Pukul sembilan pagi di sebuah pusat perkantoran yang ramai, terlihat seorang wanita sedang berjalan di trotoar. Pakaiannya rapi dengan atasan polos cerah berpita dan rok A-Line hitam selutut. Sebuah tas kecil tersampir di bahunya. Ia berjalan sambil mengamati gedung-gedung tinggi di atasnya. Sesekali ia membaca sebuah alamat yang tertera pada layar ponselnya.
“Harusnya di sekitar sini,” gumamnya. Kaki bersepatu setinggi 5 sentimeter itu terus berjalan mencari alamat yang ia tuju.
DUG! Seseorang menabrak bahunya.
“Aduh, maaf!”
Wanita itu mendongak dan seketika melihat sosok yang membuatnya terpesona. Laki-laki yang memakai pakaian olahraga itu sangat tampan sampai ia tak mampu menjawab.
“Kamu nggak apa-apa?” Pria itu tampak prihatin melihat sang wanita hanya membuka mulut tanpa bersuara.
Wanita itu tersadar dari lamunannya. “Ah-oh-eh, iya! Saya yang harusnya minta maaf karena nggak lihat jalan!” Ia membungkukkan tubuhnya sedikit.
Laki-laki itu tertawa dan membuat sang wanita semakin terpesona. Dadanya berdegup kencang hingga melupakan apa tujuannya.
Ya ampun! Dia ganteng banget! Mana baik pula! Inikah yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama?
“No problem!” Si lelaki tersenyum. “Sepertinya kamu terburu-buru sampai nggak lihat jalan.”
Wanita itu langsung tersadar apa tujuannya di tempat ini. Ia melirik jam di ponselnya. “Ah, saya benar-benar minta maaf!” Setelah itu ia berlari ke sebuah gedung kaca yang berjarak beberapa meter di depannya.
Si pria mengamati gedung yang dituju si wanita muda, dan senyumnya mengembang. Ternyata di situ ya….
Getaran ponsel di saku celana trainingnya mengalihkan atensinya. Wajah tampan itu menampakkan dua lesung pipit saat membaca nama peneleponnya.
“Halo?” sapanya. Kemudian ia tertawa dan mengangguk-angguk. “Aku masih ada urusan lain. Jadi, minggu depan aku baru bisa kembali. Ya, ya, aku mengerti. Kamu di sana baik-baik ya? Jangan nakal-nakal! Jangan kangen aku juga lho!”
Sepertinya suara di seberang meneriakinya, sehingga ia menjauhkan ponsel dari telinganya. Terkekeh ia menjawab, “Yah, pokoknya tunggu saja kedatanganku. Oke?”
Laki-laki itu menutup telepon dan melanjutkan aktivitasnya yang sempat terhenti. Ia kembali berlari-lari kecil memutari area perkantoran yang sudah menjadi kebiasaannya setiap hari.
Setelah beberapa kali putaran ia berhenti di kedai kopi yang bersebelahan dengan gedung tadi. Setelah memesan minuman, ia duduk di area luar kedai. Payung besar berwarna hijau gelap menaungi matanya dari cahaya matahari.
Dari penampilannya sih, sepertinya dia bekerja di sana. Dia … cukup manis juga.
Laki-laki itu meminum kopinya sambil terus mengamati area masuk gedung itu. Terbersit sebuah ide konyol di kepalanya. Ia melihat jam tangan yang melingkar di lengannya.
Kalau dalam sepuluh detik dia keluar dari pintu itu, berarti dia jodohku.
Dalam hati, pria itu mulai menghitung. Mendekati angka lima, ia bergumam, “… 4 … 3 … 2 … 1!”
Tertangkap olehnya, wanita itu keluar sambil menaungi mata dengan tangannya yang memegang ponsel. Segera ia berlari menghampiri wanita itu dengan mata berbinar.
