke dunia nyata. Namun, pikirannya masih dipenuhi dengan gambaran sosok itu, dengan suara dan kata-katanya yang penuh misteri. “Zero…” Fabio berbisik, merasa bahwa pertemuan itu bukan sekadar mimpi, tetapi sesuatu yang lebih nyata dari apa yang dia bayangkan.

“Siapa aku sebenarnya?” tanyanya pada dirinya sendiri, namun jawaban itu tetap tidak datang.

 

Cahaya redup dari matahari pagi yang menyelinap melalui jendela kecil terasa menusuk mata Fabio. Perlahan, dia membuka matanya, kelopak yang berat seolah-olah telah tertutup selama berabad-abad. Pandangannya masih kabur, tetapi dia bisa melihat bayangan samar sebuah ruangan yang terasa asing. Bau antiseptik menyengat hidungnya, membuat kesadarannya perlahan kembali.

Di sekitarnya, ada suara pelan kain pel yang digerakkan di lantai. Seorang petugas kebersihan sedang membersihkan ruangan itu, punggungnya membelakangi Fabio. Namun, Fabio tidak memperhatikan itu. Dia merasa linglung, tubuhnya berat, dan pikirannya seperti berenang dalam lautan kebingungan. "Di mana aku?" dia bergumam, suaranya serak dan hampir tidak terdengar.

Suara kecil itu cukup untuk membuat petugas kebersihan terkejut. Wanita itu memutar tubuhnya dengan cepat, dan begitu melihat Fabio telah sadar, matanya melebar. "Dia bangun! Dia bangun!" serunya panik sebelum berlari ke luar ruangan tanpa menunggu respon Fabio.

Fabio yang masih lemah mencoba bergerak, tetapi tubuhnya menolak bekerja sama. Rasa sakit yang tumpul menjalar di lengan dan kakinya, meskipun tidak seburuk yang dia duga. Sebelum dia bisa memahami situasi sepenuhnya, pintu ruangan terbuka lebar, dan seorang pria paruh baya dengan jas putih panjang masuk tergesa-gesa, diikuti oleh beberapa asisten.

"Ah, kau akhirnya sadar," kata dokter itu sambil mendekat, matanya penuh perhatian. Dia membawa beberapa alat pemeriksaan, dan segera memulai pengecekan tubuh Fabio.

Dokter itu tampak penuh konsentrasi, memeriksa denyut nadi, suhu tubuh, dan pupil mata Fabio. Setelah beberapa saat, dia menarik napas panjang, tampak lega. "Kau sudah pingsan selama lebih dari tiga minggu. Kami mulai khawatir kau tidak akan bangun."

Fabio yang masih bingung hanya menatap pria itu. "Tiga minggu?" gumamnya, hampir tidak percaya. "Apa yang terjadi? Kenapa aku di sini?"

Dokter melanjutkan pemeriksaannya dengan hati-hati. "Kau dibawa ke sini dalam keadaan yang sangat buruk," katanya sambil menatap Fabio dengan serius. "Aku perlu memeriksa ingatanmu dulu. Sebelum kau pingsan, apa kau ingat apa yang terjadi?"

Fabio mencoba mengingat. Sosok Nyxaroth Primus, pertempuran sengit, dan... kehampaan yang dia alami di dalam mimpinya. Semua itu muncul di pikirannya. Dia mengangguk perlahan. "Aku ingat. Aku ingat pertempuran itu. Aku ingat Nyxaroth Primus. Dan... aku ingat sesuatu yang aneh setelahnya."

Dokter mengamati ekspresi Fabio dengan cermat, memastikan dia tidak menunjukkan tanda-tanda kehilangan memori. "Bagus," katanya akhirnya. "Kau tidak kehilangan ingatanmu lagi. Itu kabar baik. Tapi aku masih harus menjelaskan sesuatu."

