Sepeninggal Danis dari apartemen Haikal, Juda langsung masuk ke kamar tamu yang biasa ditempati oleh wanita itu setiap kali menginap di apartemen kakak laki-lakinya. Juda merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur pada posisi telentang. Pandangannya lurus menatap langit-langit kamar. Pikiran Juda melayang ke masa-masa kecilnya. Saat Juda hanya berpikir tentang bermain bersama teman-teman sebayanya di sekitar rumah dan bagaimana caranya kabur dari rumah saat dipaksa Mami untuk tidur siang. Masa-masa itu adalah masa yang paling menyenangkan dalam hidup Juda. Mengingatnya membuat Juda ingin kembali merasakan hidup yang terbebas dari masalah. Sebab, menjadi orang dewasa selalu sepaket dengan masalah-masalah yang menyertai. Hidup seperti gudangnya masalah. Satu masalah telah terpecahkan dan kemudian akan muncul seribu masalah lain. Tak ada habisnya. Seandainya memungkinkan, Juda ingin terjebak selamanya di dunia masa kecilnya. Sebab, jika hal itu benar-benar bisa diwujudkan, maka Juda tid
Haikal sudah menghabiskan satu botol air mineral dingin guna untuk mendinginkan isi kepalanya yang mendadak seperti digodok hingga panas. Haikal tampak tegang dan menahan amarah yang sudah nyaris meletup-letup. Haikal kini bersimpuh di depan Juda. Memegang kedua tangannya dan dengan sangat serius berkata, "Jujur sama Abang, Ju. Kamu cuma manfaatin Danis buat nutupin hubungan kamu sama suaminya Grita?" Juda menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Kegugupan dan kekalutan benar-benar membuat sosok Juda yang biasanya terlihat judes itu tampak kerdil di bawah tatapan serius kakak laki-lakinya. "Aku beneran pacaran sama Danis," cicit Juda seraya menunduk. Menatap kedua tangannya yang digenggam kuat oleh Haikal. "Kenapa kamu pacaran sama Danis?" Juda tak langsung menjawab. Karena Haikal seolah bisa dengan cepat menemui korelasi pada "Abang ingat kamu sama Danis memang pernah pacaran waktu kalian masih SMA. Tapi kenapa kamu tiba-tiba nembak Danis di acara reuni sampai viral di mana-mana pad
Bagi kedua kakak laki-laki Juda, setiap ada masalah yang dialami Juda, mereka seolah wajib menjadi penyokong untuk membantu Juda menyelesaikan masalahnya. Terutama ketika Juda sendiri yang mendatangi mereka saat masalah itu datang. Memang ada masanya di mana Juda tidak ingin mempunyai dua kakak laki-laki yang sangat protektif terhadap dirinya. Sebab, mereka bisa sangat menyebalkan di beberapa kesempatan dan hal itu membuat Juda pusing sekali. Namun, pemikiran itu selalu dengan mudah terpatahkan saat keberadaan mereka sangat mampu membuat Juda kembali baik-baik saja saat masalah-masalah itu datang. Sejauh ini, sebesar apa pun masalah yang dialami Juda, kedua kakak laki-lakinya selalu ada di sampingnya. Menegur, memperingatkan, terkadang sampai memarahi memarahi Juda karena adiknya itu bandel, kemudian menenangkan Juda agar tidak terlalu stres memikirkan masalahnya, dan selanjutnya akan membantu Juda untuk memecahkan masalah itu tanpa membuatnya menjadi lebih besar. Namun, sepertinya
Juda terdiam lama di tempatnya duduk karena tak tahu harus memberikan jawaban semacam apa atas pertanyaan yang dilontarkan Ghani. Jika saja Juda tahu apa yang harus ia lakukan untuk mengatasi masalahnya, sudah pasti wanita itu akan langsung menyelesaikan itu tanpa perlu melibatkan kedua kakak laki-lakinya yang rela untuk mengesampingkan urusan mereka masing-masing demi mengedepankan urusan Juda. Ghani yang sejak tadi tidak mengalihkan pandangannya dari Juda, yang tidak berani menatapnya secara langsung, kembali membuka suara. Tak tahan dengan kesunyian yang mengudara di ruangan itu. “Ju, Abang ngerti kalau keadaan ini sulit buat kamu. Kamu akan mendapat tudingan-tudingan miring yang memojokkan kamu, entah itu benar atau salah, kamu harus bisa menghadapi itu. Dan Abang nggak bisa jamin kalau masalah ini nggak akan sampai ke telinga Mami sama Papi.” Mendengar kalimat itu, Juda merasakan sesuatu yang dingin seolah merambat di kakinya. Tidak. Juda sama sekali tidak ingin kedua orang tu