Tak elok rasanya jika terlihat ia menunggu wanita itu. Karena itu, ia mengambil arah yang sedikit berbeda, tapi bisa dipastikan akan terlihat oleh wanita yang ia incar. Rencananya berhasil.
Tabrakan yang disengaja itu terjadi sesuai rencananya. Kecuali minuman yang tumpah mengenai bajunya. Ia melewatkan hal kecil itu. Namun, siapa sangka kesalahan itu justru membuka peluang baginya.
Wajah sang wanita tampak panik melihat noda cokelat pekat yang membanjiri pakaian olahraga abu-abu si pria muda.
“Aduh, bagaimana ini? Bajumu jadi kotor!” jeritnya panik. Ia lalu mendongak melihat pemilik wajah tampan tadi tersenyum ke arahnya.
Nggak mungkin! Ini sebuah kebetulan yang kebetulan sekali! Apa dia adalah jodohku?
“Maaf! Maafkan saya!” Berkali-kali wanita itu membungkuk dan meminta maaf, sementara sang pria hanya tersenyum saja. “Bagaimana saya harus menebusnya?” Suaranya terdengar panik mengira-ngira berapa rupiah yang harus ia keluarkan untuk membersihkan atau menggantinya.
“Wah, bagaimana ya? Noda kopi ini sepertinya bakal susah hilang,” ujar si pria sambil menatap baju dan wajah polos itu bergantian.
Si wanita kebingungan. “Ah, saya coba bersihkan dulu dengan tisu basah!” Ia mengambil tisu basah dari tasnya dan berkata lagi, “Coba lepas bajumu. Saya bersihkan dengan….”
Mendadak wanita itu menutup mulutnya karena kaget. Wajahnya merah menyadari apa yang baru saja terucap dari mulutnya.
Laki-laki itu menoleh ke kanan dan ke kiri. “Lepas baju? Di sini?” tanyanya pura-pura marah. Sesungguhnya ia menikmati keluguan wanita itu. Ia menaksir usianya hanya terpaut dua atau tiga tahun saja.
“Hmm … sepertinya aku punya ide yang lebih bagus. Tunggu di sini, jangan ke mana-mana!” perintahnya. Ia lalu berlari ke area parkir di sebelah kedai kopi.
Wanita muda itu melihat sang pria masuk ke sebuah mobil hitam yang terparkir di sana. Tak lama laki-laki itu muncul dengan pakaian yang berbeda. Baju olahraga tadi sudah berganti dengan kaus santai.
Itu mobilnya? Apa dia bekerja di salah satu kantor di sini? pikirnya sambil mengamati gedung-gedung tinggi di sekelilingnya.
Laki-laki itu kembali dengan menjinjing tas hitam lalu menyerahkannya pada si wanita yang keheranan.
“Sekarang kamu boleh membersihkannya,” katanya. “Sambil menunggu, bagaimana kalau kita minum kopi dulu di sini?”
“Hah? Apa?” Jari lentik itu mengorek telinganya. Apa aku nggak salah dengar? Kok rasanya terlalu mustahil untuk jadi kenyataan?
“Ayo.” Laki-laki itu mendorongnya untuk duduk di kursi, lalu ia sendiri masuk ke kedai dan memesan minuman lagi.
Masih dengan ketidakpercayaan yang terlihat jelas, wanita itu duduk sambil membersihkan noda dengan tisu basah. Sekuat apa pun usahanya, noda kopi itu tidak sepenuhnya hilang. Ia putus asa saat melihat pria itu sudah kembali dengan dua gelas kopi dingin di tangannya.
“Silakan minum dulu, kamu pasti haus.” Minuman berwarna cokelat muda itu diletakkan di atas meja.
“Iya, terima kasih,” kata si wanita sambil menatap tulisan yang tertera pada gelasnya, Caramel Macchiato. Pelan-pelan ia meneguknya sedikit.
