“Jadi, dia yang membuatmu senyum-senyum sendiri seperti orang gila?” Saga mencondongkan tubuhnya pada Arion yang kini tertawa kecil.
“Kamu ingat waktu aku meneleponmu hari Jumat lalu?” Arion melihat anggukan Saga lalu melanjutkan, “Itu pertemuan pertamaku dengannya. Kalau tidak salah, waktu itu ada interview untuk mengisi kekosongan di tempatmu, ‘kan? Kamu nggak ketemu dia?”
Saga menggeleng. “Nggak. Aku serahkan semuanya pada Fanny. Aku yakin dia sudah paham orang seperti apa yang kucari.”
“Sayang sekali. Kalau saja kamu sempat bertemu dengannya. Dia lucu sekali tahu waktu baju ini ketumpahan kopi yang kubawa. Nggak sengaja sih.”
“Maksudnya?” Saga tidak mengerti. Memang sejak beberapa hari lalu sahabatnya ini bertingkah aneh.
“Kamu mau tahu cerita lengkapnya?”
“Nggak tertarik!” jawab Saga cepat. Namun, di dalam hatinya ia penasaran apa yang membuat Arion bisa jatuh cinta pada pandangan pertama dengan pegawai baru itu.
Biasanya para wanitalah yang mengejar dan mendekati Arion. Pria itu akan melakukan pendekatan lebih lanjut setelah beberapa waktu mengenalnya. Hal itu pula yang membuatnya mendapat predikat playboy. Padahal Arion selalu bersungguh-sungguh dengan wanita yang dikencaninya. Yang terjadi, justru merekalah yang meninggalkan Arion setelah mendapat apa yang diinginkan, uang dan popularitas.
Kalau dipikir-pikir lagi, bodoh sekali mereka. Tak jarang Saga ikut emosi mendengarnya. Arion adalah CEO usia tiga puluhan yang tampan dan mapan. Dia anak tunggal dari pengusaha kaya yang kini tinggal di luar negeri. Jaringan bisnisnya luas baik di dalam maupun di luar negeri.
Sebenarnya Arion bisa saja mewarisi perusahaan dan kekayaan orang tuanya. Namun, laki-laki yang cerdas itu lebih memilih mendirikan perusahaan sendiri bersamanya. Bertiga mereka merintis perusahaan yang kini berkembang pesat dan bisa bersaing dengan perusahan lainnya.
Dunia tulis menulis yang sejak dulu digeluti Saga kini berada dalam genggaman mereka secara daring. Sudah banyak penulis-penulis pemula yang lahir dari tangan dingin mereka. Tak hanya itu, banyak perusahaan lain yang memasang iklan di halaman daring mereka sehingga mendapat keuntungan yang lumayan.
Saga menatap binar mata Arion. Kali ini semuanya berbeda. Arion yang jatuh cinta lebih dulu dan berniat mendekatinya. Entah apakah cintanya akan terbalas atau sama seperti sebelum-sebelumnya.
Tanpa sadar, Saga hanyut dalam cerita Arion. Ia mendengarkannya masih dengan tatapan tak percaya. Sahabatnya itu menceritakan awal mula pertemuannya dengan Val, termasuk kesengajaannya menabrak wanita itu dengan maksud tersembunyi.
“Wow!” cetus Saga setelah Arion selesai. “Nggak masuk akal! Kebetulan yang luar biasa!” Ia berdecak sambil menggelengkan kepala. “Tapi, nggak bisa dibilang kebetulan juga, ‘kan? Kau yang sengaja menabraknya.”
Arion terkekeh. “Walaupun pepatah bilang kalau jodoh nggak bakal ke mana, tapi kalau nggak dicari juga nggak bakal ketemu. Itu adalah usahaku untuk mendapatkannya.”
“Terserahlah!” Saga mengibaskan tangannya. Matanya tertuju pada Arion yang masih saja tersenyum, lalu mengamati pakaian yang melekat di tubuh atletis itu. “Jadi, itu sebabnya kau nggak mengganti pakaianmu? Bau tahu!”
Arion tertawa keras.
“Segitunya ingin di-notice!” Saga mencebik.
“Terus, bagaimana cara mendekatinya, ya? Sepertinya dia jadi agak sungkan karena aku atasannya.” Arion bertanya serius.
