Pagi itu Saga terlihat sibuk di mejanya. Beberapa kali ia mengecek surel dan laman yang memuat beberapa tulisannya. Junior sebelumnya berhenti bekerja karena melahirkan dan sekarang ia yang bertugas mengurus semua sampai mendapat penggantinya.
Ditambah lagi atasannya, sedang dalam proses pemulihan setelah sakit, membuatnya semakin sibuk. Ia harus menangani tugas tiga orang sekaligus. Sekalipun ia sudah membagi tugas dengan yang lain, ada pekerjaan yang memang harus dikerjakan sendiri.
Beberapa hari yang lalu dirinya sudah menghubungi bagian Personalia menanyakan kekosongan pegawai di tempatnya. Mereka bilang sudah menemukan penggantinya, dan membuat Saga sedikit lega.
“Semoga saja dia benar-benar orang yang kompeten. Kelihatannya sepele, tapi dampaknya besar,” gumam Saga sambil menata berkas-berkasnya. Tumpukan kertas itu ia letakkan di meja kosong sebelahnya yang sebentar lagi akan terisi.
“Untuk permulaan, rasanya cukup segini dulu.” Sekali lagi ia memeriksa kertas-kertas itu. “Ia harus mempelajarinya dengan cepat.”
Saga melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh. Ia lalu bertanya pada karyawan yang duduk berseberangan dengannya.
“Ra, kau lihat anak baru nggak? Apa dia sudah datang?”
Rara menggeleng. “Dari tadi belum ada yang baru, Pak. Mungkin masih di Personalia,” jawabnya.
Saga mengangguk. Ia mengamati seluruh ruangan. Semua karyawan telah bekerja sedari tadi. Ada sekitar belasan orang yang bekerja di lantai yang sama dengan dirinya. Beberapa orang secara terpisah memiliki kepala bagiannya sendiri. Hanya empat orang yang menjadi juniornya.
Lantai ini cukup nyaman dan rapi dengan beberapa lemari geser minimalis, rak-rak yang memajang foto dan piagam penghargaan, juga pot tanaman hias yang diletakkan di beberapa tempat. Di dekat pantri ada sebuah karpet rumput dengan sofa nyaman dan bantal-bantal empuk. Bagian Personalia dan lainnya ada di lantai yang berbeda.
Tempat Saga sendiri berupa meja panjang besar dengan beberapa kursi mengelilinginya. Di sisi kirinya ada kursi kosong yang sebentar lagi terisi. Sementara Rara dan dua orang lainnya duduk berseberangan dengannya. Di sebelah kanan Saga ada sebuah ruangan kaca yang tertutup kerai, yaitu ruang atasannya.
Tak lama, telinga Saga menangkap langkah kaki yang keluar dari lift di sebelah kirinya. Itu adalah Fanny, bagian Personalia, dan seorang wanita yang ia perkirakan akan mengisi tempat di sebelahnya.
“Selamat pagi, Saga,” sapanya. “Ini adalah orang yang akan menggantikan Anita mulai hari ini. Namanya Valerie atau biasa dipanggil Val.”
Saga mengamati wanita di sebelah Fanny. “Kenapa terlambat?”
“Ah, maaf, itu saya yang terlambat mengantarnya ke sini. Valerie ini sudah datang sejak tadi,” sela Fanny sebelum Saga menyemprotkan kemarahan pada anak baru itu. Dia sudah cukup paham sifat Saga yang perfeksionis dan disiplin.
“Jangan galak-galak, Ga. Saya sudah cukup kerepotan mencari pengganti yang bisa cocok denganmu, selain Anita,” bisik Fanny sebelum pergi.
Saga menatap Fanny yang menghilang di lift, lalu beralih pada Val yang hanya mengangguk pelan.
“Mejamu di sini. Kau pelajari berkas-berkas itu.” Saga menunjukkan meja di sebelahnya. “Pelajari dengan baik dan cepat. Setelah makan siang, paling tidak kau sudah paham separuhnya.”
