Pekerjaan dan pernikahan, dua hal yang belum ada dalam kehidupan Valerie di usianya yang mendekati angka tiga. Ia berharap, pertemuan dengan Arion, CEO tampan dan ramah, bisa mewujudkan keinginan sang ibu yang menginginkannya segera menikah. Namun, harapan itu tidak berjalan mulus saat mengetahui jati diri Saga. Siapa Saga? Dan bagaimana seorang Saga bisa mempengaruhi kehidupan Valerie?
View More“Valerie!” Pintu kamar terbuka dan seorang wanita buru-buru masuk. “Val! Ayo, bangun!” Ia mengguncang-guncangkan tubuh yang masih memeluk guling di tempat tidur.
Terdengar erangan malas dari bibir mungil yang menempel pada bantal bermotif beruang. Tangannya menarik selimut hingga menutupi kepala, kemudian terlelap lagi.
“Ck! Anak ini! Ayo, bangun, Val! Sudah siang!” kata wanita itu lagi. Kali ini ia menarik selimut dengan keras sehingga wajah di baliknya terlihat. “Mau tidur sampai kapan, hah?!”
Gadis yang memakai piyama polos merah muda itu menggeliat dan hendak menarik selimut lagi ketika sang ibu menepis tangannya.
“Masih ngantuk, Ma…,” katanya sambil mengucek-ucek mata.
“Salah siapa begadang? Emangnya kamu ngapain aja semalam?” Wanita bernama Rima itu memaksa putrinya bangun.
Valerie yang biasa dipanggil Val terpaksa bangun dan menguap lebar. “Val ‘kan nggak kerja, Ma, nggak perlu bangun pagi….” Ia memberi alasan.
“Ini sudah jam sepuluh, Val! Nggak malu tuh diketawain sama ayam?”
“Ngapain malu? Dia juga nggak ngerti kok!”
“Ih! Anak ini!” Dengan gemas Rima mendorong jidat putrinya. “Kamu itu sudah besar, Val! Bersikaplah dewasa, jangan kayak anak kecil! Malu sama umur yang hampir kepala tiga!”
“Mama bawel ih!” Val cemberut.
“Lagian, kenapa sih kamu harus berhenti kerja? Cari kerjaan ‘kan nggak gampang! Akhirnya, kamu menganggur sekarang!”
“Ya … Val ‘kan ingin kerja sesuai passion, Ma…. Yang kemarin itu cuma batu loncatan aja. Terpaksa juga karena Mama yang buru-buruin Val kerja.”
“Ya jelaslah! Mama sudah susah payah kuliahin kamu, kalau nggak kerja, mau ngapain?”
“Kenapa pagi-pagi Mama cerewet sih?”
Rima mendelik, tapi seketika wajahnya berubah saat Val memeluknya manja. “Kamu ini paling bisa ya kalau merajuk.” Tangan kurus itu membelai rambut Val sambil tersenyum.
“Meski Mama cerewet, Val tetap sayang kok.”
“Halah! Kamu ini kalau ada maunya aja bilang sayang!”
Val tertawa kecil.
“Sudah seminggu kamu menginap di sini, nanti siang kamu harus balik ke apartemenmu. Papa membelinya supaya kamu bisa mandiri. Di sini kamu juga nggak ada gunanya malas-malasan. Lebih baik kamu gunakan waktumu untuk mencari kerja!”
Val mendongak menatap wanita di depannya. “Ih! padahal Val menginap di sini karena kangen Mama. Mama nggak kangen Val, ya?”
“Sudah, sudah! Meladeni kamu bikin capek! Sana keluar! Ada Tante Icha dan sepupumu datang.” Rima berdiri dan melempar selimut yang segera ditangkap Val.
“Mau ngapain mereka pagi-pagi ke sini? Pasti bahasannya sama. Mau pamer ini lah, itu lah!” Lagi, bibir Val manyun. “Kali ini pamer apa lagi?”
“Sudah cepat keluar!” perintah Rima sebelum menutup pintu kamar.
