“Menurut gue Juju harus tinggal di sini sampai Juju nikah sama Danis… atau sama orang lain yang berhasil dapetin restu kita sama Mami Papi juga,” timpal Haikal. Juda merengut tidak setuju. “Nggak mau. Aku kena masalah karena kalian berdua kekang juga, kan? Kalau Abang nggak mau aku bikin masalah yang bakal bikin Abang lebih sakit kepala, jangan paksa aku buat tinggal di sini.” Sesungguhnya Juda tidak benar-benar mau menyalahkan kedua kakak laki-lakinya. Juda hanya kesal karena mereka berdua lagi-lagi menunjukkan sisi posesifnya. Dan ancaman Juda itu sontak membuat Haikal meringis karena langsung kalah argumen. Sementara itu, Ghani mendesah pasrah. Tahu bahwa ucapan Juda yang mungkin hanya gertakan itu bisa saja menjadi kenyataan dengan tanpa di sengaja. Seperti masalah yang dialami Juda kali ini. “Tapi mau ya tinggal di sini sampai Abang ada waktu ngobrol sama Danis?” Juda masih tampak tak terlalu menyukai gagasan itu, tetapi mengingat masalah yang sedang terjadi, mau tak mau Jud
"Ju, ini... maksud kamu ini Grita yang sama dengan yang kita bahas...” Meski Haikal belum selesai mengucapkan kalimat yang laki-laki itu maksudkan dengan suara terbata-bata, Juda sudah mengangguk lemah. Kedua pupil mata Haikal melebar. Laki-laki itu terkejut selama dua detik. Sebelum kemudian kembali memijak bumi dan memeluk adiknya dengan erat tanpa berkata apa-apa lagi. “Tadi Grita baru ketemu aku sama Danis sebelum aku ke sini, Bang,” ucap Juda dengan suara bergetar. “Grita… pasti marah banget tadi waktu pergi, Bang. Dia nggak pamit waktu aku tinggal ke kamar mandi,” suara Juda sempat memelan di akhir. “Apa… mungkin Grita kecekalaan karena aku, Bang? Kalau iya… apa yang harus aku lakukan?” Juda benar-benar lemas. Padahal belum ada sedetik Juda berpikir bahwa ia akan bisa menghadapi masalah yang terjadi selama masih ada orang-orang terdekatnya yang tak akan berpaling darinya. Namun, seketika keoptimisan itu diluluhlantakkan dengan berita mengejutkan. Jika sampai Grita kenapa-k
Laki-laki itu berjalan mendekat. Juda sudah berniat kabur karena tidak punya tenaga untuk menghadapi Guntur saat ini, tetapi Danis yang melihat gelagat Juda itu langsung menggenggam tangan Juda dan menarik wanita itu agar berdiri di sampingnya. “Juda, saya... saya minta maaf.” Juda bisa saja melengos dan menganggap permintaan maaf itu hanya sekadar bualan. Namun, Juda mengangkat dagu, menghimpun kepercayaan dirinya yang akhir-akhir ini menipis, lalu mencari-cari kebohongan di mata Guntur. Dan di sana Juda menemukan ketulusan dan penyesalan mendalam. Sejenak, Juda mendengus dalam hati. Bukankah Guntur mahir memalsukan ekspresi? Sebab, sebelumnya Juda telah gagal membaca kebohongan Guntur hingga menyebabkan masalah serius yang juga melibatkan Grita. Tak bisa lagi bersikap sopan di hadapan laki-laki berengsek itu, Juda membalas, “Kenapa minta maaf ke gue? Kalau lo waras, saat ini harusnya lo siapin segudang permintaan maaf ke Grita yang mungkin nggak bakal bisa lo sampaikan dan akan
Kedua orang tua Grita tiba tepat saat dokter keluar dari ruang operasi dan menyatakan bahwa Grita telah berhasil melewati masa kritis. Tadinya, Grita nyaris tidak selamat pada operasi yang memakan waktu nyaris lima jam itu karena luka dalam yang membuat wanita itu kehilangan banyak darah. Namun, tim dokter berhasil menyelamatkan Grita dari maut setelah berusaha semaksimal mungkin. Dan sekarang Grita dipindahkan ke ruang ICU karena masih harus dipantau keadaannya hingga lebih stabil. Karena masih belum sadar—menurut dokter, Grita hanya masih dalam keadaan terbius, tinggal menunggu waktu saja hingga wanita itu sadar—Grita masih belum bisa ditengok oleh banyak orang. Maksimal hanya dua orang yang boleh masuk sementara ini dan harus masuk secara bergantian. Papa Grita yang tadi datang dengan wajah bersimbah air mata langsung bergegas masuk ke ruang ICU ditemani perawat. Danis baru akan mengajak Juda pamit untuk pulang—ia berencana akan datang lagi esok hari—tetapi keduluan Guntur yang l
