Rasa dingin menyelimuti tubuh Fabio, membangunkannya dari kegelapan yang tampak abadi. Namun, ini bukan kebangkitan seperti biasa. Tidak ada tanah di bawah kakinya, tidak ada langit di atasnya—hanya kehampaan yang tak terhingga, sebuah dunia yang tidak bisa dijelaskan dengan logika atau imajinasi. Segalanya terasa tidak nyata, namun begitu jelas di depan matanya.
Di tengah kehampaan itu, berdiri sosok yang pernah dilihatnya sebelumnya, namun kali ini dengan penampilan yang berbeda. Tubuh sosok itu hitam pekat seperti malam tanpa bintang, tetapi dihiasi pola galaksi yang berpendar lembut, menciptakan kontras antara kegelapan dan keindahan yang tidak bisa dijelaskan. Pola itu bergerak perlahan, seperti nebula yang melayang di angkasa, memberi kesan kehidupan yang tak terbatas sekaligus kesunyian yang mendalam. Matanya bersinar seperti supernova—cahaya putih yang menusuk, seolah menembus segala hal. Rambut panjangnya melayang perlahan, seperti berada dalam gravitasi nol, berganti warna dengan spektrum nebula yang terus berubah-ubah, memancarkan kemegahan yang tidak manusiawi. Setiap gerakannya terasa tidak alami, seperti patahan waktu yang melawan alur realitas. Sosok itu berdiri tanpa suara, tetapi kehadirannya memenuhi seluruh ruang, menciptakan perasaan kecil dan rapuh dalam diri Fabio. Sosok itu akhirnya membuka mulutnya, suaranya dalam dan bergema, seolah berasal dari segala arah sekaligus. “Begitu kecil, begitu rapuh. Itukah bagaimana kau memandang dunia ini sekarang?” Fabio menatap sosok itu dengan mata penuh kebingungan dan kewaspadaan. Dia tidak tahu harus berkata apa, tetapi dia merasakan tekanan luar biasa dari kehadiran makhluk itu. Setelah beberapa saat, dia akhirnya berkata, “Siapa kau sebenarnya? Kau tampak… seperti bayangan, tapi tidak seperti iblis atau makhluk dunia ini.” Sosok itu tersenyum samar, ekspresinya sulit dibaca. “Aku?” katanya, nadanya penuh dengan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, antara kemegahan dan kehampaan. “Aku adalah apa yang ada sebelum cahaya pertama menyala, dan apa yang akan tersisa setelah bintang terakhir memudar. Aku adalah kehampaan yang mengintai di balik segala keberadaan.” Fabio mengerutkan kening, semakin bingung dengan jawaban yang lebih terdengar seperti teka-teki. “Itu tidak menjelaskan apa-apa! Kau berbicara seperti teka-teki. Mengapa kau ada di sini? Mengapa aku di sini?” Sosok itu melangkah maju, namun setiap langkahnya tidak meninggalkan suara, seolah-olah dia melayang di atas permukaan yang tidak ada. “Kehadiranku adalah keniscayaan,” jawabnya, suaranya tetap tenang namun penuh makna. “Aku adalah penyeimbang, saksi dari setiap awal dan akhir. Kau di sini karena rantai takdir membawamu ke hadapanku, seperti yang terjadi berulang kali… di dunia yang berbeda, di waktu yang berbeda.” Mendengar kata-kata itu, Fabio merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya—sebuah perasaan bahwa ini bukan pertama kalinya dia bertemu dengan sosok ini. Namun, perasaan itu hanya muncul sekilas sebelum hilang, meninggalkan kebingungan yang semakin mendalam. Dia mengepalkan tangannya, rasa frustrasi mulai membakar dalam dirinya. “Itu hanya kata-kata kosong!” teriak Fabio dengan nada marah. “Beri aku jawaban! Apa tujuanmu?!” Sosok itu berhenti, menunduk seolah-olah sedang merenung. Setelah beberapa saat, dia mengangkat kepalanya, dan mata supernova itu bersinar lebih terang. “Tujuan?” ulangnya, seolah-olah kata itu adalah sesuatu yang lucu. “Lucu kau menyebutkan itu. Aku tidak memiliki tujuan. Aku adalah yang tanpa kehendak, terlahir dari kekosongan. Namun, setiap langkahku selalu membawa dampak—seperti riak pada kolam yang tenang. Mungkin, itulah sebabnya mereka memanggilku Zero. Awal sekaligus akhir.” Fabio terdiam, kata-kata itu