Masih cemberut Val bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi. Ia menatap pantulan dirinya di cermin yang sedang menggosok gigi. Segera ia tuntaskan rutinitasnya lalu keluar.
“Pagi, Tan! Halo, Ris!” sapa Val ketika melihat kerabatnya ada di ruang tamu.
Tante Icha yang sedang menelepon buru-buru menutup teleponnya melihat Val datang. Rissa yang sedang menyuapi anaknya segera menoleh.
“Halo, Valerie sayang! Ini sudah siang lho, Val, jadi bilangnya selamat siang!” Tante Icha mencubit pipi Val dengan gemas hingga gadis itu meringis.
Jam sepuluh itu masih pagi, Tan … jam dua belas baru siang, gimana sih? Gerutuan itu hanya bisa ia sampaikan di dalam hati.
“Halo, Val!” sapa Rissa sambil memeluk Val. “Dean, ayo beri salam pada Tante Val!” Ia menggendong putranya yang berusia dua tahun dan menggerak-gerakkan tangan untuk menyapa Val.
“Hai, Dean! Kamu nggemesin aja deh!” Val hendak mencubit pipi tembem kemerahan itu sebelum Rissa menepisnya.
“Jangan cubit-cubit ah! Sakit tahu!” omel Rissa. “Duh, Tante Val jahat ya, Nak! Sini biar Mama pukul dia!” Ia pura-pura memukul Val yang otomatis menghindar.
Val sudah tahu kebiasaan saudaranya itu. Tante Icha yang merupakan kakak sang ibu, termasuk bawel dan suka mengkritik orang. Rissa, anaknya juga sama saja. Ia suka mencari perhatian berlebihan.
“Eh, Val, kamu nggak kerja? Katanya kamu berhenti ya?” tanya Rissa. Sekarang ia sedang bermain dengan Dean menggunakan kerincingan.
Val duduk di seberang mereka sambil memainkan ponselnya. “Iya, nggak sesuai sama minatku,” jawabanya.
“Kamu ini jangan suka milih-milih toh, Val!” Tante Icha menyeletuk. “Kalau kebanyakan milih dan banyak maunya, ya nggak dapat-dapat. Kamu juga masih single, ‘kan? Itu akibatnya kalau terlalu pemilih.”
“Mau kukenalin nggak, Val?” timpal Rissa. “Aku ada beberapa temen yang masih kosong juga. Kali aja cocok. Lumayan lho, mereka kenalan suamiku juga, jadi sudah mapan gitu deh!”
“Kamu maunya yang kayak gimana sih, Val? Ntar nggak laku gimana? Kasihan juga mamamu, masih kepikiran anak gadisnya.”
Telinga Val sudah gatal mendengar kalimat-kalimat itu. Ia ingin berteriak dan menyumpal mulut mereka, kalau saja tidak ingat bahwa mereka adalah keluarga. Semarah-marahnya Val, ia tidak akan berbuat tidak pantas. Orang tuanya selalu mengajarkan untuk menghormati orang lain, sekalipun tidak menyukainya. Karena itu, ia hanya tertawa saja.
“Kamu nggak mau menikah atau gimana?” tanya Rissa.
“Lihat tuh Rissa! Anak ke dua sudah otw! Padahal dia lebih muda dari kamu!” Tante Icha menunjuk perut Rissa yang sedikit membesar di balik dress ketatnya.
Val hanya meliriknya sekilas lalu kembali asyik dengan gawainya.
Tante Icha hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah keponakanya ini. “Tante ngomong gini, juga demi kebaikanmu. Dua anak Tante semua sudah menikah dan punya anak. Sepupu-sepupumu yang lain juga sudah berkeluarga. Kamu aja yang belum.”
“Ya gimana mau menikah, pacar aja belum ada,” jawab Val asal. “Mungkin jodohku masih otw juga di perut.”
“Makanya itu, Val, kamu cari yang benar! Nggak bakal ketemu kalau kamu malas-malasan gini! Kamu─”
Kalimat Tante Icha menggantung di udara saat Rima datang membawa nampan berisi empat cangkir teh. “Ya gitu deh, Mbak, anaknya kayak begini. Susah dikasih tahu,” katanya sambil meletakkan minuman di atas meja. Ia lalu duduk di sebelah Val.