“A-anu….” Takut-takut mata wanita itu menatap pria yang sedang meminum Americano dingin di sampingnya. “Baju ini … boleh saya bawa dulu? Sa-saya coba membersihkannya dengan tisu basah, tapi belum hilang. Na-nanti saya kembalikan lagi.”
Yes! Hati pria muda itu melonjak girang. Targetnya mengenai sasaran.
“Kalau begitu, berikan ponselmu padaku.” Tangannya terulur pada wanita itu.
Wanita itu terkejut. Apa ini? Apa dia sedang memerasku? Kukira dia baik. Nggak kusangka wajah tampan, tapi hatinya sebusuk ini.
Pelan-pelan ia memberikan ponselnya. “Ba-baiklah, saya permisi dulu. Terima kasih kopinya. Dan maafkan saya!” Ia mengangkat tubuhnya dari kursi dan hendak pergi membawa baju kotor itu.
“Tunggu dulu!” Suara pria itu menahan langkahnya.
Apa lagi sih? Aku sudah menggantinya, ‘kan? Baju itu nggak mungkin seharga ponselku!
Wanita itu berbalik dengan wajah cemberut. Lagi-lagi ia dibuat terkejut sekaligus terpesona dengan paras tampan yang menyerahkan kembali ponselnya.
“Aku sudah simpan nomorku di sana. Kalau sudah selesai hubungi aku di nomor itu. Oh ya, siapa namamu?”
Rupanya hari ini adalah hari yang mengejutkan bagi si wanita. Kembali ia terganga bingung. “Va-Val … Valerie. Nama saya Valerie,” katanya terbata-bata.
“Oke. Sampai ketemu lagi, Val!” Laki-laki melambaikan tangan lalu meninggalkan kedai kopi.
Val tercenung di tempatnya berdiri. Matanya mengamati mobil hitam itu keluar menuju jalan raya. Ia masih tak percaya hal ini terjadi padanya. Hal yang tidak mungkin terjadi di dunia nyata. Tidak mungkin ada kebetulan yang semanis ini.
Peristiwa semacam ini hanya terjadi di drama-drama yang pernah ia tonton. Terlalu indah untuk jadi kenyataan, bahkan dalam mimpinya sekalipun. Walaupun begitu, tetap saja ia kegirangan. Jika ini mimpi, ia tidak ingin terbangun sekarang.
Di sudut sebuah kamar dekat jendela, duduk seorang wanita sedang membaca novel. Buku itu terbuka di halaman yang sama sejak bermenit-menit yang lalu. Sepertinya wanita itu tidak benar-benar membacanya. Rintik hujan yang mengenai kaca jendela mengaburkan bayangannya. Macetnya jalan raya di bawah sana tidak lagi menarik perhatiannya. “Jadi, namanya Arion ya,” gumamnya lalu meraih ponsel di sebelahnya. Mata Val mengamati nomor yang tersimpan di sana. Teringat dalam benaknya pertemuan dengan lelaki tampan nan baik hati siang tadi. Senyumnya mengembang membayangkan seandainya ia benar-benar berjodoh dengan laki-laki itu. Sungguh paduan yang sempurna untuk seorang calon suami. Apalagi sang ibu sering menanyakan calon yang belum diketahui keberadaannya. “Mungkin jodohku masih orok.” Itu alasan yang sering ia berikan bila ada yang bertanya tentang calon suami. Hah! Calon pacar saja belum ada. Apalagi calon suami! dengusnya kesal. Memang