Dokter mengambil kursi kecil di samping tempat tidur Fabio dan duduk dengan tenang. "Ketika kau pertama kali dibawa ke sini, keadaanmu sangat mengenaskan," dia memulai, nada suaranya berubah serius. "Tulang kaki kirimu patah di tiga tempat, dan tangan kananmu hampir remuk. Aku bahkan menyarankan kepada Putri Jinshi, Thalysa, dan Baizhu untuk mengamputasi kedua bagian itu. Tidak ada harapan lain pada saat itu."

Fabio menelan ludah, mencoba mencerna informasi itu. "Tapi... aku masih punya kaki dan tangan..."

Dokter mengangguk, tampak masih bingung dengan kejadian itu. "Ya. Itu karena mereka bertiga menolak dengan tegas. Mereka tidak mau menyerah. Aku tidak tahu bagaimana, tetapi tulang-tulangmu mulai sembuh sendiri dengan kecepatan yang tidak masuk akal. Apa yang seharusnya membutuhkan waktu tiga bulan atau lebih, hanya butuh beberapa minggu. Dan tidak hanya itu—luka-luka lain di tubuhmu juga pulih dengan sangat cepat. Aku tidak pernah melihat hal seperti ini sebelumnya."

Fabio terdiam, matanya melayang ke tangannya sendiri, yang terasa normal meskipun ada sedikit nyeri saat dia mencoba menggerakkannya. "Bagaimana itu mungkin?" dia bertanya, lebih kepada dirinya sendiri.

Dokter mengangkat bahu, tidak punya jawaban. "Itu adalah misteri yang bahkan aku tidak bisa jelaskan. Tetapi satu hal yang pasti, kau memiliki tubuh yang tidak biasa. Mungkin mereka benar saat tidak menyerah padamu."

Setelah keheningan sesaat, Fabio akhirnya bertanya, "Bagaimana dengan mereka? Jinshi, Thalysa, Baizhu... apa mereka baik-baik saja?"

Dokter tersenyum kecil. "Mereka bertiga baik-baik saja. Faktanya, aku akan menyuruh seseorang untuk memanggil mereka sekarang."

Namun, sebelum dokter bisa melanjutkan, pintu ruangan terbuka dengan keras. Thalysa dan Jinshi masuk dengan tergesa-gesa, wajah mereka menunjukkan campuran antara kekhawatiran dan kelegaan yang mendalam. Begitu melihat Fabio sudah bangun, mereka berhenti sejenak, menatapnya dengan ekspresi tidak percaya.

"Fabio!" seru Thalysa, langsung berlari dan memeluknya tanpa ragu. Jinshi yang mengikuti di belakangnya melakukan hal yang sama, memeluk Fabio dari sisi lain.

Fabio membeku, tidak tahu bagaimana harus merespon. Tubuhnya terasa lemah, tetapi kehangatan yang ia rasakan dari pelukan mereka memberi semacam kenyamanan. Namun, dokter yang berada di ruangan itu tampak tidak senang. "Hei, hei!" seru dokter sambil bangkit dari kursinya. "Dia baru saja bangun! Tubuhnya masih lemah! Jangan memeluknya seperti itu!"

Thalysa dan Jinshi langsung tersadar, mereka melepaskan pelukan mereka dengan tergesa-gesa, wajah mereka penuh penyesalan. "Maafkan kami, Dokter," kata Jinshi dengan nada lembut. "Kami hanya terlalu senang melihatnya bangun."

Dokter menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. "Ya, aku mengerti, tetapi tolong, jangan lakukan itu lagi. Dia masih dalam masa pemulihan."

Tepat ketika dokter selesai berbicara, pintu ruangan terbuka sekali lagi, kali ini lebih perlahan. Baizhu muncul, membawa keranjang buah-buahan segar. Wajahnya tetap serius seperti biasa, tetapi ada secercah kelegaan di matanya saat dia melihat Fabio sudah sadar.

