Val termenung di apartemennya. Layar laptopnya menyala di atas meja menampilkan laman pencari kerja. Ia sudah mengirimkan surat lamaran pada beberapa perusahaan yang ia minati. Sudah berbulan-bulan tidak ada balasan yang ia terima.
Desah panjang lolos dari bibirnya. Ia menopang dagu di atas meja. Pandangannya kosong menatap layar laptop. “Kalau sampai akhir minggu ini nggak dapat juga, ya sudah deh! Lupakan soal passion itu!”
Ia mengempaskan tubuh ke sandaran sofa kemudian menyalakan televisi. “Mending nonton drama aja lah. Puas-puasin menghalu dulu.”
Tak lama, Val larut dalam keasyikannya menonton serial drama favoritnya hingga menjelang tengah malam. Ia pun beranjak ke kamar dan merebahkan diri di tempat tidur.
“Teman-teman banyak yang sudah menikah,” ujarnya sambil mengamati foto dan video yang muncul di media sosialnya. Beberapa teman berfoto dengan pasangannya, memamerkan kemesraan dan keharmonisan mereka. Yang lain liburan bersama keluarga kecilnya. Lainnya lagi memberi kabar sukacita dengan foto pranikah dan undangan.
“Bikin iri aja!” Val melempar ponselnya. “Mereka semua sudah sukses dan bahagia. Apalah aku yang cuma butiran debu di angkasa yang luas tak terbatas ini.”
Tangan Val meraih ponselnya lagi. Foto seorang wanita berambut lurus dengan aksen ombre mencuri perhatiannya. Posenya anggun nan elegan dengan latar merek tas terkenal. Ciri khas wanita karier yang sukses.
“Stefani,” gumamnya. “Keren banget dia. Sudah menikah dengan manajernya pula. Ugh, pasti bahagia dan sempurna banget hidupnya!”
Jarinya menggeser beberapa foto lagi. Kali ini seorang wanita berambut panjang bergelombang dengan kulit putih kemerahan.
“Wah, Yori! Dia malah jadi special effect animator di Dream Works Animation! Jadi istri bule, anaknya juga kebule-bulean! Tinggal di luar negeri! Perfect!”
Beberapa foto tergeser lagi. “Ah, ini…” Val mengamati sosok laki-laki dengan istri dan tiga anaknya. “Kristan. Sudah sukses juga dia jadi pengusaha. Ya, walaupun dari orok dia sudah sultan sih.” Ia membayangkan masa lalunya di kampus.
“Nggak nyangka aja, dulu dia kuliah asal-asalan, sering pinjam tugas-tugasku. Heran, nilainya bisa lebih tinggi dariku. Ugh, sebel! Kenapa harus ada orang-orang yang terlahir cerdas tanpa belajar kayak dia sih?!”
Val menjerit histeris dengan menghentak-hentakkan kakinya di kasur. “Kenapa hidupku nggak kayak mereka?!”
Ia mengamati profil media sosialnya sendiri yang kosong. Ia memang tidak pernah memajang foto apa pun di sana karena tidak ada yang layak dipamerkan. Kehidupannya yang terlampau biasa-biasa saja membuatnya minder. Meskipun tinggal di apartemen, dan rumah orang tuanya cukup besar, tapi itu bukan miliknya. Dulu sang ayah memang memanjakannya, tapi sejak beliau berpulang, Rima memaksanya untuk tinggal sendiri di apartemen yang sudah dibeli sejak lama.
“Bukan karena passion aku keluar dari kantor lama,” gumam Val sambil menatap langit-langit kamar. “Tapi, karena….”
Ingatan Val kembali ke masa ia bekerja enam bulan lalu di sebuah perusahaan makanan ringan. Itu adalah pekerjaannya yang ketiga dalam lima tahun terakhir. Ia memulai perkerjaannya sebagai staf pemasaran dua tahun lalu dan telah diangkat menjadi kepala bagian sebelum berita buruk menerpanya. Beredar kabar bahwa ia sengaja menjual diri pada pelanggan untuk mencapai target penjualan setiap bulan. Tentu saja berita itu tidak benar, tapi tidak ada gunanya membantah. Orang-orang lebih mempercayai berita bohong tersebut.
“Sudah kubilang aku nggak gitu!” bantahnya saat Sheila, rekan kerja yang cukup dekat dengannya bertanya untuk memastikan.
“Tapi, ada yang pernah lihat kamu ke hotel sama salah satu bos itu,” kata Sheila.
Val terbatuk-batuk dan menumpahkan sedikit minumannya. “Kapan aku begitu? Siapa yang bilang?”
