Saat mereka berjalan lebih dalam ke ibu kota, suasana yang tenang dan penuh harmoni tiba-tiba terpecah oleh suara langkah cepat yang menghampiri. Seorang prajurit kerajaan, mengenakan pelindung tubuh dan membawa senjata, datang dengan tergesa-gesa. Wajahnya tampak tegang, matanya tidak bisa menutupi kecemasan yang mendalam.
"Komandan Baizhu!" prajurit itu berkata dengan nada terburu-buru, berhenti di depan Baizhu. "Ada masalah di hutan, tempat kita menemukan pria itu. Kami menemukan jejak-jejak aneh dan beberapa makhluk tak dikenal. Kami membutuhkan bantuan segera." Baizhu segera mengerutkan alis, ekspresinya langsung berubah serius. "Apa maksudmu dengan 'makhluk tak dikenal'? Kami baru saja meninggalkan tempat itu, tidak ada yang bisa melacak ke sana dalam waktu singkat." Namun, prajurit itu menggelengkan kepala. "Kami menemukannya hanya beberapa jam setelah pertemuan itu, dan jejaknya sangat aneh. Tidak seperti makhluk biasa. Kami khawatir jika ada bahaya lebih besar yang mendekat." Baizhu tampak ragu sejenak, menatap ke arah Fabio, yang masih berjalan dengan Thalysa. Fabio bisa merasakan ketegangan di udara—Baizhu jelas tidak ingin meninggalkan dirinya begitu saja, apalagi setelah mereka menemukan satu-satunya orang yang selamat dari pertarungan dengan Nyxaroth. Namun, tanggung jawab terhadap pasukannya jelas lebih mendesak. Thalysa yang berdiri di samping Fabio, menatap dengan tenang, seolah mengetahui apa yang akan terjadi berikutnya. "Baizhu, aku rasa tidak perlu ikut campur. Biarkan mereka yang ahli menangani masalah di hutan itu." Baizhu berbalik, sedikit kaget dengan kata-kata Thalysa. "Aku tidak bisa meninggalkan keadaan yang tidak pasti begitu saja. Makhluk-makhluk itu bisa berbahaya. Kita harus memastikan semuanya aman." Thalysa menatap Baizhu dengan senyum tipis di wajahnya, yang terlihat seperti sebuah kemenangan yang sudah dia rencanakan sejak awal. "Kau akan kembali ke markas, bukan? Di sana, mereka membutuhkan komando dan bantuanmu." Suaranya lembut, namun penuh penekanan. "Tidak ada yang bisa kau lakukan di sini, selain memastikan tempat ini tetap aman. Aku akan menemani Fabio berkeliling ibu kota. Aku bisa mengurusnya dengan baik." Baizhu menatap kakaknya, matanya bergetar dengan ketegangan. "Aku tidak bisa begitu saja meninggalkan... Baiklah, jika itu yang kau inginkan." Suara Baizhu terdengar sedikit tertekan, seolah merasa dipaksa untuk menerima kenyataan. Thalysa, dengan sikap yang penuh ketenangan dan dominasi, mendekat ke Baizhu dan menepuk bahunya dengan lembut. "Kau tahu, Baizhu, terkadang kepercayaan itu datang dengan cara yang berbeda. Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi pada Fabio. Kau bisa percaya padaku." Baizhu menghela napas panjang, merasa seolah-olah ia tidak punya pilihan lain. “Kau menang kali ini, kakak.” Dengan pandangan penuh kekesalan namun tak berdaya, Baizhu memberi isyarat kepada pasukannya untuk bersiap. "Aku akan pergi ke markas sekarang. Tapi pastikan dia tidak berada dalam bahaya, Thalysa," katanya dengan nada yang lebih lembut, meskipun ada sedikit keengganan. Thalysa mengangguk, seolah-olah sudah tahu bahwa ini adalah hasil yang akan didapatkan. "Tentu, Baizhu. Pergilah, dan