Kedua pria itu masuk ke ruangan kaca dan menutup pintunya. Val yang sedari tadi menahan napas karena terkejut segera mengembuskan napasnya kuat-kuat. Ia meremas dadanya yang tiba-tiba sesak. Hidungnya menghirup udara banyak-banyak untuk mengisi paru-parunya yang kosong.
Yang tadi itu … Arion, ‘kan? Arion yang itu? Dia pakai baju olahraga yang kukembalikan tadi pagi? pikir Val terkejut.
Ia menepuk-nepuk pipinya mengecek apakah ia masih tidur atau sudah bangun. Pipinya terasa panas. Itu artinya hal yang terjadi hari ini adalah kenyataan. Kenyataan yang tidak pernah ia bayangkan sama sekali.
Kedatangan Saga yang menggeser kursi lalu duduk di sana, membawa Val kembali dari lamunan. Ia bisa merasakan tatapan Saga yang menusuk. Benak Val mulai berpikir macam-macam.
Apa yang mereka bicarakan di dalam? Apakah mereka membicarakanku? Jangan ge-er, Val! Memangnya siapa kamu? Kamu pegawai di sini!
“Jangan melamun! Lekas lakukan tugasmu!” tegur Saga tanpa menoleh.
“Iya, Pak …,” jawab Val lirih.
Val, kamu di sini untuk bekerja! Jangan memberikan kesan jelek di hari pertamamu bekerja! Val menyemangati dirinya sendiri. Ia pun mulai membaca berkas yang Saga berikan tadi.
Sepanjang sisa hari itu, Val berusaha memusatkan konsentrasi dalam bekerja hingga sebuah pesan muncul di monitornya. Ia terbelalak membaca kalimat yang tertulis di aplikasi pesan kantor itu.
“Val, bisa ke ruanganku sebentar?” Nama pengirim pesan itu adalah Arion. Pria yang ia kenal tanpa sengaja beberapa hari lalu, yang sekarang menjadi atasannya di perusahaan ini.
Bagaimana mungkin kebetulan ini terjadi dua kali dalam waktu berdekatan? Val terperangah. Ia menatap kosong pada monitor di depannya.
Val belum─lebih tepatnya─ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia masih sibuk meyakinkan diri bahwa ini bukanlah mimpi. Jika peristiwa ini ada dalam sebuah drama atau novel, ia akan percaya begitu saja. Tidak mungkin kenyataan ini akan seindah tayangan yang ia tonton, jika bukan dalam mimpi.
Kali ini tangan Val mencubit pipinya sendiri. Siapa tahu ia tadi ketiduran waktu mempelajari setumpuk berkas pekerjaan yang rasanya tidak berkurang sedikit pun.
“Aduh!” pekiknya dengan suara tertahan. Terasa sakit. Berarti ini kenyataan.
Bolehkah aku sebahagia ini? Apakah pangeran itu jadi milikku? Harapannya melambung tinggi. Tanpa sadar pipinya memerah. Untung saja Saga sedang tidak berada di tempat. Entah dia ada di mana, Val tidak peduli.
Tiba-tiba saja Val tersadar. Ia menggelengkan kepala kuat-kuat berusaha menepis semua pemikiran konyolnya. Nggak! Nggak mungkin! Jangan ge-er, Val!
Setelah menghela napas beberapa kali, Val berdiri lalu berjalan ke ruang kaca itu. Ia merasakan pandangan Rara, Dewi, dan Sandy tertuju ke arahnya. Namun, ia tak mempedulikannya.
Aku nggak tahu apa alasan dia memanggilku. Tapi, sebaiknya aku bersikap sewajarnya saja! kata hatinya tegas.
Dalam sekali tarikan napas, Val mengetuk pintu lalu masuk. Saga yang baru keluar dari toilet melihatnya.
“Se-selamat sore.” Val menyapa gugup. Di depannya duduk seseorang yang telah mengusik hari-harinya dengan impian dan harapan.
