Saga membereskan meja dan mematikan komputernya setelah keluar dari ruangan Arion. Ia sudah memperingatkan sahabatnya sekali lagi untuk tidak mengganggu Val di kantor. Namun, sepertinya Arion sudah tergila-gila pada gadis itu, dan tidak menghiraukan ucapannya. Itu yang membuat Saga semakin kesal.
Val yang masih menyelesaikan pekerjaan terakhirnya, mengamati Saga diam-diam dari ekor matanya. Ternyata Arion bisa juga membuat orang ini kesal! pikirnya.
“Kau bereskan semua. Dan jangan lupa mematikan komputermu!” Saga memerintah sebelum ia pergi tanpa mendengar jawaban Val.
Tak lama, Arion pun keluar dari ruangan dan berpamitan pada Val yang dibalas dengan anggukan pelan. Pria itu juga melakukan hal yang sama pada Rara dan lainnya.
Setelah Arion turun, Rara langsung menyerbu Val dengan rentetan pertanyaan. Demikian juga Dewi dan Sandy yang terlihat bersemangat.
“Val! Apa-apaan tadi itu?” sembur Rara. Ia menarik Val berdiri setelah mengambil tas.
“Pak Rion sama kamu?” Dewi ikut-ikutan bertanya sambil berjalan beriringan memasuki lift.
“Kamu sudah kenal Pak Rion, Val?” Sandy bertanya sambil menekan tombol turun. Pertanyaan itu sontak membuat Rara dan Dewi menoleh padanya. Mereka pun kompak membulatkan mata dan mulut.
“Ooohh…!” pekik mereka seolah memahami apa yang terjadi.
“Wah, Sandy, kamu peka banget ya!” puji Rara.
“Iya, Val, kamu sudah kenal sama Pak Rion?” ulang Dewi penasaran. “Dari gerak-geriknya sih iya. Kenal di mana? Kok bisa?”
“Bukan itu aja, Wi!” celetuk Rara. “Kayaknya Pak Rion naksir Val deh! Kalian tadi lihat sendiri ‘kan gimana perhatiannya?”
“Bener! Bela-belain berdiri biar Val bisa duduk!” timpal Dewi setuju.
Val bingung dengan semua pertanyaan dan tuduhan itu. Cepat-cepat ia menyanggah semuanya. “Nggak! Nggak kok! Nggak begitu! Mana mungkin! Hahaha!” Tawa sengau yang terdengar semakin membuat teman-temannya curiga.
“Kamu nggak pintar bohong, Val! Mukamu merah tuh!” cetus Rara sambil tertawa.
Val merasa wajahnya memanas. Ia berpikir denting lift yang menandakan mereka sudah sampai di lantai satu, akan melegakannya. Namun, justru membuat kebohongannya terbongkar.
Arion sedang duduk di lobi dan langsung berdiri begitu melihat Val keluar dari lift. Rara, Dewi, dan Sandy senyum-senyum sendiri sambil menyikut lengannya yang terjuntai lemas.
Ya, ampun, Arion … apa kamu nggak bisa memberiku waktu untuk bernapas? Kalau kayak gini, aku nggak yakin jantungku bakal kuat! Dada Val bergejolak.
“Dah, Val! Kami duluan, ya!” Rara dan lainnya bergerak meninggalkan Val. Mereka juga menyempatkan diri menyapa Arion yang terlihat santai dan tak peduli dengan tingkah bawahannya yang cekikikan.
“Kok belum pulang, Pak? Ada yang ditunggu nih sekarang!” canda Rara.
“Biasanya nunggu Pak Saga, sekarang ….” Dewi sengaja mengantung kalimatnya.
“Bosan nunggu Saga terus,” jawab Arion kemudian tertawa. Ia pun mendekati Val yang membeku di tempatnya.
Val merasa tidak enak ketika pandangan semua orang yang berada di sana tertuju padanya. Beberapa di antaranya tersenyum dan berbisik-bisik.
“So-sore, Pak,” sapanya gugup.
Tawa Arion menguar dengan menampakkan dua lekukan kecil di bawah pipinya. “Sekarang sudah bukan jam kerja lagi, ‘kan? Kamu bisa berbicara santai denganku,” katanya.
“Tapi … saya masih nggak enak, Pak,” tolak Val. “Sebelumnya saya juga berbuat salah sama Bapak. Kalau Bapak terlalu baik, saya merasa tidak tahu diri.”
“Oh, baju itu? Nggak masalah kok. Masih bisa dipakai.”
“Saya ….” Val memandang sekelilingnya. “Kita ‘kan ….”
