Home / Fantasi / Zero: Forgotten Lost (INDONESIA) / Volume 1 Chapter 2: Konflik Kakak Adik

Share

Volume 1 Chapter 2: Konflik Kakak Adik

Author: Zeetsensei
last update Last Updated: 2024-12-16 21:53:07

Saat mereka berjalan lebih dalam ke ibu kota, suasana yang tenang dan penuh harmoni tiba-tiba terpecah oleh suara langkah cepat yang menghampiri. Seorang prajurit kerajaan, mengenakan pelindung tubuh dan membawa senjata, datang dengan tergesa-gesa. Wajahnya tampak tegang, matanya tidak bisa menutupi kecemasan yang mendalam.

"Komandan Baizhu!" prajurit itu berkata dengan nada terburu-buru, berhenti di depan Baizhu. "Ada masalah di hutan, tempat kita menemukan pria itu. Kami menemukan jejak-jejak aneh dan beberapa makhluk tak dikenal. Kami membutuhkan bantuan segera."

Baizhu segera mengerutkan alis, ekspresinya langsung berubah serius. "Apa maksudmu dengan 'makhluk tak dikenal'? Kami baru saja meninggalkan tempat itu, tidak ada yang bisa melacak ke sana dalam waktu singkat."

Namun, prajurit itu menggelengkan kepala. "Kami menemukannya hanya beberapa jam setelah pertemuan itu, dan jejaknya sangat aneh. Tidak seperti makhluk biasa. Kami khawatir jika ada bahaya lebih besar yang mendekat."

Baizhu tampak ragu sejenak, menatap ke arah Fabio, yang masih berjalan dengan Thalysa. Fabio bisa merasakan ketegangan di udara—Baizhu jelas tidak ingin meninggalkan dirinya begitu saja, apalagi setelah mereka menemukan satu-satunya orang yang selamat dari pertarungan dengan Nyxaroth. Namun, tanggung jawab terhadap pasukannya jelas lebih mendesak.

Thalysa yang berdiri di samping Fabio, menatap dengan tenang, seolah mengetahui apa yang akan terjadi berikutnya. "Baizhu, aku rasa tidak perlu ikut campur. Biarkan mereka yang ahli menangani masalah di hutan itu."

Baizhu berbalik, sedikit kaget dengan kata-kata Thalysa. "Aku tidak bisa meninggalkan keadaan yang tidak pasti begitu saja. Makhluk-makhluk itu bisa berbahaya. Kita harus memastikan semuanya aman."

Thalysa menatap Baizhu dengan senyum tipis di wajahnya, yang terlihat seperti sebuah kemenangan yang sudah dia rencanakan sejak awal. "Kau akan kembali ke markas, bukan? Di sana, mereka membutuhkan komando dan bantuanmu." Suaranya lembut, namun penuh penekanan. "Tidak ada yang bisa kau lakukan di sini, selain memastikan tempat ini tetap aman. Aku akan menemani Fabio berkeliling ibu kota. Aku bisa mengurusnya dengan baik."

Baizhu menatap kakaknya, matanya bergetar dengan ketegangan. "Aku tidak bisa begitu saja meninggalkan... Baiklah, jika itu yang kau inginkan." Suara Baizhu terdengar sedikit tertekan, seolah merasa dipaksa untuk menerima kenyataan.

Thalysa, dengan sikap yang penuh ketenangan dan dominasi, mendekat ke Baizhu dan menepuk bahunya dengan lembut. "Kau tahu, Baizhu, terkadang kepercayaan itu datang dengan cara yang berbeda. Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi pada Fabio. Kau bisa percaya padaku."

Baizhu menghela napas panjang, merasa seolah-olah ia tidak punya pilihan lain. “Kau menang kali ini, kakak.”

Dengan pandangan penuh kekesalan namun tak berdaya, Baizhu memberi isyarat kepada pasukannya untuk bersiap. "Aku akan pergi ke markas sekarang. Tapi pastikan dia tidak berada dalam bahaya, Thalysa," katanya dengan nada yang lebih lembut, meskipun ada sedikit keengganan.

Thalysa mengangguk, seolah-olah sudah tahu bahwa ini adalah hasil yang akan didapatkan. "Tentu, Baizhu. Pergilah, dan jagalah orang-orangmu."

