Home / Fantasi / Zero: Forgotten Lost (INDONESIA) / Volume 1 Chapter 1: Kerajaan Thalos

Share

Volume 1 Chapter 1: Kerajaan Thalos

Author: Zeetsensei
last update Last Updated: 2024-12-16 21:52:19

Hari itu cerah meski suhu udara masih terasa dingin, menandakan musim dingin yang belum sepenuhnya berakhir di Kerajaan Thalos. Fabio, yang masih lemah dan hampir tidak ingat apa-apa, berjalan dengan hati-hati di jalanan kerajaan yang luas. Thalysa berjalan di sampingnya, diikuti oleh Baizhu yang tetap menjaga jarak namun jelas mengamati setiap langkah mereka. Udara yang tajam mengingatkan Fabio pada perasaan aneh yang menguasainya—kehilangan sesuatu yang penting, namun tidak tahu apa.

Kerajaan Thalos, benteng terakhir peradaban manusia setelah Cataclysmic Catastrophe, tampak sebagai dunia yang bertahan hidup di tengah kehancuran. Terletak di dataran tinggi yang aman dari bencana besar, kerajaan ini memiliki ciri khas arsitektur megah yang sudah sedikit usang, meski masih memancarkan aura kekuatan yang tak tergoyahkan.

Saat mereka melangkah melalui jalan utama ibu kota, Fabio tak bisa menahan kekagumannya. Di sepanjang sisi jalan, tembok-tembok besar yang dibangun dari batu hitam dan granit kokoh memancarkan nuansa kuno, dilapisi dengan ukiran-ukiran rumit yang menceritakan kisah pertempuran dan keagungan masa lalu. Di bagian atas tembok, terdapat menara-menara penjaga yang menjulang tinggi, seolah siap menghadapi ancaman dari luar.

"Kerajaan ini telah bertahan lebih lama dari yang diharapkan banyak orang," kata Thalysa, suaranya tenang, seolah bercerita tentang sesuatu yang sudah lama diketahui. "Setelah bencana besar, banyak kerajaan dan kota hilang, namun Thalos tetap berdiri karena keunggulannya dalam pertahanan dan penggunaan sihir."

Fabio mengangguk perlahan, meski masih mencoba memproses semuanya. Thalysa melanjutkan, "Kerajaan ini dibangun di atas bekas kekuatan kuno. Dulu, Thalos adalah pusat peradaban dengan teknologi dan sihir yang sangat maju. Para penyihir yang ada di sini belajar dari pengetahuan kuno yang ditemukan di perpustakaan besar mereka."

Baizhu yang berjalan di belakang mereka menambah, "Sihir bukan hanya alat kekuatan di Thalos, tapi juga cara hidup. Hampir semua aspek kehidupan di sini melibatkan sihir—baik untuk pertahanan, pekerjaan sehari-hari, atau bahkan seni."

Fabio memandang sekitar, matanya tertuju pada kehidupan yang sedang berlangsung di depan matanya. Beberapa orang berjalan dengan cepat di sepanjang jalan, beberapa memikul beban berat, sementara yang lainnya berbicara di antara kelompok-kelompok kecil. Namun, ada satu hal yang langsung menarik perhatiannya—setiap orang tampaknya menggunakan sihir dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Di sebuah pasar yang sibuk, seorang pria sedang berdiri di depan meja, menggosok permukaan pedang besar yang tampaknya telah digunakan dalam pertempuran. Dengan gerakan tangan yang halus, ia mengarahkan tangannya ke pedang itu, dan dengan sentuhan ringan, pedang itu mulai bersinar, seolah-olah kekuatan tersembunyi dalam logam itu bangkit kembali. Pedang yang tadinya tampak usang dan berkarat kini terlihat berkilau seperti baru ditempa. Fabio menyaksikan dengan heran, matanya terfokus pada keajaiban yang begitu alami bagi penduduk kerajaan ini.

"Di sini, sihir adalah bagian dari setiap pekerjaan," Thalysa menjelaskan, melihat arah pandang Fabio. "Mereka yang dilatih dalam sihir tidak hanya bertarung dengannya, tetapi menggunakannya untuk memperbaiki dan menciptakan. Bahkan pedang dan panah yang digunakan pasukan kerajaan diperbaiki dan diciptakan dengan sihir, memungkinkan mereka untuk memiliki senjata yang lebih kuat dan lebih tahan lama."