“Seperti katamu tadi, ternyata Tuhan mengizinkan kita bertemu lagi, Valerie,” ucap Arion sambil tersenyum.
Val salah tingkah. Ia tak berani menatap Arion. Kepalanya menunduk, tapi sudut matanya menyusuri ruangan Arion. Ruang kaca itu tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Selain meja kerja dan lemari kayu di belakangnya, sebuah sofa panjang menempel di dinding seberangnya.
“Ma-maaf, kalau saya tidak sopan.” Val memberanikan diri bersuara.
Seketika Arion tertawa. “Nggak perlu sungkan. Aku bukan bos yang galak kok.”
“Ta-tapi, tetap saja ... Bapak adalah atasan saya di sini,” kata Val. Kedua tangannya saling meremas di balik punggung.
“Hmm ... iya juga sih.” Arion terlihat berpikir sejenak. “Begini saja, kalau di depan yang lain, kamu boleh formal panggil aku. Tapi, kalau berdua saja seperti sekarang, kamu panggil aku Arion saja. Ide bagus, ‘kan?”
Apa orang ini sedang merayuku? Santai sekali dia mengatakannya. Hati Val semakin tak keruan.
“Nggak pakai tapi-tapian,” kata Arion cepat saat Val akan membuka mulut.
Val masih mematung di depan Arion yang terus mengamatinya sambil tersenyum.
“Bagaimana hari pertamamu kerja? Sudah bisa menguasainya?” tanya Arion. Ia berjalan ke depan meja dan duduk di sana. Tubuh yang tegap dan wajah yang tampan itu kini berhadapan langsung dengan Val yang semakin gugup.
“Saga galak, ya?” tanyanya lagi masih dengan senyumnya yang tidak berubah.
Val tidak bisa menjawab. Jantungnya berdetak cepat. Tangannya basah oleh keringat. Ya ampun, pesona orang ini nggak main-main! Ya Tuhan, kasihanilah jantungku!
“Bilang saja padaku, kalau dia terlalu galak memarahimu.”
“E-enggak, Pak ... ah, Arion,” jawab Val tersipu.
“Panggil Rion saja. Anak-anak semua memanggilku Pak Rion.”
Apa-apaan ini? Dia benar-benar ...! Hati Val menjerit. Hal ini terlalu indah untuk menjadi sebuah kenyataan.
Entah sudah berapa lama Val berdiri dengan Arion yang masih menatapnya. Mungkin ia akan terus berdiri di sana hingga jam kerja berakhir dan kakinya keram jika pintu ruangan itu tidak terbuka.
Saga muncul di balik pintu lalu masuk begitu saja menghadap Arion. Ia melirik sekilas pada Val yang menatapnya takut.
“Rupanya kau yang membuat orangku menelantarkan pekerjaannya,” kata Saga ketus.
Val tampak pucat, sementara Arion malah tertawa.
“Cuma pinjam sebentar saja kok,” ujarnya. “Kamu boleh keluar sekarang, Val.” Ia menambahkan sambil memberi anggukan pada Val.
“Sa-saya permisi.” Val menunduk lalu cepat-cepat keluar dari ruangan itu.
Saga mengamati Val yang keluar terburu-buru dengan kepala menunduk dalam. Setelah pintu tertutup, ia menatap Arion dengan pandangan tak mengerti.
Atasan sekaligus sahabat Saga sejak kuliah itu kembali ke tempat duduknya sambil tersenyum. “Kamu baik-baik, ya, sama Val. Jangan galak-galak,” katanya.
Pria di depan Arion itu tampak kebingungan, lalu terbelalak kaget. “Jadi ... dia orangnya?”