“Kelihatannya sudah lumayan sih,” kata Val mengamati kaus abu-abu di tangannya. Ia lalu memasukkannya dalam tas yang sudah disiapkan. “Semoga saja dia nggak terlalu mempermasalahkannya,” gumamnya pasrah. Kemarin ia memberanikan diri menghubungi Arion untuk mengembalikan bajunya. Sesuai kesepakatan dalam pesan singkat, mereka akan bertemu di tempat yang sama seperti hari Jumat kemarin. Val mengambil napas panjang ketika langkahnya sudah mendekati gedung perkantoran itu. Jantungnya berdebar akan bertemu pria tampan itu lagi. Sejak pertemuan itu, setiap malam Val memimpikan masa depannya bersama laki-laki itu. Bahkan ketika menonton drama kesukaannya, ia membayangkan jika dirinya dan Arion menjadi tokoh utamanya dan berakhir bahagia. Kaki ramping Val melangkah yakin memasuki kedai kopi tempat mereka akan bertemu. Dalam hati ia berdoa supaya semuanya berjalan lancar hari ini. Salah satu kursi di area luar kedai, sudah diduduki seseorang. Val hanya
Pagi itu Saga terlihat sibuk di mejanya. Beberapa kali ia mengecek surel dan laman yang memuat beberapa tulisannya. Junior sebelumnya berhenti bekerja karena melahirkan dan sekarang ia yang bertugas mengurus semua sampai mendapat penggantinya. Ditambah lagi atasannya, sedang dalam proses pemulihan setelah sakit, membuatnya semakin sibuk. Ia harus menangani tugas tiga orang sekaligus. Sekalipun ia sudah membagi tugas dengan yang lain, ada pekerjaan yang memang harus dikerjakan sendiri. Beberapa hari yang lalu dirinya sudah menghubungi bagian Personalia menanyakan kekosongan pegawai di tempatnya. Mereka bilang sudah menemukan penggantinya, dan membuat Saga sedikit lega. “Semoga saja dia benar-benar orang yang kompeten. Kelihatannya sepele, tapi dampaknya besar,” gumam Saga sambil menata berkas-berkasnya. Tumpukan kertas itu ia letakkan di meja kosong sebelahnya yang sebentar lagi akan terisi. “Untuk permulaan, rasanya cukup segini dulu.” Sekali lagi ia
Kedua pria itu masuk ke ruangan kaca dan menutup pintunya. Val yang sedari tadi menahan napas karena terkejut segera mengembuskan napasnya kuat-kuat. Ia meremas dadanya yang tiba-tiba sesak. Hidungnya menghirup udara banyak-banyak untuk mengisi paru-parunya yang kosong. Yang tadi itu … Arion, ‘kan? Arion yang itu? Dia pakai baju olahraga yang kukembalikan tadi pagi? pikir Val terkejut. Ia menepuk-nepuk pipinya mengecek apakah ia masih tidur atau sudah bangun. Pipinya terasa panas. Itu artinya hal yang terjadi hari ini adalah kenyataan. Kenyataan yang tidak pernah ia bayangkan sama sekali. Kedatangan Saga yang menggeser kursi lalu duduk di sana, membawa Val kembali dari lamunan. Ia bisa merasakan tatapan Saga yang menusuk. Benak Val mulai berpikir macam-macam. Apa yang mereka bicarakan di dalam? Apakah mereka membicarakanku? Jangan ge-er, Val! Memangnya siapa kamu? Kamu pegawai di sini! “Jangan melamun! Lekas lakukan tugasmu!”