menggema dalam pikirannya. “Aku? Adalah? Kau?” bisiknya, matanya penuh keraguan. “Siapa sebenarnya aku? Siapa sebenarnya kau?” Sosok itu tidak langsung menjawab. Dia hanya mengamati Fabio dengan mata yang seperti bisa melihat inti dari dirinya, seolah-olah sedang menilai sesuatu yang tidak Fabio pahami. Akhirnya, dia berkata, “Mungkin. Mungkin aku lebih, mungkin aku kurang. Namun, satu hal yang pasti: aku adalah kau. Saat ini aku hanya pengamat... hingga tiba waktuku untuk bertindak.” Fabio merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya, bukan karena takut, tetapi karena rasa ketidakpastian yang semakin dalam. Kata-kata itu begitu asing baginya, tetapi entah bagaimana, mereka terasa akrab, seolah-olah dia pernah mendengarnya sebelumnya. “Pengamat?” Fabio bertanya lagi, suaranya sedikit gemetar. “Apa mak-” Sebelum Fabio bisa menyelesaikan pertanyaannya, dunia di sekelilingnya mulai bergetar. Lantai kehampaan di bawahnya mulai retak, dan dia merasakan dirinya jatuh ke dalam jurang tanpa dasar. Dia mencoba menggapai sesuatu, tetapi tidak ada apa pun di sekitarnya. Sosok itu tetap berdiri di sana, melihatnya jatuh tanpa bergerak sedikit pun. Suaranya terdengar sekali lagi, kali ini lebih lembut, namun tetap bergema di seluruh kehampaan. “Hingga tiba waktuku untuk bertindak…” Fabio terus jatuh, perasaan ringan namun mencekam menyelimuti tubuhnya. Cahaya dari sosok itu perlahan memudar, digantikan oleh kegelapan yang semakin pekat. Tidak ada suara, tidak ada apa pun. Hanya kehampaan. Fabio terbangun dengan nafas terengah-engah, tubuhnya penuh keringat. Dia mencoba duduk, menyadari bahwa dia kembali ke dunia nyata. Namun, pikirannya masih dipenuhi dengan gambaran sosok itu, dengan suara dan kata-katanya yang penuh misteri. “Zero…” Fabio berbisik, merasa bahwa pertemuan itu bukan sekadar mimpi, tetapi sesuatu yang lebih nyata dari apa yang dia bayangkan. “Siapa aku sebenarnya?” tanyanya pada dirinya sendiri, namun jawaban itu tetap tidak datang. Cahaya redup dari matahari pagi yang menyelinap melalui jendela kecil terasa menusuk mata Fabio. Perlahan, dia membuka matanya, kelopak yang berat seolah-olah telah tertutup selama berabad-abad. Pandangannya masih kabur, tetapi dia bisa melihat bayangan samar sebuah ruangan yang terasa asing. Bau antiseptik menyengat hidungnya, membuat kesadarannya perlahan kembali. Di sekitarnya, ada suara pelan kain pel yang digerakkan di lantai. Seorang petugas kebersihan sedang membersihkan ruangan itu, punggungnya membelakangi Fabio. Namun, Fabio tidak memperhatikan itu. Dia merasa linglung, tubuhnya berat, dan pikirannya seperti berenang dalam lautan kebingungan. "Di mana aku?" dia bergumam, suaranya serak dan hampir tidak terdengar. Suara kecil itu cukup untuk membuat petugas kebersihan terkejut. Wanita itu memutar tubuhnya dengan cepat, dan begitu melihat Fabio telah sadar, matanya melebar. "Dia bangun! Dia bangun!" serunya panik sebelum berlari ke luar ruangan tanpa menunggu respon Fabio. Fabio yang masih lemah mencoba bergerak, tetapi tubuhnya menolak bekerja sama. Rasa sakit yang tumpul menjalar di lengan dan kakinya, meskipun tidak seburuk yang dia duga. Sebelum dia bisa memahami situasi sepenuhnya, pintu ruangan terbuka lebar, dan seorang pria paruh baya dengan jas putih panjang masuk tergesa-gesa, diikuti oleh beberapa asisten. "Ah, kau akhirnya sadar," kata dokter itu sambil mendekat, matanya penuh perhatian. Dia membawa beberapa alat pemeriksaan, dan segera memulai pengecekan tubuh Fabio. Dokter itu tampak penuh konsentrasi, memeriksa denyut nadi, suhu tubuh, dan pupil mata Fabio. Setelah beberapa saat, dia menarik napas panjang, tampak lega. "Kau sudah pingsan selama lebih dari tiga minggu. Kami mulai khawatir kau tidak akan bangun." Fabio yang masih bingung