“Atasan dan bawahan? Kayak baju sama rok itu?” Arion menunjuk kemeja dan rok yang dikenakan Val.
Val semakin salah tingkah dengan keterusterangan Arion. “Maaf, Pak, saya harus pulang.” Ia buru-buru melangkah.
Arion mengikutinya dengan mudah. “Kuantar, ya?”
“Nggak! Nggak usah, Pak! Maaf, permisi!” Val berlari keluar gedung menuju jalan raya. Ia mencegat sembarang taksi supaya Arion tidak lagi mengejarnya.
Arion menatap Val yang masuk ke dalam taksi sambil menghela napas panjang. Ia pun menaiki mobil hitamnya yang terparkir di depan gedung.
Yah, hari ini belum beruntung. Mungkin besok? Atau lusa? Apa mungkin terlalu cepat? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepala Arion. Ia pun mengemudikan kendaraannya untuk pulang.
Di saat Arion sibuk memikirkan bagaimana cara mendekati Val, gadis itu sendiri sedang kebingungan di dalam taksi. Berkali-kali ia menepuk pipinya yang sudah bersemu merah.
Ya, Tuhan! Benarkah ini? Apa Arion menyukaiku? Semua sikap dan perhatiannya membuat jantungku berdebar!
Sedetik kemudian, wajah Val mendadak lesu. Ia menyadari posisinya saat ini. Mungkin memang ada kisah cinta antara atasan dan bawahan. Hanya saja, tidak secepat dan kentara seperti ini.
Kalau boleh jujur dengan perasaannya, tentu saja Val senang dengan semua perhatian Arion. Ia memang menyukainya sejak awal, dan gelagat pria itu juga menunjukkan perasaan yang sama.
Val mulai berandai-andai. Andai saja Pak Saga nggak ada, mungkin pikiranku nggak akan seruwet ini. Atau mungkin, kalau Pak Saga nggak segalak itu, akan lain ceritanya.
Embusan napas pelan lolos dari bibir Val. Ia memijat dahinya yang berdenyut. Tak pernah ia merasa selelah ini dalam bekerja. Padahal pekerjaannya dulu lebih berat karena harus mengejar target penjualan tiap bulan.
Val tidak pernah menduga bahwa impiannya bekerja di bidang ini akan membuatnya pusing dan lelah seperti sekarang. Ia pikir, karena menyukai dunia literasi sejak kecil semuanya akan lebih mudah. Ternyata ia salah!
Kayaknya ini bukan karena pekerjaan yang membuatku tertekan, pikir Val dengan dahi berkerut. Ini semua gara-gara Pak Saga, aku jadi capek secara emosi!
Val turun dari taksi dan naik ke apartemennya masih dengan perasaan kesal. Namun, ia bertekad akan membuktikan kemampuannya. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi Saga untuk menghalangi hubungannya dengan Arion.
Mungkin aku terlalu percaya diri. Tapi, sudah jelas Arion menyukaiku. Nggak mungkin dia begitu tanpa ada alasan di baliknya. Lupakan saja senior galak itu! Aku harus mengenang perhatian-perhatian kecil Arion padaku.
Val tersenyum penuh tekad saat memasuki apartemennya. Ia melempar tasnya di sembarang tempat dan membuka lemari es. Diambilnya makanan siap saji dalam wadah aluminium dan memanaskannya di microwave.
Ketika Val memulai suapan pertamanya, ada pesan masuk di ponselnya. Seketika ia tersedak membaca nama pengirimnya.
Terima kasih sudah membaca sampai di sini. Support author untuk cerita ini dengan memberikan vote, ya, Kak ^_^ Selamat membaca bab-bab berikutnya...
