Bermain seharian dan bersenang-senang dengan Nakula membuat suasana hati Juda menjadi terang benderang. Hidupnya mungkin sedang tidak baik-baik saja sekarang, tetapi saat melihat Nakula bersemangat bermain, berlarian ke sana kemari, tertawa-tawa riang karena alasan yang sederhana, Juda bisa sejenak melepaskan penatnya dan menikmati harinya bersama keponakannya yang sangat menggemaskan itu. Juda bahkan sejenak melupakan Danis yang tadinya cukup ia khawatirkan karena harus menghadapi ketiga kakaknya sendirian. "Aku masih mau main," rengek Nakula untuk yang ke sejuta kalinya sejak mereka berada di dalam taksi untuk pulang. Juda pun sampai lelah menjawab, "Besok Nakula masih bisa main lagi sama Tante. Tapi, sekarang kita harus pulang, okay? Nakula kangen sama Ibun, kan?" Nakula mengangguk. Tetapi masih tampak tidak ikhlas karena tadi bocah itu harus sedikit dipaksa agar mau pulang. "Cowok gantengnya Tante ini senang main sama Tante Juju hari ini?" "Senang.! Nakula mau main lagi sama
Tadinya, Juda cukup optimis karena melihat kepercayaan diri Danis yang terpancar dari tatapan matanya sesaat sebelum mereka berpisah di depan pintu apartemen Haikal. Juda percaya jika Danis tidak akan begitu saja terpengaruh oleh ucapan-ucapan kedua kakak laki-lakinya yang biasanya bisa dengan muduh memukul mundur setiap laki-laki yang dekat dengan Juda. Tapi... ternyata sama saja. Pada akhirnya, Danis juga tidak tahan menghadapi Ghani dan Haikal meski laki-laki itu sudah lebih mengenal mereka sejak dulu. Dan Juda jelas tak bisa mengesampingkan kemungkinan bahwa bukan salah mereka, yang pada akhirnya memilih mundur, tetapi kedua kakak laki-lakinya saja yang sudah terlalu jauh mencampuri urusan hidupnya. "Kamu mau pergi ke mana, Ju?" "Pulang!" tukas Juda sinis seraya menyeret dua koper besarnya keluar dari kamar tamu. Ghani beserta istri da anaknya sudah pamit pulang setelah Giana memandikan Nakula tadi. Makan malam yang sudah direncanakan gagal begitu saja karena Juda terlalu marah
Sudah lebih dari satu jam Juda duduk di kamar kosnya yang sepi. Haikal langsung pulang—Juda mengusir Haikal karena muak melihat wajahnya—setelah memastikan Juda masuk ke kamar dan makan malam yang laki-laki itu pesan sudah sampai. Juda belum menyentuh makanan itu sama sekali. Dan barangkali tidak akan menyentuhnya karena ia tidak nafsu sama sekali. Juda hanya memandangi ponselnya, menunggu kabar dari Danis, entah apa pun itu. Sayangnya, tidak ada satu pun. Tadi Juda sempat bertanya kepada Giana soal Danis. Alasan apa yang laki-laki itu ungkapkan saat pamit untuk pergi. Danis mengatakan ada emergency. Hanya itu. Juda sudah mencoba menghubungi ponsel Danis beberapa kali, namun tidak tersambung. Juda bahkan menghubungi Martin, menanyakan keberadaan Danis. Sayangnya, Martin sedang berada di luar kota sehingga tidak tahu Danis di mana. Terakhir berkirim pesan tadi malam saat Martin mengabari tidak akan pulang ke apartemen. Takut. Itu yang Juda rasakan sekarang. Sebab, Juda sadar jika