jagalah orang-orangmu." Baizhu berpaling, wajahnya menunjukkan ekspresi kalah yang jarang ia tunjukkan, dan segera melangkah meninggalkan tempat itu dengan pasukannya. Setelah Baizhu pergi, Thalysa menoleh ke arah Fabio dengan senyum kecil di wajahnya, seolah-olah merayakan kemenangan kecil. "Baizhu selalu begitu keras kepala, tetapi aku tahu cara untuk mempengaruhinya. Sekarang, kita bisa berkeliling lebih lama tanpa gangguan." Fabio yang merasa sedikit terkejut dengan interaksi antara saudara itu, hanya bisa mengangguk pelan. "Jadi... kamu benar-benar bisa membuatnya mundur begitu saja?" Thalysa tertawa kecil, nadanya penuh dengan kebijaksanaan dan kekuatan. "Terkadang, kekuatan bukan hanya tentang memaksakan kehendak. Itu tentang memahami orang yang ada di sekitarmu. Baizhu terlalu keras kepala untuk tahu kapan harus mundur, tapi aku tahu cara untuk membuatnya merasa aman." Fabio tidak bisa menahan rasa kagumnya terhadap wanita ini, yang jelas memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap Baizhu, meskipun mereka berdua tampaknya sangat berbeda. Thalysa tersenyum tipis, menuntun langkah Fabio lebih jauh ke jalan yang lebih luas, yang mengarah ke bagian-bagian ibu kota yang belum ia lihat. "Sudah waktunya untuk melihat lebih dalam tentang dunia ini, Fabio. Kerajaan Thalos bukan hanya benteng dan sihir. Ada lebih banyak yang bisa kau pelajari di sini." Dengan langkah pasti, Thalysa melangkah lebih jauh, dan Fabio, meskipun masih kebingungan dan penuh pertanyaan, mengikuti di belakangnya, siap untuk menggali lebih dalam lagi rahasia-rahasia yang tersimpan di balik tembok-tembok kerajaan yang besar ini. Setelah Baizhu pergi dengan pasukannya, Thalysa melirik Fabio dengan senyum tipis yang mengisyaratkan bahwa hari ini akan menjadi petualangan yang berbeda. "Sekarang, kita bisa menikmati suasana kota tanpa gangguan. Aku akan menunjukkan padamu lebih banyak tentang Thalos—tentang kehidupan di sini, di luar semua masalah besar yang kita hadapi." Fabio mengangguk, merasa sedikit lebih lega setelah perdebatan antara Thalysa dan Baizhu. Meskipun dunia ini asing baginya, setidaknya sekarang dia bisa mulai melihat kehidupan sehari-hari yang berlanjut, meski dunia di luar ibu kota ini penuh dengan ancaman dan kekacauan. Thalysa melangkah dengan langkah ringan, membimbing Fabio melalui jalan-jalan kota yang ramai. Ibu kota Thalos dipenuhi dengan jalan-jalan yang luas dan trotoar berbatu yang tertata rapi. Bangunan-bangunan tinggi, sebagian besar terbuat dari batu hitam dan granit, berderet di kedua sisi jalan, menandakan kekuatan kerajaan yang telah bertahan lama. Namun, meskipun kerajaan ini diliputi sejarah kelam, ada kehidupan yang berjalan dengan alami—kehidupan yang berfokus pada kelangsungan dan pemulihan. Thalysa berhenti di sebuah kios makanan kecil yang ramai. Dari dalam kios, aroma harum berbagai hidangan menggoda hidung Fabio—terutama bau roti panggang yang baru keluar dari oven dan daging bakar yang menggelegar. Di sekitar kios, banyak orang berkumpul, menikmati makanan sambil bercakap-cakap dengan penuh keakraban. "Ini adalah salah satu tempat favoritku," kata Thalysa, melirik Fabio dengan senyum lembut. "Di