“Kamu kurang tegas, Rim! Apalagi suamimu tuh, dulu suka banget manjain Val. Jadinya begini deh!” komentar Tante Icha sambil menyeruput tehnya.
Val membiarkan Tante Icha membicarakan dirinya sesuka hati. Ia sudah bosan mendengarnya. Setiap kerabat yang bertemu dengannya pasti membahas hal yang sama. Pekerjaan, dan pernikahan.
Aku juga mau kok menikah. Sama cowok yang tampan dan mapan. Cuma belum ketemu aja, gumamnya dalam hati. Aku juga punya alasan keluar dari pekerjaanku sebelumnya. Dan kupikir, ini kesempatanku untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan minatku.
Val menatap layar ponselnya. Ia sedang membaca novel online sambil senyum-senyum sendiri. Andai aja, hidupku kayak cerita ini. Ketemu cowok ganteng, mapan, dan saling jatuh cinta terus menikah. Aaah, indahnya….
“Ga …?” “Ah, apa …?” Saga baru tersadar ketika Val menggoyang-goyangkan lengan jasnya. Val menatap pria yang kini sudah menjadi suaminya. Ia lalu memandang arah yang tadi dilihat Saga, tetapi tidak menemukan ada yang aneh di sana. “Kenapa lihat ke sana terus? Sudah waktunya kita turun,” katanya. “Oh, ayo.” Saga menggandeng tangan Val dan membantunya turun dari panggung. Tak lama, Val dan Saga duduk bersama keluarga mereka. Menikmati jamuan makan malam yang disediakan. Obrolan ringan juga turut mewarnai kehangatan keluarga baru itu. Beberapa jam kemudian, acara selesai. Seluruh tamu undangan sudah meninggalkan gedung. Para keluarga sebagian meninggalkan gedung, sebagian lagi menginap di hotel yang sama dengan Val dan Saga. Mereka memang sengaja menyediakan kamar kosong untuk beberapa keluarga yang tinggal di luar kora, seperti Tante Icha dan Riska. Val dan Saga diantar Kaira dan Arion ke kamar hotel mereka. Kaira tampak bahagia dengan senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya.
“Kamu sudah yakin, Val?” Rima bertanya pada putrinya karena sedikit khawatir. Val mengangguk dan tersenyum. “Iya. Masa sudah begini, masih ditanya lagi sih?” Rima tersenyum sedikit. “Kamu bisa bilang ke Mama, Val. Nanti Mama yang akan cari cara.” Kali ini Val menggeleng. “Nggak usah, Ma. Memangnya Mama berani bilang sama Tante Diana? Dia teman baik Mama, ‘kan?” Rima diam sejenak lalu menjawab, “Iya, tapi … Mama rasa dia akan mengerti, Val.” “Nggak usah, Ma. Val baik-baik saja kok. Mama juga sudah lihat sendiri, ‘kan?” Val memamerkan senyum terbaik dan tercantiknya. “Saga pasti juga begitu.” Rima menatap putrinya sekali lagi. Val pun mengangguk untuk meyakinkan sang ibu. “Baiklah kalau begitu. Mama keluar dulu. Tamu-tamu sudah banyak yang datang.” Rima berdiri lalu keluar dari ruangan itu. Val mengantarnya dengan senyum bahagia. Ketika pintu di depannya tertutup, senyumnya memudar. Sungguh merupakan keputusan yang sulit baginya, tapi ia harus melakukannya. Sementara itu, di rua
“Aaah … capek juga ternyata bikin kue!” keluh Val sambil mengempaskan tubuh ke tempat tidur. Ia baru saja memasukkan dua loyang kue ke oven dan mengatur waktunya. Sambil menunggu, ia berniat beristirahat sebentar. Dari luar, Val bisa saja tertawa lepas seolah tidak ada yang mengusiknya. Namun, hatinya menjeritkan rindu yang sama pada seseorang. Berbagai kenangan bersama Saga mulai bermunculan, menggoda dirinya, dan membawanya kembali ke masa lalu yang jauh. Masa-masa di mana ia sama sekali tidak menyadari perhatian-perhatian kecil Saga padanya. “Aku mau ke kantin! Ada yang titip?” tanya Nita sambil berdiri. Saat itu, tim mading yang terdiri dari Saga, Val, Nita, Noah, dan Andi, sedang mengerjakan proyek minggu ini. Mereka berkumpul di ruang OSIS sepulang sekolah. Segera anak-anak menyebutkan pesanannya dan Nita pun berlalu. Val tidak pernah mengetahui bahwa saat itu Saga selalu memperhatikan gerak-geriknya. Apa pun yang ia lakukan, selalu mampu membuat senyum Saga mengembang. Namun