Sudah lebih dari satu jam Juda duduk di salah satu sofa yang ada di lobi gedung apartemen Martin. Beberapa kali Juda sudah mencoba menghubungi ponsel Danis, namun masih juga tak terhubung. Juda tahu bahwa ada banyak kemungkinan yang terjadi. Kemungkinan pertama Danis tak mau bicara lagi dengannya dan memblokir nomor Juda. Kemungkinan yang kedua Danis sedang ada urusan penting sehingga belum sempat memegang ponsel. Kemungkinan ketiga ponsel Danis kehabisan daya dan Danis belum sempat mengisi dayanya. Kemungkinan keempat, yang amat sangat tidak ingin Juda bayangkan, Danis mengalami kecelakaan dan polisi kesulitan menghubungi keluarga Danis karena ponsel Danis rusak. Tadinya, Juda sudah menyiapkannya banyak pertanyaan di kepalanya. Namun, seiring waktu berlalu dan Danis masih belum muncul juga, Juda mulai khawatir dan ketakutan setengah mati. Juda benar-benar berharap Danis baik-baik saja dan hanya sedang sibuk hingga tidak bisa diganggu. Namun, kesibukan apa yang Danis punya sekarang
"Lo benar-benar nggak tahu siapa yang bisa dihubungi kalau ada emergency?" Juda kembali 'meneror' Martin karena pikirannya benar-benar seperti racun yang mematikan sekarang. Kekhawatiran Juda sudah berada di puncak dan Danis belum juga ia temukan keberadaannya saat ini. "Ju, kita belum tahu ini emergency apa enggak." "Kita nggak tahu Danis ada di mana, Martin! Ini udah berjam-jam," geram Juda. Kesabarannya sudah habis untuk menunggu dalam ketidakpastian. "Bisa aja Danis balik ke rumah nyokapnya." "Lo bisa bantu tanya ke mereka?" "Are you kidding? Ini udah tengah malam, Ju." "Justru karena ini udah tengah malam, Martin. Danis nggak ada—" "Ju, Danis itu bukan anak kecil lagi. Dia belum balik ke apartemen bukan berarti Danis lagi kenapa-kenapa di luar sana. Bisa aja Danis lagi bersenang-senang, mabuk-mabukan di kelab—" "Tapi gimana kalau Danis beneran kenapa-kenapa, Martin? Kok lo bisa sih nggak khawatir sama sekali?" desak Juda kesal. "Gue baru akan khawatir kalau sampai 24 ja
Dengan sangat hati-hati, Juda menjauhkan tangan Danis yang memeluk tubuhnya, lalu wanita itu perlahan turun dari atas tempat tidur. Juda berjalan mengendap-endap menuju pintu dan membukanya dengan gerakan yang sudah sangat pelan, tetapi suara derit pintu langsung membangunkan Danis. "Mau ke mana?" Danis masih pas posisi tengkurap dan wajah menempel pada bantal. "Pulang," bisik Juda. "Kamu tidur lagi aja." Danis sedikit mengangkat kepala. "Ini jam berapa?" "Jam setengah lima." "Masih pagi banget, Ju. Kenapa buru-buru?" "Ini hari Senin, Danis. Aku kerja." "Nggak bisa bolos sehari aja?" Juda terkekeh. "Cuma biar bisa tidur lebih lama sama kamu di sini?" Dalam kantuk yang masih menguasai, Danis mengangguk dan memeluk guling. Meski hanya terlihat remang-remang, Juda gemas sekali melihat tingkah Danis. Tak dipungkiri, Juda pun masih ingin bergelung di atas ranjang bersama Danis dan berbagi kehangatan. Selain pekerjaan yang tak bisa ditinggal, Juda juga sudah kembali waras. Keberadaa
Tak banyak waktu yang tersisa hingga masa percobaan yang sudah ia dan Danis sepakati itu berakhir. Juda sudah yakin pada keputusan yang akan ia ambil setelah semalaman menganalisis perasaannya kepada Danis. Juda menyukai Danis. Itu sudah jelas.Tak dipungkiri, Juda juga menyayangi lelaki yang dulu pernah ia sakiti tetapi kini telah kembali. Tidak ada alasan untuk mundur. Tidak ada alasan untuk berpisah. Meski masih ada rasa penasaran dan kini disertai ketakutan yang melanda karena ada sesuatu yang Danis tutup-tutupi, Juda tidak akan memanfaatkan itu untuk menolak Danis dan mendorong laki-laki itu menjauh.Dan hari ini, Juda hanya perlu memastikan bahwa keputusannya sudah benar. Untuk itu, Juda harus bertemu Danis dan membicarakan semuanya."Danis, maaf ya. Harusnya aku nggak ganggu kamu sekarang," Juda berucap dengan tak hati."Aku ada waktu kok, Ju. Kamu nggak ganggu."Suara Danis dari seberang telepon yang terdengar lembut dan meyakinkan itu malah membuat Juda mendadak ragu untuk te
