Arion sedang duduk di kursi kerjanya saat gadis pujaannya masuk dengan gugup. Senyum tipis mengembang di wajah tampannya. Saga yang berdiri di depannya melotot tak senang, tapi ia tidak peduli. Manik hitamnya masih melekat pada Val yang bergerak kaku di sana.
Sejujurnya Val kebingungan hendak duduk di mana. Sofa yang menempel di dinding sudah penuh oleh Rara dan lainnya. Akhirnya ia memutuskan untuk berdiri saja di sebelah sandaran sofa tempat Rara berada.
“Sori, Val, sudah penuh,” bisiknya.
Val mengangguk dan tersenyum. Matanya menangkap buku kecil dan pulpen di pangkuan Rara dan lainnya. Mendadak Val sadar, ini adalah meeting pertamanya dan ia tidak membawa apa pun.
Uh, oh! Bodoh sekali kamu, Val! rutuknya dalam hati. Ia meremas tangannya yang mulai basah dan kebas.
Sementara Val berdiri kikuk, dua pria tampan itu sama-sama menatap ke arahnya. Yang satu memandang dengan senyum di bibirnya, satunya lagi dengan mata menyipit yang sebal.
Oh, bahkan Pak Saga sudah siap dengan tabletnya! Val melihat benda pipih yang lebar di tangan seniornya.
“Baiklah!” Suara Saga memecah udara yang tiba-tiba sunyi sejak Val masuk. “Semua sudah berkumpul, jadi kita mulai sa─”
Pria itu tidak melanjutkan kalimatnya ketika tiba-tiba Arion berdiri dan mendorong kursi yang didudukinya ke arah Val. Semua orang memandang ke arah yang sama sekarang.
“Duduklah di sini,” kata Arion.
Val bingung sekaligus terkejut. Ia menoleh pada teman-teman dan Saga yang masih memandangnya. Bahkan mulut Rara sudah terbuka sangat lebar dengan mata membola. Dewi menutup mulutnya dengan buku yang ia bawa. Sandy, bibirnya terkunci, tapi ada sedikit kedutan di sudutnya seolah menahan senyum.
Saga? Jelas sekali dia memandang Val dengan tatapan tidak suka. Mungkin bisa dibilang benci?
“Kamu duduk saja di sini,” ulang Arion.
“Ta-tapi, Pak ….” Val panik. Bagaimana ini? Kenapa dia terang-terangan begini? Batinnya menjerit.
Arion hanya mengangguk dengan senyum yang sama. Ia lalu kembali ke mejanya dan berdiri di samping Saga. Bisa dilihat dari tempat Val, pria itu melotot pada Arion dan menggumamkan sesuatu yang hanya bisa didengar mereka.
“Kamu bisa mulai sekarang, Ga,” kata Arion tidak mempedulikan bahwa semua orang kini menatapnya bergantian dengan Val yang semakin gugup.
Sedikit saja Val merasa beruntung bahwa di ruangan ini hanya berisi enam orang saja. Itu pun rasa malunya sudah memuncak hingga ia ingin menceburkan diri ke kolam dalam dan berharap muncul di tempat berbeda.
“Baiklah!” Saga mulai bicara setelah membuang napas seperti menumpahkan kekesalannya karena ulah Arion. “Karena semua sudah berkumpul, kita mulai sekarang rapatnya. Dan, saya lihat semua sudah siap dengan catatan masing-masing.”
Saga melirik Val yang tidak membawa apa pun, lalu senyum mengejek itu muncul sebelum melanjutkan ucapannya. “Kecuali satu orang baru, yang mungkin belum paham cara kerja di sini.”
Val tahu Saga sedang menyindirnya. Ia hanya bisa diam, tapi dalam hati ia merasa sangat malu pada Arion.
“Oke. Kemarin saya sudah meminta kalian memberikan saran atau ide. Semuanya bagus. Dan kami sudah membicarakan beberapa hal menarik dari situ, lalu ….”
Saga terus berbicara dengan antusias, menjelaskan langkah-langkah yang akan diambil untuk merealisasikan ide-ide tersebut. Ia juga membagi tugas sesuai kemampuan masing-masing. Saga benar-benar melakukan pekerjaannya dengan baik.
Pantas saja Arion begitu menuruti perkataannya. Bukan karena ia tidak mampu melakukannya, tapi karena Saga orang yang profesional dalam bekerja. Bisa dibilang, Arion sebagai otaknya, Saga sebagai tubuh yang menggerakkan kemauannya. Meski kadang-kadang otak dan tubuh itu tidak sinkron, mengingat perbedaan karakternya.