Saga yang tidak peduli, mengangkat bahunya.
“Ga, kamu punya saran nggak? Bantu aku dong!”
“No! Memangnya kau nggak bisa usaha sendiri?”
“Iya, tapi aku butuh bantuanmu. Kamu ‘kan sudah pernah menjalani hubungan yang cukup lama dengan wanita? Ya … walaupun putus juga sih.”
Saga mendelik mendengar ucapan sahabatnya. “Bukannya kau yang lebih sering dikelilingi wanita? Sudah berapa banyak wanita yang kau dekati selama ini?”
Arion tertawa kecil sambil memutar-mutar kursinya. “Kamu tahu sendiri bagaimana para wanita itu. Mereka hanya menginginkan uangku saja. Padahal kalau mereka mau serius, mereka akan mendapatkan lebih dari itu.”
“Mereka saja yang bodoh!”
“Ya, sudahlah! Lupakan mereka. Sekarang, kamu bisa tolong aku untuk mendekati gadis itu?”
Saga melirik Arion sekilas. “Nggak! Nggak bisa!” tolaknya. Kepalanya menggeleng cepat. “Jangan mencampur urusan pribadi dan pekerjaan! Kau urus sendirilah!”
“Please!” Arion memohon seperti anak kecil.
“Cih! Kau ini kayak ABG saja!”
“Ya … paling nggak, kamu jangan galak-galak sama dia. Nanti kalau dia keluar dari sini gara-gara nggak betah bagaimana?”
“Tinggal cari lagi, ‘kan?”
“Hei, Ga.” Arion menurunkan nada suaranya, tapi ada ketegasan di dalamnya. “Jangan kira aku nggak tahu, kalau turnover rate kita sebulan terakhir ini yang paling tinggi selama kita bekerja. Dan itu gara-gara kamu. Kamu terlalu galak sih!”
Saga mengembuskan napas keras. “Ya, bagaimana lagi. Semuanya nggak becus. Lebih banyak mengeluh dan menuntut daripada menunjukkan kemampuannya.”
“Aku heran saja, kok bisa Anita betah sama kamu. Sayangnya, dia harus keluar mendadak karena pendarahan dan melahirkan. Sekarang, jadi kelabakan mencari pengganti sebagus dia.”
Saga tersenyum bangga. “Itu karena didikanku. Aku mengajarinya dengan baik sehingga kinerjanya bagus.”
“Nah, kamu ajari Val seperti kamu mengajari Anita. Bisa, ‘kan?”
“Tergantung. Apakah dia mau mendengar ajaranku, atau keras kepala.”
“Ya, terserahlah. Yang penting, kurangi kegalakanmu kalau nggak mau kesulitan mencari pengganti lagi.” Arion mengingatkan.
“Kalau kerjanya bagus, aku juga nggak bakal galak. Ini semua ‘kan demi perusahaanmu juga,” tutup Saga. Ia juga lelah harus mengajari orang baru lagi, padahal pekerjaannya sendiri sudah cukup banyak.
Harapan Saga hanya satu. Semoga pengganti Anita kali ini benar-benar kompeten dan serius bekerja.
Awas, saja kalau kedekatan Arion membuat pekerjaannya berantakan! geram Saga dalam hati sebelum keluar dari ruangan.