Jetlag membuat Renata tak bisa langsung menemui Danis di hari ia tiba di Jakarta. Renata menginap di hotel karena tak mungkin kembali ke rumah orang tuanya, yang masih belum juga memaafkan Renata karena menikah tanpa restu dengan Danis begitu saja. Atau kawin lari, istilahnya. Paginya, Renata dikejutkan oleh telepon mendesak dari pengacaranya. "Kenapa bisa kecolongan?!" pekik Renata yang kantuknya langsung lenyap begitu saja mendengar kabar buruk dari sang pengacara. Di detik ini, Renata benar-benar menyesal karena impulsif menandatangani surat cerai yang telah dikirimkan Danis ke Belanda beberapa waktu lalu dan saat Renata mengejar waktu, cepat-cepat kembali ke Indonesia, pengacaranya malah mengabari kalau berkas-berkasnya telah diserahkan oleh pengacara Danis ke pengadilan agama. "Kamu sengaja mau bikin saya benar-benar cerai dari Daniswara?" "Maaf, Bu. Tapi Ibu sendiri yang—" "Kamu menyalahkan saya sekarang?" tukas Renata keras. "Apa gunanya saya membayar jasa kamu kalau kamu
Jika bukan berkat obrolannya dengan Haikal pagi itu, Juda tidak yakin akan ada di sini sekarang. Bersama Danis, bergandengan tangan seperti dua remaja yang sedang kasmaran, menaiki tangga satu per satu untuk menuju flat Juda setelah dua hari terakhir —sejak Jumat malam hingga Minggu sore—mereka menghabiskan waktu di apartemen Danis yang terletak cukup jauh dari flat Juda. Ini tepat empat bulan setelah mereka resmi berpacaran. Juda masih juga bersikukuh bahwa mereka bukan balikan, tetapi menjalin hubungan baru yang lebih sehat. Sehat dalam artian selalu saling jujur dan mengkomunikasikan tentang segala hal yang mengganjal dalam hubungan mereka. "Ju, kita nggak balikan atau tetap jadi mantan seperti yang kamu bilang, tapi kita pada akhirnya bakal jadi manten, kan?" ucap Danis saat mereak sudah sampai di depan pintu flat Juda. Juda tertawa seraya mengeluarkan kunci pintu dari salah satu kantong tasnya. "Ketemu Mami sama Papi dulu, baru bilang gitu!" "Kita punya waktu cukup banyak untu
Bicara soal bahagia, selalu ada kriteria-kriteria tersendiri bagi setiap orang. Seperti Juda yang sudah cukup bahagia melihat video keponakannya menendang-nendang air saat mandi hingga airnya menciprat ke mana-mana. Atau saat keponakannya tertawa-tawa melihat kekonyolan ayahnya. Juda... bisa semudah itu merasa bahagia. Saat bertelepon dengan Ema, membicarakan tentang apa saja yang terlewat saat mereka tidak lagi berada di kota yang sama, berbagi tentang hidup mereka, itu pun sudah membuat Juda bahagia juga. Dan saat Juda menghabiskan waktu bersama Kim dan Nic, yang mengkalim diri mereka sebagai bestie-nya Juda, selalu ada kebahagiaan yang terpupuk di dalam hatinya. Juda bersyukur sekali memiliki keluarga dan teman dekat yang dengan cara yang sederhana membuatnya bahagia. Lalu, bagaimana dengan Danis? Yang juga ingin menjadi salah satu orang yang menjadi bahagianya Juda? Tak Juda pungkiri bahwa saat bersama Danis—entah saat mereka berpacaran pertama kalinya saat SMA, atau saat merek