Baizhu berpaling, wajahnya menunjukkan ekspresi kalah yang jarang ia tunjukkan, dan segera melangkah meninggalkan tempat itu dengan pasukannya.

Setelah Baizhu pergi, Thalysa menoleh ke arah Fabio dengan senyum kecil di wajahnya, seolah-olah merayakan kemenangan kecil. "Baizhu selalu begitu keras kepala, tetapi aku tahu cara untuk mempengaruhinya. Sekarang, kita bisa berkeliling lebih lama tanpa gangguan."

Fabio yang merasa sedikit terkejut dengan interaksi antara saudara itu, hanya bisa mengangguk pelan. "Jadi... kamu benar-benar bisa membuatnya mundur begitu saja?"

Thalysa tertawa kecil, nadanya penuh dengan kebijaksanaan dan kekuatan. "Terkadang, kekuatan bukan hanya tentang memaksakan kehendak. Itu tentang memahami orang yang ada di sekitarmu. Baizhu terlalu keras kepala untuk tahu kapan harus mundur, tapi aku tahu cara untuk membuatnya merasa aman."

Fabio tidak bisa menahan rasa kagumnya terhadap wanita ini, yang jelas memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap Baizhu, meskipun mereka berdua tampaknya sangat berbeda. Thalysa tersenyum tipis, menuntun langkah Fabio lebih jauh ke jalan yang lebih luas, yang mengarah ke bagian-bagian ibu kota yang belum ia lihat.

"Sudah waktunya untuk melihat lebih dalam tentang dunia ini, Fabio. Kerajaan Thalos bukan hanya benteng dan sihir. Ada lebih banyak yang bisa kau pelajari di sini."

Dengan langkah pasti, Thalysa melangkah lebih jauh, dan Fabio, meskipun masih kebingungan dan penuh pertanyaan, mengikuti di belakangnya, siap untuk menggali lebih dalam lagi rahasia-rahasia yang tersimpan di balik tembok-tembok kerajaan yang besar ini.

Setelah Baizhu pergi dengan pasukannya, Thalysa melirik Fabio dengan senyum tipis yang mengisyaratkan bahwa hari ini akan menjadi petualangan yang berbeda. "Sekarang, kita bisa menikmati suasana kota tanpa gangguan. Aku akan menunjukkan padamu lebih banyak tentang Thalos—tentang kehidupan di sini, di luar semua masalah besar yang kita hadapi."

Fabio mengangguk, merasa sedikit lebih lega setelah perdebatan antara Thalysa dan Baizhu. Meskipun dunia ini asing baginya, setidaknya sekarang dia bisa mulai melihat kehidupan sehari-hari yang berlanjut, meski dunia di luar ibu kota ini penuh dengan ancaman dan kekacauan.

Thalysa melangkah dengan langkah ringan, membimbing Fabio melalui jalan-jalan kota yang ramai. Ibu kota Thalos dipenuhi dengan jalan-jalan yang luas dan trotoar berbatu yang tertata rapi. Bangunan-bangunan tinggi, sebagian besar terbuat dari batu hitam dan granit, berderet di kedua sisi jalan, menandakan kekuatan kerajaan yang telah bertahan lama. Namun, meskipun kerajaan ini diliputi sejarah kelam, ada kehidupan yang berjalan dengan alami—kehidupan yang berfokus pada kelangsungan dan pemulihan.

Thalysa berhenti di sebuah kios makanan kecil yang ramai. Dari dalam kios, aroma harum berbagai hidangan menggoda hidung Fabio—terutama bau roti panggang yang baru keluar dari oven dan daging bakar yang menggelegar. Di sekitar kios, banyak orang berkumpul, menikmati makanan sambil bercakap-cakap dengan penuh keakraban.

"Ini adalah salah satu tempat favoritku," kata Thalysa, melirik Fabio dengan senyum lembut. "Di sini, makanan sederhana bisa terasa begitu istimewa. Di tengah dunia yang hancur, ini adalah cara orang-orang di Thalos merayakan kehidupan mereka."

Thalysa memesan beberapa potong roti panggang yang disajikan dengan daging bakar dan saus berwarna merah pekat. Fabio, yang masih terkejut dengan keramahan tempat ini, mengikuti Thalysa dan menerima hidangan yang ditawarkan padanya.