sini, makanan sederhana bisa terasa begitu istimewa. Di tengah dunia yang hancur, ini adalah cara orang-orang di Thalos merayakan kehidupan mereka." Thalysa memesan beberapa potong roti panggang yang disajikan dengan daging bakar dan saus berwarna merah pekat. Fabio, yang masih terkejut dengan keramahan tempat ini, mengikuti Thalysa dan menerima hidangan yang ditawarkan padanya. Fabio memandang makanan itu dengan rasa ingin tahu, lalu mengambil sepotong kecil roti. Begitu menggigitnya, rasa gurih dan lezat langsung memenuhi mulutnya. "Ini... luar biasa," katanya tanpa bisa menahan kekagumannya. Thalysa tertawa lembut, menikmati ekspresi Fabio yang terkesan. "Bahkan di tengah semua kehancuran, orang-orang di Thalos tahu bagaimana menghargai hal-hal sederhana yang tetap bisa membuat kita bahagia," kata Thalysa sambil menggigit sepotong roti. "Makanan ini adalah salah satu dari banyak hal yang membuat kota ini terasa hidup." Mereka melanjutkan perjalanan mereka, berkeliling lebih jauh lagi, dan Fabio mulai merasakan suasana kota yang tak terduga. Dari kios makanan ke pasar yang lebih besar, di mana pedagang menawarkan barang-barang langka seperti rempah-rempah dan kain berwarna-warni. Beberapa pedagang menggunakan sihir untuk menunjukkan kekuatan produk mereka—seperti seorang pedagang kain yang dengan mudah memanipulasi sutra halus dengan sihir angin untuk menunjukkan betapa ringan dan kuatnya kain tersebut. Fabio terkagum-kagum, tidak hanya oleh keterampilan mereka dalam berbisnis, tetapi juga bagaimana sihir telah menyatu begitu alami dalam kehidupan sehari-hari. "Ini benar-benar mengagumkan," ujar Fabio, matanya mengikuti gerakan pedagang kain yang memanipulasi kain dengan angin. Thalysa mengangguk. "Sihir seperti itu digunakan oleh banyak orang untuk kehidupan sehari-hari mereka—untuk pertanian, perdagangan, dan bahkan seni. Tapi juga ada sisi gelapnya, seperti yang kita lihat di hutan beberapa waktu lalu. Tidak semua orang menggunakan sihir dengan cara yang baik." Mereka berlanjut ke bagian lain dari kota yang lebih tenang, di mana taman-taman hijau yang luas memberikan ruang bagi warga untuk bersantai dan menikmati udara segar. Anak-anak sedang bermain di sekitar pohon-pohon besar, sementara beberapa orang tua duduk di bangku menikmati pemandangan. "Kehidupan seperti ini adalah apa yang kami coba pertahankan di Thalos," Thalysa melanjutkan. "Kami tahu bahwa meskipun dunia luar penuh bahaya, di sini, kami mencoba menjaga ketenangan dan kedamaian. Kami berusaha menjaga keseimbangan." Fabio mengangguk pelan, meresapi kata-kata Thalysa. Dalam perjalanan singkat ini, dia mulai melihat lebih banyak sisi dari kerajaan yang terlupakan oleh banyak orang. Meskipun berada di tengah kehancuran dunia, Thalos tampak sebagai tempat yang berusaha menemukan kembali arti dari kehidupan—dengan cara-cara sederhana, namun penuh harapan. "Terima kasih telah mengajakku berkeliling," kata Fabio setelah beberapa saat, merasa lebih terhubung dengan tempat ini, meskipun dia tahu sedikit tentang apa yang sebenarnya terjadi di luar tembok-tembok ini. "Ini... lebih indah dari yang kukira." Thalysa tersenyum, matanya berbinar dengan rasa bangga terhadap kota