Juda baru akan mengangguk saat matanya tak sengaja melihat tumpukan koper yang tak asing di dekat sofa ruang tamu. "Itu koper aku kan, Bang? Kok ada di sini?" Haikal yang melanjutkan kegiatannya menyedot debu itu mengendikkan bahu. "Oh itu, Abang abis dari kos kamu tadi. Kamu ingat apa hang Bang Ghani bialng kemarin, kan? Kamu akan tinggal di sini sampai kami tahu kejelasan hubungan kamu dan Danis." "Kalian akan mengetahuinya hari ini. Jadi, udah pasti aku nggak akan stay di sini sampai berbulan-bulan. Jadi, kenapa Abang bawa dua koper besar? Karena aku yakin sekali dua koper itu pasti isinya pakaian-pakaian aku. Iya, kan?" "Kalau kamu dan Danis dapat restu dari kami, itu artinya Abang harus menerima kenyataan kalau suatu hari nanti kamu akan benar-benar menjadi tanggung jawab orang lain. Abang mungkin masih tetap bisa menjaga kamu, tapi kami punya batasan. Karena kamu sudah punya pasangan yang lebih berhak—" "Oke, udah cukup," sela Juda yang mulai tak nyaman melihat Haikal suda
"Aku nggak akan pernah menang melawan kamu, Ren," Samuel berkata dengan lesu. Akhir pekan yang sudah laki-laki itu angankan akan berlangsung menyenangkan karena bisa menghabiskan waktu dengan Renata yang akhir-akhir ini beralasan sibuk bekerja setiap kali diajak bertemu, malah berujung pada perdebatan panjang yang menguras emosi. Rupanya, Renata mengajak bertemu bukan untuk berpacaran seperti yang Samuel harapkan. Renata justru melemparkan bom yang membuat Samuel kecewa. Renata bersikukuh ingin menyusul Danis ke Indonesia dan membujuk suaminya untuk membatalkan gugatan cerai. Keputusan Renata sudah teguh. Selama dua minggu terakhir Renata bekerja keras, menyelesaikan pekerjaannya yang masih jauh dari deadline agar bisa mengajukan cuti untuk pulang ke Indonesia. "Sam, aku nggak akan menyalahkan kamu. Karena aku yang salah di sini. Aku harusnya lebih tahan godaan dan nggak main-main sama kamu. Jadi, maaf. Aku benar-benar nggak bisa melanjutkan ini lagi." Mata Samuel memancarkan luka
Renata mengembuskan napas panjang. Seharusnya Danis yang melontarkan pertanyaan itu kepadanya. Jadi, Renata akan menjawab, bahwa ia sudah sangat merasa cukup dengan kehadiran Danis dalam hidupnya. Renata tidak menginginkan hal lain."Kita hanya akan kembali ke siklus itu lagi kalau kita nggak berhenti sekarang, Sam. Kalau aku menuruti ego dalam diriku, saat sudah cukup lama hidup sama kamu, aku akan mempertanyakan hal yang sama. Aku nggak akan pernah merasa cukup dan hanya akan berujung mencari orang lain untuk memenuhi ekspektasiku. Itu yang terjadi dengan kita. Aku nggak merasa cukup dengan Danis dan aku memanfaatkan kamu untuk memenuhi keinginanku.""Aku akan memastikan kamu selalu merasa cukup saat bersamaku.""Nggak, Sam. Jangan lakukan itu. Kamu harus membunuh ekspektasi kamu tentang masa depan yang nggak akan kita miliki.""Kenapa kamu egois banget sih?!"Bentakan bernada tinggi itu mengejutkan Renata, tetapi wanita itu tetap bergeming di tempatnya duduk."Kita sudah terlalu ja
