“Aku nggak suka kamu manggil aku begitu,” tukas Juda melenceng dari pembahasan. Tampak kekesalan membayangi wajahnya. “Aku nggak salah di sini, tapi kamu juga seolah mau mojokin aku. Tadi katanya kamu cuma mau tahu kan? Bukan mau marah-marah gini.”“Aku nggak marah, Ju. Kenapa kamu pikir aku marah sama kamu?”“Kamu marah kalau kamu udah mulai manggil aku Juda,” koreksi Juda.Danis menghela napas keras-keras. Seolah sedang berusaha menghilangkan ganjalan yang menyesaki jalan napasnya.“Aku beneran nggak marah. Aku cuma lagi mikirin dampak dari perbuatan kamu, Ju,” geram Danis dengan gemas.“I didn’t do anything wrong. Aku tuh cuma iseng, Danis. ” balas Juda bersikukuh. Sebab ia memang tidak melakukan sesuatu yang curang. Ia hanya sedang apes saja karena bertemu dengan lelaki beristri yang hobi berselingkuh.“Kalau kamu cuma iseng, kenapa kamu bisa sampai terlibat masalah ini?”Juda mendengkus. “Ya aku emang iseng, tapi kan tetep serius waktu swipe kanan swipe kiri.”Danis geleng-geleng
Tentu saja bukan respons itu yang Danis kira akan Juda lontarkan kepadanya. Danis sudah nyaris kalang kabut menyiapkan jawaban−jawaban bohong tentu saja, sebab Danis belum siap menjelaskan hubungannya dengan Renata yang kandas−jika Juda bertanya tentang statusnya.“Aku berharap kita berhasil ngelewatin satu bulan ini dan yakin buat melangkah ke jenjang yang lebih serius,” Danis menjawab diplomatis.Juda melotot. “Jangan gila! Aku nggak ingat kita pernah ngobrol soal melangkah ke jenjang yang serius atau apa pun itu.”“Jangan langsung panik gitu dong, Ju. Maksud aku, kita pacaran dulu. Sekarang kan kita statusnya masih magang.”Juda segera mengembuskan napas lega. “Kirain kamu langsung pengen nikah. Aku nggak siap kalau itu.”Danis tersenyum kecut. Tentu saja ia tidak akan menawarkan pernikahan kepada Juda dalam waktu dekat sebelum urusannya dengan Renata selesai. Danis hanya berharap jika perceraiannya dengan Renata tidak mengalami kendala dan bisa berlangsung dengan cepat tanpa banya
Tidak ada suara selama beberapa saat karena Juda baru mulai ‘konek’ dan seketika darahnya mendidih. “Kita?” Juda mengulang dengan sinis. “Aku nggak pernah bilang mau ketemu Grita sama kamu. aku juga nggak ada niat mau ketemu sama dia. So what is this? What are you trying to do without telling me?!” Juda menggeleng. Sebelum Danis menanggapi, ia melanjutkan, “Nah! At least ask me first before you make that fucking decision! Aku dari tadi udah bersikap sangat baik ke kamu dengan jawab semua pertanyaan menyudutkan dari kamu walaupun aku nggak punya kewajiban kasih kamu tahu. But, I did. I tell you everything because I believe in you! Sekarang kamu malah tiba-tiba bikin janji sama Grita yang di dalamnya melibatkan aku. You are really something, Danis! Kamu merasa berhak ikut campur urusanku dengan mereka hanya karena kita sekarang lagi dekat? Kamu udah kelewatan, Danis. Kamu bukan siapa-siapa. Kamu cuma orang luar yang kebetulan aku percayai buat berbagi cerita soal masalahku dengan Gunt
