Bohong jika Danis tidak tegang dan gugup. Menghadapi kedua kakak Juda yang protektif, ditambah lagi satu personel yang baru pertama kali Danis temui, tentu saja tidak bisa membuat Danis bersikap biasa-biasa. Ini momen penting. Jika Danis mengacau, kesempatan untuk bersama Juda akan hilang. Seandainya tadi Danis boleh memilih, ia akan meminta Juda untuk tinggal. Meski Juda tidak akan diperbolehkan kedua kakaknya untuk dekat-dekat Danis saat sesi interogasi, setidaknya ada Juda di sekitarnya. Namun, apa mau dikata? Kedua kakak Juda pasti sengaja menjauhkan Juda untuk sementara, agar tidak mengganggu. Sebab, meski sudah diminta untuk tidak ikut campur, Juda pasti sulit menahan diri saat kedua kakaknya mengajukan pertanyaan yang mungkin tak masuk akal. "Apa kabar, Danis?" Pertanyaan pertama yang diajukan oleh Ghani membuat Danis tersentak. Haikal dan Giana nyaris tersenyum melihat Danis. "Nggak usah tegang, gue nggak nyaplok," Ghani kembali bersuara, yang langsung membuat Haikal dan
Danis memaksakan diri untuk tersenyum meski sulit. Semoga saja tidak terlihat aneh di depan tiga pasang mata yang sejak tadi menatapnya dengan begitu intens. "Gue nggak punya pacar," ulang Danis sekali lagi. Berusaha keras untuk tampak meyakinkan. "Oke. Jadi, saat kalian memutuskan buat jalan bareng, apa kalian juga membahas kemungkinan buat naik tahap ke hubungan yang lebih serius?" Ghani kembali bersuara. Seharusnya Danis merasa lega karena mereka langsung meninggalkan topik tentang pacar setelah Danis mengonfirmasi jawabannya sebanyak dua kali. Namun, Danis malah membenci keadaannya saat ini. Kenapa ketiga orang di depannya ini sama saja seperti Juda yang tidak berusaha mengorek lebih jauh? Bukankah mereka seharusnya bertanya apakah Danis sudah menikah dan punya anak, agar Juda tidak mengulangi kesalahan yang sama? Rasa bersalah yang bertumpuk di pundak Danis kian bertambah berat. Danis merasa bahwa melanjutkan hubungan dengan Juda saat ia masih belum jujur adalah pilihan yang s
Giana menyadari jika suasana menjadi agak tegang. "Menurutku, keputusannya ada di tangan Juju. Kalau seandainya nanti Juju dan Danis memang harus LDR, dan Juju nggak masalah dengan itu, kita sebagai kakak harus mendukung pilihan adik kita, kan? Dan kalau seandainya Juju mau ikut Danis ke Belanda, itu juga hak Juju untuk memutuskannya sendiri. Kita sebagai kakak nggak punya hak melarang. Juju sudah dewasa. Kalian berdua sudah seharusnya nggak menghalang-halangi dan menjadi hambatan—" "Aku ngerti apa yang mau kamu sampaikan, Gi," sela Ghani, yang tampak tak nyaman mendapat teguran secara langsung oleh istrinya sendiri di hadapan Danis. Giana yang sebal karena kalimatnya dipotong itu tetap melanjutkan, "Kita memang sepakat buat nggak bahas soal masalah Juju sekarang, tapi aku melihat kecenderungan kalian berdua yang terlalu jauh terlibat dalam hidup Juju. Kalian juga sadar kalau masalah kemarin itu karena—" "Giana, kami sudah paham, oke? Jadi, stop kuliahin kami." Sekali lagi Ghani m
Bermain seharian dan bersenang-senang dengan Nakula membuat suasana hati Juda menjadi terang benderang. Hidupnya mungkin sedang tidak baik-baik saja sekarang, tetapi saat melihat Nakula bersemangat bermain, berlarian ke sana kemari, tertawa-tawa riang karena alasan yang sederhana, Juda bisa sejenak melepaskan penatnya dan menikmati harinya bersama keponakannya yang sangat menggemaskan itu. Juda bahkan sejenak melupakan Danis yang tadinya cukup ia khawatirkan karena harus menghadapi ketiga kakaknya sendirian. "Aku masih mau main," rengek Nakula untuk yang ke sejuta kalinya sejak mereka berada di dalam taksi untuk pulang. Juda pun sampai lelah menjawab, "Besok Nakula masih bisa main lagi sama Tante. Tapi, sekarang kita harus pulang, okay? Nakula kangen sama Ibun, kan?" Nakula mengangguk. Tetapi masih tampak tidak ikhlas karena tadi bocah itu harus sedikit dipaksa agar mau pulang. "Cowok gantengnya Tante ini senang main sama Tante Juju hari ini?" "Senang.! Nakula mau main lagi sama
