Sudah hampir tiga puluh menit berlalu sejak Juda pamit pergi ke toilet, tetapi hingga kini belum keluar juga. Danis yang sudah khawatir sejak tadi itu pun mendekati salah satu pegawai kafe yang baru saja mengantarkan pesanan. "Maaf, Mbak, teman saya tadi pamit ke kamar mandi sudah cukup lama tapi belum keluar-keluar. Sudah lebih dari tiga puluh menitan. Bisa minta tolong untuk dicek? Takutnya kenapa-kenapa." Mendengar penuturan itu, pegawai yang mengenakan name tag bernama Hani itu langsung menyanggupi, "Oh, baik, Mas. Silakan ditunggu di sini, ya." "Makasih, Mbak." Namun, saat pegawai itu baru akan melajukan langkah ke kamar mandi, sosok yang dikhawatirkan Danis akhirnya muncul juga. "Itu teman saya udah keluar, Mbak," ujar Danis yang kemudian mengucapkan terima masih. "Saya nggak membantu apa-apa, Mas." Pegawai kafe itu membalas dengan senyum profesional yang tak pernah meninggalkan wajahnya, lalu pamit untuk melanjutkan pekerjaan. Saat Juda sudah semakin dekat dengan tempat
Juda melepas pelukan sebelum menjadi pusat perhatian orang-orang. Sudah cukup ia menjadi bahan pembicaraan teman-teman seangkatannya dan di media sosial karena dicap sebagai pelakor. Juda tidak ingin lagi menarik atensi orang-orang karena ia berpelukan dengan Danis di tempat umum. "Yuk, pulang," ajak Danis yang kemudian menggenggam tangan Juda. "Aku nggak mau balik ke kos." "Mau jalan-jalan dulu kalau gitu? Ke mall? Nonton film atau belanja? Atau mau ke mana?" Danis langsung memberondong dengan pertanyaan. Sepertinya sudah cukup paham bahwa Juda hanya sedang tidak ingin terkungkung dalam perasaan sedihnya seorang diri. Saat sedang suntuk dan galau, tak jarang Juda akan jalan-jalan ke mall sendirian. Entah hanya untuk window shopping atau berbelanja hingga budget menipis. Tetapi lebih seringnya Juda menyalurkan kesuntukannya dengan makan hingga kenyang. Hanya saja, saat ini energinya tidak cukup untuk melakukan hal-hal yang biasa ia lakukan itu. "Aku lagi males jalan." "Terus ma
"Soal ucapanku yang tadi aku serius."Juda baru bersuara saat ia dan Danis sudah masuk ke dalam taksi yang mengantarkan mereka ke apartemen Haikal."Yang mana?""Aku yang manfaatin kamu buat nutupin kekecewaan aku ke Guntur."Danis melirik Juda yang menatap ke luar jendela "Aku udah bilang sama kamu tadi, Ju. Kamu boleh manfaatin aku selama yang kamu mau.""Please, jangan gitu, Danis," cicit Juda yang semakin merasa jahat kepada laki-laki di sampingnya."Ju, nggak keberatan dengan posisiku saat ini. Apa pun alasan kamu memulai mendekati aku saat itu, aku nggak peduli. Karena aku akan berusaha keras membuat kamu sadar kalau kamu akan selalu membutuhkan aku. Jadi, kamu nggak akan lagi merasa kalau aku bisa dimanfaatkan, tetapi kamu yang akan ngerasa kalau tanpa aku di hidup kamu, kamu akan ngerasa nggak lengkap. Aku rasa itu cukup untuk menghapus rasa bersalah kamu ke aku."Karena masalah yang sedang menimpanya, Juda jadi sangat sensitif. Mendengar penuturan Danis yang begitu dewasa itu
Kedatangan Juda yang tanpa pemberitahuan membuat Haikal langsung menebak jika ada sesuatu yang terjadi. Juda hanya akan mencari Haikal atau Ghani lebih dulu saat sedang ada masalah. Dan tampaknya, masalah yang sedang Juda alami itu cukup serius karena ekspresi yang ditunjukkan Juda dan mata adik kesayangannya memerah seperti habis menangis. Ah, bukan. Juda memang habis menangis. Haikal tahu betul. "Ju, kok nggak telepon Abang dulu?" "Abang lagi nggak bisa diganggu ya?" Juda malah balik bertanya. Haikal yang hanya mengenakan celana kolor dan singlet—pakaian sehari-harinya saat sedang di rumah dan tidak bekerja—itu berdecak. "Barusan Abang kalah main game gara-gara kamu gedor-gedor pintu kayak rentenir nagih utang." "Aku mau nginep sini," balas Juda mengabaikan sindiran Haikal. Haikal baru akan meminta adiknya untuk masuk ke unit apartemennya saat menyadari ada sosok laki-laki familiar tapi juga asing, yang berdiri di belakang Juda. Haikal mengernyitkan kening. "Who are you? And
