Setelah Juda mandi dan kemudian menghabiskan makan siang yang dibelikan Haikal, wanita itu baru sadar jika kakak laki-lakinya itu hanya menyinggung soal 'pacar baru' Juda. Itu artinya masalahnya dengan Grita masih belum terendus oleh Haikal dan Ghani. Jika mereka belum tahu sampai detik ini, artinya Mami dan Papi juga belum tahu. Tetapi hanya tinggal menunggu waktu saja hingga kabar buruk yang memalukan itu sampai kepada mereka. Juda tahu jika ia tak selamanya bisa menyembunyikan masalah itu dari keluarganya dan membiarkan mereka tahu dari orang lain. Juda hanya tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan duduk perkaranya tanpa membuat Mami jantungan. Maka, hari ini Juda mau tidak mau harus menuntaskan masalahnya dengan Grita. Mau bagaimanapun prosesnya nanti, Juda berharap ada penyelesaian yang jelas. Juda berharap agar dirinya tidak akan dimusuhi lagi oleh Grita meski itu nyaris mustahil terjadi. Jauh sebelum melibatkan Guntur, saat masih di bangku sekolah menengah ke atas, keduanya
Juda pikir, Grita akan bersikap seperti Grita yang biasa. Sinis dan arogan terhadap Juda. Bahkan, Juda pun sudah mempersiapkan diri—menabahkan hati dan menerima apa pun respons dari Grita—jika Grita akan semakin membenci dirinya.Namun, detik demi detik berlalu. Lama sekali Grita hanya diam. Sementara Juda dan Danis mulai tampak resah melihat keterdiaman Grita. Bukan. Mereka berdua bukan sedang mengkhawatirkan respons dari Grita setelah Grita menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya terjadi, tetapi mereka lebih mengkhawatirkan kondisi wanita itu."Grit, are you okay?" tanya Danis hati-hati.Grita yang tadinya memandang lurus ke luar jendela, mengabaikan atensi Danis dan Juda yang tertuju padanya, mengembalikan fokus pada kedua orang di depannya."Jadi, apa yang lo berdua harapkan dari penjelasan itu?" Grita langsung melontarkan tanya.Juda tidak bisa menebak suasana hati Grita yang menampilkan ekspresi datar. Grita yang biasanya meledak-ledak itu kini sulit dibaca."Grit... gue cuma
"Lo pasti nggak pernah main dating app ya, sampai hal basic kayak cek sosmed gitu nggak lo lakukan? If you do that, lo mungkin akan bisa tahu Guntur udah beristri. Dia mungkin jarang buka sosmed, tapi ada banyak tag foto di nikahan gue dulu yang di-post sama keluarga. Atau mungkin lo udah cek dan lo tetep memutuskan buat jalan sama Guntur. Gue juga nggak tahu. "Saat ini, gue udah nggak bisa percaya sama omongan orang. Gue nggak tahu lagi, mana yang bisa gue percaya, mana yang enggak. Karena orang yang berbagi ranjang sama gue setiap hari, yang ngakunya sayang dan cinta sama gue, akan selalu ada buat gue dan bahkan udah bersumpah setia, pada akhirnya mengkhianati gue." Berengsek! Guntur benar-benar berengsek! Bajingan tidak bermoral! "See? Karena ini lah gue nggak akan pernah minta maaf sama lo, Ju. Atas apa pun yang pernah gue katakan dulu san mungkin bikin lo sakit hati. I can't do that. Karena harga diri gue nggak memperbolehkan gue melakukan itu," Grita melontarkan kalimat ber
Sepeninggal Juda ke kamar mandi, Danis memanfaatkan waktu yang kosong itu untuk mengamati Grita. Tak hanya Juda, Danis pun tadinya berpikir jika Grita tidak akan mudah diajak bicara. Seperti yang Juda minta, ia akan langsung membawa Juda pergi jika keadaan menjadi tak terkendali seperti saat Juda dan Grita terlibat keributan beberapa waktu lalu. Namun, yang didapatinya justru lain. Danis sadar bahwa keputusannya mempertemukan Juda dengan Grita seolah menjadi bumerang yang berbalik ke arahnya. Membuat Danis merasa bersalah karena hanya memikirkan Juga agar bisa mendapatkan kenyamanannya kembali tanpa sedikit pun memikirkan posisi Grita. Grita adalah korban yang menanggung paling banyak beban di sini. Danis merutuk. Kenapa ia bodoh sekali? "Sebelum sama Juju, gue udah tahu kalau Guntur suka main belakang." Ucapan Grita mengembalikan fokus Danis dan sontak membuat mata laki-laki itu melebar. "Grit—" "Gue pernah labrak cewek simpanan Guntur itu sampai cewek itu nangis mohon-mohon c
Sudah hampir tiga puluh menit berlalu sejak Juda pamit pergi ke toilet, tetapi hingga kini belum keluar juga. Danis yang sudah khawatir sejak tadi itu pun mendekati salah satu pegawai kafe yang baru saja mengantarkan pesanan. "Maaf, Mbak, teman saya tadi pamit ke kamar mandi sudah cukup lama tapi belum keluar-keluar. Sudah lebih dari tiga puluh menitan. Bisa minta tolong untuk dicek? Takutnya kenapa-kenapa." Mendengar penuturan itu, pegawai yang mengenakan name tag bernama Hani itu langsung menyanggupi, "Oh, baik, Mas. Silakan ditunggu di sini, ya." "Makasih, Mbak." Namun, saat pegawai itu baru akan melajukan langkah ke kamar mandi, sosok yang dikhawatirkan Danis akhirnya muncul juga. "Itu teman saya udah keluar, Mbak," ujar Danis yang kemudian mengucapkan terima masih. "Saya nggak membantu apa-apa, Mas." Pegawai kafe itu membalas dengan senyum profesional yang tak pernah meninggalkan wajahnya, lalu pamit untuk melanjutkan pekerjaan. Saat Juda sudah semakin dekat dengan tempat
Juda melepas pelukan sebelum menjadi pusat perhatian orang-orang. Sudah cukup ia menjadi bahan pembicaraan teman-teman seangkatannya dan di media sosial karena dicap sebagai pelakor. Juda tidak ingin lagi menarik atensi orang-orang karena ia berpelukan dengan Danis di tempat umum. "Yuk, pulang," ajak Danis yang kemudian menggenggam tangan Juda. "Aku nggak mau balik ke kos." "Mau jalan-jalan dulu kalau gitu? Ke mall? Nonton film atau belanja? Atau mau ke mana?" Danis langsung memberondong dengan pertanyaan. Sepertinya sudah cukup paham bahwa Juda hanya sedang tidak ingin terkungkung dalam perasaan sedihnya seorang diri. Saat sedang suntuk dan galau, tak jarang Juda akan jalan-jalan ke mall sendirian. Entah hanya untuk window shopping atau berbelanja hingga budget menipis. Tetapi lebih seringnya Juda menyalurkan kesuntukannya dengan makan hingga kenyang. Hanya saja, saat ini energinya tidak cukup untuk melakukan hal-hal yang biasa ia lakukan itu. "Aku lagi males jalan." "Terus ma
"Soal ucapanku yang tadi aku serius."Juda baru bersuara saat ia dan Danis sudah masuk ke dalam taksi yang mengantarkan mereka ke apartemen Haikal."Yang mana?""Aku yang manfaatin kamu buat nutupin kekecewaan aku ke Guntur."Danis melirik Juda yang menatap ke luar jendela "Aku udah bilang sama kamu tadi, Ju. Kamu boleh manfaatin aku selama yang kamu mau.""Please, jangan gitu, Danis," cicit Juda yang semakin merasa jahat kepada laki-laki di sampingnya."Ju, nggak keberatan dengan posisiku saat ini. Apa pun alasan kamu memulai mendekati aku saat itu, aku nggak peduli. Karena aku akan berusaha keras membuat kamu sadar kalau kamu akan selalu membutuhkan aku. Jadi, kamu nggak akan lagi merasa kalau aku bisa dimanfaatkan, tetapi kamu yang akan ngerasa kalau tanpa aku di hidup kamu, kamu akan ngerasa nggak lengkap. Aku rasa itu cukup untuk menghapus rasa bersalah kamu ke aku."Karena masalah yang sedang menimpanya, Juda jadi sangat sensitif. Mendengar penuturan Danis yang begitu dewasa itu
Kedatangan Juda yang tanpa pemberitahuan membuat Haikal langsung menebak jika ada sesuatu yang terjadi. Juda hanya akan mencari Haikal atau Ghani lebih dulu saat sedang ada masalah. Dan tampaknya, masalah yang sedang Juda alami itu cukup serius karena ekspresi yang ditunjukkan Juda dan mata adik kesayangannya memerah seperti habis menangis. Ah, bukan. Juda memang habis menangis. Haikal tahu betul. "Ju, kok nggak telepon Abang dulu?" "Abang lagi nggak bisa diganggu ya?" Juda malah balik bertanya. Haikal yang hanya mengenakan celana kolor dan singlet—pakaian sehari-harinya saat sedang di rumah dan tidak bekerja—itu berdecak. "Barusan Abang kalah main game gara-gara kamu gedor-gedor pintu kayak rentenir nagih utang." "Aku mau nginep sini," balas Juda mengabaikan sindiran Haikal. Haikal baru akan meminta adiknya untuk masuk ke unit apartemennya saat menyadari ada sosok laki-laki familiar tapi juga asing, yang berdiri di belakang Juda. Haikal mengernyitkan kening. "Who are you? And