"Jadi kau akhirnya bangun," katanya singkat, menaruh keranjang buah di meja kecil di samping tempat tidur Fabio.

Dokter yang merasa bahwa situasi kini terkendali menghela napas panjang. "Baiklah, aku akan meninggalkan kalian untuk berbicara. Jangan terlalu lama, dan jangan memaksanya berbicara terlalu banyak. Dia masih butuh istirahat."

Setelah itu, dokter meninggalkan ruangan, meninggalkan Fabio bersama Jinshi, Thalysa, dan Baizhu.

Fabio, yang merasa situasi sedikit lebih tenang, memandang mereka bertiga dengan rasa terima kasih. "Apa kalian bertiga baik-baik saja?" tanyanya, suaranya masih lemah.

Thalysa tersenyum, meskipun matanya menunjukkan sedikit emosi. "Itu seharusnya pertanyaan kami," jawabnya lembut. "Kami baik-baik saja. Tapi kau..." Dia berhenti, menatap Fabio dengan tatapan lembut. "Kau membuat kami sangat khawatir, Fabio."

Jinshi mengangguk setuju. "Ketika kami membawamu ke sini, keadaanmu sangat buruk. Kami benar-benar berpikir kau tidak akan selamat."

Baizhu, meskipun tetap menjaga sikap dinginnya, akhirnya berkata, "Kau sangat beruntung, Fabio. Tapi jangan gunakan keberuntunganmu seperti ini lagi."

Fabio hanya bisa tersenyum kecil, merasa bahwa, meskipun tubuhnya masih lemah, dia dikelilingi oleh orang-orang yang peduli padanya. Kehangatan dari perhatian mereka, meskipun kadang ditutupi oleh sikap keras, membuatnya merasa sedikit lebih kuat.

Namun, di balik rasa syukurnya, pertanyaan yang lebih besar tetap menghantui pikirannya. Siapa dirinya sebenarnya? Dan bagaimana tubuhnya bisa pulih dengan cara yang begitu luar biasa?

Bab terkait

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 1: Kerajaan Valtor

    Satu minggu setelah Fabio dinyatakan pulih sepenuhnya, dia akhirnya bisa bergerak dengan normal. Luka-luka yang sebelumnya membuat tubuhnya tampak mustahil untuk pulih kini telah sembuh tanpa jejak, meninggalkan Fabio dengan pertanyaan yang belum terjawab tentang kekuatan misterius dalam dirinya. Namun, tidak ada waktu untuk merenung terlalu lama—pagi itu, seorang utusan kerajaan datang ke rumah sakit, menyampaikan pesan dari Putri Jinshi. Fabio dipanggil ke istana untuk sebuah audiensi penting.Thalysa, yang sedang menemani Fabio saat itu, memutuskan untuk ikut bersamanya. Tidak lama setelahnya, Baizhu juga bergabung, tampak lebih serius dari biasanya, meskipun ekspresinya tetap sulit ditebak.-Istana Thalos: Ruang Singgasana-Istana kerajaan Thalos berdiri megah di tengah ibu kota, sebuah bangunan yang memancarkan wibawa sekaligus keindahan. Pilar-pilar besar dari batu granit hitam menopang atap berlapis emas, sementara dindingnya dihiasi ukiran kuno yang menceritakan sejarah panjan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 2: Misi dan Ramalan