Fabio memandang makanan itu dengan rasa ingin tahu, lalu mengambil sepotong kecil roti. Begitu menggigitnya, rasa gurih dan lezat langsung memenuhi mulutnya. "Ini... luar biasa," katanya tanpa bisa menahan kekagumannya.

Thalysa tertawa lembut, menikmati ekspresi Fabio yang terkesan. "Bahkan di tengah semua kehancuran, orang-orang di Thalos tahu bagaimana menghargai hal-hal sederhana yang tetap bisa membuat kita bahagia," kata Thalysa sambil menggigit sepotong roti. "Makanan ini adalah salah satu dari banyak hal yang membuat kota ini terasa hidup."

Mereka melanjutkan perjalanan mereka, berkeliling lebih jauh lagi, dan Fabio mulai merasakan suasana kota yang tak terduga. Dari kios makanan ke pasar yang lebih besar, di mana pedagang menawarkan barang-barang langka seperti rempah-rempah dan kain berwarna-warni. Beberapa pedagang menggunakan sihir untuk menunjukkan kekuatan produk mereka—seperti seorang pedagang kain yang dengan mudah memanipulasi sutra halus dengan sihir angin untuk menunjukkan betapa ringan dan kuatnya kain tersebut. Fabio terkagum-kagum, tidak hanya oleh keterampilan mereka dalam berbisnis, tetapi juga bagaimana sihir telah menyatu begitu alami dalam kehidupan sehari-hari.

"Ini benar-benar mengagumkan," ujar Fabio, matanya mengikuti gerakan pedagang kain yang memanipulasi kain dengan angin.

Thalysa mengangguk. "Sihir seperti itu digunakan oleh banyak orang untuk kehidupan sehari-hari mereka—untuk pertanian, perdagangan, dan bahkan seni. Tapi juga ada sisi gelapnya, seperti yang kita lihat di hutan beberapa waktu lalu. Tidak semua orang menggunakan sihir dengan cara yang baik."

Mereka berlanjut ke bagian lain dari kota yang lebih tenang, di mana taman-taman hijau yang luas memberikan ruang bagi warga untuk bersantai dan menikmati udara segar. Anak-anak sedang bermain di sekitar pohon-pohon besar, sementara beberapa orang tua duduk di bangku menikmati pemandangan.

"Kehidupan seperti ini adalah apa yang kami coba pertahankan di Thalos," Thalysa melanjutkan. "Kami tahu bahwa meskipun dunia luar penuh bahaya, di sini, kami mencoba menjaga ketenangan dan kedamaian. Kami berusaha menjaga keseimbangan."

Fabio mengangguk pelan, meresapi kata-kata Thalysa. Dalam perjalanan singkat ini, dia mulai melihat lebih banyak sisi dari kerajaan yang terlupakan oleh banyak orang. Meskipun berada di tengah kehancuran dunia, Thalos tampak sebagai tempat yang berusaha menemukan kembali arti dari kehidupan—dengan cara-cara sederhana, namun penuh harapan.

"Terima kasih telah mengajakku berkeliling," kata Fabio setelah beberapa saat, merasa lebih terhubung dengan tempat ini, meskipun dia tahu sedikit tentang apa yang sebenarnya terjadi di luar tembok-tembok ini. "Ini... lebih indah dari yang kukira."

Thalysa tersenyum, matanya berbinar dengan rasa bangga terhadap kota ini. "Tentu saja. Thalos adalah tempat yang luar biasa. Namun, seperti segala sesuatu di dunia ini, ia juga penuh dengan rahasia dan ancaman yang tersembunyi. Kita hanya perlu tahu di mana mencari."