“Jadi, dia yang membuatmu senyum-senyum sendiri seperti orang gila?” Saga mencondongkan tubuhnya pada Arion yang kini tertawa kecil. “Kamu ingat waktu aku meneleponmu hari Jumat lalu?” Arion melihat anggukan Saga lalu melanjutkan, “Itu pertemuan pertamaku dengannya. Kalau tidak salah, waktu itu ada interview untuk mengisi kekosongan di tempatmu, ‘kan? Kamu nggak ketemu dia?” Saga menggeleng. “Nggak. Aku serahkan semuanya pada Fanny. Aku yakin dia sudah paham orang seperti apa yang kucari.” “Sayang sekali. Kalau saja kamu sempat bertemu dengannya. Dia lucu sekali tahu waktu baju ini ketumpahan kopi yang kubawa. Nggak sengaja sih.” “Maksudnya?” Saga tidak mengerti. Memang sejak beberapa hari lalu sahabatnya ini bertingkah aneh. “Kamu mau tahu cerita lengkapnya?” “Nggak tertarik!” jawab Saga cepat. Namun, di dalam hatinya ia penasaran apa yang membuat Arion bisa jatuh cinta pada pandangan pertama dengan pegawai baru itu. Biasanya
Val menutup pintu ruangan Arion dengan cepat lalu duduk di kursinya. Ia menghela napas lega seolah beban berat telah terangkat dari dadanya. Dengan satu tangan, ia mengusap keringat yang mengucur di dahi dan leher. “Aku harus minum,” gumamnya sambil beranjak menuju pantri. Ia mengambil gelas di lemari dan mengisinya dengan air. “Kamu ngapain tadi di ruang pak Rion lama sekali?” Tiba-tiba saja Rara sudah berdiri di sampingnya. Ia juga melakukan hal yang sama seperti Val. Sedikit tersedak, Val menatap Rara. “Bu-bukan apa-apa. Hanya bertanya sedikit tentang pekerjaanku,” katanya berbohong. Ia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. “Nggak kayak biasanya deh,” celetuk Rara. “Dua orang sebelum kamu, Pak Rion nggak pernah begitu tuh!” “Oh, aku nggak tahu. E-entahlah, mungkin suka-suka dia aja.” Val gugup dan khawatir kebohongannya akan terungkap. Rara mengangguk. Ia lalu kembali ke mejanya dengan membawa segelas air. Tak lama Val juga mening
Pukul delapan kurang sepuluh menit, pintu lift terbuka. Val melangkah masuk ke ruangan di lantai 15 itu dan mendapati Saga sudah berada di sana. Pria itu sedang menatap serius pada monitornya. Val melihat sekeliling. Rara dan lainnya, bahkan kepala bagian sebelah sana belum tampak tanda-tanda kehadirannya. Pagi banget datangnya, gumam Val dalam hati. Ia mendekati meja dan menyapanya, “Selamat pagi, Pak.” Tidak mendapatan jawaban dari Saga, Val pun meletakkan tas dan hendak duduk di kursi. Belum juga pantatnya menyentuh kursi, seniornya itu berkata, lebih tepatnya memerintah, “Val, coba kau cek di halaman itu. Catat dan beri koreksi untuk ke depannya. Kau lihat post-it itu?” Val menatap kertas kuning yang tertempel di monitornya yang sudah menyala. Ada tulisan yang mirip coretan di kertas kecil itu. “Kau buka tautan itu. Pelajari isinya, dan berikan pendapat atau ide tambahan untuk menaikkan jumlah kunjungan.” Saga menambahkan
Val mendelik tak percaya membaca pesan yang dikirim Arion. Sesungguhnya ia melonjak girang dan bisa saja menjawab ‘iya’, tapi posisinya tidak memungkinkan untuk itu. Dia adalah orang baru di kantor ini dan ingin terus bekerja di sini. Apa yang akan terjadi jika ia begitu saja menerima tawaran Arion? Sesuka apa pun Val padanya, ia tak mungkin mengorbankan pekerjaan ini. Lagi pula di mana ada Arion, pasti akan ada Saga, bukan? Dua orang itu seperti lem dan perangko. Orang pacaran pun mungkin akan kalah dengan kedekatan mereka. Val tidak ingin Saga akan semakin menganggapnya rendah. Begitu pula Saga. Pria itu pasti tidak akan suka dirinya dekat-dekat dengan atasannya. Untuk sementara fokus pekerjaan dulu. Urusan hati dan cinta bisa menunggu, putus Val. Ia lalu mengetikkan balasannya, “Maaf, Pak, saya nggak bisa.” “Karena Saga?” Pesan Arion masuk beberapa detik kemudian. Val terkejut. Sudut matanya melirik Saga yang sedang menyeruput kop