Wah, Saga ini tipe-tipe yang bisa bikin author semaput hehehe Bagaimana menurut kalian? Jangan lupa, klik langganan biar ga ketinggalan kelanjutannya. Terima kasih :)
Val menutup pintu ruangan Arion dengan cepat lalu duduk di kursinya. Ia menghela napas lega seolah beban berat telah terangkat dari dadanya. Dengan satu tangan, ia mengusap keringat yang mengucur di dahi dan leher. “Aku harus minum,” gumamnya sambil beranjak menuju pantri. Ia mengambil gelas di lemari dan mengisinya dengan air. “Kamu ngapain tadi di ruang pak Rion lama sekali?” Tiba-tiba saja Rara sudah berdiri di sampingnya. Ia juga melakukan hal yang sama seperti Val. Sedikit tersedak, Val menatap Rara. “Bu-bukan apa-apa. Hanya bertanya sedikit tentang pekerjaanku,” katanya berbohong. Ia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. “Nggak kayak biasanya deh,” celetuk Rara. “Dua orang sebelum kamu, Pak Rion nggak pernah begitu tuh!” “Oh, aku nggak tahu. E-entahlah, mungkin suka-suka dia aja.” Val gugup dan khawatir kebohongannya akan terungkap. Rara mengangguk. Ia lalu kembali ke mejanya dengan membawa segelas air. Tak lama Val juga mening
Pukul delapan kurang sepuluh menit, pintu lift terbuka. Val melangkah masuk ke ruangan di lantai 15 itu dan mendapati Saga sudah berada di sana. Pria itu sedang menatap serius pada monitornya. Val melihat sekeliling. Rara dan lainnya, bahkan kepala bagian sebelah sana belum tampak tanda-tanda kehadirannya. Pagi banget datangnya, gumam Val dalam hati. Ia mendekati meja dan menyapanya, “Selamat pagi, Pak.” Tidak mendapatan jawaban dari Saga, Val pun meletakkan tas dan hendak duduk di kursi. Belum juga pantatnya menyentuh kursi, seniornya itu berkata, lebih tepatnya memerintah, “Val, coba kau cek di halaman itu. Catat dan beri koreksi untuk ke depannya. Kau lihat post-it itu?” Val menatap kertas kuning yang tertempel di monitornya yang sudah menyala. Ada tulisan yang mirip coretan di kertas kecil itu. “Kau buka tautan itu. Pelajari isinya, dan berikan pendapat atau ide tambahan untuk menaikkan jumlah kunjungan.” Saga menambahkan
Val mendelik tak percaya membaca pesan yang dikirim Arion. Sesungguhnya ia melonjak girang dan bisa saja menjawab ‘iya’, tapi posisinya tidak memungkinkan untuk itu. Dia adalah orang baru di kantor ini dan ingin terus bekerja di sini. Apa yang akan terjadi jika ia begitu saja menerima tawaran Arion? Sesuka apa pun Val padanya, ia tak mungkin mengorbankan pekerjaan ini. Lagi pula di mana ada Arion, pasti akan ada Saga, bukan? Dua orang itu seperti lem dan perangko. Orang pacaran pun mungkin akan kalah dengan kedekatan mereka. Val tidak ingin Saga akan semakin menganggapnya rendah. Begitu pula Saga. Pria itu pasti tidak akan suka dirinya dekat-dekat dengan atasannya. Untuk sementara fokus pekerjaan dulu. Urusan hati dan cinta bisa menunggu, putus Val. Ia lalu mengetikkan balasannya, “Maaf, Pak, saya nggak bisa.” “Karena Saga?” Pesan Arion masuk beberapa detik kemudian. Val terkejut. Sudut matanya melirik Saga yang sedang menyeruput kop
Arion sedang duduk di kursi kerjanya saat gadis pujaannya masuk dengan gugup. Senyum tipis mengembang di wajah tampannya. Saga yang berdiri di depannya melotot tak senang, tapi ia tidak peduli. Manik hitamnya masih melekat pada Val yang bergerak kaku di sana. Sejujurnya Val kebingungan hendak duduk di mana. Sofa yang menempel di dinding sudah penuh oleh Rara dan lainnya. Akhirnya ia memutuskan untuk berdiri saja di sebelah sandaran sofa tempat Rara berada. “Sori, Val, sudah penuh,” bisiknya. Val mengangguk dan tersenyum. Matanya menangkap buku kecil dan pulpen di pangkuan Rara dan lainnya. Mendadak Val sadar, ini adalah meeting pertamanya dan ia tidak membawa apa pun. Uh, oh! Bodoh sekali kamu, Val! rutuknya dalam hati. Ia meremas tangannya yang mulai basah dan kebas. Sementara Val berdiri kikuk, dua pria tampan itu sama-sama menatap ke arahnya. Yang satu memandang dengan senyum di bibirnya, satunya lagi dengan mata menyipit