Juda melarikan pandangan ke sekeliling kamar setelah berhasil menenangkan diri akibat dari mimpi buruk yang menyapa tidur paginya. Juda nyaris mengucapkan sumpah serapah, namun menahan diri. Tidak satu atau dua kali Juda mengalami ini. Hampir setiap kali Juda tidur di lagi hari, ia pasti akan mendapatkan mimpi buruk yang bentuknya aneh-aneh. Suatu hari, Juda pernah tersesat di sebuah hutan belantara, dikejar-kejar zombie yang ingin memakannya. Juda terbangun dengan keadaan penuh keringat dan ngos-ngosan. Di lain waktu, Juda terjebak seorang diri di sebuah ruangan berbentuk kotak, tak berpintu maupun berjendela. Di sana Juda harus menyelamatkan diri dari kepungan berbagai macam ular yang seolah ingin menelannya hidup-hidup. Juda bangun dalam keadaan bersimbah peluh yang bercampur air mata. Sejak dulu, Juda sangat membenci ular sehingga saat mimpi itu datang, Juda seolah sedang menantang maut. Pernah juga Juda bermimpi sedang melaksanakan ujian di sekolah, sedang mengerjakan soal yang
“To be honest, gue sama Danis mau ketemu Grita.”Butuh beberapa detik bagi Ema untuk mencerna ucapan Juda sebelum memekik, “Lo mau ngapain ketemu Grita?! Mau jambak-jambakan?!”Juda berdecak malas.“Cuma mau ngelurusin masalah aja. Ini inisiatif Danis sih. Gue juga awalnya ogah. Tapi siapa tahu Grita bisa diajak ngobrol dengan kepala dingin.”Ema tampak khawatir saat menatap Juda. “Menurut gue sih enggak segampang itu. Lo tahu sendiri Grita anaknya gimana. Dia tuh temperamental banget dari dulu.”“Positive thinking aja. Siapa tahu dia udah bisa mengelola emosi dengan baik.”“Ju, kalau Grita bisa mengelola emosi dengan baik, lo sama dia nggak bakal ribut di restoran. Lo nggak bakal jadi bahan omongan temen-temen kita gara-gara rekaman video sialan yang disebarin oknum tolol.”Sejujurnya, Juda juga sangsi akan bisa bicara baik-baik dengan Grita.“At least I'm trying. Daripada gue cuma bengong di kamar, gue cuma bakal gatel pengen cek grup mulu, yang masih rame ngomongin gue dan bikin gu
Setelah Juda mandi dan kemudian menghabiskan makan siang yang dibelikan Haikal, wanita itu baru sadar jika kakak laki-lakinya itu hanya menyinggung soal 'pacar baru' Juda. Itu artinya masalahnya dengan Grita masih belum terendus oleh Haikal dan Ghani. Jika mereka belum tahu sampai detik ini, artinya Mami dan Papi juga belum tahu. Tetapi hanya tinggal menunggu waktu saja hingga kabar buruk yang memalukan itu sampai kepada mereka. Juda tahu jika ia tak selamanya bisa menyembunyikan masalah itu dari keluarganya dan membiarkan mereka tahu dari orang lain. Juda hanya tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan duduk perkaranya tanpa membuat Mami jantungan. Maka, hari ini Juda mau tidak mau harus menuntaskan masalahnya dengan Grita. Mau bagaimanapun prosesnya nanti, Juda berharap ada penyelesaian yang jelas. Juda berharap agar dirinya tidak akan dimusuhi lagi oleh Grita meski itu nyaris mustahil terjadi. Jauh sebelum melibatkan Guntur, saat masih di bangku sekolah menengah ke atas, keduanya
Juda pikir, Grita akan bersikap seperti Grita yang biasa. Sinis dan arogan terhadap Juda. Bahkan, Juda pun sudah mempersiapkan diri—menabahkan hati dan menerima apa pun respons dari Grita—jika Grita akan semakin membenci dirinya.Namun, detik demi detik berlalu. Lama sekali Grita hanya diam. Sementara Juda dan Danis mulai tampak resah melihat keterdiaman Grita. Bukan. Mereka berdua bukan sedang mengkhawatirkan respons dari Grita setelah Grita menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya terjadi, tetapi mereka lebih mengkhawatirkan kondisi wanita itu."Grit, are you okay?" tanya Danis hati-hati.Grita yang tadinya memandang lurus ke luar jendela, mengabaikan atensi Danis dan Juda yang tertuju padanya, mengembalikan fokus pada kedua orang di depannya."Jadi, apa yang lo berdua harapkan dari penjelasan itu?" Grita langsung melontarkan tanya.Juda tidak bisa menebak suasana hati Grita yang menampilkan ekspresi datar. Grita yang biasanya meledak-ledak itu kini sulit dibaca."Grit... gue cuma