“Selamat malam, Val. Semoga kamu tidak keberatan aku mengirim pesan ini.” Begitu kalimat yang muncul di layar. Val segera mengelap mulutnya dan membalas pesan itu. “Malam, Pak. Nggak, sama sekali nggak keberatan,” tulisnya. “Ada apa, Pak? Apa ada masalah dengan pekerjaan saya?” Ia menambahkan setelah berpikir sejenak. Mungkin Saga melaporkan sesuatu tentang hasil kerjanya pada Arion. Arion membalasnya dengan emotikon tertawa. Di bawahnya ia menulis, “Nggak. Bukan masalah pekerjaan. Aku hanya merasa kamu jadi canggung setelah tahu siapa aku. Berbeda dengan pertemuan pertama kita.” Val mendelik membacanya. Ia bingung harus menjawab apa. Akhirnya ia hanya membalas, “Iya.” Dan pesan-pesan berikutnya terus muncul. “Sudah kubilang ‘kan waktu itu, di luar jam kerja atau berdua saja, bicara santai denganku. Aku hanya manusia biasa bukan raja atau presiden. Jangan membebani dirimu dengan pikiran seperti itu.” Val ter
“Bagaimana dia?” Arion bertanya setelah menyuap nasi ke dalam mulutnya. Saga yang sedang menggigit sepotong ayam goreng menaikkan sebelah alisnya. “Val,” jelas Arion memahami ekspresi Saga. “Kenapa?” tanya Saga. Ia kini menyendok nasi dengan sambal. “Kerjanya. Apa dia bisa mengikuti cara kerjamu?” Saga menggeleng. “Belum. Dia belum konsisten. Kadang cepat dan paham. Tapi, lebih sering lambat dan membuat kepalaku sakit, karena harus mengecek ulang. Sama saja dua kali kerja.” “Sabarlah … baru juga beberapa hari.” Arion menepuk bahu Saga. “Pokoknya─” “Iya, iya, aku tahu,” potong Arion sebelum Saga menuntaskan kalimatnya. Memang, sebisa mungkin Arion menuruti permintaan Saga. Ia sudah tidak mengganggu Val selama jam kerja selain hanya untuk mengajaknya makan siang. Nyatanya, gadis itu masih bergeming. Ajakan makan malam ataupun sekadar mengantar pulang juga ditolaknya. Arion masih bisa menelepon Val di malam
Pukul satu lewat sedikit Arion dan Saga kembali dari makan siang. Mereka langsung masuk ke ruangan kaca dan menutup pintunya.“Kenapa sih gadis itu nggak mau kuajak keluar?” Arion gusar sambil mondar-mandir di ruangannya.Saga yang duduk di sofa sambil mengecek tablet-nya tidak menjawab. Pria itu sibuk mengamati grafik kunjungan laman perusahaan.“Okelah dia menolak kalau makan siang karena masih di area kantor. Tapi, makan malam antar pulang, bahkan akhir pekan pun dia menolak?” Arion melanjutkan kegelisahannya.Saga mendongak dan mendapati Arion sedang menatapnya tajam. “Apa?” tanyanya dingin.“Jangan-jangan gara-gara kamu nih!” tuduh Arion seenaknya lalu duduk di kursinya.Saga mendengus kesal. “Val lagi? Jangan salahin aku. Dia sendiri kerja nggak benar! Nggak teliti, ceroboh, nggak disiplin. Ini sama saja sebelum dia masuk,” protesnya menghitung satu-satu kekurangan Va
Hari-hari Val berikutnya terasa menyenangkan. Setelah malam itu ada malam-malam lain yang ia lalui bersama Arion. Seperti layaknya proses hubungan antara pria dan wanita, Arion membawa Val ke tempat-tempat yang belum pernah ia datangi.Seperti malam ini, Arion membawa Val ke sebuah tempat yang asing di pinggiran kota. Bukan ke restoran mahal atau pusat kuliner di mal, pria itu membawanya ke sebuah taman kecil yang ramai dengan anak-anak muda.Ada area untuk bermain papan luncur, dan permainan untuk anak-anak di sana. Berbagai penjual makanan dan minuman dalam gerobak berjejer mengitari taman itu.“Kamu nggak keberatan makan di tempat seperti ini, ‘kan?” tanya Arion melihat wajah kaget Val.Val sama sekali tidak menyangka Arion akan membawanya ke tempat sederhana ini. Bukannya keberatan, ia justru semakin kagum dengan sosok Arion yang hangat.“Oh, enggak kok. Sama sekali nggak keberatan,” jawab Val. “Kamu sering m
Bicara memang mudah, tapi melakukannya itu sulit. Val sudah berusaha sebaik dan seteliti mungkin. Secepat yang ia bisa, dan memahami apa mau Saga. Ia terus memutar otak mencari ide-ide segar yang akan ditulis di halaman perusahaan yang menjadi tanggung jawabnya selain memeriksa naskah.Menurut Val, Saga terlalu perfeksionis yang tidak menerima kesalahan sekecil apa pun. Ia juga sangat teliti dan pintar. Val jadi malu karena hampir setiap hari Saga menegurnya. Meskipun beberapa kali ia pernah melakukannya dengan benar, tapi lebih banyak kekurangan yang dilihat Saga pada dirinya. Itu membuatnya sangat frustrasi.Lama-lama Val tidak tahan juga. Ingin sekali ia melaporkannya pada Arion, tapi hal itu akan membuatnya terlihat tidak profesional dan cengeng. Ia bukan wanita yang suka memanfaatkan keadaan. Apalagi untuk sekadar pansos.“Mana tulisan yang akan terbit besok? Kau bilang akan selesai beberapa hari sebelumnya!” Saga kembali menegur Val dengan kera