“Menurut gue Juju harus tinggal di sini sampai Juju nikah sama Danis… atau sama orang lain yang berhasil dapetin restu kita sama Mami Papi juga,” timpal Haikal. Juda merengut tidak setuju. “Nggak mau. Aku kena masalah karena kalian berdua kekang juga, kan? Kalau Abang nggak mau aku bikin masalah yang bakal bikin Abang lebih sakit kepala, jangan paksa aku buat tinggal di sini.” Sesungguhnya Juda tidak benar-benar mau menyalahkan kedua kakak laki-lakinya. Juda hanya kesal karena mereka berdua lagi-lagi menunjukkan sisi posesifnya. Dan ancaman Juda itu sontak membuat Haikal meringis karena langsung kalah argumen. Sementara itu, Ghani mendesah pasrah. Tahu bahwa ucapan Juda yang mungkin hanya gertakan itu bisa saja menjadi kenyataan dengan tanpa di sengaja. Seperti masalah yang dialami Juda kali ini. “Tapi mau ya tinggal di sini sampai Abang ada waktu ngobrol sama Danis?” Juda masih tampak tak terlalu menyukai gagasan itu, tetapi mengingat masalah yang sedang terjadi, mau tak mau Jud
"Ju, ini... maksud kamu ini Grita yang sama dengan yang kita bahas...” Meski Haikal belum selesai mengucapkan kalimat yang laki-laki itu maksudkan dengan suara terbata-bata, Juda sudah mengangguk lemah. Kedua pupil mata Haikal melebar. Laki-laki itu terkejut selama dua detik. Sebelum kemudian kembali memijak bumi dan memeluk adiknya dengan erat tanpa berkata apa-apa lagi. “Tadi Grita baru ketemu aku sama Danis sebelum aku ke sini, Bang,” ucap Juda dengan suara bergetar. “Grita… pasti marah banget tadi waktu pergi, Bang. Dia nggak pamit waktu aku tinggal ke kamar mandi,” suara Juda sempat memelan di akhir. “Apa… mungkin Grita kecekalaan karena aku, Bang? Kalau iya… apa yang harus aku lakukan?” Juda benar-benar lemas. Padahal belum ada sedetik Juda berpikir bahwa ia akan bisa menghadapi masalah yang terjadi selama masih ada orang-orang terdekatnya yang tak akan berpaling darinya. Namun, seketika keoptimisan itu diluluhlantakkan dengan berita mengejutkan. Jika sampai Grita kenapa-k
Laki-laki itu berjalan mendekat. Juda sudah berniat kabur karena tidak punya tenaga untuk menghadapi Guntur saat ini, tetapi Danis yang melihat gelagat Juda itu langsung menggenggam tangan Juda dan menarik wanita itu agar berdiri di sampingnya. “Juda, saya... saya minta maaf.” Juda bisa saja melengos dan menganggap permintaan maaf itu hanya sekadar bualan. Namun, Juda mengangkat dagu, menghimpun kepercayaan dirinya yang akhir-akhir ini menipis, lalu mencari-cari kebohongan di mata Guntur. Dan di sana Juda menemukan ketulusan dan penyesalan mendalam. Sejenak, Juda mendengus dalam hati. Bukankah Guntur mahir memalsukan ekspresi? Sebab, sebelumnya Juda telah gagal membaca kebohongan Guntur hingga menyebabkan masalah serius yang juga melibatkan Grita. Tak bisa lagi bersikap sopan di hadapan laki-laki berengsek itu, Juda membalas, “Kenapa minta maaf ke gue? Kalau lo waras, saat ini harusnya lo siapin segudang permintaan maaf ke Grita yang mungkin nggak bakal bisa lo sampaikan dan akan
Kedua orang tua Grita tiba tepat saat dokter keluar dari ruang operasi dan menyatakan bahwa Grita telah berhasil melewati masa kritis. Tadinya, Grita nyaris tidak selamat pada operasi yang memakan waktu nyaris lima jam itu karena luka dalam yang membuat wanita itu kehilangan banyak darah. Namun, tim dokter berhasil menyelamatkan Grita dari maut setelah berusaha semaksimal mungkin. Dan sekarang Grita dipindahkan ke ruang ICU karena masih harus dipantau keadaannya hingga lebih stabil. Karena masih belum sadar—menurut dokter, Grita hanya masih dalam keadaan terbius, tinggal menunggu waktu saja hingga wanita itu sadar—Grita masih belum bisa ditengok oleh banyak orang. Maksimal hanya dua orang yang boleh masuk sementara ini dan harus masuk secara bergantian. Papa Grita yang tadi datang dengan wajah bersimbah air mata langsung bergegas masuk ke ruang ICU ditemani perawat. Danis baru akan mengajak Juda pamit untuk pulang—ia berencana akan datang lagi esok hari—tetapi keduluan Guntur yang l