Tak hanya Guntur yang syok mendengar fakta itu, tetapi Juda dan Danis pun terkejut luar biasa. "Saya mengakui kalau saya adalah orang tua yang jahat karena bersyukur saat Grita mengalami keguguran. Saya bersyukur karena tidak harus bersusah payah menyayangi cucu yang akan lahir dengan darah kamu yang mengalir di tubuhnya." Suara itu bergetar. Kebencian dan kesedihan mendalam yang tertoreh dalam suaranya membuat Juda ingin menangis. Juda bisa merasakan keputusasaan dan kesakitan mama Grita karena keadaan Grita yang begitu parah secara mental—dan kini fisiknya juga sedang berjuang melawan rasa sakit—yang semakin membuat hati Juda seperti dirobek menjadi serpihan-serpihan kecil. Danis merangkul pundak Juda seolah tahu wanita itu membutuhkan sandaran. "Maaf, Ma. Maaf," Guntur terisak dengan tubuh yang bergetar hebat. "Maaf, Grita. Maafkan aku. Maafkan aku." Semua orang yang ada di sana membuang muka saat Guntur tak henti-hentinya merintih dalam tangis yang penuh sesal. Tepat saat it
Juda terbangun di kamar yang tidak asing lagi—kamar tamu apartemen Haikal—dengan pakaian yang sama dengan yang ia kenakan semalam, atau lebih tepatnya tadi pagi. Kepalanya berat dan wajahnya terasa bengkak. Saat Juda meraih ponsel untuk berkaca, Juda tidak terlalu kaget melihat ada cekungan dan lingkaran hitam tercetak jelas di bawah mata, yang membuat wanita itu tampak sangat berantakan. Yang terakhir Juda ingat, ia menangis di pelukan Danis saat mereka berada di dalam taksi setelah meninggalkan rumah sakit untuk pulang. Jarak rumah sakit ke apartemen Haikal cukup jauh hingga sepertinya Juda ketiduran setelah lelah menangis. Entah Danis atau Haikal yang membopong Juda sampai ke kamar, Juda tak terlalu peduli soal itu. Saat Juda menyibak selimut dan kakinya menjejak lantai apartemen yang agak dingin, tubuh Juda sedikit limbung karena pening yang menyerang kepala. "Shit! This is bad," erang Juda. Terlalu banyak menangis dan tertidur setelahnya benar-benar membuat tubuhnya kaget. J
Juda baru akan mengangguk saat matanya tak sengaja melihat tumpukan koper yang tak asing di dekat sofa ruang tamu. "Itu koper aku kan, Bang? Kok ada di sini?" Haikal yang melanjutkan kegiatannya menyedot debu itu mengendikkan bahu. "Oh itu, Abang abis dari kos kamu tadi. Kamu ingat apa hang Bang Ghani bialng kemarin, kan? Kamu akan tinggal di sini sampai kami tahu kejelasan hubungan kamu dan Danis." "Kalian akan mengetahuinya hari ini. Jadi, udah pasti aku nggak akan stay di sini sampai berbulan-bulan. Jadi, kenapa Abang bawa dua koper besar? Karena aku yakin sekali dua koper itu pasti isinya pakaian-pakaian aku. Iya, kan?" "Kalau kamu dan Danis dapat restu dari kami, itu artinya Abang harus menerima kenyataan kalau suatu hari nanti kamu akan benar-benar menjadi tanggung jawab orang lain. Abang mungkin masih tetap bisa menjaga kamu, tapi kami punya batasan. Karena kamu sudah punya pasangan yang lebih berhak—" "Oke, udah cukup," sela Juda yang mulai tak nyaman melihat Haikal suda
"Aku nggak akan pernah menang melawan kamu, Ren," Samuel berkata dengan lesu. Akhir pekan yang sudah laki-laki itu angankan akan berlangsung menyenangkan karena bisa menghabiskan waktu dengan Renata yang akhir-akhir ini beralasan sibuk bekerja setiap kali diajak bertemu, malah berujung pada perdebatan panjang yang menguras emosi. Rupanya, Renata mengajak bertemu bukan untuk berpacaran seperti yang Samuel harapkan. Renata justru melemparkan bom yang membuat Samuel kecewa. Renata bersikukuh ingin menyusul Danis ke Indonesia dan membujuk suaminya untuk membatalkan gugatan cerai. Keputusan Renata sudah teguh. Selama dua minggu terakhir Renata bekerja keras, menyelesaikan pekerjaannya yang masih jauh dari deadline agar bisa mengajukan cuti untuk pulang ke Indonesia. "Sam, aku nggak akan menyalahkan kamu. Karena aku yang salah di sini. Aku harusnya lebih tahan godaan dan nggak main-main sama kamu. Jadi, maaf. Aku benar-benar nggak bisa melanjutkan ini lagi." Mata Samuel memancarkan luka