hanya menatap pria itu. "Tiga minggu?" gumamnya, hampir tidak percaya. "Apa yang terjadi? Kenapa aku di sini?" Dokter melanjutkan pemeriksaannya dengan hati-hati. "Kau dibawa ke sini dalam keadaan yang sangat buruk," katanya sambil menatap Fabio dengan serius. "Aku perlu memeriksa ingatanmu dulu. Sebelum kau pingsan, apa kau ingat apa yang terjadi?" Fabio mencoba mengingat. Sosok Nyxaroth Primus, pertempuran sengit, dan... kehampaan yang dia alami di dalam mimpinya. Semua itu muncul di pikirannya. Dia mengangguk perlahan. "Aku ingat. Aku ingat pertempuran itu. Aku ingat Nyxaroth Primus. Dan... aku ingat sesuatu yang aneh setelahnya." Dokter mengamati ekspresi Fabio dengan cermat, memastikan dia tidak menunjukkan tanda-tanda kehilangan memori. "Bagus," katanya akhirnya. "Kau tidak kehilangan ingatanmu lagi. Itu kabar baik. Tapi aku masih harus menjelaskan sesuatu." Dokter mengambil kursi kecil di samping tempat tidur Fabio dan duduk dengan tenang. "Ketika kau pertama kali dibawa ke sini, keadaanmu sangat mengenaskan," dia memulai, nada suaranya berubah serius. "Tulang kaki kirimu patah di tiga tempat, dan tangan kananmu hampir remuk. Aku bahkan menyarankan kepada Putri Jinshi, Thalysa, dan Baizhu untuk mengamputasi kedua bagian itu. Tidak ada harapan lain pada saat itu." Fabio menelan ludah, mencoba mencerna informasi itu. "Tapi... aku masih punya kaki dan tangan..." Dokter mengangguk, tampak masih bingung dengan kejadian itu. "Ya. Itu karena mereka bertiga menolak dengan tegas. Mereka tidak mau menyerah. Aku tidak tahu bagaimana, tetapi tulang-tulangmu mulai sembuh sendiri dengan kecepatan yang tidak masuk akal. Apa yang seharusnya membutuhkan waktu tiga bulan atau lebih, hanya butuh beberapa minggu. Dan tidak hanya itu—luka-luka lain di tubuhmu juga pulih dengan sangat cepat. Aku tidak pernah melihat hal seperti ini sebelumnya." Fabio terdiam, matanya melayang ke tangannya sendiri, yang terasa normal meskipun ada sedikit nyeri saat dia mencoba menggerakkannya. "Bagaimana itu mungkin?" dia bertanya, lebih kepada dirinya sendiri. Dokter mengangkat bahu, tidak punya jawaban. "Itu adalah misteri yang bahkan aku tidak bisa jelaskan. Tetapi satu hal yang pasti, kau memiliki tubuh yang tidak biasa. Mungkin mereka benar saat tidak menyerah padamu." Setelah keheningan sesaat, Fabio akhirnya bertanya, "Bagaimana dengan mereka? Jinshi, Thalysa, Baizhu... apa mereka baik-baik saja?" Dokter tersenyum kecil. "Mereka bertiga baik-baik saja. Faktanya, aku akan menyuruh seseorang untuk memanggil mereka sekarang." Namun, sebelum dokter bisa melanjutkan, pintu ruangan terbuka dengan keras. Thalysa dan Jinshi masuk dengan tergesa-gesa, wajah mereka menunjukkan campuran antara kekhawatiran dan kelegaan yang mendalam. Begitu melihat Fabio sudah bangun, mereka berhenti sejenak, menatapnya dengan ekspresi tidak percaya. "Fabio!" seru Thalysa, langsung berlari dan memeluknya tanpa ragu. Jinshi yang mengikuti di belakangnya melakukan hal yang sama, memeluk Fabio dari sisi lain. Fabio membeku, tidak tahu bagaimana harus merespon. Tubuhnya terasa lemah, tetapi kehangatan yang ia rasakan dari pelukan mereka memberi semacam kenyamanan. Namun, dokter yang berada di ruangan itu tampak tidak senang. "Hei, hei!" seru dokter sambil bangkit dari kursinya. "Dia baru saja bangun! Tubuhnya masih lemah! Jangan memeluknya seperti itu!" Thalysa dan Jinshi langsung tersadar, mereka melepaskan pelukan mereka dengan tergesa-gesa, wajah mereka penuh penyesalan. "Maafkan kami, Dokter," kata Jinshi dengan nada lembut. "Kami hanya terlalu senang melihatnya bangun." Dokter menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. "Ya, aku mengerti, tetapi tolong, jangan lakukan itu lagi. Dia masih dalam masa pemulihan." Tepat ketika dokter