Tadinya, Juda cukup optimis karena melihat kepercayaan diri Danis yang terpancar dari tatapan matanya sesaat sebelum mereka berpisah di depan pintu apartemen Haikal. Juda percaya jika Danis tidak akan begitu saja terpengaruh oleh ucapan-ucapan kedua kakak laki-lakinya yang biasanya bisa dengan muduh memukul mundur setiap laki-laki yang dekat dengan Juda. Tapi... ternyata sama saja. Pada akhirnya, Danis juga tidak tahan menghadapi Ghani dan Haikal meski laki-laki itu sudah lebih mengenal mereka sejak dulu. Dan Juda jelas tak bisa mengesampingkan kemungkinan bahwa bukan salah mereka, yang pada akhirnya memilih mundur, tetapi kedua kakak laki-lakinya saja yang sudah terlalu jauh mencampuri urusan hidupnya. "Kamu mau pergi ke mana, Ju?" "Pulang!" tukas Juda sinis seraya menyeret dua koper besarnya keluar dari kamar tamu. Ghani beserta istri da anaknya sudah pamit pulang setelah Giana memandikan Nakula tadi. Makan malam yang sudah direncanakan gagal begitu saja karena Juda terlalu marah
Sudah lebih dari satu jam Juda duduk di kamar kosnya yang sepi. Haikal langsung pulang—Juda mengusir Haikal karena muak melihat wajahnya—setelah memastikan Juda masuk ke kamar dan makan malam yang laki-laki itu pesan sudah sampai. Juda belum menyentuh makanan itu sama sekali. Dan barangkali tidak akan menyentuhnya karena ia tidak nafsu sama sekali. Juda hanya memandangi ponselnya, menunggu kabar dari Danis, entah apa pun itu. Sayangnya, tidak ada satu pun. Tadi Juda sempat bertanya kepada Giana soal Danis. Alasan apa yang laki-laki itu ungkapkan saat pamit untuk pergi. Danis mengatakan ada emergency. Hanya itu. Juda sudah mencoba menghubungi ponsel Danis beberapa kali, namun tidak tersambung. Juda bahkan menghubungi Martin, menanyakan keberadaan Danis. Sayangnya, Martin sedang berada di luar kota sehingga tidak tahu Danis di mana. Terakhir berkirim pesan tadi malam saat Martin mengabari tidak akan pulang ke apartemen. Takut. Itu yang Juda rasakan sekarang. Sebab, Juda sadar jika
Sudah lebih dari satu jam Juda duduk di salah satu sofa yang ada di lobi gedung apartemen Martin. Beberapa kali Juda sudah mencoba menghubungi ponsel Danis, namun masih juga tak terhubung. Juda tahu bahwa ada banyak kemungkinan yang terjadi. Kemungkinan pertama Danis tak mau bicara lagi dengannya dan memblokir nomor Juda. Kemungkinan yang kedua Danis sedang ada urusan penting sehingga belum sempat memegang ponsel. Kemungkinan ketiga ponsel Danis kehabisan daya dan Danis belum sempat mengisi dayanya. Kemungkinan keempat, yang amat sangat tidak ingin Juda bayangkan, Danis mengalami kecelakaan dan polisi kesulitan menghubungi keluarga Danis karena ponsel Danis rusak. Tadinya, Juda sudah menyiapkannya banyak pertanyaan di kepalanya. Namun, seiring waktu berlalu dan Danis masih belum muncul juga, Juda mulai khawatir dan ketakutan setengah mati. Juda benar-benar berharap Danis baik-baik saja dan hanya sedang sibuk hingga tidak bisa diganggu. Namun, kesibukan apa yang Danis punya sekarang
"Lo benar-benar nggak tahu siapa yang bisa dihubungi kalau ada emergency?" Juda kembali 'meneror' Martin karena pikirannya benar-benar seperti racun yang mematikan sekarang. Kekhawatiran Juda sudah berada di puncak dan Danis belum juga ia temukan keberadaannya saat ini. "Ju, kita belum tahu ini emergency apa enggak." "Kita nggak tahu Danis ada di mana, Martin! Ini udah berjam-jam," geram Juda. Kesabarannya sudah habis untuk menunggu dalam ketidakpastian. "Bisa aja Danis balik ke rumah nyokapnya." "Lo bisa bantu tanya ke mereka?" "Are you kidding? Ini udah tengah malam, Ju." "Justru karena ini udah tengah malam, Martin. Danis nggak ada—" "Ju, Danis itu bukan anak kecil lagi. Dia belum balik ke apartemen bukan berarti Danis lagi kenapa-kenapa di luar sana. Bisa aja Danis lagi bersenang-senang, mabuk-mabukan di kelab—" "Tapi gimana kalau Danis beneran kenapa-kenapa, Martin? Kok lo bisa sih nggak khawatir sama sekali?" desak Juda kesal. "Gue baru akan khawatir kalau sampai 24 ja