Tadinya, Juda cukup optimis karena melihat kepercayaan diri Danis yang terpancar dari tatapan matanya sesaat sebelum mereka berpisah di depan pintu apartemen Haikal. Juda percaya jika Danis tidak akan begitu saja terpengaruh oleh ucapan-ucapan kedua kakak laki-lakinya yang biasanya bisa dengan muduh memukul mundur setiap laki-laki yang dekat dengan Juda. Tapi... ternyata sama saja. Pada akhirnya, Danis juga tidak tahan menghadapi Ghani dan Haikal meski laki-laki itu sudah lebih mengenal mereka sejak dulu. Dan Juda jelas tak bisa mengesampingkan kemungkinan bahwa bukan salah mereka, yang pada akhirnya memilih mundur, tetapi kedua kakak laki-lakinya saja yang sudah terlalu jauh mencampuri urusan hidupnya. "Kamu mau pergi ke mana, Ju?" "Pulang!" tukas Juda sinis seraya menyeret dua koper besarnya keluar dari kamar tamu. Ghani beserta istri da anaknya sudah pamit pulang setelah Giana memandikan Nakula tadi. Makan malam yang sudah direncanakan gagal begitu saja karena Juda terlalu marah
Sudah lebih dari satu jam Juda duduk di kamar kosnya yang sepi. Haikal langsung pulang—Juda mengusir Haikal karena muak melihat wajahnya—setelah memastikan Juda masuk ke kamar dan makan malam yang laki-laki itu pesan sudah sampai. Juda belum menyentuh makanan itu sama sekali. Dan barangkali tidak akan menyentuhnya karena ia tidak nafsu sama sekali. Juda hanya memandangi ponselnya, menunggu kabar dari Danis, entah apa pun itu. Sayangnya, tidak ada satu pun. Tadi Juda sempat bertanya kepada Giana soal Danis. Alasan apa yang laki-laki itu ungkapkan saat pamit untuk pergi. Danis mengatakan ada emergency. Hanya itu. Juda sudah mencoba menghubungi ponsel Danis beberapa kali, namun tidak tersambung. Juda bahkan menghubungi Martin, menanyakan keberadaan Danis. Sayangnya, Martin sedang berada di luar kota sehingga tidak tahu Danis di mana. Terakhir berkirim pesan tadi malam saat Martin mengabari tidak akan pulang ke apartemen. Takut. Itu yang Juda rasakan sekarang. Sebab, Juda sadar jika
Sudah lebih dari satu jam Juda duduk di salah satu sofa yang ada di lobi gedung apartemen Martin. Beberapa kali Juda sudah mencoba menghubungi ponsel Danis, namun masih juga tak terhubung. Juda tahu bahwa ada banyak kemungkinan yang terjadi. Kemungkinan pertama Danis tak mau bicara lagi dengannya dan memblokir nomor Juda. Kemungkinan yang kedua Danis sedang ada urusan penting sehingga belum sempat memegang ponsel. Kemungkinan ketiga ponsel Danis kehabisan daya dan Danis belum sempat mengisi dayanya. Kemungkinan keempat, yang amat sangat tidak ingin Juda bayangkan, Danis mengalami kecelakaan dan polisi kesulitan menghubungi keluarga Danis karena ponsel Danis rusak. Tadinya, Juda sudah menyiapkannya banyak pertanyaan di kepalanya. Namun, seiring waktu berlalu dan Danis masih belum muncul juga, Juda mulai khawatir dan ketakutan setengah mati. Juda benar-benar berharap Danis baik-baik saja dan hanya sedang sibuk hingga tidak bisa diganggu. Namun, kesibukan apa yang Danis punya sekarang
"Lo benar-benar nggak tahu siapa yang bisa dihubungi kalau ada emergency?" Juda kembali 'meneror' Martin karena pikirannya benar-benar seperti racun yang mematikan sekarang. Kekhawatiran Juda sudah berada di puncak dan Danis belum juga ia temukan keberadaannya saat ini. "Ju, kita belum tahu ini emergency apa enggak." "Kita nggak tahu Danis ada di mana, Martin! Ini udah berjam-jam," geram Juda. Kesabarannya sudah habis untuk menunggu dalam ketidakpastian. "Bisa aja Danis balik ke rumah nyokapnya." "Lo bisa bantu tanya ke mereka?" "Are you kidding? Ini udah tengah malam, Ju." "Justru karena ini udah tengah malam, Martin. Danis nggak ada—" "Ju, Danis itu bukan anak kecil lagi. Dia belum balik ke apartemen bukan berarti Danis lagi kenapa-kenapa di luar sana. Bisa aja Danis lagi bersenang-senang, mabuk-mabukan di kelab—" "Tapi gimana kalau Danis beneran kenapa-kenapa, Martin? Kok lo bisa sih nggak khawatir sama sekali?" desak Juda kesal. "Gue baru akan khawatir kalau sampai 24 ja