“Bulan lalu. Kalau nggak salah, waktu itu kamu ada janji temu dengan dia untuk kontrak baru.”
Val berusaha mengingat-ingat kejadian itu. Perlahan matanya membulat. “Oh! Itu!” pekiknya.
Sheila menatapnya tajam. “Kamu ingat?”
Val mengangguk lemah. “Tapi, bukan begitu cerita sebenarnya.”
“Lalu?”
Ganti Val menatap Sheila. “Apa kamu percaya padaku?”
“Tergantung ceritamu.”
Val menghela napas. “Karena itu, aku nggak mau protes. Nggak ada yang percaya meski aku cerita kebenarannya.”
“Aku bukannya nggak percaya. Aku hanya berusaha menilai secara obyektif.”
“Oke. Akan kuceritakan. Sisanya terserah kamu. Keputusan sudah dibuat. Toh, besok aku juga sudah keluar dari perusahaan.”
Sheila melipat tangannya di depan dada. “Akan kudengarkan. Perlu kamu tahu, aku begini karena aku peduli padamu.”
Setelah mengangguk, Val mulai bercerita. “Aku ketemu beliau di restoran yang sudah kupesan atas nama perusahaan. Ada buktinya di kantor. Setelah urusan kontrak selesai, dia minta tolong padaku untuk melakukan suatu hal khusus.”
“Hal khusus?”
“Ya … semacam misi rahasia.”
“Kenapa jadi mencurigakan?”
“Dia ada masalah dengan anaknya yang baru pulang dari luar negeri dan tinggal sementara di hotel. Anaknya ngambek nggak mau ketemu dia. Dengan putus asa dia memintaku berpura-pura jadi istri mudanya. Mau nggak mau si anak akan turun dan melabrakku. Setelah itu tugasku selesai karena mereka sudah ketemu.”
Sheila tertawa keras saat Val sudah selesai bercerita hingga pengunjung café menoleh pada mereka. “Itu kebenarannya?” tanyanya. Setelah mendapat anggukan dari Val, ia tertawa lagi. “Kamu pikir aku akan percaya? Mana ada cerita macam begitu, Val! Aduh, aduh, kamu ini! Nggak bisa bikin cerita yang lebih baik dari itu?”
Val sudah menduga reaksi Sheila. Ia tahu tidak akan ada yang mempercayai ceritanya. Bahkan sekalipun ia meminta bos itu datang untuk menjelaskan, mereka akan menuduhnya bersekongkol.
“Kukira kamu beda dengan lainnya. Ternyata sama aja,” lirih Val.
Sheila berusaha meredakan tawanya. “Sori, sori. Nggak masuk akal soalnya, Val! Hari gini kamu mau-mau aja dibodohi sama bos tua macam itu!”
“Nggak tua-tua banget kok. Anaknya juga cantik,” balas Val santai.
“Terserah kamu lah! Paling akal-akalan dia aja. Besok-besoknya dia bakal minta kamu jadi istrinya betulan. Itu apa benar anaknya? Jangan-jangan selingkuhannya?”
Val mengangkat bahu. Ia menghabiskan minumannya lalu berdiri. “Aku pulang dulu, Shel. Besok hari terakhir kita ketemu.”
Sheila ikut berdiri. Mendadak ekspresinya berubah sedih. “Padahal aku suka temenan sama kamu, Val. Kamu orangnya polos, tapi asyik. Meski ada cerobohnya dikit sih. Aku sampai heran kok bisa kamu naik jabatan dengan attitude begitu.”
Val tertawa datar. “Begini-begini aku punya kemampuan, Shel.”
“Kita masih bisa ketemu ‘kan kapan-kapan? Weekend gitu kita bisa jalan bareng kayak dulu.”
“Aku nggak mau buang-buang waktu temenan sama orang nggak mempercayaiku.”
Val memejamkan mata saat kalimat itu kembali terngiang di telinganya. Ia ingat tidak pernah bertemu Sheila lagi sejak hari terakhir menginjakkan kaki di kantor itu.
“Sebenarnya perusahaan ini cukup berjasa sih. Aku bisa sampai di sini karena gajinya yang besar, sayang lingkungannya begitu.” Val mengedarkan pandang ke sekeliling apartemen. Gaji dan insentif yang ia tabung, lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di apartemen.
Semoga aja harapanku bisa terwujud, doanya sebelum terlelap.