Val bersyukur meeting perdananya itu berlangsung dengan baik dan lancar. Meski tidak membawa catatan, ia berusaha mengingat dalam kepalanya.
“Baik. Saya rasa semua sudah mengerti. Kalian kembalilah bekerja,” tutup Saga sambil mematikan tablet-nya.
Keributan kecil terjadi saat Rara dan lainnya berdiri untuk meninggalkan ruangan itu. Val buru-buru mendorong kursi Arion ke tempatnya semula dan bersitatap dengan pemiliknya.
“Maaf, Pak, saya jadi nggak enak. Bapak sampai berdiri selama meeting,” kata Val menundukkan kepala.
“Kau lamban!” cetus Saga yang ternyata masih berada di sana.
“Ssstt!” Arion menggelengkan kepala yang membuat Saga semakin kesal. Lebih kesal lagi, ketika Arion malah menyuruhnya keluar.
Val tahu, setelah ini ia pasti akan mendapat masalah dengan seniornya itu. Dalam hati, ia memang merasa senang Arion masih memperhatikannya. Hanya saja, ia merasa tidak nyaman karena ini di tempat kerja. Termasuk statusnya yang masih pegawai baru. Walau mereka sudah mengenal sebelumnya, tetap saja Val merasa harus membatasi diri.
“Permisi, Pak,” kata Val setelah Saga berada di luar dan sepertinya sengaja membiarkan pintu tetap terbuka.
“Tunggu, Val!” Arion mencekal lengan gadis itu. “Kamu baik-baik saja, ‘kan?”
Dahi Val mengerut. “I-iya, Pak, saya baik kok.”
“Kamu bisa menghadapi Saga?” Manik Arion menunjuk ke luar pintu.
Val mengangguk meski ragu apakah ia bisa melakukannya. Namun, ia memang harus bertahan di sini.
“Kalau ada masalah sama dia, kamu bisa bilang padaku.”
Val menggeleng cepat, tapi hatinya menjerit. Nggak! Justru itu akan membuat Saga semakin marah! Biar aku mengagumimu dari jauh saja, Arion! Ia hanya bisa mengatakan hal itu dalam hati.
“Nggak perlu, Pak. Saya akan berusaha sendiri,” jawab Val akhirnya.
“Oke. Tapi, perlu kamu tahu, tawaranku berlaku setiap hari.” Melihat Val bingung dengan pernyataannya, Arion menambahkan, “Makan siang, makan malam, aku antar pulang.”
Kalau saja ajakan ini dilakukan Arion di suatu tempat yang lain, Val akan dengan senang hati menerimanya.
“Terima kasih, Pak. Tapi, maaf, saya harus menolaknya. Permisi.” Val buru-buru keluar sebelum Arion sempat berkata-kata lagi.
Seperti yang bisa diduga Val, Saga menyambut kedatangannya dengan senyum sinis. “Enak, ya, punya beking di sini? Asal jangan kebablasan saja.”
Val terkejut dan merasa sakit hati dengan ucapan Saga. Ia pun membantahnya, “Saya bukan orang seperti itu, Pak!” Pelan, tapi kalimat itu bernada tegas. Ia juga memberanikan diri menatap mata tajam Saga.
Saga mendengus pelan lalu berbalik. “Dasar orang itu! Padahal sudah kuperingatkan!” desisnya menahan geram.
Meski bersahabat dan Arion adalah atasannya, Saga tidak segan akan segan menegur jika memang salah. Dan menurut Saga, Arion sudah salah karena mengganggu Val saat jam kerja. Ia tidak keberatan jika ia melakukannya di luar kantor.
Wajar sih, wanita mana yang nggak baper dengan Arion yang begitu, gumam Saga dalam hati. Cuma ya … lihat waktu dan tempat dong, Ri!
Saga memukul meja pelan, tapi cukup membuat Val melonjak kaget. Ia memandang pria itu yang kembali masuk ke ruangan Arion dan keluar begitu cepat dengan wajah yang lebih kesal lagi.