selesai berbicara, pintu ruangan terbuka sekali lagi, kali ini lebih perlahan. Baizhu muncul, membawa keranjang buah-buahan segar. Wajahnya tetap serius seperti biasa, tetapi ada secercah kelegaan di matanya saat dia melihat Fabio sudah sadar. "Jadi kau akhirnya bangun," katanya singkat, menaruh keranjang buah di meja kecil di samping tempat tidur Fabio. Dokter yang merasa bahwa situasi kini terkendali menghela napas panjang. "Baiklah, aku akan meninggalkan kalian untuk berbicara. Jangan terlalu lama, dan jangan memaksanya berbicara terlalu banyak. Dia masih butuh istirahat." Setelah itu, dokter meninggalkan ruangan, meninggalkan Fabio bersama Jinshi, Thalysa, dan Baizhu. Fabio, yang merasa situasi sedikit lebih tenang, memandang mereka bertiga dengan rasa terima kasih. "Apa kalian bertiga baik-baik saja?" tanyanya, suaranya masih lemah. Thalysa tersenyum, meskipun matanya menunjukkan sedikit emosi. "Itu seharusnya pertanyaan kami," jawabnya lembut. "Kami baik-baik saja. Tapi kau..." Dia berhenti, menatap Fabio dengan tatapan lembut. "Kau membuat kami sangat khawatir, Fabio." Jinshi mengangguk setuju. "Ketika kami membawamu ke sini, keadaanmu sangat buruk. Kami benar-benar berpikir kau tidak akan selamat." Baizhu, meskipun tetap menjaga sikap dinginnya, akhirnya berkata, "Kau sangat beruntung, Fabio. Tapi jangan gunakan keberuntunganmu seperti ini lagi." Fabio hanya bisa tersenyum kecil, merasa bahwa, meskipun tubuhnya masih lemah, dia dikelilingi oleh orang-orang yang peduli padanya. Kehangatan dari perhatian mereka, meskipun kadang ditutupi oleh sikap keras, membuatnya merasa sedikit lebih kuat. Namun, di balik rasa syukurnya, pertanyaan yang lebih besar tetap menghantui pikirannya. Siapa dirinya sebenarnya? Dan bagaimana tubuhnya bisa pulih dengan cara yang begitu luar biasa?Satu minggu setelah Fabio dinyatakan pulih sepenuhnya, dia akhirnya bisa bergerak dengan normal. Luka-luka yang sebelumnya membuat tubuhnya tampak mustahil untuk pulih kini telah sembuh tanpa jejak, meninggalkan Fabio dengan pertanyaan yang belum terjawab tentang kekuatan misterius dalam dirinya. Namun, tidak ada waktu untuk merenung terlalu lama—pagi itu, seorang utusan kerajaan datang ke rumah sakit, menyampaikan pesan dari Putri Jinshi. Fabio dipanggil ke istana untuk sebuah audiensi penting.Thalysa, yang sedang menemani Fabio saat itu, memutuskan untuk ikut bersamanya. Tidak lama setelahnya, Baizhu juga bergabung, tampak lebih serius dari biasanya, meskipun ekspresinya tetap sulit ditebak.-Istana Thalos: Ruang Singgasana-Istana kerajaan Thalos berdiri megah di tengah ibu kota, sebuah bangunan yang memancarkan wibawa sekaligus keindahan. Pilar-pilar besar dari batu granit hitam menopang atap berlapis emas, sementara dindingnya dihiasi ukiran kuno yang menceritakan sejarah panjan
Ruang singgasana istana Thalos dipenuhi keheningan yang tegang. Jinshi, yang memimpin rapat kecil itu, berdiri di dekat singgasana dengan tangan terkepal di belakang punggungnya. Di depannya, Fabio, Thalysa, dan Baizhu berdiri dalam jarak yang tidak terlalu dekat. Wajah mereka menunjukkan emosi yang berbeda—Fabio dengan ekspresi serius namun tenang, Thalysa yang penuh tekad, dan Baizhu dengan kerutan tajam di dahinya."Fabio," Jinshi memulai, suaranya lembut namun tegas, "Aku ingin kau pergi ke Valtor dan menyusul ayahku, Kaito Akio V."Mata Fabio sedikit membesar mendengar perintah itu. "Menyusul ke Valtor?" tanyanya, nada suaranya penuh keheranan.Jinshi mengangguk. "Ayahku sedang dalam perjalanan diplomatik untuk memperbaiki hubungan dengan kerajaan itu. Tetapi situasi ini sangat sensitif, dan aku khawatir dia mungkin membutuhkan bantuan. Kau telah menunjukkan kekuatan yang luar biasa dalam pertempuran melawan Nyxaroth Primus. Aku percaya kau bisa melindungi ayahku jika sesuatu ter