Tak jauh dari sana, seorang wanita muda sedang mencuci pakaian. Namun, alih-alih mencucinya dengan tangan, ia memanggul tongkat sihir yang tampaknya dipenuhi energi. Dengan gerakan lembut, dia mengarahkan tongkat itu ke air yang mengalir di dekatnya, dan seketika, air itu mulai berputar di udara, mengangkat kotoran dan noda dari pakaian yang sudah lusuh. Hanya dengan gerakan halus dari tongkat, pakaian itu tampak bersih dalam waktu singkat, seolah-olah keajaiban kecil sedang dikerjakan di hadapannya. Fabio takjub dengan kecanggihan itu. "Mereka menggunakan sihir untuk mencuci pakaian?" tanyanya dengan kebingungannya.

"Ya," jawab Thalysa sambil tersenyum samar. "Sihir memungkinkan kita untuk mengurangi usaha fisik dan menghemat waktu. Bahkan pekerjaan sehari-hari yang paling biasa pun bisa menjadi lebih efisien jika diimbangi dengan sihir."

Fabio mengangguk, mencerna kata-kata Thalysa. Lalu pandangannya beralih ke sebuah bengkel senjata yang ramai, di mana beberapa pandai besi sedang bekerja dengan antusias. Namun, kali ini mereka tidak menggunakan palu biasa untuk menempa logam, melainkan menggunakan sihir api untuk melelehkan dan membentuk pedang dan perisai. Seorang pandai besi yang tampaknya sudah berpengalaman mengarahkan tangannya ke tungku besar, dan dalam sekejap, api menyala dengan intensitas yang sangat tinggi. Pedang yang setengah jadi itu segera dipanaskan dan ditempa dengan menggunakan sihir, menciptakan pola logam yang menakjubkan dan tampak sangat kuat.

"Di Thalos," Baizhu menjelaskan, "keterampilan pandai besi dan sihir bekerja bersama. Bahkan senjata terbaik yang digunakan oleh pasukan kerajaan diciptakan dengan bantuan sihir. Menggabungkan keterampilan manual dan sihir memberikan keuntungan strategis yang besar dalam bertahan hidup setelah bencana besar."

Fabio menyaksikan semua ini dengan penuh kekaguman. Dunia ini—kerajaan ini—terlihat begitu berbeda dari dunia yang dia ingat, meskipun dia tidak tahu pasti apa yang telah hilang dari dirinya. Setiap sudut yang dilihatnya dipenuhi dengan keajaiban yang begitu alami dan terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, ada perasaan aneh yang menggelayuti pikirannya. Dia merasa terhubung dengan sihir ini, meskipun tidak tahu bagaimana atau mengapa. Sesuatu dalam dirinya berkata bahwa dia juga memiliki tempat di dunia ini—entah sebagai seseorang yang terlupakan, atau sebagai bagian dari cerita yang lebih besar.

-Cataclysmic Catastrophe-

Saat mereka berjalan melintasi pasar yang sibuk, dengan hiruk-pikuk orang yang beraktivitas, Fabio mendengarkan percakapan ringan yang berlangsung di sekelilingnya. Namun, kata-kata Cataclysmic Catastrophe yang diucapkan Baizhu tiba-tiba memecah pikirannya. Kata itu terdengar begitu berat dan memiliki makna yang dalam, seperti sesuatu yang mengubah segalanya.

Tiba-tiba, rasa penasaran membanjirinya, dan dia tak bisa menahan diri untuk bertanya. "Apa itu Cataclysmic Catastrophe? Mengapa itu begitu penting bagi dunia ini?"

Thalysa, yang sepertinya sudah memperhatikan bahwa Fabio semakin banyak bertanya tentang dunia yang asing baginya, berhenti sejenak dan memandangnya. Ada kilatan di matanya, sebuah tanda bahwa dia telah menunggu pertanyaan ini.

"Ah," Thalysa mengangguk pelan, suaranya menjadi lebih serius dan reflektif. "Kau pasti belum tahu banyak tentang masa lalu, bukan? Cataclysmic Catastrophe adalah peristiwa yang mengubah segalanya. Bukan hanya bagi Thalos, tapi untuk seluruh dunia. Sebuah kehancuran besar yang datang seperti badai, dan dunia tidak pernah sama setelah itu."

Fabio berjalan lebih dekat, mendengarkan dengan cermat, merasa semakin tertarik dengan kisah yang akan diceritakan Thalysa.