Pukul sembilan pagi di sebuah pusat perkantoran yang ramai, terlihat seorang wanita sedang berjalan di trotoar. Pakaiannya rapi dengan atasan polos cerah berpita dan rok A-Line hitam selutut. Sebuah tas kecil tersampir di bahunya. Ia berjalan sambil mengamati gedung-gedung tinggi di atasnya. Sesekali ia membaca sebuah alamat yang tertera pada layar ponselnya. “Harusnya di sekitar sini,” gumamnya. Kaki bersepatu setinggi 5 sentimeter itu terus berjalan mencari alamat yang ia tuju. DUG! Seseorang menabrak bahunya. “Aduh, maaf!” Wanita itu mendongak dan seketika melihat sosok yang membuatnya terpesona. Laki-laki yang memakai pakaian olahraga itu sangat tampan sampai ia tak mampu menjawab. “Kamu nggak apa-apa?” Pria itu tampak prihatin melihat sang wanita hanya membuka mulut tanpa bersuara. Wanita itu tersadar dari lamunannya. “Ah-oh-eh, iya! Saya yang harusnya minta maaf karena nggak lihat jalan!” Ia membungkukkan tubuhnya sediki
Di sudut sebuah kamar dekat jendela, duduk seorang wanita sedang membaca novel. Buku itu terbuka di halaman yang sama sejak bermenit-menit yang lalu. Sepertinya wanita itu tidak benar-benar membacanya. Rintik hujan yang mengenai kaca jendela mengaburkan bayangannya. Macetnya jalan raya di bawah sana tidak lagi menarik perhatiannya. “Jadi, namanya Arion ya,” gumamnya lalu meraih ponsel di sebelahnya. Mata Val mengamati nomor yang tersimpan di sana. Teringat dalam benaknya pertemuan dengan lelaki tampan nan baik hati siang tadi. Senyumnya mengembang membayangkan seandainya ia benar-benar berjodoh dengan laki-laki itu. Sungguh paduan yang sempurna untuk seorang calon suami. Apalagi sang ibu sering menanyakan calon yang belum diketahui keberadaannya. “Mungkin jodohku masih orok.” Itu alasan yang sering ia berikan bila ada yang bertanya tentang calon suami. Hah! Calon pacar saja belum ada. Apalagi calon suami! dengusnya kesal. Memang
“Kelihatannya sudah lumayan sih,” kata Val mengamati kaus abu-abu di tangannya. Ia lalu memasukkannya dalam tas yang sudah disiapkan. “Semoga saja dia nggak terlalu mempermasalahkannya,” gumamnya pasrah. Kemarin ia memberanikan diri menghubungi Arion untuk mengembalikan bajunya. Sesuai kesepakatan dalam pesan singkat, mereka akan bertemu di tempat yang sama seperti hari Jumat kemarin. Val mengambil napas panjang ketika langkahnya sudah mendekati gedung perkantoran itu. Jantungnya berdebar akan bertemu pria tampan itu lagi. Sejak pertemuan itu, setiap malam Val memimpikan masa depannya bersama laki-laki itu. Bahkan ketika menonton drama kesukaannya, ia membayangkan jika dirinya dan Arion menjadi tokoh utamanya dan berakhir bahagia. Kaki ramping Val melangkah yakin memasuki kedai kopi tempat mereka akan bertemu. Dalam hati ia berdoa supaya semuanya berjalan lancar hari ini. Salah satu kursi di area luar kedai, sudah diduduki seseorang. Val hanya
Pagi itu Saga terlihat sibuk di mejanya. Beberapa kali ia mengecek surel dan laman yang memuat beberapa tulisannya. Junior sebelumnya berhenti bekerja karena melahirkan dan sekarang ia yang bertugas mengurus semua sampai mendapat penggantinya. Ditambah lagi atasannya, sedang dalam proses pemulihan setelah sakit, membuatnya semakin sibuk. Ia harus menangani tugas tiga orang sekaligus. Sekalipun ia sudah membagi tugas dengan yang lain, ada pekerjaan yang memang harus dikerjakan sendiri. Beberapa hari yang lalu dirinya sudah menghubungi bagian Personalia menanyakan kekosongan pegawai di tempatnya. Mereka bilang sudah menemukan penggantinya, dan membuat Saga sedikit lega. “Semoga saja dia benar-benar orang yang kompeten. Kelihatannya sepele, tapi dampaknya besar,” gumam Saga sambil menata berkas-berkasnya. Tumpukan kertas itu ia letakkan di meja kosong sebelahnya yang sebentar lagi akan terisi. “Untuk permulaan, rasanya cukup segini dulu.” Sekali lagi ia
Kedua pria itu masuk ke ruangan kaca dan menutup pintunya. Val yang sedari tadi menahan napas karena terkejut segera mengembuskan napasnya kuat-kuat. Ia meremas dadanya yang tiba-tiba sesak. Hidungnya menghirup udara banyak-banyak untuk mengisi paru-parunya yang kosong. Yang tadi itu … Arion, ‘kan? Arion yang itu? Dia pakai baju olahraga yang kukembalikan tadi pagi? pikir Val terkejut. Ia menepuk-nepuk pipinya mengecek apakah ia masih tidur atau sudah bangun. Pipinya terasa panas. Itu artinya hal yang terjadi hari ini adalah kenyataan. Kenyataan yang tidak pernah ia bayangkan sama sekali. Kedatangan Saga yang menggeser kursi lalu duduk di sana, membawa Val kembali dari lamunan. Ia bisa merasakan tatapan Saga yang menusuk. Benak Val mulai berpikir macam-macam. Apa yang mereka bicarakan di dalam? Apakah mereka membicarakanku? Jangan ge-er, Val! Memangnya siapa kamu? Kamu pegawai di sini! “Jangan melamun! Lekas lakukan tugasmu!”