Bohong jika Danis tidak tegang dan gugup. Menghadapi kedua kakak Juda yang protektif, ditambah lagi satu personel yang baru pertama kali Danis temui, tentu saja tidak bisa membuat Danis bersikap biasa-biasa. Ini momen penting. Jika Danis mengacau, kesempatan untuk bersama Juda akan hilang. Seandainya tadi Danis boleh memilih, ia akan meminta Juda untuk tinggal. Meski Juda tidak akan diperbolehkan kedua kakaknya untuk dekat-dekat Danis saat sesi interogasi, setidaknya ada Juda di sekitarnya. Namun, apa mau dikata? Kedua kakak Juda pasti sengaja menjauhkan Juda untuk sementara, agar tidak mengganggu. Sebab, meski sudah diminta untuk tidak ikut campur, Juda pasti sulit menahan diri saat kedua kakaknya mengajukan pertanyaan yang mungkin tak masuk akal. "Apa kabar, Danis?" Pertanyaan pertama yang diajukan oleh Ghani membuat Danis tersentak. Haikal dan Giana nyaris tersenyum melihat Danis. "Nggak usah tegang, gue nggak nyaplok," Ghani kembali bersuara, yang langsung membuat Haikal dan
Danis memaksakan diri untuk tersenyum meski sulit. Semoga saja tidak terlihat aneh di depan tiga pasang mata yang sejak tadi menatapnya dengan begitu intens. "Gue nggak punya pacar," ulang Danis sekali lagi. Berusaha keras untuk tampak meyakinkan. "Oke. Jadi, saat kalian memutuskan buat jalan bareng, apa kalian juga membahas kemungkinan buat naik tahap ke hubungan yang lebih serius?" Ghani kembali bersuara. Seharusnya Danis merasa lega karena mereka langsung meninggalkan topik tentang pacar setelah Danis mengonfirmasi jawabannya sebanyak dua kali. Namun, Danis malah membenci keadaannya saat ini. Kenapa ketiga orang di depannya ini sama saja seperti Juda yang tidak berusaha mengorek lebih jauh? Bukankah mereka seharusnya bertanya apakah Danis sudah menikah dan punya anak, agar Juda tidak mengulangi kesalahan yang sama? Rasa bersalah yang bertumpuk di pundak Danis kian bertambah berat. Danis merasa bahwa melanjutkan hubungan dengan Juda saat ia masih belum jujur adalah pilihan yang s
Giana menyadari jika suasana menjadi agak tegang. "Menurutku, keputusannya ada di tangan Juju. Kalau seandainya nanti Juju dan Danis memang harus LDR, dan Juju nggak masalah dengan itu, kita sebagai kakak harus mendukung pilihan adik kita, kan? Dan kalau seandainya Juju mau ikut Danis ke Belanda, itu juga hak Juju untuk memutuskannya sendiri. Kita sebagai kakak nggak punya hak melarang. Juju sudah dewasa. Kalian berdua sudah seharusnya nggak menghalang-halangi dan menjadi hambatan—" "Aku ngerti apa yang mau kamu sampaikan, Gi," sela Ghani, yang tampak tak nyaman mendapat teguran secara langsung oleh istrinya sendiri di hadapan Danis. Giana yang sebal karena kalimatnya dipotong itu tetap melanjutkan, "Kita memang sepakat buat nggak bahas soal masalah Juju sekarang, tapi aku melihat kecenderungan kalian berdua yang terlalu jauh terlibat dalam hidup Juju. Kalian juga sadar kalau masalah kemarin itu karena—" "Giana, kami sudah paham, oke? Jadi, stop kuliahin kami." Sekali lagi Ghani m
Bermain seharian dan bersenang-senang dengan Nakula membuat suasana hati Juda menjadi terang benderang. Hidupnya mungkin sedang tidak baik-baik saja sekarang, tetapi saat melihat Nakula bersemangat bermain, berlarian ke sana kemari, tertawa-tawa riang karena alasan yang sederhana, Juda bisa sejenak melepaskan penatnya dan menikmati harinya bersama keponakannya yang sangat menggemaskan itu. Juda bahkan sejenak melupakan Danis yang tadinya cukup ia khawatirkan karena harus menghadapi ketiga kakaknya sendirian. "Aku masih mau main," rengek Nakula untuk yang ke sejuta kalinya sejak mereka berada di dalam taksi untuk pulang. Juda pun sampai lelah menjawab, "Besok Nakula masih bisa main lagi sama Tante. Tapi, sekarang kita harus pulang, okay? Nakula kangen sama Ibun, kan?" Nakula mengangguk. Tetapi masih tampak tidak ikhlas karena tadi bocah itu harus sedikit dipaksa agar mau pulang. "Cowok gantengnya Tante ini senang main sama Tante Juju hari ini?" "Senang.! Nakula mau main lagi sama