Val tertegun melihat tumpukan kertas di mejanya. Ya ampun, banyak banget! Padahal ini baru pertama kerja! Dan lagi, orang ini kelihatan galak banget sih!
Saat di ruang Personalia tadi, Fanny sudah memberitahu secara garis besar tentang pekerjaannya. Ia akan bekerja bersama Saga sebagai seniornya. Apa yang dilakukan Saga, ia harus mengetahui, demikian juga sebaliknya. Bisa dibilang rekan kerja, tapi karena Saga sudah lebih lama bekerja di sini, senioritas itu muncul.
Pelan-pelan Val duduk di kursinya dan mulai membaca berkas itu satu per satu. Sesekali ia melirik Saga yang fokus menghadap monitornya. Terlihat sekali Saga orang yang cekatan dan pintar. Ketika mendekati jam makan siang, Saga menerima sebuah panggilan telepon di ponselnya.
“Oh, kau jadi datang hari ini? Makan siang? Oke, tapi kau yang bayar!” Saga membereskan mejanya. Ia melirik Val yang masih sibuk membaca, lalu pergi meninggalkan ruangan itu.
Val mengembuskan napas lega. Sedari tadi dia cukup tegang berada di samping Saga. Ia takut akan membuat kesalahan di hari pertamanya bekerja. Apalagi dalam pekerjaan yang ia impikan selama ini. Ia harus menunjukkan kinerja yang bagus.
“Hai, aku Rara. Salam kenal!” Seorang gadis muda berkacamata menghampirinya. Diikuti dua orang di belakangnya.
“Aku Dewi.” Gadis berambut keriting menyahut.
“Aku Sandy.” Laki-laki dengan tahi lalat di dagunya tersenyum.
“Ah, iya, aku Valerie. Mohon bantuannya.” Val menjawab sopan.
Ketiga orang itu saling pandang dan tersenyum.
“Agak susah sih, karena tugasmu benar-benar di bawah Pak Saga,” kata Dewi sambil mengerutkan dahi.
“Kamu benar-benar harus mengikuti semua perintahnya.” Sandy menimpali.
Rara mengangguk-angguk setuju.
“Apa?!” Val tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Mampus dah aku! Kesan pertama saja sudah begitu, gimana nasibku nanti?
“Eh, tapi kami bisa bantu kasih info tentang dia lho! Supaya kamu nggak kaget.” Rara mengedipkan sebelah mata.
“Betul, betul. Ayo, kita ngobrol sambil makan siang.” Dewi berjalan ke sudut ruangan yang memang disediakan untuk kenyamanan pekerja.
“Kamu bawa bekal?” tanya Sandy sambil duduk di sofa.
“Kalau nggak bawa, aku bisa bagi punyaku. Atau mau pesan makanan?” Rara menawarkan.
“Mi instan juga ada sih, kalau mau. Masak sendiri,” tambah Sandy sambil menunjuk ruang pantri.
“Ah, aku bawa roti kok,” jawab Val.
“Di sini tuh sebenarnya agak santai. Kalau semua kerjaan beres, kita boleh istirahat di sini. Nggak harus jam makan siang.” Mereka mulai mengobrol sambil makan siang.
“Mau makan di luar pun boleh.”
“Iya, atasan kita tuh nggak kolot-kolot amat kok. Malah cenderung mengikuti kita yang masih muda.”
Val mendengarkan semua informasi dari rekan barunya. Ia merasa pilihannya tepat untuk bekerja di sini. Kecuali seniornya. Ia tak yakin bisa bertahan menghadapinya. Namun, apa pun alasannya, ia harus bertahan kalau tidak ingin sang mama mengomel karena sering berpindah kerja.
“Pak Bos itu cakep, baik, humble juga orangnya. Sering traktir kita makan. Pokoknya care banget sama kita.”