“Aku sudah di lobi. Kamu selesaikan dulu pekerjaanmu. Aku akan menunggumu.” Pesan Arion masuk ke ponsel Val.Saat itu tinggal Val sendiri yang berada di kantor. Dirinya sedang berusaha menyelesaikan permintaan Saga. Sorot matanya berkilat tidak ingin menyerah dan menerima penghinaan yang diberikan Saga. Ia bahkan menolak tawaran Rara yang ingin membantunya.Nggak! Aku nggak boleh merepotkan orang lain. Kalau sampai dia tahu ada yang membantuku, akan seperti apa aku di matanya? Val membayangkan Saga akan tertawa mengejek.Teman-teman dan karyawan bagian lainnya sudah pulang sejak tadi. Val tidak dapat menyembunyikan rasa malunya saat pandangan mereka tertuju padanya. Tentu saja mereka mendengar teriakan Saga yang memakinya.Val yakin rumor yang akan beredar berikutnya adalah tentang Arion yang salah mendekati wanita yang tidak becus bekerja. Atau, gara-gara terlibat asmara dengan CEO, seorang karyawati baru tidak menunjukkan p
Teriakan keras di siang bolong sepuluh tahun yang lalu membuat Val menoleh ketika hendak menaiki motor Evan.“Woi, Val! Lu mau ke mana?! Lu lupa kalau kita ada rapat?!”Beberapa anak masih berkeliaran di dekat tempat parkir walau bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi. Mereka menoleh pada Val sambil berbisik-bisik.Val memandang Evan, kemudian menepuk dahinya. “Sial! Gue lupa hari ini rapat mading! Mana tugas gue belum beres lagi!”“Ya, sudah sono! Ntar ketua lu marah lagi,” kata Evan. “Tapi, lu ntar pulangnya gimana? Gue juga nggak mungkin nungguin lu karena harus les habis ini.”“Ah, nggak apa-apa. Lu duluan aja. Urusan pulang, ntar gue pikir sendiri.”Val melambai pada Evan yang meninggalkan sekolah. Ia sendiri bergegas melangkah ke ruang rapat di lantai dua. Ia merasa berada dalam masalah besar hari ini. Niatnya untuk tidur siang di rumah berantakan.BRAK!Su
“Serius kau nggak mengenaliku sama sekali?” Saga tertawa memandang Val yang masih berusaha mencerna ingatannya kembali. “Bagaimana bisa kau nggak mengenali nama seniormu sendiri?” Kepala Saga menggeleng geli. Val membisu. Tangannya memegang gelas minuman di atas meja. Sepotong sandwich yang belum tersentuh ada di sampingnya. Mereka berada di café dekat apartemen. Saga menyeruput kopinya. “Sama sih, awalnya aku juga nggak mengira kalau kau adalah Valerie yang itu. Ternyata kau nggak berubah dari dulu. Masih terlalu santai dan ceroboh. Padahal kau sudah bukan anak sekolah lagi.” Hati Val ingin meledak mendengar ejekan dari seorang kakak kelas menyebalkan di depannya. Seseorang yang sudah ia lupakan, dan tak pernah ingin ia temui lagi. “Karena kelakuanmu tadi, aku jadi mengingat kejadian yang dulu.” Saga menambahkan saat Val masih tak membuka mulutnya. “Kamu … tahu dari mana aku tinggal di sini?” Akhirnya Val mengungkapkan kecurigaannya. Ia sudah
“Ga …?” “Ah, apa …?” Saga baru tersadar ketika Val menggoyang-goyangkan lengan jasnya. Val menatap pria yang kini sudah menjadi suaminya. Ia lalu memandang arah yang tadi dilihat Saga, tetapi tidak menemukan ada yang aneh di sana. “Kenapa lihat ke sana terus? Sudah waktunya kita turun,” katanya. “Oh, ayo.” Saga menggandeng tangan Val dan membantunya turun dari panggung. Tak lama, Val dan Saga duduk bersama keluarga mereka. Menikmati jamuan makan malam yang disediakan. Obrolan ringan juga turut mewarnai kehangatan keluarga baru itu. Beberapa jam kemudian, acara selesai. Seluruh tamu undangan sudah meninggalkan gedung. Para keluarga sebagian meninggalkan gedung, sebagian lagi menginap di hotel yang sama dengan Val dan Saga. Mereka memang sengaja menyediakan kamar kosong untuk beberapa keluarga yang tinggal di luar kora, seperti Tante Icha dan Riska. Val dan Saga diantar Kaira dan Arion ke kamar hotel mereka. Kaira tampak bahagia dengan senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya.