Dengan langkah ringan, mereka melanjutkan perjalanan mereka melalui ibu kota yang indah ini, menikmati kedamaian yang sementara, namun penuh dengan misteri yang masih harus dipecahkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 1 Chapter 3: Nyxaroth Primus

    Saat Thalysa dan Fabio berjalan lebih dalam melalui ibu kota, menikmati keindahan dan kehidupan sehari-hari yang penuh harapan, udara yang seharusnya tenang mendadak berubah. Sebuah ledakan besar mengguncang tanah, menggoyahkan bangunan-bangunan di sekitar mereka, dan membuat jalanan yang semula damai menjadi hening sesaat. Tanah bergetar dengan kekuatan yang tak terbayangkan, dan suara dentuman itu menggema melalui udara, merobek keheningan kota. Orang-orang di sekitar mereka langsung panik, berlarian mencari perlindungan. Fabio berhenti sejenak, tubuhnya tegang. Mata Thalysa terfokus ke arah utara, ke arah hutan yang terletak di luar benteng—tempat mereka sebelumnya menemukan sisa-sisa pertempuran melawan Nyxaroth. Sebuah rasa yang tak bisa dijelaskan merayap di dalam dirinya, mengingatkan pada perasaan aneh yang selalu menyelimuti tubuhnya sejak pertama kali ia terbangun di dunia ini. "Thalysa, apa itu?" tanya Fabio, suara penuh kecemasan. "Aku rasa itu dari hutan," jawab Thalysa

    Last Updated : 2024-12-17
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 1 Chapter 4: Kebenaran

    Malam yang mencekam menyelimuti hutan, dan udara terasa lebih berat dengan setiap langkah mereka. Keempatnya melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, berusaha mengidentifikasi sumber ledakan yang telah mengguncang benteng beberapa waktu lalu. Namun, meskipun mereka semakin dekat, ada ketegangan yang mengalir di antara mereka—sebuah perasaan bahwa bahaya sudah terlalu dekat. Di kejauhan, sesuatu bergerak dengan cepat, melintasi kabut yang mulai turun di antara pohon-pohon tinggi. Tiba-tiba, sebuah teriakan keras, disusul oleh dentuman keras, mengguncang tanah di bawah kaki mereka. Sebelum mereka bisa bereaksi, makhluk itu muncul. Nyxaroth Primus, sosok raksasa yang mengerikan, muncul dari balik bayang-bayang, wajahnya penuh dengan amarah dan kebencian yang terakumulasi selama berabad-abad. Tubuhnya besar, berkilau dengan cahaya merah yang memancar dari dalam tubuhnya, seolah menyatu dengan kegelapan yang menyelimuti hutan. Dengan gerakan yang tidak bisa dihindari, ia melompat ke arah

    Last Updated : 2024-12-17
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 0: Zero

    Rasa dingin menyelimuti tubuh Fabio, membangunkannya dari kegelapan yang tampak abadi. Namun, ini bukan kebangkitan seperti biasa. Tidak ada tanah di bawah kakinya, tidak ada langit di atasnya—hanya kehampaan yang tak terhingga, sebuah dunia yang tidak bisa dijelaskan dengan logika atau imajinasi. Segalanya terasa tidak nyata, namun begitu jelas di depan matanya.Di tengah kehampaan itu, berdiri sosok yang pernah dilihatnya sebelumnya, namun kali ini dengan penampilan yang berbeda. Tubuh sosok itu hitam pekat seperti malam tanpa bintang, tetapi dihiasi pola galaksi yang berpendar lembut, menciptakan kontras antara kegelapan dan keindahan yang tidak bisa dijelaskan. Pola itu bergerak perlahan, seperti nebula yang melayang di angkasa, memberi kesan kehidupan yang tak terbatas sekaligus kesunyian yang mendalam.Matanya bersinar seperti supernova—cahaya putih yang menusuk, seolah menembus segala hal. Rambut panjangnya melayang perlahan, seperti berada dalam gravitasi nol, berganti warna d

    Last Updated : 2024-12-18
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 1: Kerajaan Valtor

    Satu minggu setelah Fabio dinyatakan pulih sepenuhnya, dia akhirnya bisa bergerak dengan normal. Luka-luka yang sebelumnya membuat tubuhnya tampak mustahil untuk pulih kini telah sembuh tanpa jejak, meninggalkan Fabio dengan pertanyaan yang belum terjawab tentang kekuatan misterius dalam dirinya. Namun, tidak ada waktu untuk merenung terlalu lama—pagi itu, seorang utusan kerajaan datang ke rumah sakit, menyampaikan pesan dari Putri Jinshi. Fabio dipanggil ke istana untuk sebuah audiensi penting.Thalysa, yang sedang menemani Fabio saat itu, memutuskan untuk ikut bersamanya. Tidak lama setelahnya, Baizhu juga bergabung, tampak lebih serius dari biasanya, meskipun ekspresinya tetap sulit ditebak.-Istana Thalos: Ruang Singgasana-Istana kerajaan Thalos berdiri megah di tengah ibu kota, sebuah bangunan yang memancarkan wibawa sekaligus keindahan. Pilar-pilar besar dari batu granit hitam menopang atap berlapis emas, sementara dindingnya dihiasi ukiran kuno yang menceritakan sejarah panjan