ini. "Tentu saja. Thalos adalah tempat yang luar biasa. Namun, seperti segala sesuatu di dunia ini, ia juga penuh dengan rahasia dan ancaman yang tersembunyi. Kita hanya perlu tahu di mana mencari." Dengan langkah ringan, mereka melanjutkan perjalanan mereka melalui ibu kota yang indah ini, menikmati kedamaian yang sementara, namun penuh dengan misteri yang masih harus dipecahkan.Saat Thalysa dan Fabio berjalan lebih dalam melalui ibu kota, menikmati keindahan dan kehidupan sehari-hari yang penuh harapan, udara yang seharusnya tenang mendadak berubah. Sebuah ledakan besar mengguncang tanah, menggoyahkan bangunan-bangunan di sekitar mereka, dan membuat jalanan yang semula damai menjadi hening sesaat. Tanah bergetar dengan kekuatan yang tak terbayangkan, dan suara dentuman itu menggema melalui udara, merobek keheningan kota. Orang-orang di sekitar mereka langsung panik, berlarian mencari perlindungan.Fabio berhenti sejenak, tubuhnya tegang. Mata Thalysa terfokus ke arah utara, ke arah hutan yang terletak di luar benteng—tempat mereka sebelumnya menemukan sisa-sisa pertempuran melawan Nyxaroth. Sebuah rasa yang tak bisa dijelaskan merayap di dalam dirinya, mengingatkan pada perasaan aneh yang selalu menyelimuti tubuhnya sejak pertama kali ia terbangun di dunia ini."Thalysa, apa itu?" tanya Fabio, suara penuh kecemasan."Aku rasa itu dari hutan," jawab Thalysa,
Malam yang mencekam menyelimuti hutan, dan udara terasa lebih berat dengan setiap langkah mereka. Keempatnya melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, berusaha mengidentifikasi sumber ledakan yang telah mengguncang benteng beberapa waktu lalu. Namun, meskipun mereka semakin dekat, ada ketegangan yang mengalir di antara mereka—sebuah perasaan bahwa bahaya sudah terlalu dekat. Di kejauhan, sesuatu bergerak dengan cepat, melintasi kabut yang mulai turun di antara pohon-pohon tinggi. Tiba-tiba, sebuah teriakan keras, disusul oleh dentuman keras, mengguncang tanah di bawah kaki mereka. Sebelum mereka bisa bereaksi, makhluk itu muncul. Nyxaroth Primus, sosok raksasa yang mengerikan, muncul dari balik bayang-bayang, wajahnya penuh dengan amarah dan kebencian yang terakumulasi selama berabad-abad. Tubuhnya besar, berkilau dengan cahaya merah yang memancar dari dalam tubuhnya, seolah menyatu dengan kegelapan yang menyelimuti hutan. Dengan gerakan yang tidak bisa dihindari, ia melompat ke arah
Rasa dingin menyelimuti tubuh Fabio, membangunkannya dari kegelapan yang tampak abadi. Namun, ini bukan kebangkitan seperti biasa. Tidak ada tanah di bawah kakinya, tidak ada langit di atasnya—hanya kehampaan yang tak terhingga, sebuah dunia yang tidak bisa dijelaskan dengan logika atau imajinasi. Segalanya terasa tidak nyata, namun begitu jelas di depan matanya.Di tengah kehampaan itu, berdiri sosok yang pernah dilihatnya sebelumnya, namun kali ini dengan penampilan yang berbeda. Tubuh sosok itu hitam pekat seperti malam tanpa bintang, tetapi dihiasi pola galaksi yang berpendar lembut, menciptakan kontras antara kegelapan dan keindahan yang tidak bisa dijelaskan. Pola itu bergerak perlahan, seperti nebula yang melayang di angkasa, memberi kesan kehidupan yang tak terbatas sekaligus kesunyian yang mendalam.Matanya bersinar seperti supernova—cahaya putih yang menusuk, seolah menembus segala hal. Rambut panjangnya melayang perlahan, seperti berada dalam gravitasi nol, berganti warna d