“Jadi, dia yang membuatmu senyum-senyum sendiri seperti orang gila?” Saga mencondongkan tubuhnya pada Arion yang kini tertawa kecil. “Kamu ingat waktu aku meneleponmu hari Jumat lalu?” Arion melihat anggukan Saga lalu melanjutkan, “Itu pertemuan pertamaku dengannya. Kalau tidak salah, waktu itu ada interview untuk mengisi kekosongan di tempatmu, ‘kan? Kamu nggak ketemu dia?” Saga menggeleng. “Nggak. Aku serahkan semuanya pada Fanny. Aku yakin dia sudah paham orang seperti apa yang kucari.” “Sayang sekali. Kalau saja kamu sempat bertemu dengannya. Dia lucu sekali tahu waktu baju ini ketumpahan kopi yang kubawa. Nggak sengaja sih.” “Maksudnya?” Saga tidak mengerti. Memang sejak beberapa hari lalu sahabatnya ini bertingkah aneh. “Kamu mau tahu cerita lengkapnya?” “Nggak tertarik!” jawab Saga cepat. Namun, di dalam hatinya ia penasaran apa yang membuat Arion bisa jatuh cinta pada pandangan pertama dengan pegawai baru itu. Biasanya
Val menutup pintu ruangan Arion dengan cepat lalu duduk di kursinya. Ia menghela napas lega seolah beban berat telah terangkat dari dadanya. Dengan satu tangan, ia mengusap keringat yang mengucur di dahi dan leher. “Aku harus minum,” gumamnya sambil beranjak menuju pantri. Ia mengambil gelas di lemari dan mengisinya dengan air. “Kamu ngapain tadi di ruang pak Rion lama sekali?” Tiba-tiba saja Rara sudah berdiri di sampingnya. Ia juga melakukan hal yang sama seperti Val. Sedikit tersedak, Val menatap Rara. “Bu-bukan apa-apa. Hanya bertanya sedikit tentang pekerjaanku,” katanya berbohong. Ia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. “Nggak kayak biasanya deh,” celetuk Rara. “Dua orang sebelum kamu, Pak Rion nggak pernah begitu tuh!” “Oh, aku nggak tahu. E-entahlah, mungkin suka-suka dia aja.” Val gugup dan khawatir kebohongannya akan terungkap. Rara mengangguk. Ia lalu kembali ke mejanya dengan membawa segelas air. Tak lama Val juga mening
Pukul delapan kurang sepuluh menit, pintu lift terbuka. Val melangkah masuk ke ruangan di lantai 15 itu dan mendapati Saga sudah berada di sana. Pria itu sedang menatap serius pada monitornya. Val melihat sekeliling. Rara dan lainnya, bahkan kepala bagian sebelah sana belum tampak tanda-tanda kehadirannya. Pagi banget datangnya, gumam Val dalam hati. Ia mendekati meja dan menyapanya, “Selamat pagi, Pak.” Tidak mendapatan jawaban dari Saga, Val pun meletakkan tas dan hendak duduk di kursi. Belum juga pantatnya menyentuh kursi, seniornya itu berkata, lebih tepatnya memerintah, “Val, coba kau cek di halaman itu. Catat dan beri koreksi untuk ke depannya. Kau lihat post-it itu?” Val menatap kertas kuning yang tertempel di monitornya yang sudah menyala. Ada tulisan yang mirip coretan di kertas kecil itu. “Kau buka tautan itu. Pelajari isinya, dan berikan pendapat atau ide tambahan untuk menaikkan jumlah kunjungan.” Saga menambahkan
Val mendelik tak percaya membaca pesan yang dikirim Arion. Sesungguhnya ia melonjak girang dan bisa saja menjawab ‘iya’, tapi posisinya tidak memungkinkan untuk itu. Dia adalah orang baru di kantor ini dan ingin terus bekerja di sini. Apa yang akan terjadi jika ia begitu saja menerima tawaran Arion? Sesuka apa pun Val padanya, ia tak mungkin mengorbankan pekerjaan ini. Lagi pula di mana ada Arion, pasti akan ada Saga, bukan? Dua orang itu seperti lem dan perangko. Orang pacaran pun mungkin akan kalah dengan kedekatan mereka. Val tidak ingin Saga akan semakin menganggapnya rendah. Begitu pula Saga. Pria itu pasti tidak akan suka dirinya dekat-dekat dengan atasannya. Untuk sementara fokus pekerjaan dulu. Urusan hati dan cinta bisa menunggu, putus Val. Ia lalu mengetikkan balasannya, “Maaf, Pak, saya nggak bisa.” “Karena Saga?” Pesan Arion masuk beberapa detik kemudian. Val terkejut. Sudut matanya melirik Saga yang sedang menyeruput kop