    Ruang singgasana istana Thalos dipenuhi keheningan yang tegang. Jinshi, yang memimpin rapat kecil itu, berdiri di dekat singgasana dengan tangan terkepal di belakang punggungnya. Di depannya, Fabio, Thalysa, dan Baizhu berdiri dalam jarak yang tidak terlalu dekat. Wajah mereka menunjukkan emosi yang berbeda—Fabio dengan ekspresi serius namun tenang, Thalysa yang penuh tekad, dan Baizhu dengan kerutan tajam di dahinya."Fabio," Jinshi memulai, suaranya lembut namun tegas, "Aku ingin kau pergi ke Valtor dan menyusul ayahku, Kaito Akio V."Mata Fabio sedikit membesar mendengar perintah itu. "Menyusul ke Valtor?" tanyanya, nada suaranya penuh keheranan.Jinshi mengangguk. "Ayahku sedang dalam perjalanan diplomatik untuk memperbaiki hubungan dengan kerajaan itu. Tetapi situasi ini sangat sensitif, dan aku khawatir dia mungkin membutuhkan bantuan. Kau telah menunjukkan kekuatan yang luar biasa dalam pertempuran melawan Nyxaroth Primus. Aku percaya kau bisa melindungi ayahku jika sesuatu ter

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-21
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 3: Konflik di Ashenfield

    Perjalanan Fabio dan Thalysa menuju Kerajaan Valtor baru memasuki hari kelima ketika mereka mencapai dataran terbuka yang dikenal sebagai Ashenfield. Matahari senja menyinari lanskap yang suram, menciptakan bayangan panjang di atas tanah abu-abu yang penuh dengan bekas luka bencana. Ashenfield adalah sisa-sisa kehancuran besar selama Cataclysmic Catastrophe, di mana api besar telah melalap kehidupan dan meninggalkan tanah yang penuh energi magis tak stabil. Namun, penduduk setempat yang tangguh berusaha keras menghidupkan kembali daerah ini dengan bercocok tanam, meskipun tanah masih menyimpan jejak kutukan.Fabio memperhatikan sekeliling dengan ekspresi netral, pandangannya menyapu reruntuhan dan ladang yang tak subur. Di sebelahnya, Thalysa menatap dengan penuh perhatian, memperhatikan penduduk yang tampak lelah namun tetap berusaha bekerja di bawah bayang-bayang kehancuran. Mereka memasuki desa kecil di tengah dataran itu, tempat asap tipis dari dapur-dapur kayu mengepul ke udara.

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 4: Penyelidikan dan Surat

    Penginapan kecil tempat Fabio dan Thalysa tinggal selama di Ashenfield tidak terlalu ramai pagi itu. Udara dingin dari luar terasa menusuk, tetapi kehangatan dari api di perapian ruangan utama penginapan membuat suasana sedikit lebih nyaman. Fabio duduk di salah satu kursi dekat jendela, pandangannya terpaku pada jalanan yang mulai sibuk dengan penduduk setempat. Di sampingnya, Thalysa berdiri dengan tangan terlipat, wajahnya menunjukkan ekspresi tidak puas setelah mendengar rencana yang diusulkan Fabio."Kita tidak membutuhkan bantuan," ujar Thalysa dengan nada tegas. "Kita bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Lagipula, Ashenfield hanyalah sebuah daerah kecil. Aku yakin ini bukan prioritas tinggi bagi kerajaan."Fabio menghela napas, menoleh ke arahnya. "Thalysa, aku tahu kau percaya pada kemampuan kita, tapi ini bukan tentang seberapa kuat atau cerdas kita. Ini tentang skala masalahnya. Jika kita gagal di sini, dampaknya bisa lebih besar dari yang kau bayangkan."Thalysa mengerut

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-26
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 5: Jejak Konspirasi Ashenfield

    Fabio memulai penyelidikannya dengan hati-hati. Sejak tiba di Ashenfield, ada sesuatu yang tidak beres—rakyat tampak murung, pembicaraan mereka berbisik, dan kehadiran para prajurit lokal terasa mengintimidasi. Setelah mendengar desas-desus di sekitar penginapan, Fabio berhasil mendapatkan informasi bahwa tiga bangsawan di wilayah ini memainkan peran penting dalam situasi buruk Ashenfield.Ketiganya memiliki reputasi yang berbeda di mata masyarakat, tetapi kesamaan mereka adalah kuasa mereka yang besar dan jejak kecurigaan yang membayangi. Nama-nama mereka: Lord Gregor Ashbourne, Baron Alaric Whitmore, dan Duke Cedric Ravenshade.Lord Gregor AshbournePeran: Sang manipulator, Gregor adalah dalang di balik upaya menyebarkan konspirasi antara masyarakat Ashenfield dan bangsawan lainnya. Dia menggunakan retorika dan propaganda untuk menciptakan ketidakpercayaan di antara mereka, memperburuk hubungan antar kelas sosial.Ciri Khas: Gregor adalah pria dengan wajah ramah, tetapi matanya taja