Satu minggu setelah Fabio dinyatakan pulih sepenuhnya, dia akhirnya bisa bergerak dengan normal. Luka-luka yang sebelumnya membuat tubuhnya tampak mustahil untuk pulih kini telah sembuh tanpa jejak, meninggalkan Fabio dengan pertanyaan yang belum terjawab tentang kekuatan misterius dalam dirinya. Namun, tidak ada waktu untuk merenung terlalu lama—pagi itu, seorang utusan kerajaan datang ke rumah sakit, menyampaikan pesan dari Putri Jinshi. Fabio dipanggil ke istana untuk sebuah audiensi penting.Thalysa, yang sedang menemani Fabio saat itu, memutuskan untuk ikut bersamanya. Tidak lama setelahnya, Baizhu juga bergabung, tampak lebih serius dari biasanya, meskipun ekspresinya tetap sulit ditebak.-Istana Thalos: Ruang Singgasana-Istana kerajaan Thalos berdiri megah di tengah ibu kota, sebuah bangunan yang memancarkan wibawa sekaligus keindahan. Pilar-pilar besar dari batu granit hitam menopang atap berlapis emas, sementara dindingnya dihiasi ukiran kuno yang menceritakan sejarah panjan
Ruang singgasana istana Thalos dipenuhi keheningan yang tegang. Jinshi, yang memimpin rapat kecil itu, berdiri di dekat singgasana dengan tangan terkepal di belakang punggungnya. Di depannya, Fabio, Thalysa, dan Baizhu berdiri dalam jarak yang tidak terlalu dekat. Wajah mereka menunjukkan emosi yang berbeda—Fabio dengan ekspresi serius namun tenang, Thalysa yang penuh tekad, dan Baizhu dengan kerutan tajam di dahinya."Fabio," Jinshi memulai, suaranya lembut namun tegas, "Aku ingin kau pergi ke Valtor dan menyusul ayahku, Kaito Akio V."Mata Fabio sedikit membesar mendengar perintah itu. "Menyusul ke Valtor?" tanyanya, nada suaranya penuh keheranan.Jinshi mengangguk. "Ayahku sedang dalam perjalanan diplomatik untuk memperbaiki hubungan dengan kerajaan itu. Tetapi situasi ini sangat sensitif, dan aku khawatir dia mungkin membutuhkan bantuan. Kau telah menunjukkan kekuatan yang luar biasa dalam pertempuran melawan Nyxaroth Primus. Aku percaya kau bisa melindungi ayahku jika sesuatu ter
Perjalanan Fabio dan Thalysa menuju Kerajaan Valtor baru memasuki hari kelima ketika mereka mencapai dataran terbuka yang dikenal sebagai Ashenfield. Matahari senja menyinari lanskap yang suram, menciptakan bayangan panjang di atas tanah abu-abu yang penuh dengan bekas luka bencana. Ashenfield adalah sisa-sisa kehancuran besar selama Cataclysmic Catastrophe, di mana api besar telah melalap kehidupan dan meninggalkan tanah yang penuh energi magis tak stabil. Namun, penduduk setempat yang tangguh berusaha keras menghidupkan kembali daerah ini dengan bercocok tanam, meskipun tanah masih menyimpan jejak kutukan.Fabio memperhatikan sekeliling dengan ekspresi netral, pandangannya menyapu reruntuhan dan ladang yang tak subur. Di sebelahnya, Thalysa menatap dengan penuh perhatian, memperhatikan penduduk yang tampak lelah namun tetap berusaha bekerja di bawah bayang-bayang kehancuran. Mereka memasuki desa kecil di tengah dataran itu, tempat asap tipis dari dapur-dapur kayu mengepul ke udara.