Perjalanan Fabio dan Thalysa menuju Kerajaan Valtor baru memasuki hari kelima ketika mereka mencapai dataran terbuka yang dikenal sebagai Ashenfield. Matahari senja menyinari lanskap yang suram, menciptakan bayangan panjang di atas tanah abu-abu yang penuh dengan bekas luka bencana. Ashenfield adalah sisa-sisa kehancuran besar selama Cataclysmic Catastrophe, di mana api besar telah melalap kehidupan dan meninggalkan tanah yang penuh energi magis tak stabil. Namun, penduduk setempat yang tangguh berusaha keras menghidupkan kembali daerah ini dengan bercocok tanam, meskipun tanah masih menyimpan jejak kutukan.Fabio memperhatikan sekeliling dengan ekspresi netral, pandangannya menyapu reruntuhan dan ladang yang tak subur. Di sebelahnya, Thalysa menatap dengan penuh perhatian, memperhatikan penduduk yang tampak lelah namun tetap berusaha bekerja di bawah bayang-bayang kehancuran. Mereka memasuki desa kecil di tengah dataran itu, tempat asap tipis dari dapur-dapur kayu mengepul ke udara.
Penginapan kecil tempat Fabio dan Thalysa tinggal selama di Ashenfield tidak terlalu ramai pagi itu. Udara dingin dari luar terasa menusuk, tetapi kehangatan dari api di perapian ruangan utama penginapan membuat suasana sedikit lebih nyaman. Fabio duduk di salah satu kursi dekat jendela, pandangannya terpaku pada jalanan yang mulai sibuk dengan penduduk setempat. Di sampingnya, Thalysa berdiri dengan tangan terlipat, wajahnya menunjukkan ekspresi tidak puas setelah mendengar rencana yang diusulkan Fabio."Kita tidak membutuhkan bantuan," ujar Thalysa dengan nada tegas. "Kita bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Lagipula, Ashenfield hanyalah sebuah daerah kecil. Aku yakin ini bukan prioritas tinggi bagi kerajaan."Fabio menghela napas, menoleh ke arahnya. "Thalysa, aku tahu kau percaya pada kemampuan kita, tapi ini bukan tentang seberapa kuat atau cerdas kita. Ini tentang skala masalahnya. Jika kita gagal di sini, dampaknya bisa lebih besar dari yang kau bayangkan."Thalysa mengerut
Fabio memulai penyelidikannya dengan hati-hati. Sejak tiba di Ashenfield, ada sesuatu yang tidak beres—rakyat tampak murung, pembicaraan mereka berbisik, dan kehadiran para prajurit lokal terasa mengintimidasi. Setelah mendengar desas-desus di sekitar penginapan, Fabio berhasil mendapatkan informasi bahwa tiga bangsawan di wilayah ini memainkan peran penting dalam situasi buruk Ashenfield.Ketiganya memiliki reputasi yang berbeda di mata masyarakat, tetapi kesamaan mereka adalah kuasa mereka yang besar dan jejak kecurigaan yang membayangi. Nama-nama mereka: Lord Gregor Ashbourne, Baron Alaric Whitmore, dan Duke Cedric Ravenshade.Lord Gregor AshbournePeran: Sang manipulator, Gregor adalah dalang di balik upaya menyebarkan konspirasi antara masyarakat Ashenfield dan bangsawan lainnya. Dia menggunakan retorika dan propaganda untuk menciptakan ketidakpercayaan di antara mereka, memperburuk hubungan antar kelas sosial.Ciri Khas: Gregor adalah pria dengan wajah ramah, tetapi matanya taja
Malam masih pekat saat Fabio melompat keluar dari jendela mansion, meninggalkan suara teriakan prajurit dan dentingan logam di belakangnya. Udara dingin menghantam wajahnya, tetapi itu lebih baik daripada bilah tombak yang hampir menyentuh punggungnya. Dia mendarat di tanah dengan ringan, tubuhnya bergerak tanpa ragu ke arah hutan yang gelap, tempat bayangan sang assassin telah menghilang."Aku harus menangkapnya," pikir Fabio, langkah kakinya semakin cepat di atas dedaunan basah. Dia tahu, jika gagal menangkap pembunuh itu, dia akan kehilangan satu-satunya kesempatan untuk membersihkan namanya.Hutan di malam hari adalah labirin tanpa ujung. Pohon-pohon besar menjulang seperti dinding gelap, dan hanya sinar rembulan yang menembus sela-sela dedaunan memberikan sedikit penerangan. Fabio menghentikan langkahnya sejenak, telinganya tajam menangkap setiap suara.“Kau tidak bisa jauh,” gumam Fabio pelan, suaranya hampir tak terdengar. Tangannya menggenggam Khopesh erat, senjata itu memanca