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 6: Pengejaran dalam Bayang Hutan

    Malam masih pekat saat Fabio melompat keluar dari jendela mansion, meninggalkan suara teriakan prajurit dan dentingan logam di belakangnya. Udara dingin menghantam wajahnya, tetapi itu lebih baik daripada bilah tombak yang hampir menyentuh punggungnya. Dia mendarat di tanah dengan ringan, tubuhnya bergerak tanpa ragu ke arah hutan yang gelap, tempat bayangan sang assassin telah menghilang."Aku harus menangkapnya," pikir Fabio, langkah kakinya semakin cepat di atas dedaunan basah. Dia tahu, jika gagal menangkap pembunuh itu, dia akan kehilangan satu-satunya kesempatan untuk membersihkan namanya.Hutan di malam hari adalah labirin tanpa ujung. Pohon-pohon besar menjulang seperti dinding gelap, dan hanya sinar rembulan yang menembus sela-sela dedaunan memberikan sedikit penerangan. Fabio menghentikan langkahnya sejenak, telinganya tajam menangkap setiap suara.“Kau tidak bisa jauh,” gumam Fabio pelan, suaranya hampir tak terdengar. Tangannya menggenggam Khopesh erat, senjata itu memanca

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Chapter Interlude: Penghakim

    Langit kelabu menggantung di atas kota yang dipenuhi debu, rumah-rumah dengan dinding retak berdiri seperti saksi bisu atas sejarah panjang yang telah dilupakan oleh mereka yang berkuasa. Kisah ini bukan tentang seorang pahlawan yang bangkit untuk menyelamatkan dunia, bukan juga tentang seorang yang ditakdirkan menjadi cahaya dalam kegelapan. Ini adalah kisah yang diturunkan dari generasi ke generasi, kisah tentang seorang anak petani miskin yang bermimpi mengangkat derajat keluarganya—dan bagaimana dunia menghancurkannya dengan kebrutalan yang tak terbayangkan, Ini adalah kisah yang diceritakan turun temurun. Sejak kecil, ia selalu melihat ayahnya membungkuk di ladang, bekerja tanpa henti untuk mendapatkan segenggam gandum demi memberi makan keluarganya. Ibunya menjahit pakaian dengan tangan kasar yang penuh luka, sementara adik-adiknya menangis kelaparan di sudut gubuk reyot yang mereka sebut rumah. Hidup dalam kemiskinan bukanlah pilihan, tetapi sebuah warisan yang dipaksakan ole

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-19
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Chapter Interlude: Penghakim II

    Kebencian adalah benih yang tumbuh dalam keheningan, perlahan merayap seperti akar yang mencengkeram tanah, menolak untuk dilepaskan. Sang Protagonis, yang dulunya hanyalah seorang anak petani miskin dengan harapan sederhana, kini telah berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih kelam. Tidak ada lagi sisa dari pria yang pernah bermimpi menjadi prajurit kerajaan, yang percaya bahwa kehormatan dan keadilan masih memiliki tempat di dunia ini. Kerajaan telah menghancurkannya, menginjak-injak tubuh dan jiwanya hingga yang tersisa hanyalah kehampaan. Dari kehampaan itu, lahirlah sesuatu yang baru—kehendak untuk menghancurkan mereka yang pernah menghancurkannya. Ia berjalan dari desa ke desa, berbicara dalam bisikan, menyebarkan kebencian yang telah lama ada di hati rakyat tetapi selalu ditekan oleh ketakutan. Ia menceritakan kisahnya, bukan dengan air mata, tetapi dengan api yang membara di dalam matanya. Ia menunjukkan bekas luka di tubuhnya, membiarkan mereka melihat bukti nyata dari kebr