Saga membereskan meja dan mematikan komputernya setelah keluar dari ruangan Arion. Ia sudah memperingatkan sahabatnya sekali lagi untuk tidak mengganggu Val di kantor. Namun, sepertinya Arion sudah tergila-gila pada gadis itu, dan tidak menghiraukan ucapannya. Itu yang membuat Saga semakin kesal. Val yang masih menyelesaikan pekerjaan terakhirnya, mengamati Saga diam-diam dari ekor matanya. Ternyata Arion bisa juga membuat orang ini kesal! pikirnya. “Kau bereskan semua. Dan jangan lupa mematikan komputermu!” Saga memerintah sebelum ia pergi tanpa mendengar jawaban Val. Tak lama, Arion pun keluar dari ruangan dan berpamitan pada Val yang dibalas dengan anggukan pelan. Pria itu juga melakukan hal yang sama pada Rara dan lainnya. Setelah Arion turun, Rara langsung menyerbu Val dengan rentetan pertanyaan. Demikian juga Dewi dan Sandy yang terlihat bersemangat. “Val! Apa-apaan tadi itu?” sembur Rara. Ia menarik Val berdiri setelah mengambi
“Selamat malam, Val. Semoga kamu tidak keberatan aku mengirim pesan ini.” Begitu kalimat yang muncul di layar. Val segera mengelap mulutnya dan membalas pesan itu. “Malam, Pak. Nggak, sama sekali nggak keberatan,” tulisnya. “Ada apa, Pak? Apa ada masalah dengan pekerjaan saya?” Ia menambahkan setelah berpikir sejenak. Mungkin Saga melaporkan sesuatu tentang hasil kerjanya pada Arion. Arion membalasnya dengan emotikon tertawa. Di bawahnya ia menulis, “Nggak. Bukan masalah pekerjaan. Aku hanya merasa kamu jadi canggung setelah tahu siapa aku. Berbeda dengan pertemuan pertama kita.” Val mendelik membacanya. Ia bingung harus menjawab apa. Akhirnya ia hanya membalas, “Iya.” Dan pesan-pesan berikutnya terus muncul. “Sudah kubilang ‘kan waktu itu, di luar jam kerja atau berdua saja, bicara santai denganku. Aku hanya manusia biasa bukan raja atau presiden. Jangan membebani dirimu dengan pikiran seperti itu.” Val ter
“Bagaimana dia?” Arion bertanya setelah menyuap nasi ke dalam mulutnya. Saga yang sedang menggigit sepotong ayam goreng menaikkan sebelah alisnya. “Val,” jelas Arion memahami ekspresi Saga. “Kenapa?” tanya Saga. Ia kini menyendok nasi dengan sambal. “Kerjanya. Apa dia bisa mengikuti cara kerjamu?” Saga menggeleng. “Belum. Dia belum konsisten. Kadang cepat dan paham. Tapi, lebih sering lambat dan membuat kepalaku sakit, karena harus mengecek ulang. Sama saja dua kali kerja.” “Sabarlah … baru juga beberapa hari.” Arion menepuk bahu Saga. “Pokoknya─” “Iya, iya, aku tahu,” potong Arion sebelum Saga menuntaskan kalimatnya. Memang, sebisa mungkin Arion menuruti permintaan Saga. Ia sudah tidak mengganggu Val selama jam kerja selain hanya untuk mengajaknya makan siang. Nyatanya, gadis itu masih bergeming. Ajakan makan malam ataupun sekadar mengantar pulang juga ditolaknya. Arion masih bisa menelepon Val di malam
Pukul satu lewat sedikit Arion dan Saga kembali dari makan siang. Mereka langsung masuk ke ruangan kaca dan menutup pintunya.“Kenapa sih gadis itu nggak mau kuajak keluar?” Arion gusar sambil mondar-mandir di ruangannya.Saga yang duduk di sofa sambil mengecek tablet-nya tidak menjawab. Pria itu sibuk mengamati grafik kunjungan laman perusahaan.“Okelah dia menolak kalau makan siang karena masih di area kantor. Tapi, makan malam antar pulang, bahkan akhir pekan pun dia menolak?” Arion melanjutkan kegelisahannya.Saga mendongak dan mendapati Arion sedang menatapnya tajam. “Apa?” tanyanya dingin.“Jangan-jangan gara-gara kamu nih!” tuduh Arion seenaknya lalu duduk di kursinya.Saga mendengus kesal. “Val lagi? Jangan salahin aku. Dia sendiri kerja nggak benar! Nggak teliti, ceroboh, nggak disiplin. Ini sama saja sebelum dia masuk,” protesnya menghitung satu-satu kekurangan Va