Langit kelabu menggantung di atas kota yang dipenuhi debu, rumah-rumah dengan dinding retak berdiri seperti saksi bisu atas sejarah panjang yang telah dilupakan oleh mereka yang berkuasa. Kisah ini bukan tentang seorang pahlawan yang bangkit untuk menyelamatkan dunia, bukan juga tentang seorang yang ditakdirkan menjadi cahaya dalam kegelapan. Ini adalah kisah yang diturunkan dari generasi ke generasi, kisah tentang seorang anak petani miskin yang bermimpi mengangkat derajat keluarganya—dan bagaimana dunia menghancurkannya dengan kebrutalan yang tak terbayangkan, Ini adalah kisah yang diceritakan turun temurun. Sejak kecil, ia selalu melihat ayahnya membungkuk di ladang, bekerja tanpa henti untuk mendapatkan segenggam gandum demi memberi makan keluarganya. Ibunya menjahit pakaian dengan tangan kasar yang penuh luka, sementara adik-adiknya menangis kelaparan di sudut gubuk reyot yang mereka sebut rumah. Hidup dalam kemiskinan bukanlah pilihan, tetapi sebuah warisan yang dipaksakan ole
Kebencian adalah benih yang tumbuh dalam keheningan, perlahan merayap seperti akar yang mencengkeram tanah, menolak untuk dilepaskan. Sang Protagonis, yang dulunya hanyalah seorang anak petani miskin dengan harapan sederhana, kini telah berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih kelam. Tidak ada lagi sisa dari pria yang pernah bermimpi menjadi prajurit kerajaan, yang percaya bahwa kehormatan dan keadilan masih memiliki tempat di dunia ini. Kerajaan telah menghancurkannya, menginjak-injak tubuh dan jiwanya hingga yang tersisa hanyalah kehampaan. Dari kehampaan itu, lahirlah sesuatu yang baru—kehendak untuk menghancurkan mereka yang pernah menghancurkannya. Ia berjalan dari desa ke desa, berbicara dalam bisikan, menyebarkan kebencian yang telah lama ada di hati rakyat tetapi selalu ditekan oleh ketakutan. Ia menceritakan kisahnya, bukan dengan air mata, tetapi dengan api yang membara di dalam matanya. Ia menunjukkan bekas luka di tubuhnya, membiarkan mereka melihat bukti nyata dari kebr
Angin panas berhembus perlahan melewati jendela kayu penginapan yang menghadap ke arah selatan kota Ebonhold. Saat matahari tergelincir pelan di atas cakrawala berwarna tembaga, Fabio duduk di kursi tua, membuka lembar demi lembar gulungan peta dan dokumen yang mereka temukan selama perjalanan. Thalysa, duduk tak jauh darinya, menyandarkan dagu di atas tangannya, matanya menyusuri garis-garis lengkung pada peta yang menggambarkan benua yang sedang mereka tapaki—Benua Iblis, tanah yang telah lama hanya disebut-sebut dalam cerita buruk dan bisikan tak berani. Malam itu tidak diisi dengan pembicaraan tentang bahaya atau kematian, melainkan percakapan pelan yang penuh dengan rasa ingin tahu. Mereka tidak sedang bersiap untuk perang atau ritual, tetapi mencoba memahami tanah tempat mereka kini berdiri.Dengan luas mencapai 9,2 juta kilometer persegi, Benua Iblis hampir menyamai ukuran Benua Utama, rumah bagi Thalos, Valtor, dan berbagai peradaban besar lainnya yang telah berdiri sejak zama