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-19

Bab terbaru

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 9: Diskusi

    Langit malam masih diselimuti oleh keheningan yang dingin ketika Fabio dan Rava bergerak dalam bayangan, menyusuri gang-gang sempit menuju penginapan tempat Thalysa berada. Langkah mereka hampir tak bersuara, seperti dua siluet yang menyatu dengan gelapnya malam. Meskipun mereka sekarang telah sepakat untuk bekerja sama, Fabio tidak bisa mengabaikan kewaspadaannya terhadap Rava, dan hal yang sama jelas terpancar dari tatapan Rava yang selalu meneliti lingkungan sekitarnya.Setibanya di penginapan, Fabio memimpin jalan menuju kamar Thalysa tanpa banyak bicara. Rava tetap di belakangnya, sikapnya tenang, tetapi jelas tidak santai. Mereka berdua tahu bahwa pertemuan ini tidak akan berjalan mulus, dan Fabio hanya bisa berharap bahwa Thalysa cukup rasional untuk mendengar penjelasannya sebelum bertindak gegabah.Begitu Fabio membuka pintu kamar dan melangkah masuk, segalanya terjadi begitu cepat. Dalam sekejap, bayangan melesat dari sudut ruangan, dan sebelum Rava sempat bereaksi, sebuah p

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 8: Assassins II

    Cahaya api unggun berpendar samar di tengah kegelapan hutan, bayangannya menari-nari di permukaan tanah lembab. Angin malam berembus dingin, membawa suara dedaunan yang berbisik seolah menyaksikan pertarungan diam antara dua individu di sisi berlawanan. Fabio duduk bersila di seberang perapian, sorot matanya tajam, menembus sosok di depannya yang masih terkekang dalam rantai besi.Rava menatapnya dengan penuh kebencian, tetapi di balik sorot mata keemasan itu, Fabio bisa membaca kelelahan dan rasa sakit yang berusaha disembunyikan. Luka di perutnya masih basah, meskipun telah diperban dengan rapi. Namun, ketahanan Assassin itu patut dipuji. Bahkan dalam kondisi sekarat, ia masih berusaha menampilkan dirinya sebagai ancaman.Fabio mengulurkan tangan ke tanah, mengambil sebongkah kayu dan melemparkannya ke api unggun. Percikan api melesat sesaat sebelum padam. Ia tidak terburu-buru. Waktu ada di pihaknya."Aku tidak punya banyak kesabaran," ucapnya, suaranya datar dan tanpa emosi. "Siap

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 7: Assassins I

    Hutan malam adalah penjara tanpa dinding, di mana kegelapan menggantung seperti tirai kematian. Fabio terus berlari, napasnya berat, tetapi langkahnya tetap mantap. Tentara yang mengejarnya kini hanya tinggal bayangan yang tertinggal jauh di belakang. Pepohonan tinggi dan semak belukar yang menutup jalan adalah perlindungan terbaiknya. Namun, saat kesadarannya mulai menenangkan denyut adrenalinnya, ia menyadari sesuatu yang lebih berbahaya—ia telah tersesat.Sunyi. Hanya desiran angin yang merayap di sela dedaunan dan suara langkahnya yang teredam oleh tanah basah. Hutan ini bukan tempat yang ramah, dan Fabio tahu lebih baik daripada siapa pun bahwa tempat yang sunyi hanyalah latar belakang bagi sesuatu yang mengintai dalam kegelapan.Lalu ia mendengarnya.Jeritan tajam, bukan suara manusia. Bukan suara biasa. Itu adalah raungan Nyxaroth. Fabio mengangkat kepalanya, matanya menyipit dalam kegelapan saat ia mencoba menentukan arah sumber suara. Kewaspadaannya meningkat. Bukan karena ke

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Interlude Chapter: Asa Terakhir II

    Malam itu langit pekat tanpa bintang, gelapnya menelan sisa-sisa cahaya yang tersisa di dunia yang telah lama kehilangan harapan. Di dalam sebuah gubuk reyot yang hampir rubuh, seorang anak tidur dengan tubuh menggigil, bukan hanya karena udara dingin yang merayapi kulitnya, tetapi juga karena kelelahan dari hidup yang tak pernah memberinya ruang untuk bernapas. Tidur bukanlah tempat yang aman baginya, tetapi malam itu, ia bermimpi.Dalam mimpi itu, ia melihat ibunya—bukan sebagai mayat yang tergeletak tanpa kepala di tanah berlumpur, tetapi seperti dulu, sebelum dunia merenggutnya. Wajahnya lembut, matanya penuh kasih sayang, dan di tangannya ada sesuatu yang bersinar. Sebuah relik tua, berkilauan dengan cahaya redup, seperti api kecil yang bertahan di tengah badai. Ibunya tidak berbicara, hanya tersenyum dan mengulurkan tangannya, dan tanpa berpikir, anak itu mengambilnya.Ketika ia terbangun, dadanya naik turun dengan napas tersengal, tangannya masih terasa hangat dari sentuhan ibu

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Chapter Interlude: Asa Terakhir

    Langit kelabu menggantung berat di atas kota yang dulunya megah, kini hanya menjadi sisa-sisa peradaban yang nyaris hancur. Jalanan dipenuhi lumpur, genangan air kotor bercampur darah yang telah mengering, aroma kemiskinan menyelimuti setiap sudut. Dunia ini bukan lagi tempat bagi mimpi-mimpi besar, hanya tempat bagi mereka yang cukup beruntung untuk bertahan hidup sehari lagi. Setelah perang panjang melawan Nyxaroth, umat manusia tidak menemukan kebebasan, melainkan ketakutan yang lebih pekat dari sebelumnya. Setelah kiamat, dunia tidak menemukan kedamaian—hanya peradaban yang mencoba bangkit di atas tulang-tulang mereka yang telah gugur. Namun, di masa transisi ini, kekuasaan lebih kejam dari sebelumnya. Para petinggi manusia tidak hanya sekadar memulihkan apa yang hilang, tetapi juga memastikan bahwa mereka yang berkuasa tetap berkuasa. Relik-relik sihir yang ditemukan dari reruntuhan perang menjadi alat dominasi, bukan untuk melindungi rakyat, melainkan untuk menindas mereka. Se

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Chapter Interlude: Pahlawan Terlupakan II

    Dunia telah hancur oleh peperangan, oleh keserakahan, oleh dosa-dosa yang dilahirkan oleh manusia itu sendiri. Kota-kota yang dulu megah kini hanya puing-puing yang tertimbun debu, peradaban yang dulu berkilauan kini menjadi kuburan tanpa nama, hanya diingat oleh mereka yang masih bertahan hidup di dunia yang telah kehilangan maknanya. Dalam kehancuran itu, seorang pria berjalan tanpa arah, pahlawan yang telah dicampakkan, terlupakan oleh mereka yang dulu bersorak memujanya. Ia tidak lagi mencari pengakuan, tidak lagi mencari tujuan, hanya berjalan, tanpa suara, tanpa harapan. Di suatu tempat dalam kehancuran ini, ia bertemu dengan seseorang yang tidak perlu diperkenalkan. Orang-orang menyebutnya "Penghakim." Mereka semua tahu kisahnya, bagaimana ia menyalakan api pemberontakan, bagaimana ia mengadili mereka yang berkuasa dengan cara yang paling brutal, bagaimana ia menghancurkan kerajaan yang ia anggap sebagai akar dari segala kebusukan dunia. Pahlawan tahu siapa dia. Tapi yang tid