Arion sedang duduk di kursi kerjanya saat gadis pujaannya masuk dengan gugup. Senyum tipis mengembang di wajah tampannya. Saga yang berdiri di depannya melotot tak senang, tapi ia tidak peduli. Manik hitamnya masih melekat pada Val yang bergerak kaku di sana. Sejujurnya Val kebingungan hendak duduk di mana. Sofa yang menempel di dinding sudah penuh oleh Rara dan lainnya. Akhirnya ia memutuskan untuk berdiri saja di sebelah sandaran sofa tempat Rara berada. “Sori, Val, sudah penuh,” bisiknya. Val mengangguk dan tersenyum. Matanya menangkap buku kecil dan pulpen di pangkuan Rara dan lainnya. Mendadak Val sadar, ini adalah meeting pertamanya dan ia tidak membawa apa pun. Uh, oh! Bodoh sekali kamu, Val! rutuknya dalam hati. Ia meremas tangannya yang mulai basah dan kebas. Sementara Val berdiri kikuk, dua pria tampan itu sama-sama menatap ke arahnya. Yang satu memandang dengan senyum di bibirnya, satunya lagi dengan mata menyipit
Saga membereskan meja dan mematikan komputernya setelah keluar dari ruangan Arion. Ia sudah memperingatkan sahabatnya sekali lagi untuk tidak mengganggu Val di kantor. Namun, sepertinya Arion sudah tergila-gila pada gadis itu, dan tidak menghiraukan ucapannya. Itu yang membuat Saga semakin kesal. Val yang masih menyelesaikan pekerjaan terakhirnya, mengamati Saga diam-diam dari ekor matanya. Ternyata Arion bisa juga membuat orang ini kesal! pikirnya. “Kau bereskan semua. Dan jangan lupa mematikan komputermu!” Saga memerintah sebelum ia pergi tanpa mendengar jawaban Val. Tak lama, Arion pun keluar dari ruangan dan berpamitan pada Val yang dibalas dengan anggukan pelan. Pria itu juga melakukan hal yang sama pada Rara dan lainnya. Setelah Arion turun, Rara langsung menyerbu Val dengan rentetan pertanyaan. Demikian juga Dewi dan Sandy yang terlihat bersemangat. “Val! Apa-apaan tadi itu?” sembur Rara. Ia menarik Val berdiri setelah mengambi
“Selamat malam, Val. Semoga kamu tidak keberatan aku mengirim pesan ini.” Begitu kalimat yang muncul di layar. Val segera mengelap mulutnya dan membalas pesan itu. “Malam, Pak. Nggak, sama sekali nggak keberatan,” tulisnya. “Ada apa, Pak? Apa ada masalah dengan pekerjaan saya?” Ia menambahkan setelah berpikir sejenak. Mungkin Saga melaporkan sesuatu tentang hasil kerjanya pada Arion. Arion membalasnya dengan emotikon tertawa. Di bawahnya ia menulis, “Nggak. Bukan masalah pekerjaan. Aku hanya merasa kamu jadi canggung setelah tahu siapa aku. Berbeda dengan pertemuan pertama kita.” Val mendelik membacanya. Ia bingung harus menjawab apa. Akhirnya ia hanya membalas, “Iya.” Dan pesan-pesan berikutnya terus muncul. “Sudah kubilang ‘kan waktu itu, di luar jam kerja atau berdua saja, bicara santai denganku. Aku hanya manusia biasa bukan raja atau presiden. Jangan membebani dirimu dengan pikiran seperti itu.” Val ter