Saga membereskan meja dan mematikan komputernya setelah keluar dari ruangan Arion. Ia sudah memperingatkan sahabatnya sekali lagi untuk tidak mengganggu Val di kantor. Namun, sepertinya Arion sudah tergila-gila pada gadis itu, dan tidak menghiraukan ucapannya. Itu yang membuat Saga semakin kesal. Val yang masih menyelesaikan pekerjaan terakhirnya, mengamati Saga diam-diam dari ekor matanya. Ternyata Arion bisa juga membuat orang ini kesal! pikirnya. “Kau bereskan semua. Dan jangan lupa mematikan komputermu!” Saga memerintah sebelum ia pergi tanpa mendengar jawaban Val. Tak lama, Arion pun keluar dari ruangan dan berpamitan pada Val yang dibalas dengan anggukan pelan. Pria itu juga melakukan hal yang sama pada Rara dan lainnya. Setelah Arion turun, Rara langsung menyerbu Val dengan rentetan pertanyaan. Demikian juga Dewi dan Sandy yang terlihat bersemangat. “Val! Apa-apaan tadi itu?” sembur Rara. Ia menarik Val berdiri setelah mengambi
“Selamat malam, Val. Semoga kamu tidak keberatan aku mengirim pesan ini.” Begitu kalimat yang muncul di layar. Val segera mengelap mulutnya dan membalas pesan itu. “Malam, Pak. Nggak, sama sekali nggak keberatan,” tulisnya. “Ada apa, Pak? Apa ada masalah dengan pekerjaan saya?” Ia menambahkan setelah berpikir sejenak. Mungkin Saga melaporkan sesuatu tentang hasil kerjanya pada Arion. Arion membalasnya dengan emotikon tertawa. Di bawahnya ia menulis, “Nggak. Bukan masalah pekerjaan. Aku hanya merasa kamu jadi canggung setelah tahu siapa aku. Berbeda dengan pertemuan pertama kita.” Val mendelik membacanya. Ia bingung harus menjawab apa. Akhirnya ia hanya membalas, “Iya.” Dan pesan-pesan berikutnya terus muncul. “Sudah kubilang ‘kan waktu itu, di luar jam kerja atau berdua saja, bicara santai denganku. Aku hanya manusia biasa bukan raja atau presiden. Jangan membebani dirimu dengan pikiran seperti itu.” Val ter
“Bagaimana dia?” Arion bertanya setelah menyuap nasi ke dalam mulutnya. Saga yang sedang menggigit sepotong ayam goreng menaikkan sebelah alisnya. “Val,” jelas Arion memahami ekspresi Saga. “Kenapa?” tanya Saga. Ia kini menyendok nasi dengan sambal. “Kerjanya. Apa dia bisa mengikuti cara kerjamu?” Saga menggeleng. “Belum. Dia belum konsisten. Kadang cepat dan paham. Tapi, lebih sering lambat dan membuat kepalaku sakit, karena harus mengecek ulang. Sama saja dua kali kerja.” “Sabarlah … baru juga beberapa hari.” Arion menepuk bahu Saga. “Pokoknya─” “Iya, iya, aku tahu,” potong Arion sebelum Saga menuntaskan kalimatnya. Memang, sebisa mungkin Arion menuruti permintaan Saga. Ia sudah tidak mengganggu Val selama jam kerja selain hanya untuk mengajaknya makan siang. Nyatanya, gadis itu masih bergeming. Ajakan makan malam ataupun sekadar mengantar pulang juga ditolaknya. Arion masih bisa menelepon Val di malam
Pukul satu lewat sedikit Arion dan Saga kembali dari makan siang. Mereka langsung masuk ke ruangan kaca dan menutup pintunya.“Kenapa sih gadis itu nggak mau kuajak keluar?” Arion gusar sambil mondar-mandir di ruangannya.Saga yang duduk di sofa sambil mengecek tablet-nya tidak menjawab. Pria itu sibuk mengamati grafik kunjungan laman perusahaan.“Okelah dia menolak kalau makan siang karena masih di area kantor. Tapi, makan malam antar pulang, bahkan akhir pekan pun dia menolak?” Arion melanjutkan kegelisahannya.Saga mendongak dan mendapati Arion sedang menatapnya tajam. “Apa?” tanyanya dingin.“Jangan-jangan gara-gara kamu nih!” tuduh Arion seenaknya lalu duduk di kursinya.Saga mendengus kesal. “Val lagi? Jangan salahin aku. Dia sendiri kerja nggak benar! Nggak teliti, ceroboh, nggak disiplin. Ini sama saja sebelum dia masuk,” protesnya menghitung satu-satu kekurangan Va