Penginapan kecil tempat Fabio dan Thalysa tinggal selama di Ashenfield tidak terlalu ramai pagi itu. Udara dingin dari luar terasa menusuk, tetapi kehangatan dari api di perapian ruangan utama penginapan membuat suasana sedikit lebih nyaman. Fabio duduk di salah satu kursi dekat jendela, pandangannya terpaku pada jalanan yang mulai sibuk dengan penduduk setempat. Di sampingnya, Thalysa berdiri dengan tangan terlipat, wajahnya menunjukkan ekspresi tidak puas setelah mendengar rencana yang diusulkan Fabio."Kita tidak membutuhkan bantuan," ujar Thalysa dengan nada tegas. "Kita bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Lagipula, Ashenfield hanyalah sebuah daerah kecil. Aku yakin ini bukan prioritas tinggi bagi kerajaan."Fabio menghela napas, menoleh ke arahnya. "Thalysa, aku tahu kau percaya pada kemampuan kita, tapi ini bukan tentang seberapa kuat atau cerdas kita. Ini tentang skala masalahnya. Jika kita gagal di sini, dampaknya bisa lebih besar dari yang kau bayangkan."Thalysa mengerut
Fabio memulai penyelidikannya dengan hati-hati. Sejak tiba di Ashenfield, ada sesuatu yang tidak beres—rakyat tampak murung, pembicaraan mereka berbisik, dan kehadiran para prajurit lokal terasa mengintimidasi. Setelah mendengar desas-desus di sekitar penginapan, Fabio berhasil mendapatkan informasi bahwa tiga bangsawan di wilayah ini memainkan peran penting dalam situasi buruk Ashenfield.Ketiganya memiliki reputasi yang berbeda di mata masyarakat, tetapi kesamaan mereka adalah kuasa mereka yang besar dan jejak kecurigaan yang membayangi. Nama-nama mereka: Lord Gregor Ashbourne, Baron Alaric Whitmore, dan Duke Cedric Ravenshade.Lord Gregor AshbournePeran: Sang manipulator, Gregor adalah dalang di balik upaya menyebarkan konspirasi antara masyarakat Ashenfield dan bangsawan lainnya. Dia menggunakan retorika dan propaganda untuk menciptakan ketidakpercayaan di antara mereka, memperburuk hubungan antar kelas sosial.Ciri Khas: Gregor adalah pria dengan wajah ramah, tetapi matanya taja
Langit malam masih diselimuti oleh keheningan yang dingin ketika Fabio dan Rava bergerak dalam bayangan, menyusuri gang-gang sempit menuju penginapan tempat Thalysa berada. Langkah mereka hampir tak bersuara, seperti dua siluet yang menyatu dengan gelapnya malam. Meskipun mereka sekarang telah sepakat untuk bekerja sama, Fabio tidak bisa mengabaikan kewaspadaannya terhadap Rava, dan hal yang sama jelas terpancar dari tatapan Rava yang selalu meneliti lingkungan sekitarnya.Setibanya di penginapan, Fabio memimpin jalan menuju kamar Thalysa tanpa banyak bicara. Rava tetap di belakangnya, sikapnya tenang, tetapi jelas tidak santai. Mereka berdua tahu bahwa pertemuan ini tidak akan berjalan mulus, dan Fabio hanya bisa berharap bahwa Thalysa cukup rasional untuk mendengar penjelasannya sebelum bertindak gegabah.Begitu Fabio membuka pintu kamar dan melangkah masuk, segalanya terjadi begitu cepat. Dalam sekejap, bayangan melesat dari sudut ruangan, dan sebelum Rava sempat bereaksi, sebuah p
Cahaya api unggun berpendar samar di tengah kegelapan hutan, bayangannya menari-nari di permukaan tanah lembab. Angin malam berembus dingin, membawa suara dedaunan yang berbisik seolah menyaksikan pertarungan diam antara dua individu di sisi berlawanan. Fabio duduk bersila di seberang perapian, sorot matanya tajam, menembus sosok di depannya yang masih terkekang dalam rantai besi.Rava menatapnya dengan penuh kebencian, tetapi di balik sorot mata keemasan itu, Fabio bisa membaca kelelahan dan rasa sakit yang berusaha disembunyikan. Luka di perutnya masih basah, meskipun telah diperban dengan rapi. Namun, ketahanan Assassin itu patut dipuji. Bahkan dalam kondisi sekarat, ia masih berusaha menampilkan dirinya sebagai ancaman.Fabio mengulurkan tangan ke tanah, mengambil sebongkah kayu dan melemparkannya ke api unggun. Percikan api melesat sesaat sebelum padam. Ia tidak terburu-buru. Waktu ada di pihaknya."Aku tidak punya banyak kesabaran," ucapnya, suaranya datar dan tanpa emosi. "Siap