“Bagaimana dia?” Arion bertanya setelah menyuap nasi ke dalam mulutnya. Saga yang sedang menggigit sepotong ayam goreng menaikkan sebelah alisnya. “Val,” jelas Arion memahami ekspresi Saga. “Kenapa?” tanya Saga. Ia kini menyendok nasi dengan sambal. “Kerjanya. Apa dia bisa mengikuti cara kerjamu?” Saga menggeleng. “Belum. Dia belum konsisten. Kadang cepat dan paham. Tapi, lebih sering lambat dan membuat kepalaku sakit, karena harus mengecek ulang. Sama saja dua kali kerja.” “Sabarlah … baru juga beberapa hari.” Arion menepuk bahu Saga. “Pokoknya─” “Iya, iya, aku tahu,” potong Arion sebelum Saga menuntaskan kalimatnya. Memang, sebisa mungkin Arion menuruti permintaan Saga. Ia sudah tidak mengganggu Val selama jam kerja selain hanya untuk mengajaknya makan siang. Nyatanya, gadis itu masih bergeming. Ajakan makan malam ataupun sekadar mengantar pulang juga ditolaknya. Arion masih bisa menelepon Val di malam
“Ga …?” “Ah, apa …?” Saga baru tersadar ketika Val menggoyang-goyangkan lengan jasnya. Val menatap pria yang kini sudah menjadi suaminya. Ia lalu memandang arah yang tadi dilihat Saga, tetapi tidak menemukan ada yang aneh di sana. “Kenapa lihat ke sana terus? Sudah waktunya kita turun,” katanya. “Oh, ayo.” Saga menggandeng tangan Val dan membantunya turun dari panggung. Tak lama, Val dan Saga duduk bersama keluarga mereka. Menikmati jamuan makan malam yang disediakan. Obrolan ringan juga turut mewarnai kehangatan keluarga baru itu. Beberapa jam kemudian, acara selesai. Seluruh tamu undangan sudah meninggalkan gedung. Para keluarga sebagian meninggalkan gedung, sebagian lagi menginap di hotel yang sama dengan Val dan Saga. Mereka memang sengaja menyediakan kamar kosong untuk beberapa keluarga yang tinggal di luar kora, seperti Tante Icha dan Riska. Val dan Saga diantar Kaira dan Arion ke kamar hotel mereka. Kaira tampak bahagia dengan senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya.
“Kamu sudah yakin, Val?” Rima bertanya pada putrinya karena sedikit khawatir. Val mengangguk dan tersenyum. “Iya. Masa sudah begini, masih ditanya lagi sih?” Rima tersenyum sedikit. “Kamu bisa bilang ke Mama, Val. Nanti Mama yang akan cari cara.” Kali ini Val menggeleng. “Nggak usah, Ma. Memangnya Mama berani bilang sama Tante Diana? Dia teman baik Mama, ‘kan?” Rima diam sejenak lalu menjawab, “Iya, tapi … Mama rasa dia akan mengerti, Val.” “Nggak usah, Ma. Val baik-baik saja kok. Mama juga sudah lihat sendiri, ‘kan?” Val memamerkan senyum terbaik dan tercantiknya. “Saga pasti juga begitu.” Rima menatap putrinya sekali lagi. Val pun mengangguk untuk meyakinkan sang ibu. “Baiklah kalau begitu. Mama keluar dulu. Tamu-tamu sudah banyak yang datang.” Rima berdiri lalu keluar dari ruangan itu. Val mengantarnya dengan senyum bahagia. Ketika pintu di depannya tertutup, senyumnya memudar. Sungguh merupakan keputusan yang sulit baginya, tapi ia harus melakukannya. Sementara itu, di rua
“Aaah … capek juga ternyata bikin kue!” keluh Val sambil mengempaskan tubuh ke tempat tidur. Ia baru saja memasukkan dua loyang kue ke oven dan mengatur waktunya. Sambil menunggu, ia berniat beristirahat sebentar. Dari luar, Val bisa saja tertawa lepas seolah tidak ada yang mengusiknya. Namun, hatinya menjeritkan rindu yang sama pada seseorang. Berbagai kenangan bersama Saga mulai bermunculan, menggoda dirinya, dan membawanya kembali ke masa lalu yang jauh. Masa-masa di mana ia sama sekali tidak menyadari perhatian-perhatian kecil Saga padanya. “Aku mau ke kantin! Ada yang titip?” tanya Nita sambil berdiri. Saat itu, tim mading yang terdiri dari Saga, Val, Nita, Noah, dan Andi, sedang mengerjakan proyek minggu ini. Mereka berkumpul di ruang OSIS sepulang sekolah. Segera anak-anak menyebutkan pesanannya dan Nita pun berlalu. Val tidak pernah mengetahui bahwa saat itu Saga selalu memperhatikan gerak-geriknya. Apa pun yang ia lakukan, selalu mampu membuat senyum Saga mengembang. Namun