"Cataclysmic Catastrophe," lanjut Thalysa, "bukan hanya bencana alam atau perang. Itu adalah sebuah peristiwa yang menghancurkan tatanan dimensi dunia kita. Beberapa ilmuwan dan penyihir besar di masa lalu, termasuk mereka yang tinggal di Thalos, mencoba mengakses kekuatan yang lebih tinggi, lebih dari sekadar sihir biasa. Mereka menginginkan pengetahuan yang lebih besar, ingin menguasai kekuatan yang belum pernah ada sebelumnya."

"Pengetahuan yang lebih besar?" Fabio bertanya, mencoba menyusun potongan-potongan informasi yang mulai ia terima.

"Ya," Thalysa menjelaskan, wajahnya terlihat lebih serius. "Mereka mencari cara untuk mengakses dimensi lain, Kekuatan yang digunakan Primodial Zero, menggunakan kekuatan kosmik yang jauh melampaui kemampuan manusia. Beberapa percaya mereka bisa mengendalikan kekuatan ini, mengubah nasib dunia dengan cara yang lebih baik. Tapi mereka salah. Mereka tidak bisa mengendalikan kekuatan yang mereka coba panggil."

Fabio membeku sejenak, membayangkan gambaran yang menyakitkan. "Mereka membuka gerbang ke dimensi yang tak terkontrol… dan itu menghancurkan dunia?"

"Persis," Thalysa menjawab dengan nada yang lebih dalam. "Mereka tidak tahu bahwa dengan membuka gerbang itu, mereka membiarkan kekuatan gelap dan perwujudan entitas yang lebih tua masuk ke dunia ini. Itu adalah saat ketika Nyxaroth, makhluk dari dimensi lain, muncul. Mereka adalah hasil dari pertemuan antara dunia kita dan dunia yang lebih gelap, sebuah dunia yang penuh dengan kehancuran dan kekuatan yang tak terbayangkan."

Fabio merasa hatinya berdegup lebih cepat saat Thalysa melanjutkan. "Bencana itu menciptakan jurang besar antara dimensi kita dan dunia lain. Itu juga merusak tatanan fisik dan magis dunia ini, menyebabkan cuaca yang tak terduga, tanah yang hancur, dan makhluk-makhluk mengerikan muncul di dunia yang dulunya damai. Sebagian besar umat manusia pun terhapus dalam kehancuran itu."

Fabio terdiam, mencoba menyerap segala informasi yang baru saja dia terima. Dunia ini… dunia yang ia bangun dari sisa-sisa yang mengerikan, ternyata dihancurkan oleh tangan-tangan manusia itu sendiri—dengan keinginan untuk menguasai sesuatu yang tak mereka pahami.

"Setelah Cataclysmic Catastrophe, umat manusia harus bertahan hidup di tengah sisa-sisa kehancuran. Banyak kerajaan runtuh, dan wilayah yang dulu subur kini menjadi gurun atau rawa yang berbahaya. Sihir yang awalnya dianggap sebagai kekuatan terlarang kini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, karena itu adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup dan melawan makhluk-makhluk seperti Nyxaroth," lanjut Thalysa, matanya melayang jauh, seolah mengingat masa-masa kelam itu.

"Dan di tengah semua kehancuran ini, Thalos tetap berdiri sebagai benteng terakhir, karena keunggulannya dalam pertahanan dan sihir. Namun, kami tidak pernah benar-benar pulih. Cataclysmic Catastrophe tidak hanya merusak dunia fisik, tetapi juga meninggalkan bekas dalam jiwa umat manusia."

Fabio bisa merasakan kekuatan cerita itu, seolah dunia di sekitarnya bergetar dengan gema dari masa lalu yang gelap. "Dan sekarang," Thalysa melanjutkan dengan nada yang lebih rendah, "sekarang kita hidup di dunia yang terbagi—antara manusia yang berusaha membangun kembali peradaban, dan makhluk-makhluk dari dimensi yang lebih gelap yang selalu mengancam. Semua itu adalah akibat dari Cataclysmic Catastrophe."

Fabio merasa berat hati, seakan beban sejarah dunia ini menindih dadanya. “Jadi, sihir ini… semua ini karena Cataclysmic Catastrophe?”

Thalysa mengangguk. “Sihir itu adalah hadiah sekaligus kutukan. Ia muncul sebagai hasil dari kehancuran itu. Namun, tak semua orang menggunakannya untuk kebaikan. Beberapa di antara kami memanfaatkannya untuk membangun, sementara yang lainnya, seperti Nyxaroth, menggunakannya untuk merusak.”