Val terbangun di Minggu pagi yang cerah. Sinar matahari sudah masuk dari jendela yang terbuka lebar. Kehangatannya memenuhi kamar dan tubuh Val yang masih memeluk guling, sambil mengejap-ngejapkan mata untuk menyesuaikan perubahan yang mendadak. Beberapa detik kemudian tubuh Val tegak di tempat tidur dengan rambut kusut dan wajah kusam. Samar-samar telinganya menangkap percakapan di luar. Ada suara ibunya dan suara lain yang tidak ia kenal. “Maaf, Bu Rima, sudah ganggu pagi-pagi.” “Oh, nggak apa-apa, Bu. Saya yang terima kasih karena sudah diberi ini.” “Itu cuma hasil kebun dari kampung, Bu. Kebetulan kemarin baru pulang dari sana.” “Pantesan kelihatan segar ini. Terima kasih banyak, Bu Nuri.” “Sama-sama, Bu. Baiklah, saya permisi dulu.” “Silakan.” “Siapa itu? Tetangga?” gumam Val lalu beringsut turun dari tempat tidur dan keluar. Baru saja ia menutup pintu di belakangnya, sang ibu muncul sambil membawa dua sisir pisang ambon di tangan. “Sudah bangun, Val?” sapa Rima. Val men
Hari pun berganti. Biasanya di akhir pekan banyak pasangan menghabiskan waktu bersama, termasuk Val dan Saga. Namun, kali ini berbeda. Pasangan yang dalam satu minggu ke depan akan melangsungkan pernikahan itu sedang ditimpa masalah. Masing-masing menghabiskan waktu di tempat yang berbeda dengan sikap yang berbeda pula. Saga seperti orang gila yang kehilangan sesuatu yang teramat berharga baginya. Telepon dari calon mertuanya membuatnya tersiksa sepanjang malam hingga tidak bisa tidur. Hari yang seharusnya cerah ini terasa begitu buruk bagi Saga. Sedari pagi, pria itu mondar-mandir di apartemennya. Seluruh penampilannya tampak berantakan. Botol-botol minuman berserak di meja dan lantai membuat ruangan itu sudah seperti kapal pecah. Bel pintu berbunyi. Buru-buru Saga membukanya dan langsung membentak. “Kai! Arion! kenapa kalian lama sekali?! Kenapa baru datang?!” Arion dan Kaira saling berpandangan lalu mengembuskan napas kesal. “Gimana bisa cepat kalau baru setengah jam lalu kau
Di ruang kerjanya, Arion mengamati layar ponsel yang berisi panggilan dari Val. Beberapa waktu lalu, gadis itu meneleponnya. Meminta izin tidak masuk hari ini. Ia sudah menduga ada sesuatu yang terjadi dengan dua sahabatnya itu. Tanpa mendapat jawaban yang sebenarnya, ia malah mendengar sesuatu yang tidak disangkanya sama sekali. Bentakan Saga, jeritan Val, ia mendengar semuanya dari ponsel yang tidak dimatikan dengan benar. Tidak tahan membayangkan apa yang terjadi di sana, Arion menekan tombol merah. “Apa yang kamu lakukan, Ga? Kenapa kamu begitu? Kenapa kalian seperti ini?” Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Arion. Andai saja ia bisa merebut gadis itu kembali, ia akan melarang Saga berbuat sesukanya. Sekarang ini, ia tidak berdaya untuk membantu apa pun. Itu sudah di luar kendalinya, bukan haknya. Arion mengangkat kepala ketika Saga muncul di ambang pintu ruangannya. Wajahnya tampak kacau dan ia sangat gugup. “Rion …,” katanya lirih. Arion berdiri dan mendekati Saga.