“Pak Saga sebelas-duabelas sih. Dia ganteng dan baik juga, walau kalau marah ya seram. Makanya, sebisa mungkin jangan cari masalah sama dia.”
“Iya. Kalian ingat ‘kan, dua orang sebelum Val, nggak ada yang bertahan. Semua menyerah di bulan pertama, bahkan seminggu. Ada yang nangis juga.”
Val membelalakkan mata. Sebegitu keras dan kejamkah seniornya itu?
“Begitu-begitu, Pak Saga itu sahabat si bos sejak kuliah. Konon katanya, perusahaan ini bisa berjalan karena Pak Saga yang tegas dan disiplin.”
“Bos kita agak santai sih orangnya. Pak Saga itu orang kepercayaan dan kaki tangannya.”
Hebat sekali orang yang bernama Saga ini, pikir Val.
“Omong-omong, mereka masih single lho!” Rara mengerling lagi. “Tapi, tenang saja, mereka berdua normal kok. Aku pernah lihat Pak Saga menelepon sambil marah-marah. Sepertinya pacar sih, tapi sudah lama putus.”
“Sayangnya aku sudah nikah. Kalau nggak, kugebet deh salah satunya. Eh, tapi apa mereka mau ya?” kelakar Dewi.
“Oh, kalian semua sudah menikah?” Val terkejut.
“Sandy masih tunangan sih,” jawab Rara disambut anggukan Sandy.
“Kamu belum? Boleh tuh gebet salah satunya!” goda Dewi. “Tapi, kayaknya Pak Saga lewat ya,” lanjutnya.
Val tertawa. Pak Saga saja sudah lumayan, harusnya bos besar lebih ganteng dong, pikirnya. Tapi, dibanding Arion ganteng mana ya?
Pikiran Val mulai melamun ke mana-mana sampai tidak mendengar panggilan Dewi.
“Val, sudah selesai, ‘kan? Ayo, balik!”
Val tergagap mengangguk. “Ah, iya.”
“Bos sih nggak terlalu ribet soal ini, tapi kamu ‘kan sama Pak Saga,” jelas Rara.
“Iya, hindari bermasalah sama dia,” imbuh Sandy.
Val mengangguk lalu duduk di mejanya dan berkutat lagi dengan berkas-berkas yang belum selesai ia baca.
Perut kenyang dan membaca tulisan berlembar-lembar membuat mata Val ingin terpejam. Untuk mengusir rasa kantuk itu, Val meregangkan tubuhnya. Ia tak menyadari dua orang pria keluar dari lift dan berjalan ke ruangan tempat ia berada.
“Hoahm … ngantuk sekali….” Val menguap ketika dua orang itu melintas di belakangnya. Rara dan lainnya memberi kode samar dari meja mereka yang tidak dilihatnya.
Begitu Val menutup mulutnya, ia terkejut bukan main. Saga dengan setelan kemeja biru bergaris berdiri di depan ruang kaca yang tertutup kerai. Sementara di sebelahnya, seseorang dengan kaus olahraga abu-abu tersenyum ke arahnya.
Kedua pria itu masuk ke ruangan kaca dan menutup pintunya. Val yang sedari tadi menahan napas karena terkejut segera mengembuskan napasnya kuat-kuat. Ia meremas dadanya yang tiba-tiba sesak. Hidungnya menghirup udara banyak-banyak untuk mengisi paru-parunya yang kosong. Yang tadi itu … Arion, ‘kan? Arion yang itu? Dia pakai baju olahraga yang kukembalikan tadi pagi? pikir Val terkejut. Ia menepuk-nepuk pipinya mengecek apakah ia masih tidur atau sudah bangun. Pipinya terasa panas. Itu artinya hal yang terjadi hari ini adalah kenyataan. Kenyataan yang tidak pernah ia bayangkan sama sekali. Kedatangan Saga yang menggeser kursi lalu duduk di sana, membawa Val kembali dari lamunan. Ia bisa merasakan tatapan Saga yang menusuk. Benak Val mulai berpikir macam-macam. Apa yang mereka bicarakan di dalam? Apakah mereka membicarakanku? Jangan ge-er, Val! Memangnya siapa kamu? Kamu pegawai di sini! “Jangan melamun! Lekas lakukan tugasmu!”