Kapal udara melayang rendah, melintasi langit kelam yang mendominasi Benua Iblis. Angin dingin menerpa lambung kapal, membawa serta aroma besi dan tanah basah yang menguap dari permukaan di bawah. Dari kejauhan, Fabio dan Thalysa dapat melihat daratan hitam yang membentang luas, sebuah dunia yang seolah telah mati sejak lama. Tak ada kehijauan, hanya hamparan reruntuhan yang terbengkalai, seakan-akan sisa-sisa dari sebuah peradaban yang pernah ada namun kini hanya menjadi kenangan samar yang terkubur di bawah abu dan debu.Di tengah pemandangan yang begitu suram, ada satu titik cahaya yang menarik perhatian mereka—sebuah kota yang dikelilingi dinding tinggi, berdiri kokoh di antara kehancuran yang meliputi tanah ini. Lentera sihir berpendar redup di sepanjang jalan utama, memberikan sedikit penerangan di kegelapan yang abadi. Fabio mempersempit pandangannya. Kota ini terlihat seperti tempat perlindungan, tetapi tidak ada tempat di dunia ini yang benar-benar aman."Ebonhold," gumam Tha
Di bawah langit yang kelam dan tanah yang masih berbau abu, seorang pemuda berdiri di tengah reruntuhan yang dulunya adalah desanya. Bangunan-bangunan yang dulu penuh kehidupan kini hanyalah puing-puing yang berserakan. Udara masih menyisakan jejak kehancuran, dan setiap langkah yang ia ambil membawa suara kayu rapuh yang patah di bawah kakinya. Namun, meskipun dunia di sekitarnya hancur, matanya tidak memancarkan keputusasaan. Tangan pemuda itu menggenggam erat sekop tua yang ia temukan di antara reruntuhan. Ia menarik napas dalam, menatap tanah yang porak-poranda di hadapannya. "Aku akan membangun kembali desa ini," gumamnya, suaranya hampir seperti janji yang diucapkan kepada dirinya sendiri. Hari pertama adalah yang paling sulit. Ia mulai membersihkan puing-puing, satu demi satu, meskipun tubuhnya masih penuh luka akibat perang yang baru saja berlalu. Setiap kali ia mencoba mengangkat kayu besar atau memindahkan batu bata yang hancur, tubuhnya berteriak kesakitan. Tapi ia ti
Di sebuah kamar penginapan kecil, di bawah cahaya redup lilin yang hampir habis, seorang pria duduk di depan meja kayu tua. Tangannya bergerak perlahan, pena yang dipegangnya menari di atas selembar kertas kosong. Udara malam menyelinap masuk melalui jendela yang terbuka sedikit, membawa aroma laut yang asin dan suara langkah kaki samar dari jalanan di luar.Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, ia menulis surat. "Aku tiba di kota ini menjelang senja. Jalanan sempitnya dipenuhi cahaya lentera yang menggantung di depan rumah-rumah kayu, menari pelan dihembus angin. Ada sesuatu tentang kota ini yang mengingatkanku padamu—mungkin caranya menyimpan kehangatan di tengah udara yang dingin, atau mungkin karena suara riuh pasar malamnya mengingatkanku pada tawamu yang pernah memenuhi hariku."Ia berhenti sejenak, menatap kata-kata yang baru saja ia tulis. Di sebelahnya, bertumpuk lembaran-lembaran kertas lain—surat-surat yang tak pernah dikirimkan. Setiap kota yang ia singgahi, setiap
Langit senja menggantung rendah di ufuk barat, menyelimuti desa kecil ini dengan semburat jingga yang hangat. Udara sore terasa lembut, membawa serta aroma tanah yang masih lembap setelah hujan siang tadi. Angin bertiup pelan, menggoyangkan dedaunan di sepanjang jalan berbatu yang kulewati. Aku berhenti sejenak, menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam warung kecil di sudut desa. Tempat ini tidak banyak berubah—meja-meja kayu sederhana, aroma masakan yang menggugah selera, dan suara orang-orang yang bercakap santai.Dan di sana, berdiri seorang gadis yang kukenal. Senyumnya masih sama. Hangat, menenangkan, dan… selalu berhasil membangkitkan sesuatu di dalam diriku yang sudah lama hilang."Wah, masakanmu enak dek," ucapku dengan nada ceria, berusaha menahan sesuatu yang perlahan mulai menggenang di dalam dadaku. Aku melahap cemilan yang ia buat dengan lahap, seolah rasa itu adalah sesuatu yang sudah lama kurindukan."Duh, makasih loh mas," jawabnya dengan se