Val yang sangat merindukan kekasihnya itu membalas cumbuan Saga di bibirnya. Namun, beberapa detik kemudian ia mendorong pria itu menjauh. Wajahnya merah. “Kenapa?” Saga heran. “Ini nggak benar,” jawab Val. “Apanya yang nggak benar?” “Masalah ini, nggak semudah itu selesai.” Saga membawa wajah Val menatapnya. “Apanya yang belum selesai?” “Apa buktinya kalau wanita itu nggak akan menganggumu lagi?” “Aku sudah melarangnya. Aku sudah memintanya untuk nggak ganggu aku, kita. Apa lagi?” “Kamu yakin dia akan menurut begitu saja? Kulihat, dia orang yang selalu bisa mendapatkan keinginannya. Dia nggak semudah itu menyerah.” “Lalu, apa maumu, Val? Aku sudah nggak mau lagi berurusan dengannya.” Val masih menatap Saga mencari kebenaran di sana. “Begini saja, kalau sampai dia menghubungiku lagi, aku akan melaporkannya ke polisi. Bagaimana?” “Apa akan berhasil?” “Aku nggak tahu, tapi nggak ada
Setelah Erin pergi dengan wajah tak percaya dan tidak terima diperlakukan begitu, Saga terduduk di sofa dengan kepala sakit. Semua tampak berputar-putar di depan matanya. Bayangan wajah Val yang menangis membuatnya merasa jadi manusia paling bodoh di dunia. Ia merasa bersalah dan rasa itu lebih menyakitkan daripada saat Erin meninggalkannya. Tidak punya pilihan lain, Saga menghubungi seseorang yang ia percaya. “Aku butuh bantuanmu.” Sementara itu, Val menangis dalam diam di kamarnya. Ia ingin memercayai ucapan Saga, tapi apa yang dilihatnya tadi begitu menyakitkan. Sungguh ia tidak bisa membayangkan perjalanan cintanya akan sesulit ini. Pernikahan yang sudah di depan mata, bagaimana nasibnya, ia tidak tahu. Ponsel Val yang bergetar menghentikan isak tangisnya begitu melihat nama peneleponnya. Buru-buru ia menghapus sisa-sisa kesedihan dan mengatur napasnya, sebelum menjawab. “Val, kamu belum tidur?” Rima, ibunya menyapa. “Ah, Mama. Be
Val menatap gedung apartemen yang menjulang tinggi di depannya. Rasanya baru sebentar lalu ia berlari ke gedung sebelah ketika mendengar Saga sakit. Kini, menatapnya hanya menambah garam di atas lukanya. Ia teringat perkataan Noah bahwa Saga butuh waktu.Meski begitu, Val benar-benar merindukan Saga. Ia ingin bertemu dengannya. Ia juga telah membuat sebuah keputusan, dengan harapan itu akan membantu Saga menyelesaikan masalah ini.Kaki Val melangkah dengan mantap ke apartemen Saga. Ia sudah mempunyai kuncinya, jadi tidak ada masalah bila langsung mendatanginya, ‘kan? Ia akan menunggu jika Saga belum pulang dari urusannya, entah apa itu.Niat seringkali bertolak belakang dengan keberanian. Tangan Val bergetar ketika hendak memindai nomor kartu di pintu. Jantungnya berdegup kencang. Ia kemudian bimbang, apakah ini tindakan yang tepat? Namun, tekadnya sudah bulat. Ia pun membuka pintu itu. Sayangnya, apa yang ia lihat di dalam sana tidak sesuai dengan keingin
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments