“Valerie!” Pintu kamar terbuka dan seorang wanita buru-buru masuk. “Val! Ayo, bangun!” Ia mengguncang-guncangkan tubuh yang masih memeluk guling di tempat tidur.
Terdengar erangan malas dari bibir mungil yang menempel pada bantal bermotif beruang. Tangannya menarik selimut hingga menutupi kepala, kemudian terlelap lagi.
“Ck! Anak ini! Ayo, bangun, Val! Sudah siang!” kata wanita itu lagi. Kali ini ia menarik selimut dengan keras sehingga wajah di baliknya terlihat. “Mau tidur sampai kapan, hah?!”
Gadis yang memakai piyama polos merah muda itu menggeliat dan hendak menarik selimut lagi ketika sang ibu menepis tangannya.
“Masih ngantuk, Ma…,” katanya sambil mengucek-ucek mata.
“Salah siapa begadang? Emangnya kamu ngapain aja semalam?” Wanita bernama Rima itu memaksa putrinya bangun.
Valerie yang biasa dipanggil Val terpaksa bangun dan menguap lebar. “Val ‘kan nggak kerja, Ma, nggak perlu bangun pagi….” Ia memberi alasan.
“Ini sudah jam sepuluh, Val! Nggak malu tuh diketawain sama ayam?”
“Ngapain malu? Dia juga nggak ngerti kok!”
“Ih! Anak ini!” Dengan gemas Rima mendorong jidat putrinya. “Kamu itu sudah besar, Val! Bersikaplah dewasa, jangan kayak anak kecil! Malu sama umur yang hampir kepala tiga!”
“Mama bawel ih!” Val cemberut.
“Lagian, kenapa sih kamu harus berhenti kerja? Cari kerjaan ‘kan nggak gampang! Akhirnya, kamu menganggur sekarang!”
“Ya … Val ‘kan ingin kerja sesuai passion, Ma…. Yang kemarin itu cuma batu loncatan aja. Terpaksa juga karena Mama yang buru-buruin Val kerja.”
“Ya jelaslah! Mama sudah susah payah kuliahin kamu, kalau nggak kerja, mau ngapain?”
“Kenapa pagi-pagi Mama cerewet sih?”
Rima mendelik, tapi seketika wajahnya berubah saat Val memeluknya manja. “Kamu ini paling bisa ya kalau merajuk.” Tangan kurus itu membelai rambut Val sambil tersenyum.
“Meski Mama cerewet, Val tetap sayang kok.”
“Halah! Kamu ini kalau ada maunya aja bilang sayang!”
Val tertawa kecil.
“Sudah seminggu kamu menginap di sini, nanti siang kamu harus balik ke apartemenmu. Papa membelinya supaya kamu bisa mandiri. Di sini kamu juga nggak ada gunanya malas-malasan. Lebih baik kamu gunakan waktumu untuk mencari kerja!”
Val mendongak menatap wanita di depannya. “Ih! padahal Val menginap di sini karena kangen Mama. Mama nggak kangen Val, ya?”
“Sudah, sudah! Meladeni kamu bikin capek! Sana keluar! Ada Tante Icha dan sepupumu datang.” Rima berdiri dan melempar selimut yang segera ditangkap Val.
“Mau ngapain mereka pagi-pagi ke sini? Pasti bahasannya sama. Mau pamer ini lah, itu lah!” Lagi, bibir Val manyun. “Kali ini pamer apa lagi?”
“Sudah cepat keluar!” perintah Rima sebelum menutup pintu kamar.
Masih cemberut Val bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi. Ia menatap pantulan dirinya di cermin yang sedang menggosok gigi. Segera ia tuntaskan rutinitasnya lalu keluar.
“Pagi, Tan! Halo, Ris!” sapa Val ketika melihat kerabatnya ada di ruang tamu.
Tante Icha yang sedang menelepon buru-buru menutup teleponnya melihat Val datang. Rissa yang sedang menyuapi anaknya segera menoleh.
“Halo, Valerie sayang! Ini sudah siang lho, Val, jadi bilangnya selamat siang!” Tante Icha mencubit pipi Val dengan gemas hingga gadis itu meringis.
Jam sepuluh itu masih pagi, Tan … jam dua belas baru siang, gimana sih? Gerutuan itu hanya bisa ia sampaikan di dalam hati.
“Halo, Val!” sapa Rissa sambil memeluk Val. “Dean, ayo beri salam pada Tante Val!” Ia menggendong putranya yang berusia dua tahun dan menggerak-gerakkan tangan untuk menyapa Val.
“Hai, Dean! Kamu nggemesin aja deh!” Val hendak mencubit pipi tembem kemerahan itu sebelum Rissa menepisnya.
“Jangan cubit-cubit ah! Sakit tahu!” omel Rissa. “Duh, Tante Val jahat ya, Nak! Sini biar Mama pukul dia!” Ia pura-pura memukul Val yang otomatis menghindar.
Val sudah tahu kebiasaan saudaranya itu. Tante Icha yang merupakan kakak sang ibu, termasuk bawel dan suka mengkritik orang. Rissa, anaknya juga sama saja. Ia suka mencari perhatian berlebihan.
“Eh, Val, kamu nggak kerja? Katanya kamu berhenti ya?” tanya Rissa. Sekarang ia sedang bermain dengan Dean menggunakan kerincingan.
Val duduk di seberang mereka sambil memainkan ponselnya. “Iya, nggak sesuai sama minatku,” jawabanya.
“Kamu ini jangan suka milih-milih toh, Val!” Tante Icha menyeletuk. “Kalau kebanyakan milih dan banyak maunya, ya nggak dapat-dapat. Kamu juga masih single, ‘kan? Itu akibatnya kalau terlalu pemilih.”
“Mau kukenalin nggak, Val?” timpal Rissa. “Aku ada beberapa temen yang masih kosong juga. Kali aja cocok. Lumayan lho, mereka kenalan suamiku juga, jadi sudah mapan gitu deh!”
“Kamu maunya yang kayak gimana sih, Val? Ntar nggak laku gimana? Kasihan juga mamamu, masih kepikiran anak gadisnya.”
Telinga Val sudah gatal mendengar kalimat-kalimat itu. Ia ingin berteriak dan menyumpal mulut mereka, kalau saja tidak ingat bahwa mereka adalah keluarga. Semarah-marahnya Val, ia tidak akan berbuat tidak pantas. Orang tuanya selalu mengajarkan untuk menghormati orang lain, sekalipun tidak menyukainya. Karena itu, ia hanya tertawa saja.
“Kamu nggak mau menikah atau gimana?” tanya Rissa.
“Lihat tuh Rissa! Anak ke dua sudah otw! Padahal dia lebih muda dari kamu!” Tante Icha menunjuk perut Rissa yang sedikit membesar di balik dress ketatnya.
Val hanya meliriknya sekilas lalu kembali asyik dengan gawainya.
Tante Icha hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah keponakanya ini. “Tante ngomong gini, juga demi kebaikanmu. Dua anak Tante semua sudah menikah dan punya anak. Sepupu-sepupumu yang lain juga sudah berkeluarga. Kamu aja yang belum.”
“Ya gimana mau menikah, pacar aja belum ada,” jawab Val asal. “Mungkin jodohku masih otw juga di perut.”
“Makanya itu, Val, kamu cari yang benar! Nggak bakal ketemu kalau kamu malas-malasan gini! Kamu─”
Kalimat Tante Icha menggantung di udara saat Rima datang membawa nampan berisi empat cangkir teh. “Ya gitu deh, Mbak, anaknya kayak begini. Susah dikasih tahu,” katanya sambil meletakkan minuman di atas meja. Ia lalu duduk di sebelah Val.
“Kamu kurang tegas, Rim! Apalagi suamimu tuh, dulu suka banget manjain Val. Jadinya begini deh!” komentar Tante Icha sambil menyeruput tehnya.
Val membiarkan Tante Icha membicarakan dirinya sesuka hati. Ia sudah bosan mendengarnya. Setiap kerabat yang bertemu dengannya pasti membahas hal yang sama. Pekerjaan, dan pernikahan.
Aku juga mau kok menikah. Sama cowok yang tampan dan mapan. Cuma belum ketemu aja, gumamnya dalam hati. Aku juga punya alasan keluar dari pekerjaanku sebelumnya. Dan kupikir, ini kesempatanku untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan minatku.
Val menatap layar ponselnya. Ia sedang membaca novel online sambil senyum-senyum sendiri. Andai aja, hidupku kayak cerita ini. Ketemu cowok ganteng, mapan, dan saling jatuh cinta terus menikah. Aaah, indahnya….
Val termenung di apartemennya. Layar laptopnya menyala di atas meja menampilkan laman pencari kerja. Ia sudah mengirimkan surat lamaran pada beberapa perusahaan yang ia minati. Sudah berbulan-bulan tidak ada balasan yang ia terima.Desah panjang lolos dari bibirnya. Ia menopang dagu di atas meja. Pandangannya kosong menatap layar laptop. “Kalau sampai akhir minggu ini nggak dapat juga, ya sudah deh! Lupakan soal passion itu!”Ia mengempaskan tubuh ke sandaran sofa kemudian menyalakan televisi. “Mending nonton drama aja lah. Puas-puasin menghalu dulu.”Tak lama, Val larut dalam keasyikannya menonton serial drama favoritnya hingga menjelang tengah malam. Ia pun beranjak ke kamar dan merebahkan diri di tempat tidur.“Teman-teman banyak yang sudah menikah,” ujarnya sambil mengamati foto dan video yang muncul di media sosialnya. Beberapa teman berfoto dengan pasangannya, memamerkan kemesraan dan keharmonisan mereka.
Pukul sembilan pagi di sebuah pusat perkantoran yang ramai, terlihat seorang wanita sedang berjalan di trotoar. Pakaiannya rapi dengan atasan polos cerah berpita dan rok A-Line hitam selutut. Sebuah tas kecil tersampir di bahunya. Ia berjalan sambil mengamati gedung-gedung tinggi di atasnya. Sesekali ia membaca sebuah alamat yang tertera pada layar ponselnya. “Harusnya di sekitar sini,” gumamnya. Kaki bersepatu setinggi 5 sentimeter itu terus berjalan mencari alamat yang ia tuju. DUG! Seseorang menabrak bahunya. “Aduh, maaf!” Wanita itu mendongak dan seketika melihat sosok yang membuatnya terpesona. Laki-laki yang memakai pakaian olahraga itu sangat tampan sampai ia tak mampu menjawab. “Kamu nggak apa-apa?” Pria itu tampak prihatin melihat sang wanita hanya membuka mulut tanpa bersuara. Wanita itu tersadar dari lamunannya. “Ah-oh-eh, iya! Saya yang harusnya minta maaf karena nggak lihat jalan!” Ia membungkukkan tubuhnya sediki
Di sudut sebuah kamar dekat jendela, duduk seorang wanita sedang membaca novel. Buku itu terbuka di halaman yang sama sejak bermenit-menit yang lalu. Sepertinya wanita itu tidak benar-benar membacanya. Rintik hujan yang mengenai kaca jendela mengaburkan bayangannya. Macetnya jalan raya di bawah sana tidak lagi menarik perhatiannya. “Jadi, namanya Arion ya,” gumamnya lalu meraih ponsel di sebelahnya. Mata Val mengamati nomor yang tersimpan di sana. Teringat dalam benaknya pertemuan dengan lelaki tampan nan baik hati siang tadi. Senyumnya mengembang membayangkan seandainya ia benar-benar berjodoh dengan laki-laki itu. Sungguh paduan yang sempurna untuk seorang calon suami. Apalagi sang ibu sering menanyakan calon yang belum diketahui keberadaannya. “Mungkin jodohku masih orok.” Itu alasan yang sering ia berikan bila ada yang bertanya tentang calon suami. Hah! Calon pacar saja belum ada. Apalagi calon suami! dengusnya kesal. Memang
“Kelihatannya sudah lumayan sih,” kata Val mengamati kaus abu-abu di tangannya. Ia lalu memasukkannya dalam tas yang sudah disiapkan. “Semoga saja dia nggak terlalu mempermasalahkannya,” gumamnya pasrah. Kemarin ia memberanikan diri menghubungi Arion untuk mengembalikan bajunya. Sesuai kesepakatan dalam pesan singkat, mereka akan bertemu di tempat yang sama seperti hari Jumat kemarin. Val mengambil napas panjang ketika langkahnya sudah mendekati gedung perkantoran itu. Jantungnya berdebar akan bertemu pria tampan itu lagi. Sejak pertemuan itu, setiap malam Val memimpikan masa depannya bersama laki-laki itu. Bahkan ketika menonton drama kesukaannya, ia membayangkan jika dirinya dan Arion menjadi tokoh utamanya dan berakhir bahagia. Kaki ramping Val melangkah yakin memasuki kedai kopi tempat mereka akan bertemu. Dalam hati ia berdoa supaya semuanya berjalan lancar hari ini. Salah satu kursi di area luar kedai, sudah diduduki seseorang. Val hanya
Pagi itu Saga terlihat sibuk di mejanya. Beberapa kali ia mengecek surel dan laman yang memuat beberapa tulisannya. Junior sebelumnya berhenti bekerja karena melahirkan dan sekarang ia yang bertugas mengurus semua sampai mendapat penggantinya. Ditambah lagi atasannya, sedang dalam proses pemulihan setelah sakit, membuatnya semakin sibuk. Ia harus menangani tugas tiga orang sekaligus. Sekalipun ia sudah membagi tugas dengan yang lain, ada pekerjaan yang memang harus dikerjakan sendiri. Beberapa hari yang lalu dirinya sudah menghubungi bagian Personalia menanyakan kekosongan pegawai di tempatnya. Mereka bilang sudah menemukan penggantinya, dan membuat Saga sedikit lega. “Semoga saja dia benar-benar orang yang kompeten. Kelihatannya sepele, tapi dampaknya besar,” gumam Saga sambil menata berkas-berkasnya. Tumpukan kertas itu ia letakkan di meja kosong sebelahnya yang sebentar lagi akan terisi. “Untuk permulaan, rasanya cukup segini dulu.” Sekali lagi ia
Kedua pria itu masuk ke ruangan kaca dan menutup pintunya. Val yang sedari tadi menahan napas karena terkejut segera mengembuskan napasnya kuat-kuat. Ia meremas dadanya yang tiba-tiba sesak. Hidungnya menghirup udara banyak-banyak untuk mengisi paru-parunya yang kosong. Yang tadi itu … Arion, ‘kan? Arion yang itu? Dia pakai baju olahraga yang kukembalikan tadi pagi? pikir Val terkejut. Ia menepuk-nepuk pipinya mengecek apakah ia masih tidur atau sudah bangun. Pipinya terasa panas. Itu artinya hal yang terjadi hari ini adalah kenyataan. Kenyataan yang tidak pernah ia bayangkan sama sekali. Kedatangan Saga yang menggeser kursi lalu duduk di sana, membawa Val kembali dari lamunan. Ia bisa merasakan tatapan Saga yang menusuk. Benak Val mulai berpikir macam-macam. Apa yang mereka bicarakan di dalam? Apakah mereka membicarakanku? Jangan ge-er, Val! Memangnya siapa kamu? Kamu pegawai di sini! “Jangan melamun! Lekas lakukan tugasmu!”
“Jadi, dia yang membuatmu senyum-senyum sendiri seperti orang gila?” Saga mencondongkan tubuhnya pada Arion yang kini tertawa kecil. “Kamu ingat waktu aku meneleponmu hari Jumat lalu?” Arion melihat anggukan Saga lalu melanjutkan, “Itu pertemuan pertamaku dengannya. Kalau tidak salah, waktu itu ada interview untuk mengisi kekosongan di tempatmu, ‘kan? Kamu nggak ketemu dia?” Saga menggeleng. “Nggak. Aku serahkan semuanya pada Fanny. Aku yakin dia sudah paham orang seperti apa yang kucari.” “Sayang sekali. Kalau saja kamu sempat bertemu dengannya. Dia lucu sekali tahu waktu baju ini ketumpahan kopi yang kubawa. Nggak sengaja sih.” “Maksudnya?” Saga tidak mengerti. Memang sejak beberapa hari lalu sahabatnya ini bertingkah aneh. “Kamu mau tahu cerita lengkapnya?” “Nggak tertarik!” jawab Saga cepat. Namun, di dalam hatinya ia penasaran apa yang membuat Arion bisa jatuh cinta pada pandangan pertama dengan pegawai baru itu. Biasanya
Val menutup pintu ruangan Arion dengan cepat lalu duduk di kursinya. Ia menghela napas lega seolah beban berat telah terangkat dari dadanya. Dengan satu tangan, ia mengusap keringat yang mengucur di dahi dan leher. “Aku harus minum,” gumamnya sambil beranjak menuju pantri. Ia mengambil gelas di lemari dan mengisinya dengan air. “Kamu ngapain tadi di ruang pak Rion lama sekali?” Tiba-tiba saja Rara sudah berdiri di sampingnya. Ia juga melakukan hal yang sama seperti Val. Sedikit tersedak, Val menatap Rara. “Bu-bukan apa-apa. Hanya bertanya sedikit tentang pekerjaanku,” katanya berbohong. Ia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. “Nggak kayak biasanya deh,” celetuk Rara. “Dua orang sebelum kamu, Pak Rion nggak pernah begitu tuh!” “Oh, aku nggak tahu. E-entahlah, mungkin suka-suka dia aja.” Val gugup dan khawatir kebohongannya akan terungkap. Rara mengangguk. Ia lalu kembali ke mejanya dengan membawa segelas air. Tak lama Val juga mening
“Ga …?” “Ah, apa …?” Saga baru tersadar ketika Val menggoyang-goyangkan lengan jasnya. Val menatap pria yang kini sudah menjadi suaminya. Ia lalu memandang arah yang tadi dilihat Saga, tetapi tidak menemukan ada yang aneh di sana. “Kenapa lihat ke sana terus? Sudah waktunya kita turun,” katanya. “Oh, ayo.” Saga menggandeng tangan Val dan membantunya turun dari panggung. Tak lama, Val dan Saga duduk bersama keluarga mereka. Menikmati jamuan makan malam yang disediakan. Obrolan ringan juga turut mewarnai kehangatan keluarga baru itu. Beberapa jam kemudian, acara selesai. Seluruh tamu undangan sudah meninggalkan gedung. Para keluarga sebagian meninggalkan gedung, sebagian lagi menginap di hotel yang sama dengan Val dan Saga. Mereka memang sengaja menyediakan kamar kosong untuk beberapa keluarga yang tinggal di luar kora, seperti Tante Icha dan Riska. Val dan Saga diantar Kaira dan Arion ke kamar hotel mereka. Kaira tampak bahagia dengan senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya.
“Kamu sudah yakin, Val?” Rima bertanya pada putrinya karena sedikit khawatir. Val mengangguk dan tersenyum. “Iya. Masa sudah begini, masih ditanya lagi sih?” Rima tersenyum sedikit. “Kamu bisa bilang ke Mama, Val. Nanti Mama yang akan cari cara.” Kali ini Val menggeleng. “Nggak usah, Ma. Memangnya Mama berani bilang sama Tante Diana? Dia teman baik Mama, ‘kan?” Rima diam sejenak lalu menjawab, “Iya, tapi … Mama rasa dia akan mengerti, Val.” “Nggak usah, Ma. Val baik-baik saja kok. Mama juga sudah lihat sendiri, ‘kan?” Val memamerkan senyum terbaik dan tercantiknya. “Saga pasti juga begitu.” Rima menatap putrinya sekali lagi. Val pun mengangguk untuk meyakinkan sang ibu. “Baiklah kalau begitu. Mama keluar dulu. Tamu-tamu sudah banyak yang datang.” Rima berdiri lalu keluar dari ruangan itu. Val mengantarnya dengan senyum bahagia. Ketika pintu di depannya tertutup, senyumnya memudar. Sungguh merupakan keputusan yang sulit baginya, tapi ia harus melakukannya. Sementara itu, di rua
“Aaah … capek juga ternyata bikin kue!” keluh Val sambil mengempaskan tubuh ke tempat tidur. Ia baru saja memasukkan dua loyang kue ke oven dan mengatur waktunya. Sambil menunggu, ia berniat beristirahat sebentar. Dari luar, Val bisa saja tertawa lepas seolah tidak ada yang mengusiknya. Namun, hatinya menjeritkan rindu yang sama pada seseorang. Berbagai kenangan bersama Saga mulai bermunculan, menggoda dirinya, dan membawanya kembali ke masa lalu yang jauh. Masa-masa di mana ia sama sekali tidak menyadari perhatian-perhatian kecil Saga padanya. “Aku mau ke kantin! Ada yang titip?” tanya Nita sambil berdiri. Saat itu, tim mading yang terdiri dari Saga, Val, Nita, Noah, dan Andi, sedang mengerjakan proyek minggu ini. Mereka berkumpul di ruang OSIS sepulang sekolah. Segera anak-anak menyebutkan pesanannya dan Nita pun berlalu. Val tidak pernah mengetahui bahwa saat itu Saga selalu memperhatikan gerak-geriknya. Apa pun yang ia lakukan, selalu mampu membuat senyum Saga mengembang. Namun
Val terbangun di Minggu pagi yang cerah. Sinar matahari sudah masuk dari jendela yang terbuka lebar. Kehangatannya memenuhi kamar dan tubuh Val yang masih memeluk guling, sambil mengejap-ngejapkan mata untuk menyesuaikan perubahan yang mendadak. Beberapa detik kemudian tubuh Val tegak di tempat tidur dengan rambut kusut dan wajah kusam. Samar-samar telinganya menangkap percakapan di luar. Ada suara ibunya dan suara lain yang tidak ia kenal. “Maaf, Bu Rima, sudah ganggu pagi-pagi.” “Oh, nggak apa-apa, Bu. Saya yang terima kasih karena sudah diberi ini.” “Itu cuma hasil kebun dari kampung, Bu. Kebetulan kemarin baru pulang dari sana.” “Pantesan kelihatan segar ini. Terima kasih banyak, Bu Nuri.” “Sama-sama, Bu. Baiklah, saya permisi dulu.” “Silakan.” “Siapa itu? Tetangga?” gumam Val lalu beringsut turun dari tempat tidur dan keluar. Baru saja ia menutup pintu di belakangnya, sang ibu muncul sambil membawa dua sisir pisang ambon di tangan. “Sudah bangun, Val?” sapa Rima. Val men
Hari pun berganti. Biasanya di akhir pekan banyak pasangan menghabiskan waktu bersama, termasuk Val dan Saga. Namun, kali ini berbeda. Pasangan yang dalam satu minggu ke depan akan melangsungkan pernikahan itu sedang ditimpa masalah. Masing-masing menghabiskan waktu di tempat yang berbeda dengan sikap yang berbeda pula. Saga seperti orang gila yang kehilangan sesuatu yang teramat berharga baginya. Telepon dari calon mertuanya membuatnya tersiksa sepanjang malam hingga tidak bisa tidur. Hari yang seharusnya cerah ini terasa begitu buruk bagi Saga. Sedari pagi, pria itu mondar-mandir di apartemennya. Seluruh penampilannya tampak berantakan. Botol-botol minuman berserak di meja dan lantai membuat ruangan itu sudah seperti kapal pecah. Bel pintu berbunyi. Buru-buru Saga membukanya dan langsung membentak. “Kai! Arion! kenapa kalian lama sekali?! Kenapa baru datang?!” Arion dan Kaira saling berpandangan lalu mengembuskan napas kesal. “Gimana bisa cepat kalau baru setengah jam lalu kau
Di ruang kerjanya, Arion mengamati layar ponsel yang berisi panggilan dari Val. Beberapa waktu lalu, gadis itu meneleponnya. Meminta izin tidak masuk hari ini. Ia sudah menduga ada sesuatu yang terjadi dengan dua sahabatnya itu. Tanpa mendapat jawaban yang sebenarnya, ia malah mendengar sesuatu yang tidak disangkanya sama sekali. Bentakan Saga, jeritan Val, ia mendengar semuanya dari ponsel yang tidak dimatikan dengan benar. Tidak tahan membayangkan apa yang terjadi di sana, Arion menekan tombol merah. “Apa yang kamu lakukan, Ga? Kenapa kamu begitu? Kenapa kalian seperti ini?” Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Arion. Andai saja ia bisa merebut gadis itu kembali, ia akan melarang Saga berbuat sesukanya. Sekarang ini, ia tidak berdaya untuk membantu apa pun. Itu sudah di luar kendalinya, bukan haknya. Arion mengangkat kepala ketika Saga muncul di ambang pintu ruangannya. Wajahnya tampak kacau dan ia sangat gugup. “Rion …,” katanya lirih. Arion berdiri dan mendekati Saga.
Val yang sangat merindukan kekasihnya itu membalas cumbuan Saga di bibirnya. Namun, beberapa detik kemudian ia mendorong pria itu menjauh. Wajahnya merah. “Kenapa?” Saga heran. “Ini nggak benar,” jawab Val. “Apanya yang nggak benar?” “Masalah ini, nggak semudah itu selesai.” Saga membawa wajah Val menatapnya. “Apanya yang belum selesai?” “Apa buktinya kalau wanita itu nggak akan menganggumu lagi?” “Aku sudah melarangnya. Aku sudah memintanya untuk nggak ganggu aku, kita. Apa lagi?” “Kamu yakin dia akan menurut begitu saja? Kulihat, dia orang yang selalu bisa mendapatkan keinginannya. Dia nggak semudah itu menyerah.” “Lalu, apa maumu, Val? Aku sudah nggak mau lagi berurusan dengannya.” Val masih menatap Saga mencari kebenaran di sana. “Begini saja, kalau sampai dia menghubungiku lagi, aku akan melaporkannya ke polisi. Bagaimana?” “Apa akan berhasil?” “Aku nggak tahu, tapi nggak ada
Setelah Erin pergi dengan wajah tak percaya dan tidak terima diperlakukan begitu, Saga terduduk di sofa dengan kepala sakit. Semua tampak berputar-putar di depan matanya. Bayangan wajah Val yang menangis membuatnya merasa jadi manusia paling bodoh di dunia. Ia merasa bersalah dan rasa itu lebih menyakitkan daripada saat Erin meninggalkannya. Tidak punya pilihan lain, Saga menghubungi seseorang yang ia percaya. “Aku butuh bantuanmu.” Sementara itu, Val menangis dalam diam di kamarnya. Ia ingin memercayai ucapan Saga, tapi apa yang dilihatnya tadi begitu menyakitkan. Sungguh ia tidak bisa membayangkan perjalanan cintanya akan sesulit ini. Pernikahan yang sudah di depan mata, bagaimana nasibnya, ia tidak tahu. Ponsel Val yang bergetar menghentikan isak tangisnya begitu melihat nama peneleponnya. Buru-buru ia menghapus sisa-sisa kesedihan dan mengatur napasnya, sebelum menjawab. “Val, kamu belum tidur?” Rima, ibunya menyapa. “Ah, Mama. Be
Val menatap gedung apartemen yang menjulang tinggi di depannya. Rasanya baru sebentar lalu ia berlari ke gedung sebelah ketika mendengar Saga sakit. Kini, menatapnya hanya menambah garam di atas lukanya. Ia teringat perkataan Noah bahwa Saga butuh waktu.Meski begitu, Val benar-benar merindukan Saga. Ia ingin bertemu dengannya. Ia juga telah membuat sebuah keputusan, dengan harapan itu akan membantu Saga menyelesaikan masalah ini.Kaki Val melangkah dengan mantap ke apartemen Saga. Ia sudah mempunyai kuncinya, jadi tidak ada masalah bila langsung mendatanginya, ‘kan? Ia akan menunggu jika Saga belum pulang dari urusannya, entah apa itu.Niat seringkali bertolak belakang dengan keberanian. Tangan Val bergetar ketika hendak memindai nomor kartu di pintu. Jantungnya berdegup kencang. Ia kemudian bimbang, apakah ini tindakan yang tepat? Namun, tekadnya sudah bulat. Ia pun membuka pintu itu. Sayangnya, apa yang ia lihat di dalam sana tidak sesuai dengan keingin