Tadinya, Juda cukup optimis karena melihat kepercayaan diri Danis yang terpancar dari tatapan matanya sesaat sebelum mereka berpisah di depan pintu apartemen Haikal. Juda percaya jika Danis tidak akan begitu saja terpengaruh oleh ucapan-ucapan kedua kakak laki-lakinya yang biasanya bisa dengan muduh memukul mundur setiap laki-laki yang dekat dengan Juda. Tapi... ternyata sama saja. Pada akhirnya, Danis juga tidak tahan menghadapi Ghani dan Haikal meski laki-laki itu sudah lebih mengenal mereka sejak dulu. Dan Juda jelas tak bisa mengesampingkan kemungkinan bahwa bukan salah mereka, yang pada akhirnya memilih mundur, tetapi kedua kakak laki-lakinya saja yang sudah terlalu jauh mencampuri urusan hidupnya. "Kamu mau pergi ke mana, Ju?" "Pulang!" tukas Juda sinis seraya menyeret dua koper besarnya keluar dari kamar tamu. Ghani beserta istri da anaknya sudah pamit pulang setelah Giana memandikan Nakula tadi. Makan malam yang sudah direncanakan gagal begitu saja karena Juda terlalu marah
Jika bukan berkat obrolannya dengan Haikal pagi itu, Juda tidak yakin akan ada di sini sekarang. Bersama Danis, bergandengan tangan seperti dua remaja yang sedang kasmaran, menaiki tangga satu per satu untuk menuju flat Juda setelah dua hari terakhir —sejak Jumat malam hingga Minggu sore—mereka menghabiskan waktu di apartemen Danis yang terletak cukup jauh dari flat Juda. Ini tepat empat bulan setelah mereka resmi berpacaran. Juda masih juga bersikukuh bahwa mereka bukan balikan, tetapi menjalin hubungan baru yang lebih sehat. Sehat dalam artian selalu saling jujur dan mengkomunikasikan tentang segala hal yang mengganjal dalam hubungan mereka. "Ju, kita nggak balikan atau tetap jadi mantan seperti yang kamu bilang, tapi kita pada akhirnya bakal jadi manten, kan?" ucap Danis saat mereak sudah sampai di depan pintu flat Juda. Juda tertawa seraya mengeluarkan kunci pintu dari salah satu kantong tasnya. "Ketemu Mami sama Papi dulu, baru bilang gitu!" "Kita punya waktu cukup banyak untu
Bicara soal bahagia, selalu ada kriteria-kriteria tersendiri bagi setiap orang. Seperti Juda yang sudah cukup bahagia melihat video keponakannya menendang-nendang air saat mandi hingga airnya menciprat ke mana-mana. Atau saat keponakannya tertawa-tawa melihat kekonyolan ayahnya. Juda... bisa semudah itu merasa bahagia. Saat bertelepon dengan Ema, membicarakan tentang apa saja yang terlewat saat mereka tidak lagi berada di kota yang sama, berbagi tentang hidup mereka, itu pun sudah membuat Juda bahagia juga. Dan saat Juda menghabiskan waktu bersama Kim dan Nic, yang mengkalim diri mereka sebagai bestie-nya Juda, selalu ada kebahagiaan yang terpupuk di dalam hatinya. Juda bersyukur sekali memiliki keluarga dan teman dekat yang dengan cara yang sederhana membuatnya bahagia. Lalu, bagaimana dengan Danis? Yang juga ingin menjadi salah satu orang yang menjadi bahagianya Juda? Tak Juda pungkiri bahwa saat bersama Danis—entah saat mereka berpacaran pertama kalinya saat SMA, atau saat merek
Meski sudah begitu yakin akan sanggup menerima penolakan demi penolakan Juda, nyatanya ada masa-masa di mana Danis ingin menyerah saja. Sulit sekali menembus tembok pertahanan yang Juda bangun. Enam bulan sudah kembali terlewati dan Danis belum menghasilkan apa-apa. Itu artinya sudah sembilan bulan lamanya Juda bekerja di kantor yang sama dengan Danis. Sudah nyaris setahun sejak Danis bisa berada dekat sekali dengan Juda. Tetapi masih juga tak tergapai sosoknya. "I'm so done. Gue mau nyerah aja." Nyaris setiap bulan Danis akan mengeluh demikian kepada Martin yang hanya tertawa-tawa melihat penderitaan Danis. Sebenarnya, ada juga masa-masa di mana Juda terlihat mulai membuka diri. Terhitung sudah tiga kali Juda mau diajak makan siang. Itu pun tampaknya Juda merasa kasihan kepada Danis yang belum juga menyerah mendekati Juda. Danis seperti termakan omongannya sendiri ketika berkata tak ingin dikasihani. Nyatanya, saat Juda menunjukkan respons positif bahkan sekadar mengasihani, Danis
Juda bukannya tidak sadar Danis mulai mendekatinya lagi sejak beberapa minggu yang lalu. Memang tidak secara blak-blakan seperti saat awal-awal Juda pindah. Dimulai sejak Danis mulai membelikannya kopi, memberikan ucapan-ucapan penyemangat untuk menjalani hari, mengajak Juda mengobrol ringan di dalam lift, dan masih banyak lagi. Danis bersikap lebih sopan, seperti seorang gentleman.Dan hari ini, Danis mulai menaikkan level. Sebelum Juda keluar dari lift saat tiba di lantai 21, Danis berkata, "Ju, nanti makan siang bareng aku, mau?"Jawaban Juda tidak. Karena ia sudah ada agenda bersama Jason untuk bertemu klien sekalian makan siang. Seandainya tidak ada agenda apa-apa pun Juda tetap akan menolak. Menerima pemberian kopi dari Danis dan mengobrol dengan laki-laki itu di dalam lift adalah hal yang tidak bisa Juda hindari karena Danis selalu melakukannya di depan banyak orang. Menolak pemberian Danis hanya akan membuat Juda dipandang buruk orang-orang. Itu tidak bagus untuk image Juda di
Danis tidak lagi mengganggu Juda setelah penolakan telak yang dilontarkan Juda siang itu. Dan itu sudah lewat tiga bulan yang lalu.Awalnya, Danis pikir Juda hanya bertindak berdasarkan emosi yang saat itu sedang menguasai, sehingga Danis membiarkan dirinya mundur. Mengalah. Memberikan Juda waktu lebih banyak.Sayangnya, Juda tidak membutuhkan waktu. Juda tidak sedang menunggu Danis datang lagi, untuk memohon dan mengemis kesempatan terakhir. Sebab, Juda benar-benar serius tentang ucapannya. Tidak lagi tersisa kesempatan. Karena Danis yang sudah membuang kesempatan itu dan menukarnya dengan kesia-siaan."Lo kapan kawinnya, sih? Biar gue bisa balik ke Jakarta," tanya Danis saat Martin menelepon suatu malam."PMS lo? Sewot amat," sindir Martin saat mendengar suara sinis Danis. "Kalau kawin kan gue udah sering, nikah ya aja yang belom," sambungnya."Gue serius, Tin. Gue kayaknya mau balik ke Jakarta dalam waktu dekat," desah Danis."Ngapain? Jangan bilang lo serius mempertimbangkan buat
Juda beruntung karena di kantornya mewajibkan para pegawai bicara menggunakan Bahasa Inggris jika sedang membahas pekerjaan sehingga Juda bisa dengan cepat beradaptasi dengan rekan-rekan kerja sekantornya. Sudah satu minggu Juda menempati posisi barunya sebagai manager pemasaran. Tantangan yang cukup sulit, terutama karena ini pertama kalinya ia menduduki jabatan yang cukup tinggi dan langsung berhadapan dengan orang-orang asing dari berbagai negara. Sejauh ini, Juda belum begitu banyak menemui kesulitan yang membuatnya stres, kecuali keberadaan Danis yang setiap jam makan siang selalu tiba-tiba muncul di ruangan Juda. “Can you stop doing this?” “I’m just trying to be nice.” “To be nice?” Juda mendecih. “Dengan membuat orang-orang di kantor mulai curiga soal kita karena kamu terlalu sering datang ke ruanganku, itu yang kamu sebut mencoba bersikap baik?” “Then, let them be. Kita cuma bernapas aja orang-orang bisa curiga sama kita kok,” tukas Danis dengan enteng sekali. Juda menut
Tiga hari yang Juda punya untuk mempersiapkan diri sebelum memulai hari pertamanya di kantor baru–kantor yang sama dengan kantor Danis–sudah habis. Juda menghabiskan tiga hari pertamanya di Rotterdam itu untuk menata kamar flatnya seperti dulu ia menata kamar kosnya agar terasa familier dan nyaman.Juda juga sudah berkenalan dengan tetangga-tetangga flatnya yang sebagian besar juga perantau dari luar Belanda. Yang cukup ramah kepada Juda ada dua orang. Kim, gadis manis dari Korea yang telah tinggal di flat itu nyaris dua tahun, sedang menempuh pendidikan S2, sekaligus bekerja paruh waktu sebagai pengasuh anak. Lalu satu orang lagi bernama Nic, laki-laki tinggi bongsor dari Inggris yang ternyata satu kantor dengan Juda, tetapi masih pegawai magang dan berbeda divisi dari Juda.Mengetahui kalau Juda adalah pegawai baru, Nic dengan baik hati mengajaknya berangkat bersama menaiki tram. Hari sebelumnya, Nic juga sudah mengajaknya berkeliling kota untuk beradaptasi. Juda benar-benar bersyuk
Perjalanan menggunakan kereta intercity dari Stasiun Schipol ke Rotterdam Centraal yang merupakan stasiun utama di kota Rotterdam memakan waktu 47 menit. Juda memaksakan diri untuk tidur agar tidak harus membangun percakapan dengan Danis yang sejak tadi nampak sekali berusaha keras untuk mengajak Juda bicara. Dari Rotterdam Centraal, untuk menuju flat yang akan ditinggali Juda selama di sana, harus menggunakan taksi. Danis yang sudah belasan tahun tinggal di Belanda itu tampak begitu membaur dengan sekitar. Hanya Juda yang merasa sangat asing di tempatnya berdiri kini. Tadinya, Juda sudah berniat memisahkan diri dari Danis begitu turun dari kereta, tetapi Danis tidak membiarkan Juda pergi. Danis beralasan bahwa ia harus mengantarkan Juda sampai ke flat atas perintah atasannya di kantor. Selain untuk menjelaskan beberapa hal basic tentang transportasi yang harus dinaiki juga untuk ke kantor dan juga untuk bepergian ke tempat-tempat umum, Danis berkata bahwa ia takut Juda tersesat. J
Meninggalkan Jakarta untuk pergi ke Belanda bukanlah pilihan yang mudah bagi Juda. Saat pertama kali mendapatkan tawaran dari bosnya di kantor, untuk dipromosikan ke posisi yang lebih tinggi, tetapi ditempatkan di luar Jakarta, Juda sempat mengira ia akan dimutasi ke Bali. Namun, ternyata Juda akan ditempatkan di perusahaan utama yang bertempat di Rotterdam, Belanda. Juda sempat bertengkar dengan Haikal karena kakak laki-lakinya itu menuduh Juda sengaja pindah ke Belanda untuk mengejar Danis yang selama tiga tahun terakhir menjadi topik yang paling dihindari keluarganya. Jika dibilang sengaja ingin mengejar Danis, tentu itu tidak benar. Awalnya, Juda bahkan tidak langsung ingat bahwa Danis bekerja dan tinggal di Belanda, entah di kota mana, Juda tidak tahu. Juda mempertimbangkan tawaran itu karena memang sudah lama menunggu momen ia dipromosikan. Baru setelah Haikal menyinggungnya, Juda menjadi bimbang. Apakah pilihannya untuk pergi adalah pilihan yang tepat? Juda bisa saja membatal