Seorang anak manusia lahir di dunia yang penuh kebohongan. Ia tumbuh tanpa mengetahui apa itu kasih sayang, tanpa memahami makna kelembutan. Setiap hari yang ia jalani bukanlah lembaran baru yang penuh harapan, melainkan kelanjutan dari penderitaan yang tak kunjung usai. Sejak kecil, ia melihat bagaimana manusia saling menghancurkan, bagaimana mereka tersenyum di depan tetapi menusuk dari belakang, bagaimana kebaikan hanyalah topeng untuk menutupi niat busuk yang mengendap dalam jiwa mereka. Anak itu tidak pernah tahu seperti apa rasanya dipeluk dengan tulus. Tidak pernah ada tangan yang menepuk kepalanya dengan lembut, tidak pernah ada suara yang mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Yang ia tahu hanyalah kelaparan, dingin, dan suara-suara kasar yang terus membentaknya, memberitahunya bahwa ia tidak diinginkan, bahwa ia tidak pernah seharusnya ada. Setiap malam, ia tidur dalam gelap, bukan karena lampu dipadamkan, tetapi karena kegelapan adalah satu-satunya teman yang tida
Malam terakhir di Valtor terasa lebih sunyi dari biasanya. Fabio dan Thalysa duduk di atas menara tertinggi di kota, menatap laut yang gelap dan tak berujung di kejauhan. Angin dingin membawa suara ombak yang menghantam tebing-tebing batu, menciptakan irama yang tak beraturan, seolah-olah lautan itu sendiri berbisik tentang sesuatu yang tidak bisa dipahami manusia. Lampu-lampu di kota perlahan mulai redup, meninggalkan hanya bintang-bintang yang terpantul samar di permukaan air yang hitam pekat.Thalysa menarik napas dalam-dalam sebelum bertanya, “Apa yang kita cari di sana, Fabio? Apakah hanya jawaban tentang Abyssal, atau lebih dari itu?” Suaranya lembut, tetapi ada kegelisahan yang jelas di dalamnya. Perjalanan mereka bukan sekadar ekspedisi biasa. Ini adalah langkah menuju sesuatu yang bahkan mereka sendiri tidak sepenuhnya pahami.Fabio tetap diam untuk waktu yang lama, hanya menatap cakrawala kosong tanpa ekspresi. Kemudian, akhirnya, ia menjawab dengan suara rendah, “Aku tidak
Setelah ritual berakhir, suasana dalam kuil masih terasa berat. Para Saint dan Septentrion menundukkan kepala saat Fabio, Thalysa, dan Kaito Akio V berjalan keluar dari Ruang Penghakiman. Hanya suara langkah kaki mereka yang menggema di lorong batu, seolah udara di dalam kuil pun menahan napas. Fabio masih diam, tidak berbicara sepatah kata pun sejak jawaban dari Sang Penghakim menggantung di udara. Matanya kosong, tatapannya menembus lantai tanpa benar-benar melihatnya. Seolah pikirannya masih terperangkap di dalam lingkaran ritual yang kini sudah padam.Thalysa mencuri pandang ke arahnya beberapa kali, ingin bertanya sesuatu tetapi tidak yakin bagaimana cara memulainya. Ini bukan pertama kalinya Fabio tenggelam dalam pikirannya sendiri, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Biasanya, dia hanya bersikap acuh, tetapi sekarang... ada sesuatu yang lain. Seakan ia sedang berada di antara dua dunia, berdiri di perbatasan antara masa lalu dan masa depan, tetapi tidak bisa melangkah ke sa
Saat ritual berlangsung, semua orang melihat Fabio hanya berdiri diam di tengah lingkaran tanpa ekspresi. Tidak ada reaksi apa pun. Tidak ada rasa sakit, tidak ada ketegangan yang terlihat di wajahnya. Namun, di dalam kesadarannya, ia tidak berada di ruangan itu lagi.Dunia di sekelilingnya telah berubah menjadi tempat yang tidak nyata—sebuah hamparan kosong yang dipenuhi cahaya pucat yang berkedip-kedip seperti lilin yang hampir padam. Udara di sekelilingnya terasa berat, seperti ribuan suara bisikan yang tak terdengar memenuhi ruang hampa ini. Fabio melangkah perlahan, tetapi tidak ada gema, tidak ada suara dari langkah kakinya. Seolah dunia ini sendiri menolak keberadaannya.Dari kegelapan yang tak berujung, seseorang muncul. Tidak seperti pertemuan pertamanya, sosok ini bukan lagi bayangan hitam tanpa bentuk. Kini, sosok itu memiliki wajah yang sama dengan Fabio, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Matanya lebih dalam, lebih tua, seolah membawa beban yang tak terhitung. Pakaian yang i