Meski sudah begitu yakin akan sanggup menerima penolakan demi penolakan Juda, nyatanya ada masa-masa di mana Danis ingin menyerah saja. Sulit sekali menembus tembok pertahanan yang Juda bangun. Enam bulan sudah kembali terlewati dan Danis belum menghasilkan apa-apa. Itu artinya sudah sembilan bulan lamanya Juda bekerja di kantor yang sama dengan Danis. Sudah nyaris setahun sejak Danis bisa berada dekat sekali dengan Juda. Tetapi masih juga tak tergapai sosoknya. "I'm so done. Gue mau nyerah aja." Nyaris setiap bulan Danis akan mengeluh demikian kepada Martin yang hanya tertawa-tawa melihat penderitaan Danis. Sebenarnya, ada juga masa-masa di mana Juda terlihat mulai membuka diri. Terhitung sudah tiga kali Juda mau diajak makan siang. Itu pun tampaknya Juda merasa kasihan kepada Danis yang belum juga menyerah mendekati Juda. Danis seperti termakan omongannya sendiri ketika berkata tak ingin dikasihani. Nyatanya, saat Juda menunjukkan respons positif bahkan sekadar mengasihani, Danis
Juda bukannya tidak sadar Danis mulai mendekatinya lagi sejak beberapa minggu yang lalu. Memang tidak secara blak-blakan seperti saat awal-awal Juda pindah. Dimulai sejak Danis mulai membelikannya kopi, memberikan ucapan-ucapan penyemangat untuk menjalani hari, mengajak Juda mengobrol ringan di dalam lift, dan masih banyak lagi. Danis bersikap lebih sopan, seperti seorang gentleman.Dan hari ini, Danis mulai menaikkan level. Sebelum Juda keluar dari lift saat tiba di lantai 21, Danis berkata, "Ju, nanti makan siang bareng aku, mau?"Jawaban Juda tidak. Karena ia sudah ada agenda bersama Jason untuk bertemu klien sekalian makan siang. Seandainya tidak ada agenda apa-apa pun Juda tetap akan menolak. Menerima pemberian kopi dari Danis dan mengobrol dengan laki-laki itu di dalam lift adalah hal yang tidak bisa Juda hindari karena Danis selalu melakukannya di depan banyak orang. Menolak pemberian Danis hanya akan membuat Juda dipandang buruk orang-orang. Itu tidak bagus untuk image Juda di
Danis tidak lagi mengganggu Juda setelah penolakan telak yang dilontarkan Juda siang itu. Dan itu sudah lewat tiga bulan yang lalu.Awalnya, Danis pikir Juda hanya bertindak berdasarkan emosi yang saat itu sedang menguasai, sehingga Danis membiarkan dirinya mundur. Mengalah. Memberikan Juda waktu lebih banyak.Sayangnya, Juda tidak membutuhkan waktu. Juda tidak sedang menunggu Danis datang lagi, untuk memohon dan mengemis kesempatan terakhir. Sebab, Juda benar-benar serius tentang ucapannya. Tidak lagi tersisa kesempatan. Karena Danis yang sudah membuang kesempatan itu dan menukarnya dengan kesia-siaan."Lo kapan kawinnya, sih? Biar gue bisa balik ke Jakarta," tanya Danis saat Martin menelepon suatu malam."PMS lo? Sewot amat," sindir Martin saat mendengar suara sinis Danis. "Kalau kawin kan gue udah sering, nikah ya aja yang belom," sambungnya."Gue serius, Tin. Gue kayaknya mau balik ke Jakarta dalam waktu dekat," desah Danis."Ngapain? Jangan bilang lo serius mempertimbangkan buat
Juda beruntung karena di kantornya mewajibkan para pegawai bicara menggunakan Bahasa Inggris jika sedang membahas pekerjaan sehingga Juda bisa dengan cepat beradaptasi dengan rekan-rekan kerja sekantornya. Sudah satu minggu Juda menempati posisi barunya sebagai manager pemasaran. Tantangan yang cukup sulit, terutama karena ini pertama kalinya ia menduduki jabatan yang cukup tinggi dan langsung berhadapan dengan orang-orang asing dari berbagai negara. Sejauh ini, Juda belum begitu banyak menemui kesulitan yang membuatnya stres, kecuali keberadaan Danis yang setiap jam makan siang selalu tiba-tiba muncul di ruangan Juda. “Can you stop doing this?” “I’m just trying to be nice.” “To be nice?” Juda mendecih. “Dengan membuat orang-orang di kantor mulai curiga soal kita karena kamu terlalu sering datang ke ruanganku, itu yang kamu sebut mencoba bersikap baik?” “Then, let them be. Kita cuma bernapas aja orang-orang bisa curiga sama kita kok,” tukas Danis dengan enteng sekali. Juda menut