Fabio menatap ke langit biru di atas mereka, seolah dunia yang dijelaskan Thalysa perlahan mulai terungkap, meski ia merasa dirinya masih terjebak dalam kabut ketidakpastian. Namun, satu hal terasa jelas dalam benaknya—dunia ini penuh dengan konflik yang tak terpecahkan, dan dirinya, yang begitu lemah dan terlupakan, mungkin adalah bagian dari cerita besar yang belum terungkap sepenuhnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 1 Chapter 2: Konflik Kakak Adik

    Saat mereka berjalan lebih dalam ke ibu kota, suasana yang tenang dan penuh harmoni tiba-tiba terpecah oleh suara langkah cepat yang menghampiri. Seorang prajurit kerajaan, mengenakan pelindung tubuh dan membawa senjata, datang dengan tergesa-gesa. Wajahnya tampak tegang, matanya tidak bisa menutupi kecemasan yang mendalam."Komandan Baizhu!" prajurit itu berkata dengan nada terburu-buru, berhenti di depan Baizhu. "Ada masalah di hutan, tempat kita menemukan pria itu. Kami menemukan jejak-jejak aneh dan beberapa makhluk tak dikenal. Kami membutuhkan bantuan segera."Baizhu segera mengerutkan alis, ekspresinya langsung berubah serius. "Apa maksudmu dengan 'makhluk tak dikenal'? Kami baru saja meninggalkan tempat itu, tidak ada yang bisa melacak ke sana dalam waktu singkat."Namun, prajurit itu menggelengkan kepala. "Kami menemukannya hanya beberapa jam setelah pertemuan itu, dan jejaknya sangat aneh. Tidak seperti makhluk biasa. Kami khawatir jika ada bahaya lebih besar yang mendekat."

    Last Updated : 2024-12-16
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 1 Chapter 3: Nyxaroth Primus

    Saat Thalysa dan Fabio berjalan lebih dalam melalui ibu kota, menikmati keindahan dan kehidupan sehari-hari yang penuh harapan, udara yang seharusnya tenang mendadak berubah. Sebuah ledakan besar mengguncang tanah, menggoyahkan bangunan-bangunan di sekitar mereka, dan membuat jalanan yang semula damai menjadi hening sesaat. Tanah bergetar dengan kekuatan yang tak terbayangkan, dan suara dentuman itu menggema melalui udara, merobek keheningan kota. Orang-orang di sekitar mereka langsung panik, berlarian mencari perlindungan. Fabio berhenti sejenak, tubuhnya tegang. Mata Thalysa terfokus ke arah utara, ke arah hutan yang terletak di luar benteng—tempat mereka sebelumnya menemukan sisa-sisa pertempuran melawan Nyxaroth. Sebuah rasa yang tak bisa dijelaskan merayap di dalam dirinya, mengingatkan pada perasaan aneh yang selalu menyelimuti tubuhnya sejak pertama kali ia terbangun di dunia ini. "Thalysa, apa itu?" tanya Fabio, suara penuh kecemasan. "Aku rasa itu dari hutan," jawab Thalysa

    Last Updated : 2024-12-17
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 1 Chapter 4: Kebenaran

    Malam yang mencekam menyelimuti hutan, dan udara terasa lebih berat dengan setiap langkah mereka. Keempatnya melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, berusaha mengidentifikasi sumber ledakan yang telah mengguncang benteng beberapa waktu lalu. Namun, meskipun mereka semakin dekat, ada ketegangan yang mengalir di antara mereka—sebuah perasaan bahwa bahaya sudah terlalu dekat. Di kejauhan, sesuatu bergerak dengan cepat, melintasi kabut yang mulai turun di antara pohon-pohon tinggi. Tiba-tiba, sebuah teriakan keras, disusul oleh dentuman keras, mengguncang tanah di bawah kaki mereka. Sebelum mereka bisa bereaksi, makhluk itu muncul. Nyxaroth Primus, sosok raksasa yang mengerikan, muncul dari balik bayang-bayang, wajahnya penuh dengan amarah dan kebencian yang terakumulasi selama berabad-abad. Tubuhnya besar, berkilau dengan cahaya merah yang memancar dari dalam tubuhnya, seolah menyatu dengan kegelapan yang menyelimuti hutan. Dengan gerakan yang tidak bisa dihindari, ia melompat ke arah