Hutan malam adalah penjara tanpa dinding, di mana kegelapan menggantung seperti tirai kematian. Fabio terus berlari, napasnya berat, tetapi langkahnya tetap mantap. Tentara yang mengejarnya kini hanya tinggal bayangan yang tertinggal jauh di belakang. Pepohonan tinggi dan semak belukar yang menutup jalan adalah perlindungan terbaiknya. Namun, saat kesadarannya mulai menenangkan denyut adrenalinnya, ia menyadari sesuatu yang lebih berbahaya—ia telah tersesat.Sunyi. Hanya desiran angin yang merayap di sela dedaunan dan suara langkahnya yang teredam oleh tanah basah. Hutan ini bukan tempat yang ramah, dan Fabio tahu lebih baik daripada siapa pun bahwa tempat yang sunyi hanyalah latar belakang bagi sesuatu yang mengintai dalam kegelapan.Lalu ia mendengarnya.Jeritan tajam, bukan suara manusia. Bukan suara biasa. Itu adalah raungan Nyxaroth. Fabio mengangkat kepalanya, matanya menyipit dalam kegelapan saat ia mencoba menentukan arah sumber suara. Kewaspadaannya meningkat. Bukan karena ke
Malam itu langit pekat tanpa bintang, gelapnya menelan sisa-sisa cahaya yang tersisa di dunia yang telah lama kehilangan harapan. Di dalam sebuah gubuk reyot yang hampir rubuh, seorang anak tidur dengan tubuh menggigil, bukan hanya karena udara dingin yang merayapi kulitnya, tetapi juga karena kelelahan dari hidup yang tak pernah memberinya ruang untuk bernapas. Tidur bukanlah tempat yang aman baginya, tetapi malam itu, ia bermimpi.Dalam mimpi itu, ia melihat ibunya—bukan sebagai mayat yang tergeletak tanpa kepala di tanah berlumpur, tetapi seperti dulu, sebelum dunia merenggutnya. Wajahnya lembut, matanya penuh kasih sayang, dan di tangannya ada sesuatu yang bersinar. Sebuah relik tua, berkilauan dengan cahaya redup, seperti api kecil yang bertahan di tengah badai. Ibunya tidak berbicara, hanya tersenyum dan mengulurkan tangannya, dan tanpa berpikir, anak itu mengambilnya.Ketika ia terbangun, dadanya naik turun dengan napas tersengal, tangannya masih terasa hangat dari sentuhan ibu
Langit kelabu menggantung berat di atas kota yang dulunya megah, kini hanya menjadi sisa-sisa peradaban yang nyaris hancur. Jalanan dipenuhi lumpur, genangan air kotor bercampur darah yang telah mengering, aroma kemiskinan menyelimuti setiap sudut. Dunia ini bukan lagi tempat bagi mimpi-mimpi besar, hanya tempat bagi mereka yang cukup beruntung untuk bertahan hidup sehari lagi. Setelah perang panjang melawan Nyxaroth, umat manusia tidak menemukan kebebasan, melainkan ketakutan yang lebih pekat dari sebelumnya. Setelah kiamat, dunia tidak menemukan kedamaian—hanya peradaban yang mencoba bangkit di atas tulang-tulang mereka yang telah gugur. Namun, di masa transisi ini, kekuasaan lebih kejam dari sebelumnya. Para petinggi manusia tidak hanya sekadar memulihkan apa yang hilang, tetapi juga memastikan bahwa mereka yang berkuasa tetap berkuasa. Relik-relik sihir yang ditemukan dari reruntuhan perang menjadi alat dominasi, bukan untuk melindungi rakyat, melainkan untuk menindas mereka. Se
Dunia telah hancur oleh peperangan, oleh keserakahan, oleh dosa-dosa yang dilahirkan oleh manusia itu sendiri. Kota-kota yang dulu megah kini hanya puing-puing yang tertimbun debu, peradaban yang dulu berkilauan kini menjadi kuburan tanpa nama, hanya diingat oleh mereka yang masih bertahan hidup di dunia yang telah kehilangan maknanya. Dalam kehancuran itu, seorang pria berjalan tanpa arah, pahlawan yang telah dicampakkan, terlupakan oleh mereka yang dulu bersorak memujanya. Ia tidak lagi mencari pengakuan, tidak lagi mencari tujuan, hanya berjalan, tanpa suara, tanpa harapan. Di suatu tempat dalam kehancuran ini, ia bertemu dengan seseorang yang tidak perlu diperkenalkan. Orang-orang menyebutnya "Penghakim." Mereka semua tahu kisahnya, bagaimana ia menyalakan api pemberontakan, bagaimana ia mengadili mereka yang berkuasa dengan cara yang paling brutal, bagaimana ia menghancurkan kerajaan yang ia anggap sebagai akar dari segala kebusukan dunia. Pahlawan tahu siapa dia. Tapi yang tid
Ini adalah kisah yang diceritakan turun temurun dimana seorang anak manusia pernah bermimpi menjadi pahlawan. Ia tumbuh mendengar kisah-kisah tentang ksatria yang membela yang lemah, tentang raja-raja yang bijaksana, dan tentang keajaiban yang turun dari surga untuk menyelamatkan dunia. Ia percaya bahwa suatu hari nanti, namanya akan tertulis di halaman sejarah, disebut dengan hormat oleh generasi mendatang. Ia percaya bahwa jika ia cukup kuat, cukup berani, cukup teguh, maka dunia akan mengenalnya sebagai pahlawan sejati. Tapi dunia tidak peduli pada mimpi anak-anak. Perjalanan itu dimulai dengan penuh harapan. Ia berlatih lebih keras dari siapa pun, bertarung melawan rintangan yang tak terhitung jumlahnya. Ia tidak punya darah bangsawan, tidak memiliki keberuntungan yang diberikan oleh keturunan suci, hanya tekad yang keras seperti baja dan hati yang menolak menyerah. Ketika akhirnya ia mendapatkan kesempatan untuk membuktikan dirinya, pedang yang muncul dalam mimpinya menuntunnya
Kebencian adalah benih yang tumbuh dalam keheningan, perlahan merayap seperti akar yang mencengkeram tanah, menolak untuk dilepaskan. Sang Protagonis, yang dulunya hanyalah seorang anak petani miskin dengan harapan sederhana, kini telah berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih kelam. Tidak ada lagi sisa dari pria yang pernah bermimpi menjadi prajurit kerajaan, yang percaya bahwa kehormatan dan keadilan masih memiliki tempat di dunia ini. Kerajaan telah menghancurkannya, menginjak-injak tubuh dan jiwanya hingga yang tersisa hanyalah kehampaan. Dari kehampaan itu, lahirlah sesuatu yang baru—kehendak untuk menghancurkan mereka yang pernah menghancurkannya. Ia berjalan dari desa ke desa, berbicara dalam bisikan, menyebarkan kebencian yang telah lama ada di hati rakyat tetapi selalu ditekan oleh ketakutan. Ia menceritakan kisahnya, bukan dengan air mata, tetapi dengan api yang membara di dalam matanya. Ia menunjukkan bekas luka di tubuhnya, membiarkan mereka melihat bukti nyata dari kebr
Langit kelabu menggantung di atas kota yang dipenuhi debu, rumah-rumah dengan dinding retak berdiri seperti saksi bisu atas sejarah panjang yang telah dilupakan oleh mereka yang berkuasa. Kisah ini bukan tentang seorang pahlawan yang bangkit untuk menyelamatkan dunia, bukan juga tentang seorang yang ditakdirkan menjadi cahaya dalam kegelapan. Ini adalah kisah yang diturunkan dari generasi ke generasi, kisah tentang seorang anak petani miskin yang bermimpi mengangkat derajat keluarganya—dan bagaimana dunia menghancurkannya dengan kebrutalan yang tak terbayangkan, Ini adalah kisah yang diceritakan turun temurun. Sejak kecil, ia selalu melihat ayahnya membungkuk di ladang, bekerja tanpa henti untuk mendapatkan segenggam gandum demi memberi makan keluarganya. Ibunya menjahit pakaian dengan tangan kasar yang penuh luka, sementara adik-adiknya menangis kelaparan di sudut gubuk reyot yang mereka sebut rumah. Hidup dalam kemiskinan bukanlah pilihan, tetapi sebuah warisan yang dipaksakan ole