“Jadi, dia yang membuatmu senyum-senyum sendiri seperti orang gila?” Saga mencondongkan tubuhnya pada Arion yang kini tertawa kecil. “Kamu ingat waktu aku meneleponmu hari Jumat lalu?” Arion melihat anggukan Saga lalu melanjutkan, “Itu pertemuan pertamaku dengannya. Kalau tidak salah, waktu itu ada interview untuk mengisi kekosongan di tempatmu, ‘kan? Kamu nggak ketemu dia?” Saga menggeleng. “Nggak. Aku serahkan semuanya pada Fanny. Aku yakin dia sudah paham orang seperti apa yang kucari.” “Sayang sekali. Kalau saja kamu sempat bertemu dengannya. Dia lucu sekali tahu waktu baju ini ketumpahan kopi yang kubawa. Nggak sengaja sih.” “Maksudnya?” Saga tidak mengerti. Memang sejak beberapa hari lalu sahabatnya ini bertingkah aneh. “Kamu mau tahu cerita lengkapnya?” “Nggak tertarik!” jawab Saga cepat. Namun, di dalam hatinya ia penasaran apa yang membuat Arion bisa jatuh cinta pada pandangan pertama dengan pegawai baru itu. Biasanya
Val menutup pintu ruangan Arion dengan cepat lalu duduk di kursinya. Ia menghela napas lega seolah beban berat telah terangkat dari dadanya. Dengan satu tangan, ia mengusap keringat yang mengucur di dahi dan leher. “Aku harus minum,” gumamnya sambil beranjak menuju pantri. Ia mengambil gelas di lemari dan mengisinya dengan air. “Kamu ngapain tadi di ruang pak Rion lama sekali?” Tiba-tiba saja Rara sudah berdiri di sampingnya. Ia juga melakukan hal yang sama seperti Val. Sedikit tersedak, Val menatap Rara. “Bu-bukan apa-apa. Hanya bertanya sedikit tentang pekerjaanku,” katanya berbohong. Ia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. “Nggak kayak biasanya deh,” celetuk Rara. “Dua orang sebelum kamu, Pak Rion nggak pernah begitu tuh!” “Oh, aku nggak tahu. E-entahlah, mungkin suka-suka dia aja.” Val gugup dan khawatir kebohongannya akan terungkap. Rara mengangguk. Ia lalu kembali ke mejanya dengan membawa segelas air. Tak lama Val juga mening
Pukul delapan kurang sepuluh menit, pintu lift terbuka. Val melangkah masuk ke ruangan di lantai 15 itu dan mendapati Saga sudah berada di sana. Pria itu sedang menatap serius pada monitornya. Val melihat sekeliling. Rara dan lainnya, bahkan kepala bagian sebelah sana belum tampak tanda-tanda kehadirannya. Pagi banget datangnya, gumam Val dalam hati. Ia mendekati meja dan menyapanya, “Selamat pagi, Pak.” Tidak mendapatan jawaban dari Saga, Val pun meletakkan tas dan hendak duduk di kursi. Belum juga pantatnya menyentuh kursi, seniornya itu berkata, lebih tepatnya memerintah, “Val, coba kau cek di halaman itu. Catat dan beri koreksi untuk ke depannya. Kau lihat post-it itu?” Val menatap kertas kuning yang tertempel di monitornya yang sudah menyala. Ada tulisan yang mirip coretan di kertas kecil itu. “Kau buka tautan itu. Pelajari isinya, dan berikan pendapat atau ide tambahan untuk menaikkan jumlah kunjungan.” Saga menambahkan