    Last Updated : 2024-12-17
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 0: Zero

    Rasa dingin menyelimuti tubuh Fabio, membangunkannya dari kegelapan yang tampak abadi. Namun, ini bukan kebangkitan seperti biasa. Tidak ada tanah di bawah kakinya, tidak ada langit di atasnya—hanya kehampaan yang tak terhingga, sebuah dunia yang tidak bisa dijelaskan dengan logika atau imajinasi. Segalanya terasa tidak nyata, namun begitu jelas di depan matanya.Di tengah kehampaan itu, berdiri sosok yang pernah dilihatnya sebelumnya, namun kali ini dengan penampilan yang berbeda. Tubuh sosok itu hitam pekat seperti malam tanpa bintang, tetapi dihiasi pola galaksi yang berpendar lembut, menciptakan kontras antara kegelapan dan keindahan yang tidak bisa dijelaskan. Pola itu bergerak perlahan, seperti nebula yang melayang di angkasa, memberi kesan kehidupan yang tak terbatas sekaligus kesunyian yang mendalam.Matanya bersinar seperti supernova—cahaya putih yang menusuk, seolah menembus segala hal. Rambut panjangnya melayang perlahan, seperti berada dalam gravitasi nol, berganti warna d

    Last Updated : 2024-12-18
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 1: Kerajaan Valtor

    Satu minggu setelah Fabio dinyatakan pulih sepenuhnya, dia akhirnya bisa bergerak dengan normal. Luka-luka yang sebelumnya membuat tubuhnya tampak mustahil untuk pulih kini telah sembuh tanpa jejak, meninggalkan Fabio dengan pertanyaan yang belum terjawab tentang kekuatan misterius dalam dirinya. Namun, tidak ada waktu untuk merenung terlalu lama—pagi itu, seorang utusan kerajaan datang ke rumah sakit, menyampaikan pesan dari Putri Jinshi. Fabio dipanggil ke istana untuk sebuah audiensi penting.Thalysa, yang sedang menemani Fabio saat itu, memutuskan untuk ikut bersamanya. Tidak lama setelahnya, Baizhu juga bergabung, tampak lebih serius dari biasanya, meskipun ekspresinya tetap sulit ditebak.-Istana Thalos: Ruang Singgasana-Istana kerajaan Thalos berdiri megah di tengah ibu kota, sebuah bangunan yang memancarkan wibawa sekaligus keindahan. Pilar-pilar besar dari batu granit hitam menopang atap berlapis emas, sementara dindingnya dihiasi ukiran kuno yang menceritakan sejarah panjan

    Last Updated : 2024-12-18
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 2: Misi dan Ramalan

    Ruang singgasana istana Thalos dipenuhi keheningan yang tegang. Jinshi, yang memimpin rapat kecil itu, berdiri di dekat singgasana dengan tangan terkepal di belakang punggungnya. Di depannya, Fabio, Thalysa, dan Baizhu berdiri dalam jarak yang tidak terlalu dekat. Wajah mereka menunjukkan emosi yang berbeda—Fabio dengan ekspresi serius namun tenang, Thalysa yang penuh tekad, dan Baizhu dengan kerutan tajam di dahinya."Fabio," Jinshi memulai, suaranya lembut namun tegas, "Aku ingin kau pergi ke Valtor dan menyusul ayahku, Kaito Akio V."Mata Fabio sedikit membesar mendengar perintah itu. "Menyusul ke Valtor?" tanyanya, nada suaranya penuh keheranan.Jinshi mengangguk. "Ayahku sedang dalam perjalanan diplomatik untuk memperbaiki hubungan dengan kerajaan itu. Tetapi situasi ini sangat sensitif, dan aku khawatir dia mungkin membutuhkan bantuan. Kau telah menunjukkan kekuatan yang luar biasa dalam pertempuran melawan Nyxaroth Primus. Aku percaya kau bisa melindungi ayahku jika sesuatu ter

    Last Updated : 2024-12-21
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 3: Konflik di Ashenfield