    Last Updated : 2024-12-18
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 2: Misi dan Ramalan

    Ruang singgasana istana Thalos dipenuhi keheningan yang tegang. Jinshi, yang memimpin rapat kecil itu, berdiri di dekat singgasana dengan tangan terkepal di belakang punggungnya. Di depannya, Fabio, Thalysa, dan Baizhu berdiri dalam jarak yang tidak terlalu dekat. Wajah mereka menunjukkan emosi yang berbeda—Fabio dengan ekspresi serius namun tenang, Thalysa yang penuh tekad, dan Baizhu dengan kerutan tajam di dahinya."Fabio," Jinshi memulai, suaranya lembut namun tegas, "Aku ingin kau pergi ke Valtor dan menyusul ayahku, Kaito Akio V."Mata Fabio sedikit membesar mendengar perintah itu. "Menyusul ke Valtor?" tanyanya, nada suaranya penuh keheranan.Jinshi mengangguk. "Ayahku sedang dalam perjalanan diplomatik untuk memperbaiki hubungan dengan kerajaan itu. Tetapi situasi ini sangat sensitif, dan aku khawatir dia mungkin membutuhkan bantuan. Kau telah menunjukkan kekuatan yang luar biasa dalam pertempuran melawan Nyxaroth Primus. Aku percaya kau bisa melindungi ayahku jika sesuatu ter

    Last Updated : 2024-12-21
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 3: Konflik di Ashenfield

    Perjalanan Fabio dan Thalysa menuju Kerajaan Valtor baru memasuki hari kelima ketika mereka mencapai dataran terbuka yang dikenal sebagai Ashenfield. Matahari senja menyinari lanskap yang suram, menciptakan bayangan panjang di atas tanah abu-abu yang penuh dengan bekas luka bencana. Ashenfield adalah sisa-sisa kehancuran besar selama Cataclysmic Catastrophe, di mana api besar telah melalap kehidupan dan meninggalkan tanah yang penuh energi magis tak stabil. Namun, penduduk setempat yang tangguh berusaha keras menghidupkan kembali daerah ini dengan bercocok tanam, meskipun tanah masih menyimpan jejak kutukan.Fabio memperhatikan sekeliling dengan ekspresi netral, pandangannya menyapu reruntuhan dan ladang yang tak subur. Di sebelahnya, Thalysa menatap dengan penuh perhatian, memperhatikan penduduk yang tampak lelah namun tetap berusaha bekerja di bawah bayang-bayang kehancuran. Mereka memasuki desa kecil di tengah dataran itu, tempat asap tipis dari dapur-dapur kayu mengepul ke udara.

    Last Updated : 2024-12-23
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 4: Penyelidikan dan Surat

    Penginapan kecil tempat Fabio dan Thalysa tinggal selama di Ashenfield tidak terlalu ramai pagi itu. Udara dingin dari luar terasa menusuk, tetapi kehangatan dari api di perapian ruangan utama penginapan membuat suasana sedikit lebih nyaman. Fabio duduk di salah satu kursi dekat jendela, pandangannya terpaku pada jalanan yang mulai sibuk dengan penduduk setempat. Di sampingnya, Thalysa berdiri dengan tangan terlipat, wajahnya menunjukkan ekspresi tidak puas setelah mendengar rencana yang diusulkan Fabio."Kita tidak membutuhkan bantuan," ujar Thalysa dengan nada tegas. "Kita bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Lagipula, Ashenfield hanyalah sebuah daerah kecil. Aku yakin ini bukan prioritas tinggi bagi kerajaan."Fabio menghela napas, menoleh ke arahnya. "Thalysa, aku tahu kau percaya pada kemampuan kita, tapi ini bukan tentang seberapa kuat atau cerdas kita. Ini tentang skala masalahnya. Jika kita gagal di sini, dampaknya bisa lebih besar dari yang kau bayangkan."Thalysa mengerut