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Chapter Interlude: Pahlawan Terlupakan

    Ini adalah kisah yang diceritakan turun temurun dimana seorang anak manusia pernah bermimpi menjadi pahlawan. Ia tumbuh mendengar kisah-kisah tentang ksatria yang membela yang lemah, tentang raja-raja yang bijaksana, dan tentang keajaiban yang turun dari surga untuk menyelamatkan dunia. Ia percaya bahwa suatu hari nanti, namanya akan tertulis di halaman sejarah, disebut dengan hormat oleh generasi mendatang. Ia percaya bahwa jika ia cukup kuat, cukup berani, cukup teguh, maka dunia akan mengenalnya sebagai pahlawan sejati. Tapi dunia tidak peduli pada mimpi anak-anak. Perjalanan itu dimulai dengan penuh harapan. Ia berlatih lebih keras dari siapa pun, bertarung melawan rintangan yang tak terhitung jumlahnya. Ia tidak punya darah bangsawan, tidak memiliki keberuntungan yang diberikan oleh keturunan suci, hanya tekad yang keras seperti baja dan hati yang menolak menyerah. Ketika akhirnya ia mendapatkan kesempatan untuk membuktikan dirinya, pedang yang muncul dalam mimpinya menuntunnya

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Chapter Interlude: Penghakim II

    Kebencian adalah benih yang tumbuh dalam keheningan, perlahan merayap seperti akar yang mencengkeram tanah, menolak untuk dilepaskan. Sang Protagonis, yang dulunya hanyalah seorang anak petani miskin dengan harapan sederhana, kini telah berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih kelam. Tidak ada lagi sisa dari pria yang pernah bermimpi menjadi prajurit kerajaan, yang percaya bahwa kehormatan dan keadilan masih memiliki tempat di dunia ini. Kerajaan telah menghancurkannya, menginjak-injak tubuh dan jiwanya hingga yang tersisa hanyalah kehampaan. Dari kehampaan itu, lahirlah sesuatu yang baru—kehendak untuk menghancurkan mereka yang pernah menghancurkannya. Ia berjalan dari desa ke desa, berbicara dalam bisikan, menyebarkan kebencian yang telah lama ada di hati rakyat tetapi selalu ditekan oleh ketakutan. Ia menceritakan kisahnya, bukan dengan air mata, tetapi dengan api yang membara di dalam matanya. Ia menunjukkan bekas luka di tubuhnya, membiarkan mereka melihat bukti nyata dari kebr

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Chapter Interlude: Penghakim

    Langit kelabu menggantung di atas kota yang dipenuhi debu, rumah-rumah dengan dinding retak berdiri seperti saksi bisu atas sejarah panjang yang telah dilupakan oleh mereka yang berkuasa. Kisah ini bukan tentang seorang pahlawan yang bangkit untuk menyelamatkan dunia, bukan juga tentang seorang yang ditakdirkan menjadi cahaya dalam kegelapan. Ini adalah kisah yang diturunkan dari generasi ke generasi, kisah tentang seorang anak petani miskin yang bermimpi mengangkat derajat keluarganya—dan bagaimana dunia menghancurkannya dengan kebrutalan yang tak terbayangkan, Ini adalah kisah yang diceritakan turun temurun. Sejak kecil, ia selalu melihat ayahnya membungkuk di ladang, bekerja tanpa henti untuk mendapatkan segenggam gandum demi memberi makan keluarganya. Ibunya menjahit pakaian dengan tangan kasar yang penuh luka, sementara adik-adiknya menangis kelaparan di sudut gubuk reyot yang mereka sebut rumah. Hidup dalam kemiskinan bukanlah pilihan, tetapi sebuah warisan yang dipaksakan ole

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status