Sepeninggal Danis dari apartemen Haikal, Juda langsung masuk ke kamar tamu yang biasa ditempati oleh wanita itu setiap kali menginap di apartemen kakak laki-lakinya. Juda merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur pada posisi telentang. Pandangannya lurus menatap langit-langit kamar. Pikiran Juda melayang ke masa-masa kecilnya. Saat Juda hanya berpikir tentang bermain bersama teman-teman sebayanya di sekitar rumah dan bagaimana caranya kabur dari rumah saat dipaksa Mami untuk tidur siang. Masa-masa itu adalah masa yang paling menyenangkan dalam hidup Juda. Mengingatnya membuat Juda ingin kembali merasakan hidup yang terbebas dari masalah. Sebab, menjadi orang dewasa selalu sepaket dengan masalah-masalah yang menyertai. Hidup seperti gudangnya masalah. Satu masalah telah terpecahkan dan kemudian akan muncul seribu masalah lain. Tak ada habisnya. Seandainya memungkinkan, Juda ingin terjebak selamanya di dunia masa kecilnya. Sebab, jika hal itu benar-benar bisa diwujudkan, maka Juda tid
Haikal sudah menghabiskan satu botol air mineral dingin guna untuk mendinginkan isi kepalanya yang mendadak seperti digodok hingga panas. Haikal tampak tegang dan menahan amarah yang sudah nyaris meletup-letup. Haikal kini bersimpuh di depan Juda. Memegang kedua tangannya dan dengan sangat serius berkata, "Jujur sama Abang, Ju. Kamu cuma manfaatin Danis buat nutupin hubungan kamu sama suaminya Grita?" Juda menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Kegugupan dan kekalutan benar-benar membuat sosok Juda yang biasanya terlihat judes itu tampak kerdil di bawah tatapan serius kakak laki-lakinya. "Aku beneran pacaran sama Danis," cicit Juda seraya menunduk. Menatap kedua tangannya yang digenggam kuat oleh Haikal. "Kenapa kamu pacaran sama Danis?" Juda tak langsung menjawab. Karena Haikal seolah bisa dengan cepat menemui korelasi pada "Abang ingat kamu sama Danis memang pernah pacaran waktu kalian masih SMA. Tapi kenapa kamu tiba-tiba nembak Danis di acara reuni sampai viral di mana-mana pad
Bagi kedua kakak laki-laki Juda, setiap ada masalah yang dialami Juda, mereka seolah wajib menjadi penyokong untuk membantu Juda menyelesaikan masalahnya. Terutama ketika Juda sendiri yang mendatangi mereka saat masalah itu datang. Memang ada masanya di mana Juda tidak ingin mempunyai dua kakak laki-laki yang sangat protektif terhadap dirinya. Sebab, mereka bisa sangat menyebalkan di beberapa kesempatan dan hal itu membuat Juda pusing sekali. Namun, pemikiran itu selalu dengan mudah terpatahkan saat keberadaan mereka sangat mampu membuat Juda kembali baik-baik saja saat masalah-masalah itu datang. Sejauh ini, sebesar apa pun masalah yang dialami Juda, kedua kakak laki-lakinya selalu ada di sampingnya. Menegur, memperingatkan, terkadang sampai memarahi memarahi Juda karena adiknya itu bandel, kemudian menenangkan Juda agar tidak terlalu stres memikirkan masalahnya, dan selanjutnya akan membantu Juda untuk memecahkan masalah itu tanpa membuatnya menjadi lebih besar. Namun, sepertinya
Juda terdiam lama di tempatnya duduk karena tak tahu harus memberikan jawaban semacam apa atas pertanyaan yang dilontarkan Ghani. Jika saja Juda tahu apa yang harus ia lakukan untuk mengatasi masalahnya, sudah pasti wanita itu akan langsung menyelesaikan itu tanpa perlu melibatkan kedua kakak laki-lakinya yang rela untuk mengesampingkan urusan mereka masing-masing demi mengedepankan urusan Juda. Ghani yang sejak tadi tidak mengalihkan pandangannya dari Juda, yang tidak berani menatapnya secara langsung, kembali membuka suara. Tak tahan dengan kesunyian yang mengudara di ruangan itu. “Ju, Abang ngerti kalau keadaan ini sulit buat kamu. Kamu akan mendapat tudingan-tudingan miring yang memojokkan kamu, entah itu benar atau salah, kamu harus bisa menghadapi itu. Dan Abang nggak bisa jamin kalau masalah ini nggak akan sampai ke telinga Mami sama Papi.” Mendengar kalimat itu, Juda merasakan sesuatu yang dingin seolah merambat di kakinya. Tidak. Juda sama sekali tidak ingin kedua orang tu