    Perjalanan Fabio dan Thalysa menuju Kerajaan Valtor baru memasuki hari kelima ketika mereka mencapai dataran terbuka yang dikenal sebagai Ashenfield. Matahari senja menyinari lanskap yang suram, menciptakan bayangan panjang di atas tanah abu-abu yang penuh dengan bekas luka bencana. Ashenfield adalah sisa-sisa kehancuran besar selama Cataclysmic Catastrophe, di mana api besar telah melalap kehidupan dan meninggalkan tanah yang penuh energi magis tak stabil. Namun, penduduk setempat yang tangguh berusaha keras menghidupkan kembali daerah ini dengan bercocok tanam, meskipun tanah masih menyimpan jejak kutukan.Fabio memperhatikan sekeliling dengan ekspresi netral, pandangannya menyapu reruntuhan dan ladang yang tak subur. Di sebelahnya, Thalysa menatap dengan penuh perhatian, memperhatikan penduduk yang tampak lelah namun tetap berusaha bekerja di bawah bayang-bayang kehancuran. Mereka memasuki desa kecil di tengah dataran itu, tempat asap tipis dari dapur-dapur kayu mengepul ke udara.

    Last Updated : 2024-12-23
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 4: Penyelidikan dan Surat

    Penginapan kecil tempat Fabio dan Thalysa tinggal selama di Ashenfield tidak terlalu ramai pagi itu. Udara dingin dari luar terasa menusuk, tetapi kehangatan dari api di perapian ruangan utama penginapan membuat suasana sedikit lebih nyaman. Fabio duduk di salah satu kursi dekat jendela, pandangannya terpaku pada jalanan yang mulai sibuk dengan penduduk setempat. Di sampingnya, Thalysa berdiri dengan tangan terlipat, wajahnya menunjukkan ekspresi tidak puas setelah mendengar rencana yang diusulkan Fabio."Kita tidak membutuhkan bantuan," ujar Thalysa dengan nada tegas. "Kita bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Lagipula, Ashenfield hanyalah sebuah daerah kecil. Aku yakin ini bukan prioritas tinggi bagi kerajaan."Fabio menghela napas, menoleh ke arahnya. "Thalysa, aku tahu kau percaya pada kemampuan kita, tapi ini bukan tentang seberapa kuat atau cerdas kita. Ini tentang skala masalahnya. Jika kita gagal di sini, dampaknya bisa lebih besar dari yang kau bayangkan."Thalysa mengerut

    Last Updated : 2024-12-26

Latest chapter

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 4 Chapter 1: Kondisi Benua Iblis (Codex Benua Iblis)

    Angin panas berhembus perlahan melewati jendela kayu penginapan yang menghadap ke arah selatan kota Ebonhold. Saat matahari tergelincir pelan di atas cakrawala berwarna tembaga, Fabio duduk di kursi tua, membuka lembar demi lembar gulungan peta dan dokumen yang mereka temukan selama perjalanan. Thalysa, duduk tak jauh darinya, menyandarkan dagu di atas tangannya, matanya menyusuri garis-garis lengkung pada peta yang menggambarkan benua yang sedang mereka tapaki—Benua Iblis, tanah yang telah lama hanya disebut-sebut dalam cerita buruk dan bisikan tak berani. Malam itu tidak diisi dengan pembicaraan tentang bahaya atau kematian, melainkan percakapan pelan yang penuh dengan rasa ingin tahu. Mereka tidak sedang bersiap untuk perang atau ritual, tetapi mencoba memahami tanah tempat mereka kini berdiri.Dengan luas mencapai 9,2 juta kilometer persegi, Benua Iblis hampir menyamai ukuran Benua Utama, rumah bagi Thalos, Valtor, dan berbagai peradaban besar lainnya yang telah berdiri sejak zama

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 4 Chapter 0: Benua Iblis

    Kapal udara melayang rendah, melintasi langit kelam yang mendominasi Benua Iblis. Angin dingin menerpa lambung kapal, membawa serta aroma besi dan tanah basah yang menguap dari permukaan di bawah. Dari kejauhan, Fabio dan Thalysa dapat melihat daratan hitam yang membentang luas, sebuah dunia yang seolah telah mati sejak lama. Tak ada kehijauan, hanya hamparan reruntuhan yang terbengkalai, seakan-akan sisa-sisa dari sebuah peradaban yang pernah ada namun kini hanya menjadi kenangan samar yang terkubur di bawah abu dan debu.Di tengah pemandangan yang begitu suram, ada satu titik cahaya yang menarik perhatian mereka—sebuah kota yang dikelilingi dinding tinggi, berdiri kokoh di antara kehancuran yang meliputi tanah ini. Lentera sihir berpendar redup di sepanjang jalan utama, memberikan sedikit penerangan di kegelapan yang abadi. Fabio mempersempit pandangannya. Kota ini terlihat seperti tempat perlindungan, tetapi tidak ada tempat di dunia ini yang benar-benar aman."Ebonhold," gumam Tha

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Chapter Interlude: Asa itu Masih Ada!

    Di bawah langit yang kelam dan tanah yang masih berbau abu, seorang pemuda berdiri di tengah reruntuhan yang dulunya adalah desanya. Bangunan-bangunan yang dulu penuh kehidupan kini hanyalah puing-puing yang berserakan. Udara masih menyisakan jejak kehancuran, dan setiap langkah yang ia ambil membawa suara kayu rapuh yang patah di bawah kakinya. Namun, meskipun dunia di sekitarnya hancur, matanya tidak memancarkan keputusasaan. Tangan pemuda itu menggenggam erat sekop tua yang ia temukan di antara reruntuhan. Ia menarik napas dalam, menatap tanah yang porak-poranda di hadapannya. "Aku akan membangun kembali desa ini," gumamnya, suaranya hampir seperti janji yang diucapkan kepada dirinya sendiri. Hari pertama adalah yang paling sulit. Ia mulai membersihkan puing-puing, satu demi satu, meskipun tubuhnya masih penuh luka akibat perang yang baru saja berlalu. Setiap kali ia mencoba mengangkat kayu besar atau memindahkan batu bata yang hancur, tubuhnya berteriak kesakitan. Tapi ia ti

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Chapter Interlude: Surat yang tidak Tersampaikan

    Di sebuah kamar penginapan kecil, di bawah cahaya redup lilin yang hampir habis, seorang pria duduk di depan meja kayu tua. Tangannya bergerak perlahan, pena yang dipegangnya menari di atas selembar kertas kosong. Udara malam menyelinap masuk melalui jendela yang terbuka sedikit, membawa aroma laut yang asin dan suara langkah kaki samar dari jalanan di luar.Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, ia menulis surat. "Aku tiba di kota ini menjelang senja. Jalanan sempitnya dipenuhi cahaya lentera yang menggantung di depan rumah-rumah kayu, menari pelan dihembus angin. Ada sesuatu tentang kota ini yang mengingatkanku padamu—mungkin caranya menyimpan kehangatan di tengah udara yang dingin, atau mungkin karena suara riuh pasar malamnya mengingatkanku pada tawamu yang pernah memenuhi hariku."Ia berhenti sejenak, menatap kata-kata yang baru saja ia tulis. Di sebelahnya, bertumpuk lembaran-lembaran kertas lain—surat-surat yang tak pernah dikirimkan. Setiap kota yang ia singgahi, setiap

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Chapter Interlude: Datang Lagi, Sampai Kapanpun

    Langit senja menggantung rendah di ufuk barat, menyelimuti desa kecil ini dengan semburat jingga yang hangat. Udara sore terasa lembut, membawa serta aroma tanah yang masih lembap setelah hujan siang tadi. Angin bertiup pelan, menggoyangkan dedaunan di sepanjang jalan berbatu yang kulewati. Aku berhenti sejenak, menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam warung kecil di sudut desa. Tempat ini tidak banyak berubah—meja-meja kayu sederhana, aroma masakan yang menggugah selera, dan suara orang-orang yang bercakap santai.Dan di sana, berdiri seorang gadis yang kukenal. Senyumnya masih sama. Hangat, menenangkan, dan… selalu berhasil membangkitkan sesuatu di dalam diriku yang sudah lama hilang."Wah, masakanmu enak dek," ucapku dengan nada ceria, berusaha menahan sesuatu yang perlahan mulai menggenang di dalam dadaku. Aku melahap cemilan yang ia buat dengan lahap, seolah rasa itu adalah sesuatu yang sudah lama kurindukan."Duh, makasih loh mas," jawabnya dengan se

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Chapter Interlude: Anak yang Tumbuh Membenci Manusia

