Tak hanya Guntur yang syok mendengar fakta itu, tetapi Juda dan Danis pun terkejut luar biasa. "Saya mengakui kalau saya adalah orang tua yang jahat karena bersyukur saat Grita mengalami keguguran. Saya bersyukur karena tidak harus bersusah payah menyayangi cucu yang akan lahir dengan darah kamu yang mengalir di tubuhnya." Suara itu bergetar. Kebencian dan kesedihan mendalam yang tertoreh dalam suaranya membuat Juda ingin menangis. Juda bisa merasakan keputusasaan dan kesakitan mama Grita karena keadaan Grita yang begitu parah secara mental—dan kini fisiknya juga sedang berjuang melawan rasa sakit—yang semakin membuat hati Juda seperti dirobek menjadi serpihan-serpihan kecil. Danis merangkul pundak Juda seolah tahu wanita itu membutuhkan sandaran. "Maaf, Ma. Maaf," Guntur terisak dengan tubuh yang bergetar hebat. "Maaf, Grita. Maafkan aku. Maafkan aku." Semua orang yang ada di sana membuang muka saat Guntur tak henti-hentinya merintih dalam tangis yang penuh sesal. Tepat saat it
Juda terbangun di kamar yang tidak asing lagi—kamar tamu apartemen Haikal—dengan pakaian yang sama dengan yang ia kenakan semalam, atau lebih tepatnya tadi pagi. Kepalanya berat dan wajahnya terasa bengkak. Saat Juda meraih ponsel untuk berkaca, Juda tidak terlalu kaget melihat ada cekungan dan lingkaran hitam tercetak jelas di bawah mata, yang membuat wanita itu tampak sangat berantakan. Yang terakhir Juda ingat, ia menangis di pelukan Danis saat mereka berada di dalam taksi setelah meninggalkan rumah sakit untuk pulang. Jarak rumah sakit ke apartemen Haikal cukup jauh hingga sepertinya Juda ketiduran setelah lelah menangis. Entah Danis atau Haikal yang membopong Juda sampai ke kamar, Juda tak terlalu peduli soal itu. Saat Juda menyibak selimut dan kakinya menjejak lantai apartemen yang agak dingin, tubuh Juda sedikit limbung karena pening yang menyerang kepala. "Shit! This is bad," erang Juda. Terlalu banyak menangis dan tertidur setelahnya benar-benar membuat tubuhnya kaget. J
Juda baru akan mengangguk saat matanya tak sengaja melihat tumpukan koper yang tak asing di dekat sofa ruang tamu. "Itu koper aku kan, Bang? Kok ada di sini?" Haikal yang melanjutkan kegiatannya menyedot debu itu mengendikkan bahu. "Oh itu, Abang abis dari kos kamu tadi. Kamu ingat apa hang Bang Ghani bialng kemarin, kan? Kamu akan tinggal di sini sampai kami tahu kejelasan hubungan kamu dan Danis." "Kalian akan mengetahuinya hari ini. Jadi, udah pasti aku nggak akan stay di sini sampai berbulan-bulan. Jadi, kenapa Abang bawa dua koper besar? Karena aku yakin sekali dua koper itu pasti isinya pakaian-pakaian aku. Iya, kan?" "Kalau kamu dan Danis dapat restu dari kami, itu artinya Abang harus menerima kenyataan kalau suatu hari nanti kamu akan benar-benar menjadi tanggung jawab orang lain. Abang mungkin masih tetap bisa menjaga kamu, tapi kami punya batasan. Karena kamu sudah punya pasangan yang lebih berhak—" "Oke, udah cukup," sela Juda yang mulai tak nyaman melihat Haikal suda
"Aku nggak akan pernah menang melawan kamu, Ren," Samuel berkata dengan lesu. Akhir pekan yang sudah laki-laki itu angankan akan berlangsung menyenangkan karena bisa menghabiskan waktu dengan Renata yang akhir-akhir ini beralasan sibuk bekerja setiap kali diajak bertemu, malah berujung pada perdebatan panjang yang menguras emosi. Rupanya, Renata mengajak bertemu bukan untuk berpacaran seperti yang Samuel harapkan. Renata justru melemparkan bom yang membuat Samuel kecewa. Renata bersikukuh ingin menyusul Danis ke Indonesia dan membujuk suaminya untuk membatalkan gugatan cerai. Keputusan Renata sudah teguh. Selama dua minggu terakhir Renata bekerja keras, menyelesaikan pekerjaannya yang masih jauh dari deadline agar bisa mengajukan cuti untuk pulang ke Indonesia. "Sam, aku nggak akan menyalahkan kamu. Karena aku yang salah di sini. Aku harusnya lebih tahan godaan dan nggak main-main sama kamu. Jadi, maaf. Aku benar-benar nggak bisa melanjutkan ini lagi." Mata Samuel memancarkan luka