    Last Updated : 2024-12-26
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 5: Jejak Konspirasi Ashenfield

    Fabio memulai penyelidikannya dengan hati-hati. Sejak tiba di Ashenfield, ada sesuatu yang tidak beres—rakyat tampak murung, pembicaraan mereka berbisik, dan kehadiran para prajurit lokal terasa mengintimidasi. Setelah mendengar desas-desus di sekitar penginapan, Fabio berhasil mendapatkan informasi bahwa tiga bangsawan di wilayah ini memainkan peran penting dalam situasi buruk Ashenfield.Ketiganya memiliki reputasi yang berbeda di mata masyarakat, tetapi kesamaan mereka adalah kuasa mereka yang besar dan jejak kecurigaan yang membayangi. Nama-nama mereka: Lord Gregor Ashbourne, Baron Alaric Whitmore, dan Duke Cedric Ravenshade.Lord Gregor AshbournePeran: Sang manipulator, Gregor adalah dalang di balik upaya menyebarkan konspirasi antara masyarakat Ashenfield dan bangsawan lainnya. Dia menggunakan retorika dan propaganda untuk menciptakan ketidakpercayaan di antara mereka, memperburuk hubungan antar kelas sosial.Ciri Khas: Gregor adalah pria dengan wajah ramah, tetapi matanya taja

    Last Updated : 2025-01-06

Latest chapter

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 4 Chapter 1: Kondisi Benua Iblis (Codex Benua Iblis)

    Angin panas berhembus perlahan melewati jendela kayu penginapan yang menghadap ke arah selatan kota Ebonhold. Saat matahari tergelincir pelan di atas cakrawala berwarna tembaga, Fabio duduk di kursi tua, membuka lembar demi lembar gulungan peta dan dokumen yang mereka temukan selama perjalanan. Thalysa, duduk tak jauh darinya, menyandarkan dagu di atas tangannya, matanya menyusuri garis-garis lengkung pada peta yang menggambarkan benua yang sedang mereka tapaki—Benua Iblis, tanah yang telah lama hanya disebut-sebut dalam cerita buruk dan bisikan tak berani. Malam itu tidak diisi dengan pembicaraan tentang bahaya atau kematian, melainkan percakapan pelan yang penuh dengan rasa ingin tahu. Mereka tidak sedang bersiap untuk perang atau ritual, tetapi mencoba memahami tanah tempat mereka kini berdiri.Dengan luas mencapai 9,2 juta kilometer persegi, Benua Iblis hampir menyamai ukuran Benua Utama, rumah bagi Thalos, Valtor, dan berbagai peradaban besar lainnya yang telah berdiri sejak zama

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 4 Chapter 0: Benua Iblis

    Kapal udara melayang rendah, melintasi langit kelam yang mendominasi Benua Iblis. Angin dingin menerpa lambung kapal, membawa serta aroma besi dan tanah basah yang menguap dari permukaan di bawah. Dari kejauhan, Fabio dan Thalysa dapat melihat daratan hitam yang membentang luas, sebuah dunia yang seolah telah mati sejak lama. Tak ada kehijauan, hanya hamparan reruntuhan yang terbengkalai, seakan-akan sisa-sisa dari sebuah peradaban yang pernah ada namun kini hanya menjadi kenangan samar yang terkubur di bawah abu dan debu.Di tengah pemandangan yang begitu suram, ada satu titik cahaya yang menarik perhatian mereka—sebuah kota yang dikelilingi dinding tinggi, berdiri kokoh di antara kehancuran yang meliputi tanah ini. Lentera sihir berpendar redup di sepanjang jalan utama, memberikan sedikit penerangan di kegelapan yang abadi. Fabio mempersempit pandangannya. Kota ini terlihat seperti tempat perlindungan, tetapi tidak ada tempat di dunia ini yang benar-benar aman."Ebonhold," gumam Tha

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Chapter Interlude: Asa itu Masih Ada!