"Lo pasti nggak pernah main dating app ya, sampai hal basic kayak cek sosmed gitu nggak lo lakukan? If you do that, lo mungkin akan bisa tahu Guntur udah beristri. Dia mungkin jarang buka sosmed, tapi ada banyak tag foto di nikahan gue dulu yang di-post sama keluarga. Atau mungkin lo udah cek dan lo tetep memutuskan buat jalan sama Guntur. Gue juga nggak tahu. "Saat ini, gue udah nggak bisa percaya sama omongan orang. Gue nggak tahu lagi, mana yang bisa gue percaya, mana yang enggak. Karena orang yang berbagi ranjang sama gue setiap hari, yang ngakunya sayang dan cinta sama gue, akan selalu ada buat gue dan bahkan udah bersumpah setia, pada akhirnya mengkhianati gue." Berengsek! Guntur benar-benar berengsek! Bajingan tidak bermoral! "See? Karena ini lah gue nggak akan pernah minta maaf sama lo, Ju. Atas apa pun yang pernah gue katakan dulu san mungkin bikin lo sakit hati. I can't do that. Karena harga diri gue nggak memperbolehkan gue melakukan itu," Grita melontarkan kalimat ber
Jika bukan berkat obrolannya dengan Haikal pagi itu, Juda tidak yakin akan ada di sini sekarang. Bersama Danis, bergandengan tangan seperti dua remaja yang sedang kasmaran, menaiki tangga satu per satu untuk menuju flat Juda setelah dua hari terakhir —sejak Jumat malam hingga Minggu sore—mereka menghabiskan waktu di apartemen Danis yang terletak cukup jauh dari flat Juda. Ini tepat empat bulan setelah mereka resmi berpacaran. Juda masih juga bersikukuh bahwa mereka bukan balikan, tetapi menjalin hubungan baru yang lebih sehat. Sehat dalam artian selalu saling jujur dan mengkomunikasikan tentang segala hal yang mengganjal dalam hubungan mereka. "Ju, kita nggak balikan atau tetap jadi mantan seperti yang kamu bilang, tapi kita pada akhirnya bakal jadi manten, kan?" ucap Danis saat mereak sudah sampai di depan pintu flat Juda. Juda tertawa seraya mengeluarkan kunci pintu dari salah satu kantong tasnya. "Ketemu Mami sama Papi dulu, baru bilang gitu!" "Kita punya waktu cukup banyak untu
Bicara soal bahagia, selalu ada kriteria-kriteria tersendiri bagi setiap orang. Seperti Juda yang sudah cukup bahagia melihat video keponakannya menendang-nendang air saat mandi hingga airnya menciprat ke mana-mana. Atau saat keponakannya tertawa-tawa melihat kekonyolan ayahnya. Juda... bisa semudah itu merasa bahagia. Saat bertelepon dengan Ema, membicarakan tentang apa saja yang terlewat saat mereka tidak lagi berada di kota yang sama, berbagi tentang hidup mereka, itu pun sudah membuat Juda bahagia juga. Dan saat Juda menghabiskan waktu bersama Kim dan Nic, yang mengkalim diri mereka sebagai bestie-nya Juda, selalu ada kebahagiaan yang terpupuk di dalam hatinya. Juda bersyukur sekali memiliki keluarga dan teman dekat yang dengan cara yang sederhana membuatnya bahagia. Lalu, bagaimana dengan Danis? Yang juga ingin menjadi salah satu orang yang menjadi bahagianya Juda? Tak Juda pungkiri bahwa saat bersama Danis—entah saat mereka berpacaran pertama kalinya saat SMA, atau saat merek
Meski sudah begitu yakin akan sanggup menerima penolakan demi penolakan Juda, nyatanya ada masa-masa di mana Danis ingin menyerah saja. Sulit sekali menembus tembok pertahanan yang Juda bangun. Enam bulan sudah kembali terlewati dan Danis belum menghasilkan apa-apa. Itu artinya sudah sembilan bulan lamanya Juda bekerja di kantor yang sama dengan Danis. Sudah nyaris setahun sejak Danis bisa berada dekat sekali dengan Juda. Tetapi masih juga tak tergapai sosoknya. "I'm so done. Gue mau nyerah aja." Nyaris setiap bulan Danis akan mengeluh demikian kepada Martin yang hanya tertawa-tawa melihat penderitaan Danis. Sebenarnya, ada juga masa-masa di mana Juda terlihat mulai membuka diri. Terhitung sudah tiga kali Juda mau diajak makan siang. Itu pun tampaknya Juda merasa kasihan kepada Danis yang belum juga menyerah mendekati Juda. Danis seperti termakan omongannya sendiri ketika berkata tak ingin dikasihani. Nyatanya, saat Juda menunjukkan respons positif bahkan sekadar mengasihani, Danis
Juda bukannya tidak sadar Danis mulai mendekatinya lagi sejak beberapa minggu yang lalu. Memang tidak secara blak-blakan seperti saat awal-awal Juda pindah. Dimulai sejak Danis mulai membelikannya kopi, memberikan ucapan-ucapan penyemangat untuk menjalani hari, mengajak Juda mengobrol ringan di dalam lift, dan masih banyak lagi. Danis bersikap lebih sopan, seperti seorang gentleman.Dan hari ini, Danis mulai menaikkan level. Sebelum Juda keluar dari lift saat tiba di lantai 21, Danis berkata, "Ju, nanti makan siang bareng aku, mau?"Jawaban Juda tidak. Karena ia sudah ada agenda bersama Jason untuk bertemu klien sekalian makan siang. Seandainya tidak ada agenda apa-apa pun Juda tetap akan menolak. Menerima pemberian kopi dari Danis dan mengobrol dengan laki-laki itu di dalam lift adalah hal yang tidak bisa Juda hindari karena Danis selalu melakukannya di depan banyak orang. Menolak pemberian Danis hanya akan membuat Juda dipandang buruk orang-orang. Itu tidak bagus untuk image Juda di
Danis tidak lagi mengganggu Juda setelah penolakan telak yang dilontarkan Juda siang itu. Dan itu sudah lewat tiga bulan yang lalu.Awalnya, Danis pikir Juda hanya bertindak berdasarkan emosi yang saat itu sedang menguasai, sehingga Danis membiarkan dirinya mundur. Mengalah. Memberikan Juda waktu lebih banyak.Sayangnya, Juda tidak membutuhkan waktu. Juda tidak sedang menunggu Danis datang lagi, untuk memohon dan mengemis kesempatan terakhir. Sebab, Juda benar-benar serius tentang ucapannya. Tidak lagi tersisa kesempatan. Karena Danis yang sudah membuang kesempatan itu dan menukarnya dengan kesia-siaan."Lo kapan kawinnya, sih? Biar gue bisa balik ke Jakarta," tanya Danis saat Martin menelepon suatu malam."PMS lo? Sewot amat," sindir Martin saat mendengar suara sinis Danis. "Kalau kawin kan gue udah sering, nikah ya aja yang belom," sambungnya."Gue serius, Tin. Gue kayaknya mau balik ke Jakarta dalam waktu dekat," desah Danis."Ngapain? Jangan bilang lo serius mempertimbangkan buat
Juda beruntung karena di kantornya mewajibkan para pegawai bicara menggunakan Bahasa Inggris jika sedang membahas pekerjaan sehingga Juda bisa dengan cepat beradaptasi dengan rekan-rekan kerja sekantornya. Sudah satu minggu Juda menempati posisi barunya sebagai manager pemasaran. Tantangan yang cukup sulit, terutama karena ini pertama kalinya ia menduduki jabatan yang cukup tinggi dan langsung berhadapan dengan orang-orang asing dari berbagai negara. Sejauh ini, Juda belum begitu banyak menemui kesulitan yang membuatnya stres, kecuali keberadaan Danis yang setiap jam makan siang selalu tiba-tiba muncul di ruangan Juda. “Can you stop doing this?” “I’m just trying to be nice.” “To be nice?” Juda mendecih. “Dengan membuat orang-orang di kantor mulai curiga soal kita karena kamu terlalu sering datang ke ruanganku, itu yang kamu sebut mencoba bersikap baik?” “Then, let them be. Kita cuma bernapas aja orang-orang bisa curiga sama kita kok,” tukas Danis dengan enteng sekali. Juda menut
Tiga hari yang Juda punya untuk mempersiapkan diri sebelum memulai hari pertamanya di kantor baru–kantor yang sama dengan kantor Danis–sudah habis. Juda menghabiskan tiga hari pertamanya di Rotterdam itu untuk menata kamar flatnya seperti dulu ia menata kamar kosnya agar terasa familier dan nyaman.Juda juga sudah berkenalan dengan tetangga-tetangga flatnya yang sebagian besar juga perantau dari luar Belanda. Yang cukup ramah kepada Juda ada dua orang. Kim, gadis manis dari Korea yang telah tinggal di flat itu nyaris dua tahun, sedang menempuh pendidikan S2, sekaligus bekerja paruh waktu sebagai pengasuh anak. Lalu satu orang lagi bernama Nic, laki-laki tinggi bongsor dari Inggris yang ternyata satu kantor dengan Juda, tetapi masih pegawai magang dan berbeda divisi dari Juda.Mengetahui kalau Juda adalah pegawai baru, Nic dengan baik hati mengajaknya berangkat bersama menaiki tram. Hari sebelumnya, Nic juga sudah mengajaknya berkeliling kota untuk beradaptasi. Juda benar-benar bersyuk
Perjalanan menggunakan kereta intercity dari Stasiun Schipol ke Rotterdam Centraal yang merupakan stasiun utama di kota Rotterdam memakan waktu 47 menit. Juda memaksakan diri untuk tidur agar tidak harus membangun percakapan dengan Danis yang sejak tadi nampak sekali berusaha keras untuk mengajak Juda bicara. Dari Rotterdam Centraal, untuk menuju flat yang akan ditinggali Juda selama di sana, harus menggunakan taksi. Danis yang sudah belasan tahun tinggal di Belanda itu tampak begitu membaur dengan sekitar. Hanya Juda yang merasa sangat asing di tempatnya berdiri kini. Tadinya, Juda sudah berniat memisahkan diri dari Danis begitu turun dari kereta, tetapi Danis tidak membiarkan Juda pergi. Danis beralasan bahwa ia harus mengantarkan Juda sampai ke flat atas perintah atasannya di kantor. Selain untuk menjelaskan beberapa hal basic tentang transportasi yang harus dinaiki juga untuk ke kantor dan juga untuk bepergian ke tempat-tempat umum, Danis berkata bahwa ia takut Juda tersesat. J
Meninggalkan Jakarta untuk pergi ke Belanda bukanlah pilihan yang mudah bagi Juda. Saat pertama kali mendapatkan tawaran dari bosnya di kantor, untuk dipromosikan ke posisi yang lebih tinggi, tetapi ditempatkan di luar Jakarta, Juda sempat mengira ia akan dimutasi ke Bali. Namun, ternyata Juda akan ditempatkan di perusahaan utama yang bertempat di Rotterdam, Belanda. Juda sempat bertengkar dengan Haikal karena kakak laki-lakinya itu menuduh Juda sengaja pindah ke Belanda untuk mengejar Danis yang selama tiga tahun terakhir menjadi topik yang paling dihindari keluarganya. Jika dibilang sengaja ingin mengejar Danis, tentu itu tidak benar. Awalnya, Juda bahkan tidak langsung ingat bahwa Danis bekerja dan tinggal di Belanda, entah di kota mana, Juda tidak tahu. Juda mempertimbangkan tawaran itu karena memang sudah lama menunggu momen ia dipromosikan. Baru setelah Haikal menyinggungnya, Juda menjadi bimbang. Apakah pilihannya untuk pergi adalah pilihan yang tepat? Juda bisa saja membatal