“Jadi, dia yang membuatmu senyum-senyum sendiri seperti orang gila?” Saga mencondongkan tubuhnya pada Arion yang kini tertawa kecil. “Kamu ingat waktu aku meneleponmu hari Jumat lalu?” Arion melihat anggukan Saga lalu melanjutkan, “Itu pertemuan pertamaku dengannya. Kalau tidak salah, waktu itu ada interview untuk mengisi kekosongan di tempatmu, ‘kan? Kamu nggak ketemu dia?” Saga menggeleng. “Nggak. Aku serahkan semuanya pada Fanny. Aku yakin dia sudah paham orang seperti apa yang kucari.” “Sayang sekali. Kalau saja kamu sempat bertemu dengannya. Dia lucu sekali tahu waktu baju ini ketumpahan kopi yang kubawa. Nggak sengaja sih.” “Maksudnya?” Saga tidak mengerti. Memang sejak beberapa hari lalu sahabatnya ini bertingkah aneh. “Kamu mau tahu cerita lengkapnya?” “Nggak tertarik!” jawab Saga cepat. Namun, di dalam hatinya ia penasaran apa yang membuat Arion bisa jatuh cinta pada pandangan pertama dengan pegawai baru itu. Biasanya
Val menutup pintu ruangan Arion dengan cepat lalu duduk di kursinya. Ia menghela napas lega seolah beban berat telah terangkat dari dadanya. Dengan satu tangan, ia mengusap keringat yang mengucur di dahi dan leher. “Aku harus minum,” gumamnya sambil beranjak menuju pantri. Ia mengambil gelas di lemari dan mengisinya dengan air. “Kamu ngapain tadi di ruang pak Rion lama sekali?” Tiba-tiba saja Rara sudah berdiri di sampingnya. Ia juga melakukan hal yang sama seperti Val. Sedikit tersedak, Val menatap Rara. “Bu-bukan apa-apa. Hanya bertanya sedikit tentang pekerjaanku,” katanya berbohong. Ia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. “Nggak kayak biasanya deh,” celetuk Rara. “Dua orang sebelum kamu, Pak Rion nggak pernah begitu tuh!” “Oh, aku nggak tahu. E-entahlah, mungkin suka-suka dia aja.” Val gugup dan khawatir kebohongannya akan terungkap. Rara mengangguk. Ia lalu kembali ke mejanya dengan membawa segelas air. Tak lama Val juga mening
Pukul delapan kurang sepuluh menit, pintu lift terbuka. Val melangkah masuk ke ruangan di lantai 15 itu dan mendapati Saga sudah berada di sana. Pria itu sedang menatap serius pada monitornya. Val melihat sekeliling. Rara dan lainnya, bahkan kepala bagian sebelah sana belum tampak tanda-tanda kehadirannya. Pagi banget datangnya, gumam Val dalam hati. Ia mendekati meja dan menyapanya, “Selamat pagi, Pak.” Tidak mendapatan jawaban dari Saga, Val pun meletakkan tas dan hendak duduk di kursi. Belum juga pantatnya menyentuh kursi, seniornya itu berkata, lebih tepatnya memerintah, “Val, coba kau cek di halaman itu. Catat dan beri koreksi untuk ke depannya. Kau lihat post-it itu?” Val menatap kertas kuning yang tertempel di monitornya yang sudah menyala. Ada tulisan yang mirip coretan di kertas kecil itu. “Kau buka tautan itu. Pelajari isinya, dan berikan pendapat atau ide tambahan untuk menaikkan jumlah kunjungan.” Saga menambahkan