Val terbangun di Minggu pagi yang cerah. Sinar matahari sudah masuk dari jendela yang terbuka lebar. Kehangatannya memenuhi kamar dan tubuh Val yang masih memeluk guling, sambil mengejap-ngejapkan mata untuk menyesuaikan perubahan yang mendadak. Beberapa detik kemudian tubuh Val tegak di tempat tidur dengan rambut kusut dan wajah kusam. Samar-samar telinganya menangkap percakapan di luar. Ada suara ibunya dan suara lain yang tidak ia kenal. “Maaf, Bu Rima, sudah ganggu pagi-pagi.” “Oh, nggak apa-apa, Bu. Saya yang terima kasih karena sudah diberi ini.” “Itu cuma hasil kebun dari kampung, Bu. Kebetulan kemarin baru pulang dari sana.” “Pantesan kelihatan segar ini. Terima kasih banyak, Bu Nuri.” “Sama-sama, Bu. Baiklah, saya permisi dulu.” “Silakan.” “Siapa itu? Tetangga?” gumam Val lalu beringsut turun dari tempat tidur dan keluar. Baru saja ia menutup pintu di belakangnya, sang ibu muncul sambil membawa dua sisir pisang ambon di tangan. “Sudah bangun, Val?” sapa Rima. Val men
Hari pun berganti. Biasanya di akhir pekan banyak pasangan menghabiskan waktu bersama, termasuk Val dan Saga. Namun, kali ini berbeda. Pasangan yang dalam satu minggu ke depan akan melangsungkan pernikahan itu sedang ditimpa masalah. Masing-masing menghabiskan waktu di tempat yang berbeda dengan sikap yang berbeda pula. Saga seperti orang gila yang kehilangan sesuatu yang teramat berharga baginya. Telepon dari calon mertuanya membuatnya tersiksa sepanjang malam hingga tidak bisa tidur. Hari yang seharusnya cerah ini terasa begitu buruk bagi Saga. Sedari pagi, pria itu mondar-mandir di apartemennya. Seluruh penampilannya tampak berantakan. Botol-botol minuman berserak di meja dan lantai membuat ruangan itu sudah seperti kapal pecah. Bel pintu berbunyi. Buru-buru Saga membukanya dan langsung membentak. “Kai! Arion! kenapa kalian lama sekali?! Kenapa baru datang?!” Arion dan Kaira saling berpandangan lalu mengembuskan napas kesal. “Gimana bisa cepat kalau baru setengah jam lalu kau
Di ruang kerjanya, Arion mengamati layar ponsel yang berisi panggilan dari Val. Beberapa waktu lalu, gadis itu meneleponnya. Meminta izin tidak masuk hari ini. Ia sudah menduga ada sesuatu yang terjadi dengan dua sahabatnya itu. Tanpa mendapat jawaban yang sebenarnya, ia malah mendengar sesuatu yang tidak disangkanya sama sekali. Bentakan Saga, jeritan Val, ia mendengar semuanya dari ponsel yang tidak dimatikan dengan benar. Tidak tahan membayangkan apa yang terjadi di sana, Arion menekan tombol merah. “Apa yang kamu lakukan, Ga? Kenapa kamu begitu? Kenapa kalian seperti ini?” Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Arion. Andai saja ia bisa merebut gadis itu kembali, ia akan melarang Saga berbuat sesukanya. Sekarang ini, ia tidak berdaya untuk membantu apa pun. Itu sudah di luar kendalinya, bukan haknya. Arion mengangkat kepala ketika Saga muncul di ambang pintu ruangannya. Wajahnya tampak kacau dan ia sangat gugup. “Rion …,” katanya lirih. Arion berdiri dan mendekati Saga.