    Seorang anak manusia lahir di dunia yang penuh kebohongan. Ia tumbuh tanpa mengetahui apa itu kasih sayang, tanpa memahami makna kelembutan. Setiap hari yang ia jalani bukanlah lembaran baru yang penuh harapan, melainkan kelanjutan dari penderitaan yang tak kunjung usai. Sejak kecil, ia melihat bagaimana manusia saling menghancurkan, bagaimana mereka tersenyum di depan tetapi menusuk dari belakang, bagaimana kebaikan hanyalah topeng untuk menutupi niat busuk yang mengendap dalam jiwa mereka. Anak itu tidak pernah tahu seperti apa rasanya dipeluk dengan tulus. Tidak pernah ada tangan yang menepuk kepalanya dengan lembut, tidak pernah ada suara yang mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Yang ia tahu hanyalah kelaparan, dingin, dan suara-suara kasar yang terus membentaknya, memberitahunya bahwa ia tidak diinginkan, bahwa ia tidak pernah seharusnya ada. Setiap malam, ia tidur dalam gelap, bukan karena lampu dipadamkan, tetapi karena kegelapan adalah satu-satunya teman yang tida

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 3 Chapter 13: Destinasi Berikutnya

    Malam terakhir di Valtor terasa lebih sunyi dari biasanya. Fabio dan Thalysa duduk di atas menara tertinggi di kota, menatap laut yang gelap dan tak berujung di kejauhan. Angin dingin membawa suara ombak yang menghantam tebing-tebing batu, menciptakan irama yang tak beraturan, seolah-olah lautan itu sendiri berbisik tentang sesuatu yang tidak bisa dipahami manusia. Lampu-lampu di kota perlahan mulai redup, meninggalkan hanya bintang-bintang yang terpantul samar di permukaan air yang hitam pekat.Thalysa menarik napas dalam-dalam sebelum bertanya, “Apa yang kita cari di sana, Fabio? Apakah hanya jawaban tentang Abyssal, atau lebih dari itu?” Suaranya lembut, tetapi ada kegelisahan yang jelas di dalamnya. Perjalanan mereka bukan sekadar ekspedisi biasa. Ini adalah langkah menuju sesuatu yang bahkan mereka sendiri tidak sepenuhnya pahami.Fabio tetap diam untuk waktu yang lama, hanya menatap cakrawala kosong tanpa ekspresi. Kemudian, akhirnya, ia menjawab dengan suara rendah, “Aku tidak

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 3 Chapter 12: Istirahat

    Setelah ritual berakhir, suasana dalam kuil masih terasa berat. Para Saint dan Septentrion menundukkan kepala saat Fabio, Thalysa, dan Kaito Akio V berjalan keluar dari Ruang Penghakiman. Hanya suara langkah kaki mereka yang menggema di lorong batu, seolah udara di dalam kuil pun menahan napas. Fabio masih diam, tidak berbicara sepatah kata pun sejak jawaban dari Sang Penghakim menggantung di udara. Matanya kosong, tatapannya menembus lantai tanpa benar-benar melihatnya. Seolah pikirannya masih terperangkap di dalam lingkaran ritual yang kini sudah padam.Thalysa mencuri pandang ke arahnya beberapa kali, ingin bertanya sesuatu tetapi tidak yakin bagaimana cara memulainya. Ini bukan pertama kalinya Fabio tenggelam dalam pikirannya sendiri, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Biasanya, dia hanya bersikap acuh, tetapi sekarang... ada sesuatu yang lain. Seakan ia sedang berada di antara dua dunia, berdiri di perbatasan antara masa lalu dan masa depan, tetapi tidak bisa melangkah ke sa

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 3 Chapter 11: Pertemuan Kedua

    Saat ritual berlangsung, semua orang melihat Fabio hanya berdiri diam di tengah lingkaran tanpa ekspresi. Tidak ada reaksi apa pun. Tidak ada rasa sakit, tidak ada ketegangan yang terlihat di wajahnya. Namun, di dalam kesadarannya, ia tidak berada di ruangan itu lagi.Dunia di sekelilingnya telah berubah menjadi tempat yang tidak nyata—sebuah hamparan kosong yang dipenuhi cahaya pucat yang berkedip-kedip seperti lilin yang hampir padam. Udara di sekelilingnya terasa berat, seperti ribuan suara bisikan yang tak terdengar memenuhi ruang hampa ini. Fabio melangkah perlahan, tetapi tidak ada gema, tidak ada suara dari langkah kakinya. Seolah dunia ini sendiri menolak keberadaannya.Dari kegelapan yang tak berujung, seseorang muncul. Tidak seperti pertemuan pertamanya, sosok ini bukan lagi bayangan hitam tanpa bentuk. Kini, sosok itu memiliki wajah yang sama dengan Fabio, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Matanya lebih dalam, lebih tua, seolah membawa beban yang tak terhitung. Pakaian yang i

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status