Hari-hari Val berikutnya terasa menyenangkan. Setelah malam itu ada malam-malam lain yang ia lalui bersama Arion. Seperti layaknya proses hubungan antara pria dan wanita, Arion membawa Val ke tempat-tempat yang belum pernah ia datangi.Seperti malam ini, Arion membawa Val ke sebuah tempat yang asing di pinggiran kota. Bukan ke restoran mahal atau pusat kuliner di mal, pria itu membawanya ke sebuah taman kecil yang ramai dengan anak-anak muda.Ada area untuk bermain papan luncur, dan permainan untuk anak-anak di sana. Berbagai penjual makanan dan minuman dalam gerobak berjejer mengitari taman itu.“Kamu nggak keberatan makan di tempat seperti ini, ‘kan?” tanya Arion melihat wajah kaget Val.Val sama sekali tidak menyangka Arion akan membawanya ke tempat sederhana ini. Bukannya keberatan, ia justru semakin kagum dengan sosok Arion yang hangat.“Oh, enggak kok. Sama sekali nggak keberatan,” jawab Val. “Kamu sering m
Bicara memang mudah, tapi melakukannya itu sulit. Val sudah berusaha sebaik dan seteliti mungkin. Secepat yang ia bisa, dan memahami apa mau Saga. Ia terus memutar otak mencari ide-ide segar yang akan ditulis di halaman perusahaan yang menjadi tanggung jawabnya selain memeriksa naskah.Menurut Val, Saga terlalu perfeksionis yang tidak menerima kesalahan sekecil apa pun. Ia juga sangat teliti dan pintar. Val jadi malu karena hampir setiap hari Saga menegurnya. Meskipun beberapa kali ia pernah melakukannya dengan benar, tapi lebih banyak kekurangan yang dilihat Saga pada dirinya. Itu membuatnya sangat frustrasi.Lama-lama Val tidak tahan juga. Ingin sekali ia melaporkannya pada Arion, tapi hal itu akan membuatnya terlihat tidak profesional dan cengeng. Ia bukan wanita yang suka memanfaatkan keadaan. Apalagi untuk sekadar pansos.“Mana tulisan yang akan terbit besok? Kau bilang akan selesai beberapa hari sebelumnya!” Saga kembali menegur Val dengan kera
“Aku sudah di lobi. Kamu selesaikan dulu pekerjaanmu. Aku akan menunggumu.” Pesan Arion masuk ke ponsel Val.Saat itu tinggal Val sendiri yang berada di kantor. Dirinya sedang berusaha menyelesaikan permintaan Saga. Sorot matanya berkilat tidak ingin menyerah dan menerima penghinaan yang diberikan Saga. Ia bahkan menolak tawaran Rara yang ingin membantunya.Nggak! Aku nggak boleh merepotkan orang lain. Kalau sampai dia tahu ada yang membantuku, akan seperti apa aku di matanya? Val membayangkan Saga akan tertawa mengejek.Teman-teman dan karyawan bagian lainnya sudah pulang sejak tadi. Val tidak dapat menyembunyikan rasa malunya saat pandangan mereka tertuju padanya. Tentu saja mereka mendengar teriakan Saga yang memakinya.Val yakin rumor yang akan beredar berikutnya adalah tentang Arion yang salah mendekati wanita yang tidak becus bekerja. Atau, gara-gara terlibat asmara dengan CEO, seorang karyawati baru tidak menunjukkan p
Teriakan keras di siang bolong sepuluh tahun yang lalu membuat Val menoleh ketika hendak menaiki motor Evan.“Woi, Val! Lu mau ke mana?! Lu lupa kalau kita ada rapat?!”Beberapa anak masih berkeliaran di dekat tempat parkir walau bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi. Mereka menoleh pada Val sambil berbisik-bisik.Val memandang Evan, kemudian menepuk dahinya. “Sial! Gue lupa hari ini rapat mading! Mana tugas gue belum beres lagi!”“Ya, sudah sono! Ntar ketua lu marah lagi,” kata Evan. “Tapi, lu ntar pulangnya gimana? Gue juga nggak mungkin nungguin lu karena harus les habis ini.”“Ah, nggak apa-apa. Lu duluan aja. Urusan pulang, ntar gue pikir sendiri.”Val melambai pada Evan yang meninggalkan sekolah. Ia sendiri bergegas melangkah ke ruang rapat di lantai dua. Ia merasa berada dalam masalah besar hari ini. Niatnya untuk tidur siang di rumah berantakan.BRAK!Su