Val yang sangat merindukan kekasihnya itu membalas cumbuan Saga di bibirnya. Namun, beberapa detik kemudian ia mendorong pria itu menjauh. Wajahnya merah. “Kenapa?” Saga heran. “Ini nggak benar,” jawab Val. “Apanya yang nggak benar?” “Masalah ini, nggak semudah itu selesai.” Saga membawa wajah Val menatapnya. “Apanya yang belum selesai?” “Apa buktinya kalau wanita itu nggak akan menganggumu lagi?” “Aku sudah melarangnya. Aku sudah memintanya untuk nggak ganggu aku, kita. Apa lagi?” “Kamu yakin dia akan menurut begitu saja? Kulihat, dia orang yang selalu bisa mendapatkan keinginannya. Dia nggak semudah itu menyerah.” “Lalu, apa maumu, Val? Aku sudah nggak mau lagi berurusan dengannya.” Val masih menatap Saga mencari kebenaran di sana. “Begini saja, kalau sampai dia menghubungiku lagi, aku akan melaporkannya ke polisi. Bagaimana?” “Apa akan berhasil?” “Aku nggak tahu, tapi nggak ada
Setelah Erin pergi dengan wajah tak percaya dan tidak terima diperlakukan begitu, Saga terduduk di sofa dengan kepala sakit. Semua tampak berputar-putar di depan matanya. Bayangan wajah Val yang menangis membuatnya merasa jadi manusia paling bodoh di dunia. Ia merasa bersalah dan rasa itu lebih menyakitkan daripada saat Erin meninggalkannya. Tidak punya pilihan lain, Saga menghubungi seseorang yang ia percaya. “Aku butuh bantuanmu.” Sementara itu, Val menangis dalam diam di kamarnya. Ia ingin memercayai ucapan Saga, tapi apa yang dilihatnya tadi begitu menyakitkan. Sungguh ia tidak bisa membayangkan perjalanan cintanya akan sesulit ini. Pernikahan yang sudah di depan mata, bagaimana nasibnya, ia tidak tahu. Ponsel Val yang bergetar menghentikan isak tangisnya begitu melihat nama peneleponnya. Buru-buru ia menghapus sisa-sisa kesedihan dan mengatur napasnya, sebelum menjawab. “Val, kamu belum tidur?” Rima, ibunya menyapa. “Ah, Mama. Be
Val menatap gedung apartemen yang menjulang tinggi di depannya. Rasanya baru sebentar lalu ia berlari ke gedung sebelah ketika mendengar Saga sakit. Kini, menatapnya hanya menambah garam di atas lukanya. Ia teringat perkataan Noah bahwa Saga butuh waktu.Meski begitu, Val benar-benar merindukan Saga. Ia ingin bertemu dengannya. Ia juga telah membuat sebuah keputusan, dengan harapan itu akan membantu Saga menyelesaikan masalah ini.Kaki Val melangkah dengan mantap ke apartemen Saga. Ia sudah mempunyai kuncinya, jadi tidak ada masalah bila langsung mendatanginya, ‘kan? Ia akan menunggu jika Saga belum pulang dari urusannya, entah apa itu.Niat seringkali bertolak belakang dengan keberanian. Tangan Val bergetar ketika hendak memindai nomor kartu di pintu. Jantungnya berdegup kencang. Ia kemudian bimbang, apakah ini tindakan yang tepat? Namun, tekadnya sudah bulat. Ia pun membuka pintu itu. Sayangnya, apa yang ia lihat di dalam sana tidak sesuai dengan keingin