"Lo pasti nggak pernah main dating app ya, sampai hal basic kayak cek sosmed gitu nggak lo lakukan? If you do that, lo mungkin akan bisa tahu Guntur udah beristri. Dia mungkin jarang buka sosmed, tapi ada banyak tag foto di nikahan gue dulu yang di-post sama keluarga. Atau mungkin lo udah cek dan lo tetep memutuskan buat jalan sama Guntur. Gue juga nggak tahu. "Saat ini, gue udah nggak bisa percaya sama omongan orang. Gue nggak tahu lagi, mana yang bisa gue percaya, mana yang enggak. Karena orang yang berbagi ranjang sama gue setiap hari, yang ngakunya sayang dan cinta sama gue, akan selalu ada buat gue dan bahkan udah bersumpah setia, pada akhirnya mengkhianati gue." Berengsek! Guntur benar-benar berengsek! Bajingan tidak bermoral! "See? Karena ini lah gue nggak akan pernah minta maaf sama lo, Ju. Atas apa pun yang pernah gue katakan dulu san mungkin bikin lo sakit hati. I can't do that. Karena harga diri gue nggak memperbolehkan gue melakukan itu," Grita melontarkan kalimat ber
Sepeninggal Juda ke kamar mandi, Danis memanfaatkan waktu yang kosong itu untuk mengamati Grita. Tak hanya Juda, Danis pun tadinya berpikir jika Grita tidak akan mudah diajak bicara. Seperti yang Juda minta, ia akan langsung membawa Juda pergi jika keadaan menjadi tak terkendali seperti saat Juda dan Grita terlibat keributan beberapa waktu lalu. Namun, yang didapatinya justru lain. Danis sadar bahwa keputusannya mempertemukan Juda dengan Grita seolah menjadi bumerang yang berbalik ke arahnya. Membuat Danis merasa bersalah karena hanya memikirkan Juga agar bisa mendapatkan kenyamanannya kembali tanpa sedikit pun memikirkan posisi Grita. Grita adalah korban yang menanggung paling banyak beban di sini. Danis merutuk. Kenapa ia bodoh sekali? "Sebelum sama Juju, gue udah tahu kalau Guntur suka main belakang." Ucapan Grita mengembalikan fokus Danis dan sontak membuat mata laki-laki itu melebar. "Grit—" "Gue pernah labrak cewek simpanan Guntur itu sampai cewek itu nangis mohon-mohon c
Sudah hampir tiga puluh menit berlalu sejak Juda pamit pergi ke toilet, tetapi hingga kini belum keluar juga. Danis yang sudah khawatir sejak tadi itu pun mendekati salah satu pegawai kafe yang baru saja mengantarkan pesanan. "Maaf, Mbak, teman saya tadi pamit ke kamar mandi sudah cukup lama tapi belum keluar-keluar. Sudah lebih dari tiga puluh menitan. Bisa minta tolong untuk dicek? Takutnya kenapa-kenapa." Mendengar penuturan itu, pegawai yang mengenakan name tag bernama Hani itu langsung menyanggupi, "Oh, baik, Mas. Silakan ditunggu di sini, ya." "Makasih, Mbak." Namun, saat pegawai itu baru akan melajukan langkah ke kamar mandi, sosok yang dikhawatirkan Danis akhirnya muncul juga. "Itu teman saya udah keluar, Mbak," ujar Danis yang kemudian mengucapkan terima masih. "Saya nggak membantu apa-apa, Mas." Pegawai kafe itu membalas dengan senyum profesional yang tak pernah meninggalkan wajahnya, lalu pamit untuk melanjutkan pekerjaan. Saat Juda sudah semakin dekat dengan tempat
Juda melepas pelukan sebelum menjadi pusat perhatian orang-orang. Sudah cukup ia menjadi bahan pembicaraan teman-teman seangkatannya dan di media sosial karena dicap sebagai pelakor. Juda tidak ingin lagi menarik atensi orang-orang karena ia berpelukan dengan Danis di tempat umum. "Yuk, pulang," ajak Danis yang kemudian menggenggam tangan Juda. "Aku nggak mau balik ke kos." "Mau jalan-jalan dulu kalau gitu? Ke mall? Nonton film atau belanja? Atau mau ke mana?" Danis langsung memberondong dengan pertanyaan. Sepertinya sudah cukup paham bahwa Juda hanya sedang tidak ingin terkungkung dalam perasaan sedihnya seorang diri. Saat sedang suntuk dan galau, tak jarang Juda akan jalan-jalan ke mall sendirian. Entah hanya untuk window shopping atau berbelanja hingga budget menipis. Tetapi lebih seringnya Juda menyalurkan kesuntukannya dengan makan hingga kenyang. Hanya saja, saat ini energinya tidak cukup untuk melakukan hal-hal yang biasa ia lakukan itu. "Aku lagi males jalan." "Terus ma
"Soal ucapanku yang tadi aku serius."Juda baru bersuara saat ia dan Danis sudah masuk ke dalam taksi yang mengantarkan mereka ke apartemen Haikal."Yang mana?""Aku yang manfaatin kamu buat nutupin kekecewaan aku ke Guntur."Danis melirik Juda yang menatap ke luar jendela "Aku udah bilang sama kamu tadi, Ju. Kamu boleh manfaatin aku selama yang kamu mau.""Please, jangan gitu, Danis," cicit Juda yang semakin merasa jahat kepada laki-laki di sampingnya."Ju, nggak keberatan dengan posisiku saat ini. Apa pun alasan kamu memulai mendekati aku saat itu, aku nggak peduli. Karena aku akan berusaha keras membuat kamu sadar kalau kamu akan selalu membutuhkan aku. Jadi, kamu nggak akan lagi merasa kalau aku bisa dimanfaatkan, tetapi kamu yang akan ngerasa kalau tanpa aku di hidup kamu, kamu akan ngerasa nggak lengkap. Aku rasa itu cukup untuk menghapus rasa bersalah kamu ke aku."Karena masalah yang sedang menimpanya, Juda jadi sangat sensitif. Mendengar penuturan Danis yang begitu dewasa itu
Kedatangan Juda yang tanpa pemberitahuan membuat Haikal langsung menebak jika ada sesuatu yang terjadi. Juda hanya akan mencari Haikal atau Ghani lebih dulu saat sedang ada masalah. Dan tampaknya, masalah yang sedang Juda alami itu cukup serius karena ekspresi yang ditunjukkan Juda dan mata adik kesayangannya memerah seperti habis menangis. Ah, bukan. Juda memang habis menangis. Haikal tahu betul. "Ju, kok nggak telepon Abang dulu?" "Abang lagi nggak bisa diganggu ya?" Juda malah balik bertanya. Haikal yang hanya mengenakan celana kolor dan singlet—pakaian sehari-harinya saat sedang di rumah dan tidak bekerja—itu berdecak. "Barusan Abang kalah main game gara-gara kamu gedor-gedor pintu kayak rentenir nagih utang." "Aku mau nginep sini," balas Juda mengabaikan sindiran Haikal. Haikal baru akan meminta adiknya untuk masuk ke unit apartemennya saat menyadari ada sosok laki-laki familiar tapi juga asing, yang berdiri di belakang Juda. Haikal mengernyitkan kening. "Who are you? And
Sepeninggal Danis dari apartemen Haikal, Juda langsung masuk ke kamar tamu yang biasa ditempati oleh wanita itu setiap kali menginap di apartemen kakak laki-lakinya. Juda merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur pada posisi telentang. Pandangannya lurus menatap langit-langit kamar. Pikiran Juda melayang ke masa-masa kecilnya. Saat Juda hanya berpikir tentang bermain bersama teman-teman sebayanya di sekitar rumah dan bagaimana caranya kabur dari rumah saat dipaksa Mami untuk tidur siang. Masa-masa itu adalah masa yang paling menyenangkan dalam hidup Juda. Mengingatnya membuat Juda ingin kembali merasakan hidup yang terbebas dari masalah. Sebab, menjadi orang dewasa selalu sepaket dengan masalah-masalah yang menyertai. Hidup seperti gudangnya masalah. Satu masalah telah terpecahkan dan kemudian akan muncul seribu masalah lain. Tak ada habisnya. Seandainya memungkinkan, Juda ingin terjebak selamanya di dunia masa kecilnya. Sebab, jika hal itu benar-benar bisa diwujudkan, maka Juda tid
Haikal sudah menghabiskan satu botol air mineral dingin guna untuk mendinginkan isi kepalanya yang mendadak seperti digodok hingga panas. Haikal tampak tegang dan menahan amarah yang sudah nyaris meletup-letup. Haikal kini bersimpuh di depan Juda. Memegang kedua tangannya dan dengan sangat serius berkata, "Jujur sama Abang, Ju. Kamu cuma manfaatin Danis buat nutupin hubungan kamu sama suaminya Grita?" Juda menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Kegugupan dan kekalutan benar-benar membuat sosok Juda yang biasanya terlihat judes itu tampak kerdil di bawah tatapan serius kakak laki-lakinya. "Aku beneran pacaran sama Danis," cicit Juda seraya menunduk. Menatap kedua tangannya yang digenggam kuat oleh Haikal. "Kenapa kamu pacaran sama Danis?" Juda tak langsung menjawab. Karena Haikal seolah bisa dengan cepat menemui korelasi pada "Abang ingat kamu sama Danis memang pernah pacaran waktu kalian masih SMA. Tapi kenapa kamu tiba-tiba nembak Danis di acara reuni sampai viral di mana-mana pad