Val mendelik tak percaya membaca pesan yang dikirim Arion. Sesungguhnya ia melonjak girang dan bisa saja menjawab ‘iya’, tapi posisinya tidak memungkinkan untuk itu. Dia adalah orang baru di kantor ini dan ingin terus bekerja di sini. Apa yang akan terjadi jika ia begitu saja menerima tawaran Arion? Sesuka apa pun Val padanya, ia tak mungkin mengorbankan pekerjaan ini. Lagi pula di mana ada Arion, pasti akan ada Saga, bukan? Dua orang itu seperti lem dan perangko. Orang pacaran pun mungkin akan kalah dengan kedekatan mereka. Val tidak ingin Saga akan semakin menganggapnya rendah. Begitu pula Saga. Pria itu pasti tidak akan suka dirinya dekat-dekat dengan atasannya. Untuk sementara fokus pekerjaan dulu. Urusan hati dan cinta bisa menunggu, putus Val. Ia lalu mengetikkan balasannya, “Maaf, Pak, saya nggak bisa.” “Karena Saga?” Pesan Arion masuk beberapa detik kemudian. Val terkejut. Sudut matanya melirik Saga yang sedang menyeruput kop
Arion sedang duduk di kursi kerjanya saat gadis pujaannya masuk dengan gugup. Senyum tipis mengembang di wajah tampannya. Saga yang berdiri di depannya melotot tak senang, tapi ia tidak peduli. Manik hitamnya masih melekat pada Val yang bergerak kaku di sana. Sejujurnya Val kebingungan hendak duduk di mana. Sofa yang menempel di dinding sudah penuh oleh Rara dan lainnya. Akhirnya ia memutuskan untuk berdiri saja di sebelah sandaran sofa tempat Rara berada. “Sori, Val, sudah penuh,” bisiknya. Val mengangguk dan tersenyum. Matanya menangkap buku kecil dan pulpen di pangkuan Rara dan lainnya. Mendadak Val sadar, ini adalah meeting pertamanya dan ia tidak membawa apa pun. Uh, oh! Bodoh sekali kamu, Val! rutuknya dalam hati. Ia meremas tangannya yang mulai basah dan kebas. Sementara Val berdiri kikuk, dua pria tampan itu sama-sama menatap ke arahnya. Yang satu memandang dengan senyum di bibirnya, satunya lagi dengan mata menyipit
Saga membereskan meja dan mematikan komputernya setelah keluar dari ruangan Arion. Ia sudah memperingatkan sahabatnya sekali lagi untuk tidak mengganggu Val di kantor. Namun, sepertinya Arion sudah tergila-gila pada gadis itu, dan tidak menghiraukan ucapannya. Itu yang membuat Saga semakin kesal. Val yang masih menyelesaikan pekerjaan terakhirnya, mengamati Saga diam-diam dari ekor matanya. Ternyata Arion bisa juga membuat orang ini kesal! pikirnya. “Kau bereskan semua. Dan jangan lupa mematikan komputermu!” Saga memerintah sebelum ia pergi tanpa mendengar jawaban Val. Tak lama, Arion pun keluar dari ruangan dan berpamitan pada Val yang dibalas dengan anggukan pelan. Pria itu juga melakukan hal yang sama pada Rara dan lainnya. Setelah Arion turun, Rara langsung menyerbu Val dengan rentetan pertanyaan. Demikian juga Dewi dan Sandy yang terlihat bersemangat. “Val! Apa-apaan tadi itu?” sembur Rara. Ia menarik Val berdiri setelah mengambi
“Selamat malam, Val. Semoga kamu tidak keberatan aku mengirim pesan ini.” Begitu kalimat yang muncul di layar. Val segera mengelap mulutnya dan membalas pesan itu. “Malam, Pak. Nggak, sama sekali nggak keberatan,” tulisnya. “Ada apa, Pak? Apa ada masalah dengan pekerjaan saya?” Ia menambahkan setelah berpikir sejenak. Mungkin Saga melaporkan sesuatu tentang hasil kerjanya pada Arion. Arion membalasnya dengan emotikon tertawa. Di bawahnya ia menulis, “Nggak. Bukan masalah pekerjaan. Aku hanya merasa kamu jadi canggung setelah tahu siapa aku. Berbeda dengan pertemuan pertama kita.” Val mendelik membacanya. Ia bingung harus menjawab apa. Akhirnya ia hanya membalas, “Iya.” Dan pesan-pesan berikutnya terus muncul. “Sudah kubilang ‘kan waktu itu, di luar jam kerja atau berdua saja, bicara santai denganku. Aku hanya manusia biasa bukan raja atau presiden. Jangan membebani dirimu dengan pikiran seperti itu.” Val ter