    Di bawah langit yang kelam dan tanah yang masih berbau abu, seorang pemuda berdiri di tengah reruntuhan yang dulunya adalah desanya. Bangunan-bangunan yang dulu penuh kehidupan kini hanyalah puing-puing yang berserakan. Udara masih menyisakan jejak kehancuran, dan setiap langkah yang ia ambil membawa suara kayu rapuh yang patah di bawah kakinya. Namun, meskipun dunia di sekitarnya hancur, matanya tidak memancarkan keputusasaan. Tangan pemuda itu menggenggam erat sekop tua yang ia temukan di antara reruntuhan. Ia menarik napas dalam, menatap tanah yang porak-poranda di hadapannya. "Aku akan membangun kembali desa ini," gumamnya, suaranya hampir seperti janji yang diucapkan kepada dirinya sendiri. Hari pertama adalah yang paling sulit. Ia mulai membersihkan puing-puing, satu demi satu, meskipun tubuhnya masih penuh luka akibat perang yang baru saja berlalu. Setiap kali ia mencoba mengangkat kayu besar atau memindahkan batu bata yang hancur, tubuhnya berteriak kesakitan. Tapi ia ti

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Chapter Interlude: Surat yang tidak Tersampaikan

    Di sebuah kamar penginapan kecil, di bawah cahaya redup lilin yang hampir habis, seorang pria duduk di depan meja kayu tua. Tangannya bergerak perlahan, pena yang dipegangnya menari di atas selembar kertas kosong. Udara malam menyelinap masuk melalui jendela yang terbuka sedikit, membawa aroma laut yang asin dan suara langkah kaki samar dari jalanan di luar.Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, ia menulis surat. "Aku tiba di kota ini menjelang senja. Jalanan sempitnya dipenuhi cahaya lentera yang menggantung di depan rumah-rumah kayu, menari pelan dihembus angin. Ada sesuatu tentang kota ini yang mengingatkanku padamu—mungkin caranya menyimpan kehangatan di tengah udara yang dingin, atau mungkin karena suara riuh pasar malamnya mengingatkanku pada tawamu yang pernah memenuhi hariku."Ia berhenti sejenak, menatap kata-kata yang baru saja ia tulis. Di sebelahnya, bertumpuk lembaran-lembaran kertas lain—surat-surat yang tak pernah dikirimkan. Setiap kota yang ia singgahi, setiap

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Chapter Interlude: Datang Lagi, Sampai Kapanpun

    Langit senja menggantung rendah di ufuk barat, menyelimuti desa kecil ini dengan semburat jingga yang hangat. Udara sore terasa lembut, membawa serta aroma tanah yang masih lembap setelah hujan siang tadi. Angin bertiup pelan, menggoyangkan dedaunan di sepanjang jalan berbatu yang kulewati. Aku berhenti sejenak, menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam warung kecil di sudut desa. Tempat ini tidak banyak berubah—meja-meja kayu sederhana, aroma masakan yang menggugah selera, dan suara orang-orang yang bercakap santai.Dan di sana, berdiri seorang gadis yang kukenal. Senyumnya masih sama. Hangat, menenangkan, dan… selalu berhasil membangkitkan sesuatu di dalam diriku yang sudah lama hilang."Wah, masakanmu enak dek," ucapku dengan nada ceria, berusaha menahan sesuatu yang perlahan mulai menggenang di dalam dadaku. Aku melahap cemilan yang ia buat dengan lahap, seolah rasa itu adalah sesuatu yang sudah lama kurindukan."Duh, makasih loh mas," jawabnya dengan se

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Chapter Interlude: Anak yang Tumbuh Membenci Manusia

    Seorang anak manusia lahir di dunia yang penuh kebohongan. Ia tumbuh tanpa mengetahui apa itu kasih sayang, tanpa memahami makna kelembutan. Setiap hari yang ia jalani bukanlah lembaran baru yang penuh harapan, melainkan kelanjutan dari penderitaan yang tak kunjung usai. Sejak kecil, ia melihat bagaimana manusia saling menghancurkan, bagaimana mereka tersenyum di depan tetapi menusuk dari belakang, bagaimana kebaikan hanyalah topeng untuk menutupi niat busuk yang mengendap dalam jiwa mereka. Anak itu tidak pernah tahu seperti apa rasanya dipeluk dengan tulus. Tidak pernah ada tangan yang menepuk kepalanya dengan lembut, tidak pernah ada suara yang mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Yang ia tahu hanyalah kelaparan, dingin, dan suara-suara kasar yang terus membentaknya, memberitahunya bahwa ia tidak diinginkan, bahwa ia tidak pernah seharusnya ada. Setiap malam, ia tidur dalam gelap, bukan karena lampu dipadamkan, tetapi karena kegelapan adalah satu-satunya teman yang tida