Renata mengembuskan napas panjang. Seharusnya Danis yang melontarkan pertanyaan itu kepadanya. Jadi, Renata akan menjawab, bahwa ia sudah sangat merasa cukup dengan kehadiran Danis dalam hidupnya. Renata tidak menginginkan hal lain."Kita hanya akan kembali ke siklus itu lagi kalau kita nggak berhenti sekarang, Sam. Kalau aku menuruti ego dalam diriku, saat sudah cukup lama hidup sama kamu, aku akan mempertanyakan hal yang sama. Aku nggak akan pernah merasa cukup dan hanya akan berujung mencari orang lain untuk memenuhi ekspektasiku. Itu yang terjadi dengan kita. Aku nggak merasa cukup dengan Danis dan aku memanfaatkan kamu untuk memenuhi keinginanku.""Aku akan memastikan kamu selalu merasa cukup saat bersamaku.""Nggak, Sam. Jangan lakukan itu. Kamu harus membunuh ekspektasi kamu tentang masa depan yang nggak akan kita miliki.""Kenapa kamu egois banget sih?!"Bentakan bernada tinggi itu mengejutkan Renata, tetapi wanita itu tetap bergeming di tempatnya duduk."Kita sudah terlalu ja
Bohong jika Danis tidak tegang dan gugup. Menghadapi kedua kakak Juda yang protektif, ditambah lagi satu personel yang baru pertama kali Danis temui, tentu saja tidak bisa membuat Danis bersikap biasa-biasa. Ini momen penting. Jika Danis mengacau, kesempatan untuk bersama Juda akan hilang. Seandainya tadi Danis boleh memilih, ia akan meminta Juda untuk tinggal. Meski Juda tidak akan diperbolehkan kedua kakaknya untuk dekat-dekat Danis saat sesi interogasi, setidaknya ada Juda di sekitarnya. Namun, apa mau dikata? Kedua kakak Juda pasti sengaja menjauhkan Juda untuk sementara, agar tidak mengganggu. Sebab, meski sudah diminta untuk tidak ikut campur, Juda pasti sulit menahan diri saat kedua kakaknya mengajukan pertanyaan yang mungkin tak masuk akal. "Apa kabar, Danis?" Pertanyaan pertama yang diajukan oleh Ghani membuat Danis tersentak. Haikal dan Giana nyaris tersenyum melihat Danis. "Nggak usah tegang, gue nggak nyaplok," Ghani kembali bersuara, yang langsung membuat Haikal dan
Danis memaksakan diri untuk tersenyum meski sulit. Semoga saja tidak terlihat aneh di depan tiga pasang mata yang sejak tadi menatapnya dengan begitu intens. "Gue nggak punya pacar," ulang Danis sekali lagi. Berusaha keras untuk tampak meyakinkan. "Oke. Jadi, saat kalian memutuskan buat jalan bareng, apa kalian juga membahas kemungkinan buat naik tahap ke hubungan yang lebih serius?" Ghani kembali bersuara. Seharusnya Danis merasa lega karena mereka langsung meninggalkan topik tentang pacar setelah Danis mengonfirmasi jawabannya sebanyak dua kali. Namun, Danis malah membenci keadaannya saat ini. Kenapa ketiga orang di depannya ini sama saja seperti Juda yang tidak berusaha mengorek lebih jauh? Bukankah mereka seharusnya bertanya apakah Danis sudah menikah dan punya anak, agar Juda tidak mengulangi kesalahan yang sama? Rasa bersalah yang bertumpuk di pundak Danis kian bertambah berat. Danis merasa bahwa melanjutkan hubungan dengan Juda saat ia masih belum jujur adalah pilihan yang s
Giana menyadari jika suasana menjadi agak tegang. "Menurutku, keputusannya ada di tangan Juju. Kalau seandainya nanti Juju dan Danis memang harus LDR, dan Juju nggak masalah dengan itu, kita sebagai kakak harus mendukung pilihan adik kita, kan? Dan kalau seandainya Juju mau ikut Danis ke Belanda, itu juga hak Juju untuk memutuskannya sendiri. Kita sebagai kakak nggak punya hak melarang. Juju sudah dewasa. Kalian berdua sudah seharusnya nggak menghalang-halangi dan menjadi hambatan—" "Aku ngerti apa yang mau kamu sampaikan, Gi," sela Ghani, yang tampak tak nyaman mendapat teguran secara langsung oleh istrinya sendiri di hadapan Danis. Giana yang sebal karena kalimatnya dipotong itu tetap melanjutkan, "Kita memang sepakat buat nggak bahas soal masalah Juju sekarang, tapi aku melihat kecenderungan kalian berdua yang terlalu jauh terlibat dalam hidup Juju. Kalian juga sadar kalau masalah kemarin itu karena—" "Giana, kami sudah paham, oke? Jadi, stop kuliahin kami." Sekali lagi Ghani m