“Ga …?” “Ah, apa …?” Saga baru tersadar ketika Val menggoyang-goyangkan lengan jasnya. Val menatap pria yang kini sudah menjadi suaminya. Ia lalu memandang arah yang tadi dilihat Saga, tetapi tidak menemukan ada yang aneh di sana. “Kenapa lihat ke sana terus? Sudah waktunya kita turun,” katanya. “Oh, ayo.” Saga menggandeng tangan Val dan membantunya turun dari panggung. Tak lama, Val dan Saga duduk bersama keluarga mereka. Menikmati jamuan makan malam yang disediakan. Obrolan ringan juga turut mewarnai kehangatan keluarga baru itu. Beberapa jam kemudian, acara selesai. Seluruh tamu undangan sudah meninggalkan gedung. Para keluarga sebagian meninggalkan gedung, sebagian lagi menginap di hotel yang sama dengan Val dan Saga. Mereka memang sengaja menyediakan kamar kosong untuk beberapa keluarga yang tinggal di luar kora, seperti Tante Icha dan Riska. Val dan Saga diantar Kaira dan Arion ke kamar hotel mereka. Kaira tampak bahagia dengan senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya.
“Kamu sudah yakin, Val?” Rima bertanya pada putrinya karena sedikit khawatir. Val mengangguk dan tersenyum. “Iya. Masa sudah begini, masih ditanya lagi sih?” Rima tersenyum sedikit. “Kamu bisa bilang ke Mama, Val. Nanti Mama yang akan cari cara.” Kali ini Val menggeleng. “Nggak usah, Ma. Memangnya Mama berani bilang sama Tante Diana? Dia teman baik Mama, ‘kan?” Rima diam sejenak lalu menjawab, “Iya, tapi … Mama rasa dia akan mengerti, Val.” “Nggak usah, Ma. Val baik-baik saja kok. Mama juga sudah lihat sendiri, ‘kan?” Val memamerkan senyum terbaik dan tercantiknya. “Saga pasti juga begitu.” Rima menatap putrinya sekali lagi. Val pun mengangguk untuk meyakinkan sang ibu. “Baiklah kalau begitu. Mama keluar dulu. Tamu-tamu sudah banyak yang datang.” Rima berdiri lalu keluar dari ruangan itu. Val mengantarnya dengan senyum bahagia. Ketika pintu di depannya tertutup, senyumnya memudar. Sungguh merupakan keputusan yang sulit baginya, tapi ia harus melakukannya. Sementara itu, di rua
“Aaah … capek juga ternyata bikin kue!” keluh Val sambil mengempaskan tubuh ke tempat tidur. Ia baru saja memasukkan dua loyang kue ke oven dan mengatur waktunya. Sambil menunggu, ia berniat beristirahat sebentar. Dari luar, Val bisa saja tertawa lepas seolah tidak ada yang mengusiknya. Namun, hatinya menjeritkan rindu yang sama pada seseorang. Berbagai kenangan bersama Saga mulai bermunculan, menggoda dirinya, dan membawanya kembali ke masa lalu yang jauh. Masa-masa di mana ia sama sekali tidak menyadari perhatian-perhatian kecil Saga padanya. “Aku mau ke kantin! Ada yang titip?” tanya Nita sambil berdiri. Saat itu, tim mading yang terdiri dari Saga, Val, Nita, Noah, dan Andi, sedang mengerjakan proyek minggu ini. Mereka berkumpul di ruang OSIS sepulang sekolah. Segera anak-anak menyebutkan pesanannya dan Nita pun berlalu. Val tidak pernah mengetahui bahwa saat itu Saga selalu memperhatikan gerak-geriknya. Apa pun yang ia lakukan, selalu mampu membuat senyum Saga mengembang. Namun
Val terbangun di Minggu pagi yang cerah. Sinar matahari sudah masuk dari jendela yang terbuka lebar. Kehangatannya memenuhi kamar dan tubuh Val yang masih memeluk guling, sambil mengejap-ngejapkan mata untuk menyesuaikan perubahan yang mendadak. Beberapa detik kemudian tubuh Val tegak di tempat tidur dengan rambut kusut dan wajah kusam. Samar-samar telinganya menangkap percakapan di luar. Ada suara ibunya dan suara lain yang tidak ia kenal. “Maaf, Bu Rima, sudah ganggu pagi-pagi.” “Oh, nggak apa-apa, Bu. Saya yang terima kasih karena sudah diberi ini.” “Itu cuma hasil kebun dari kampung, Bu. Kebetulan kemarin baru pulang dari sana.” “Pantesan kelihatan segar ini. Terima kasih banyak, Bu Nuri.” “Sama-sama, Bu. Baiklah, saya permisi dulu.” “Silakan.” “Siapa itu? Tetangga?” gumam Val lalu beringsut turun dari tempat tidur dan keluar. Baru saja ia menutup pintu di belakangnya, sang ibu muncul sambil membawa dua sisir pisang ambon di tangan. “Sudah bangun, Val?” sapa Rima. Val men
Hari pun berganti. Biasanya di akhir pekan banyak pasangan menghabiskan waktu bersama, termasuk Val dan Saga. Namun, kali ini berbeda. Pasangan yang dalam satu minggu ke depan akan melangsungkan pernikahan itu sedang ditimpa masalah. Masing-masing menghabiskan waktu di tempat yang berbeda dengan sikap yang berbeda pula. Saga seperti orang gila yang kehilangan sesuatu yang teramat berharga baginya. Telepon dari calon mertuanya membuatnya tersiksa sepanjang malam hingga tidak bisa tidur. Hari yang seharusnya cerah ini terasa begitu buruk bagi Saga. Sedari pagi, pria itu mondar-mandir di apartemennya. Seluruh penampilannya tampak berantakan. Botol-botol minuman berserak di meja dan lantai membuat ruangan itu sudah seperti kapal pecah. Bel pintu berbunyi. Buru-buru Saga membukanya dan langsung membentak. “Kai! Arion! kenapa kalian lama sekali?! Kenapa baru datang?!” Arion dan Kaira saling berpandangan lalu mengembuskan napas kesal. “Gimana bisa cepat kalau baru setengah jam lalu kau
Di ruang kerjanya, Arion mengamati layar ponsel yang berisi panggilan dari Val. Beberapa waktu lalu, gadis itu meneleponnya. Meminta izin tidak masuk hari ini. Ia sudah menduga ada sesuatu yang terjadi dengan dua sahabatnya itu. Tanpa mendapat jawaban yang sebenarnya, ia malah mendengar sesuatu yang tidak disangkanya sama sekali. Bentakan Saga, jeritan Val, ia mendengar semuanya dari ponsel yang tidak dimatikan dengan benar. Tidak tahan membayangkan apa yang terjadi di sana, Arion menekan tombol merah. “Apa yang kamu lakukan, Ga? Kenapa kamu begitu? Kenapa kalian seperti ini?” Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Arion. Andai saja ia bisa merebut gadis itu kembali, ia akan melarang Saga berbuat sesukanya. Sekarang ini, ia tidak berdaya untuk membantu apa pun. Itu sudah di luar kendalinya, bukan haknya. Arion mengangkat kepala ketika Saga muncul di ambang pintu ruangannya. Wajahnya tampak kacau dan ia sangat gugup. “Rion …,” katanya lirih. Arion berdiri dan mendekati Saga.
Val yang sangat merindukan kekasihnya itu membalas cumbuan Saga di bibirnya. Namun, beberapa detik kemudian ia mendorong pria itu menjauh. Wajahnya merah. “Kenapa?” Saga heran. “Ini nggak benar,” jawab Val. “Apanya yang nggak benar?” “Masalah ini, nggak semudah itu selesai.” Saga membawa wajah Val menatapnya. “Apanya yang belum selesai?” “Apa buktinya kalau wanita itu nggak akan menganggumu lagi?” “Aku sudah melarangnya. Aku sudah memintanya untuk nggak ganggu aku, kita. Apa lagi?” “Kamu yakin dia akan menurut begitu saja? Kulihat, dia orang yang selalu bisa mendapatkan keinginannya. Dia nggak semudah itu menyerah.” “Lalu, apa maumu, Val? Aku sudah nggak mau lagi berurusan dengannya.” Val masih menatap Saga mencari kebenaran di sana. “Begini saja, kalau sampai dia menghubungiku lagi, aku akan melaporkannya ke polisi. Bagaimana?” “Apa akan berhasil?” “Aku nggak tahu, tapi nggak ada
Setelah Erin pergi dengan wajah tak percaya dan tidak terima diperlakukan begitu, Saga terduduk di sofa dengan kepala sakit. Semua tampak berputar-putar di depan matanya. Bayangan wajah Val yang menangis membuatnya merasa jadi manusia paling bodoh di dunia. Ia merasa bersalah dan rasa itu lebih menyakitkan daripada saat Erin meninggalkannya. Tidak punya pilihan lain, Saga menghubungi seseorang yang ia percaya. “Aku butuh bantuanmu.” Sementara itu, Val menangis dalam diam di kamarnya. Ia ingin memercayai ucapan Saga, tapi apa yang dilihatnya tadi begitu menyakitkan. Sungguh ia tidak bisa membayangkan perjalanan cintanya akan sesulit ini. Pernikahan yang sudah di depan mata, bagaimana nasibnya, ia tidak tahu. Ponsel Val yang bergetar menghentikan isak tangisnya begitu melihat nama peneleponnya. Buru-buru ia menghapus sisa-sisa kesedihan dan mengatur napasnya, sebelum menjawab. “Val, kamu belum tidur?” Rima, ibunya menyapa. “Ah, Mama. Be
Val menatap gedung apartemen yang menjulang tinggi di depannya. Rasanya baru sebentar lalu ia berlari ke gedung sebelah ketika mendengar Saga sakit. Kini, menatapnya hanya menambah garam di atas lukanya. Ia teringat perkataan Noah bahwa Saga butuh waktu.Meski begitu, Val benar-benar merindukan Saga. Ia ingin bertemu dengannya. Ia juga telah membuat sebuah keputusan, dengan harapan itu akan membantu Saga menyelesaikan masalah ini.Kaki Val melangkah dengan mantap ke apartemen Saga. Ia sudah mempunyai kuncinya, jadi tidak ada masalah bila langsung mendatanginya, ‘kan? Ia akan menunggu jika Saga belum pulang dari urusannya, entah apa itu.Niat seringkali bertolak belakang dengan keberanian. Tangan Val bergetar ketika hendak memindai nomor kartu di pintu. Jantungnya berdegup kencang. Ia kemudian bimbang, apakah ini tindakan yang tepat? Namun, tekadnya sudah bulat. Ia pun membuka pintu itu. Sayangnya, apa yang ia lihat di dalam sana tidak sesuai dengan keingin