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 3 Chapter 13: Destinasi Berikutnya

    Malam terakhir di Valtor terasa lebih sunyi dari biasanya. Fabio dan Thalysa duduk di atas menara tertinggi di kota, menatap laut yang gelap dan tak berujung di kejauhan. Angin dingin membawa suara ombak yang menghantam tebing-tebing batu, menciptakan irama yang tak beraturan, seolah-olah lautan itu sendiri berbisik tentang sesuatu yang tidak bisa dipahami manusia. Lampu-lampu di kota perlahan mulai redup, meninggalkan hanya bintang-bintang yang terpantul samar di permukaan air yang hitam pekat.Thalysa menarik napas dalam-dalam sebelum bertanya, “Apa yang kita cari di sana, Fabio? Apakah hanya jawaban tentang Abyssal, atau lebih dari itu?” Suaranya lembut, tetapi ada kegelisahan yang jelas di dalamnya. Perjalanan mereka bukan sekadar ekspedisi biasa. Ini adalah langkah menuju sesuatu yang bahkan mereka sendiri tidak sepenuhnya pahami.Fabio tetap diam untuk waktu yang lama, hanya menatap cakrawala kosong tanpa ekspresi. Kemudian, akhirnya, ia menjawab dengan suara rendah, “Aku tidak

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 3 Chapter 12: Istirahat

    Setelah ritual berakhir, suasana dalam kuil masih terasa berat. Para Saint dan Septentrion menundukkan kepala saat Fabio, Thalysa, dan Kaito Akio V berjalan keluar dari Ruang Penghakiman. Hanya suara langkah kaki mereka yang menggema di lorong batu, seolah udara di dalam kuil pun menahan napas. Fabio masih diam, tidak berbicara sepatah kata pun sejak jawaban dari Sang Penghakim menggantung di udara. Matanya kosong, tatapannya menembus lantai tanpa benar-benar melihatnya. Seolah pikirannya masih terperangkap di dalam lingkaran ritual yang kini sudah padam.Thalysa mencuri pandang ke arahnya beberapa kali, ingin bertanya sesuatu tetapi tidak yakin bagaimana cara memulainya. Ini bukan pertama kalinya Fabio tenggelam dalam pikirannya sendiri, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Biasanya, dia hanya bersikap acuh, tetapi sekarang... ada sesuatu yang lain. Seakan ia sedang berada di antara dua dunia, berdiri di perbatasan antara masa lalu dan masa depan, tetapi tidak bisa melangkah ke sa

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 3 Chapter 11: Pertemuan Kedua

    Saat ritual berlangsung, semua orang melihat Fabio hanya berdiri diam di tengah lingkaran tanpa ekspresi. Tidak ada reaksi apa pun. Tidak ada rasa sakit, tidak ada ketegangan yang terlihat di wajahnya. Namun, di dalam kesadarannya, ia tidak berada di ruangan itu lagi.Dunia di sekelilingnya telah berubah menjadi tempat yang tidak nyata—sebuah hamparan kosong yang dipenuhi cahaya pucat yang berkedip-kedip seperti lilin yang hampir padam. Udara di sekelilingnya terasa berat, seperti ribuan suara bisikan yang tak terdengar memenuhi ruang hampa ini. Fabio melangkah perlahan, tetapi tidak ada gema, tidak ada suara dari langkah kakinya. Seolah dunia ini sendiri menolak keberadaannya.Dari kegelapan yang tak berujung, seseorang muncul. Tidak seperti pertemuan pertamanya, sosok ini bukan lagi bayangan hitam tanpa bentuk. Kini, sosok itu memiliki wajah yang sama dengan Fabio, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Matanya lebih dalam, lebih tua, seolah membawa beban yang tak terhitung. Pakaian yang i

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status