Tiga hari yang Juda punya untuk mempersiapkan diri sebelum memulai hari pertamanya di kantor baru–kantor yang sama dengan kantor Danis–sudah habis. Juda menghabiskan tiga hari pertamanya di Rotterdam itu untuk menata kamar flatnya seperti dulu ia menata kamar kosnya agar terasa familier dan nyaman.Juda juga sudah berkenalan dengan tetangga-tetangga flatnya yang sebagian besar juga perantau dari luar Belanda. Yang cukup ramah kepada Juda ada dua orang. Kim, gadis manis dari Korea yang telah tinggal di flat itu nyaris dua tahun, sedang menempuh pendidikan S2, sekaligus bekerja paruh waktu sebagai pengasuh anak. Lalu satu orang lagi bernama Nic, laki-laki tinggi bongsor dari Inggris yang ternyata satu kantor dengan Juda, tetapi masih pegawai magang dan berbeda divisi dari Juda.Mengetahui kalau Juda adalah pegawai baru, Nic dengan baik hati mengajaknya berangkat bersama menaiki tram. Hari sebelumnya, Nic juga sudah mengajaknya berkeliling kota untuk beradaptasi. Juda benar-benar bersyuk
Perjalanan menggunakan kereta intercity dari Stasiun Schipol ke Rotterdam Centraal yang merupakan stasiun utama di kota Rotterdam memakan waktu 47 menit. Juda memaksakan diri untuk tidur agar tidak harus membangun percakapan dengan Danis yang sejak tadi nampak sekali berusaha keras untuk mengajak Juda bicara. Dari Rotterdam Centraal, untuk menuju flat yang akan ditinggali Juda selama di sana, harus menggunakan taksi. Danis yang sudah belasan tahun tinggal di Belanda itu tampak begitu membaur dengan sekitar. Hanya Juda yang merasa sangat asing di tempatnya berdiri kini. Tadinya, Juda sudah berniat memisahkan diri dari Danis begitu turun dari kereta, tetapi Danis tidak membiarkan Juda pergi. Danis beralasan bahwa ia harus mengantarkan Juda sampai ke flat atas perintah atasannya di kantor. Selain untuk menjelaskan beberapa hal basic tentang transportasi yang harus dinaiki juga untuk ke kantor dan juga untuk bepergian ke tempat-tempat umum, Danis berkata bahwa ia takut Juda tersesat. J
Meninggalkan Jakarta untuk pergi ke Belanda bukanlah pilihan yang mudah bagi Juda. Saat pertama kali mendapatkan tawaran dari bosnya di kantor, untuk dipromosikan ke posisi yang lebih tinggi, tetapi ditempatkan di luar Jakarta, Juda sempat mengira ia akan dimutasi ke Bali. Namun, ternyata Juda akan ditempatkan di perusahaan utama yang bertempat di Rotterdam, Belanda. Juda sempat bertengkar dengan Haikal karena kakak laki-lakinya itu menuduh Juda sengaja pindah ke Belanda untuk mengejar Danis yang selama tiga tahun terakhir menjadi topik yang paling dihindari keluarganya. Jika dibilang sengaja ingin mengejar Danis, tentu itu tidak benar. Awalnya, Juda bahkan tidak langsung ingat bahwa Danis bekerja dan tinggal di Belanda, entah di kota mana, Juda tidak tahu. Juda mempertimbangkan tawaran itu karena memang sudah lama menunggu momen ia dipromosikan. Baru setelah Haikal menyinggungnya, Juda menjadi bimbang. Apakah pilihannya untuk pergi adalah pilihan yang tepat? Juda bisa saja membatal