Dengan sangat hati-hati, Juda menjauhkan tangan Danis yang memeluk tubuhnya, lalu wanita itu perlahan turun dari atas tempat tidur. Juda berjalan mengendap-endap menuju pintu dan membukanya dengan gerakan yang sudah sangat pelan, tetapi suara derit pintu langsung membangunkan Danis. "Mau ke mana?" Danis masih pas posisi tengkurap dan wajah menempel pada bantal. "Pulang," bisik Juda. "Kamu tidur lagi aja." Danis sedikit mengangkat kepala. "Ini jam berapa?" "Jam setengah lima." "Masih pagi banget, Ju. Kenapa buru-buru?" "Ini hari Senin, Danis. Aku kerja." "Nggak bisa bolos sehari aja?" Juda terkekeh. "Cuma biar bisa tidur lebih lama sama kamu di sini?" Dalam kantuk yang masih menguasai, Danis mengangguk dan memeluk guling. Meski hanya terlihat remang-remang, Juda gemas sekali melihat tingkah Danis. Tak dipungkiri, Juda pun masih ingin bergelung di atas ranjang bersama Danis dan berbagi kehangatan. Selain pekerjaan yang tak bisa ditinggal, Juda juga sudah kembali waras. Keberadaa
Tak banyak waktu yang tersisa hingga masa percobaan yang sudah ia dan Danis sepakati itu berakhir. Juda sudah yakin pada keputusan yang akan ia ambil setelah semalaman menganalisis perasaannya kepada Danis. Juda menyukai Danis. Itu sudah jelas.Tak dipungkiri, Juda juga menyayangi lelaki yang dulu pernah ia sakiti tetapi kini telah kembali. Tidak ada alasan untuk mundur. Tidak ada alasan untuk berpisah. Meski masih ada rasa penasaran dan kini disertai ketakutan yang melanda karena ada sesuatu yang Danis tutup-tutupi, Juda tidak akan memanfaatkan itu untuk menolak Danis dan mendorong laki-laki itu menjauh.Dan hari ini, Juda hanya perlu memastikan bahwa keputusannya sudah benar. Untuk itu, Juda harus bertemu Danis dan membicarakan semuanya."Danis, maaf ya. Harusnya aku nggak ganggu kamu sekarang," Juda berucap dengan tak hati."Aku ada waktu kok, Ju. Kamu nggak ganggu."Suara Danis dari seberang telepon yang terdengar lembut dan meyakinkan itu malah membuat Juda mendadak ragu untuk te
Jetlag membuat Renata tak bisa langsung menemui Danis di hari ia tiba di Jakarta. Renata menginap di hotel karena tak mungkin kembali ke rumah orang tuanya, yang masih belum juga memaafkan Renata karena menikah tanpa restu dengan Danis begitu saja. Atau kawin lari, istilahnya. Paginya, Renata dikejutkan oleh telepon mendesak dari pengacaranya. "Kenapa bisa kecolongan?!" pekik Renata yang kantuknya langsung lenyap begitu saja mendengar kabar buruk dari sang pengacara. Di detik ini, Renata benar-benar menyesal karena impulsif menandatangani surat cerai yang telah dikirimkan Danis ke Belanda beberapa waktu lalu dan saat Renata mengejar waktu, cepat-cepat kembali ke Indonesia, pengacaranya malah mengabari kalau berkas-berkasnya telah diserahkan oleh pengacara Danis ke pengadilan agama. "Kamu sengaja mau bikin saya benar-benar cerai dari Daniswara?" "Maaf, Bu. Tapi Ibu sendiri yang—" "Kamu menyalahkan saya sekarang?" tukas Renata keras. "Apa gunanya saya membayar jasa kamu kalau kamu
Setelah tertipu oleh kebaikan dan kesempurnaan Guntur, Juda pikir ia bisa lebih pintar untuk menyeleksi pasangan yang pantas untuk bersanding dengannya. Namun, nyatanya ia malah semakin terbutakan oleh kebrengsekan orang yang ada di dekatnya. Apakah sebegitu bodohnya Juda hingga matanya tidak bisa melihat kebrengsekan Danis? Atau Danis saja yang terlalu lihai menyembunyikan fakta bahwa laki-laki itu hanyalah seorang bajingan? Ironis sekali, bukan? Tidak hanya satu kali, Juda dengan begitu bodohnya berhadapan dengan pria beristri yang dengan begitu tak tahu malu mendua. Juda hanya tidak menyangka Danis bisa begitu jahat kepadanya. Selama Juda berurusan dengan Guntur dan Grita kemarin, laki-laki itu pasti diam-diam menertawakan Juda. Tentang betapa naifnya Juda. Tentang betapa tololnya Juda. Juda menekan dadanya yang terasa sesak karena tangis yang sejak tadi tak kuasa ia tahan. Di titik ini, Juda tidak yakin bisa cukup kuat untuk bertahan dari pengkhianatan yang dilemparkan langsun