“Kamu sudah yakin, Val?” Rima bertanya pada putrinya karena sedikit khawatir. Val mengangguk dan tersenyum. “Iya. Masa sudah begini, masih ditanya lagi sih?” Rima tersenyum sedikit. “Kamu bisa bilang ke Mama, Val. Nanti Mama yang akan cari cara.” Kali ini Val menggeleng. “Nggak usah, Ma. Memangnya Mama berani bilang sama Tante Diana? Dia teman baik Mama, ‘kan?” Rima diam sejenak lalu menjawab, “Iya, tapi … Mama rasa dia akan mengerti, Val.” “Nggak usah, Ma. Val baik-baik saja kok. Mama juga sudah lihat sendiri, ‘kan?” Val memamerkan senyum terbaik dan tercantiknya. “Saga pasti juga begitu.” Rima menatap putrinya sekali lagi. Val pun mengangguk untuk meyakinkan sang ibu. “Baiklah kalau begitu. Mama keluar dulu. Tamu-tamu sudah banyak yang datang.” Rima berdiri lalu keluar dari ruangan itu. Val mengantarnya dengan senyum bahagia. Ketika pintu di depannya tertutup, senyumnya memudar. Sungguh merupakan keputusan yang sulit baginya, tapi ia harus melakukannya. Sementara itu, di rua
“Aaah … capek juga ternyata bikin kue!” keluh Val sambil mengempaskan tubuh ke tempat tidur. Ia baru saja memasukkan dua loyang kue ke oven dan mengatur waktunya. Sambil menunggu, ia berniat beristirahat sebentar. Dari luar, Val bisa saja tertawa lepas seolah tidak ada yang mengusiknya. Namun, hatinya menjeritkan rindu yang sama pada seseorang. Berbagai kenangan bersama Saga mulai bermunculan, menggoda dirinya, dan membawanya kembali ke masa lalu yang jauh. Masa-masa di mana ia sama sekali tidak menyadari perhatian-perhatian kecil Saga padanya. “Aku mau ke kantin! Ada yang titip?” tanya Nita sambil berdiri. Saat itu, tim mading yang terdiri dari Saga, Val, Nita, Noah, dan Andi, sedang mengerjakan proyek minggu ini. Mereka berkumpul di ruang OSIS sepulang sekolah. Segera anak-anak menyebutkan pesanannya dan Nita pun berlalu. Val tidak pernah mengetahui bahwa saat itu Saga selalu memperhatikan gerak-geriknya. Apa pun yang ia lakukan, selalu mampu membuat senyum Saga mengembang. Namun
Val terbangun di Minggu pagi yang cerah. Sinar matahari sudah masuk dari jendela yang terbuka lebar. Kehangatannya memenuhi kamar dan tubuh Val yang masih memeluk guling, sambil mengejap-ngejapkan mata untuk menyesuaikan perubahan yang mendadak. Beberapa detik kemudian tubuh Val tegak di tempat tidur dengan rambut kusut dan wajah kusam. Samar-samar telinganya menangkap percakapan di luar. Ada suara ibunya dan suara lain yang tidak ia kenal. “Maaf, Bu Rima, sudah ganggu pagi-pagi.” “Oh, nggak apa-apa, Bu. Saya yang terima kasih karena sudah diberi ini.” “Itu cuma hasil kebun dari kampung, Bu. Kebetulan kemarin baru pulang dari sana.” “Pantesan kelihatan segar ini. Terima kasih banyak, Bu Nuri.” “Sama-sama, Bu. Baiklah, saya permisi dulu.” “Silakan.” “Siapa itu? Tetangga?” gumam Val lalu beringsut turun dari tempat tidur dan keluar. Baru saja ia menutup pintu di belakangnya, sang ibu muncul sambil membawa dua sisir pisang ambon di tangan. “Sudah bangun, Val?” sapa Rima. Val men
Hari pun berganti. Biasanya di akhir pekan banyak pasangan menghabiskan waktu bersama, termasuk Val dan Saga. Namun, kali ini berbeda. Pasangan yang dalam satu minggu ke depan akan melangsungkan pernikahan itu sedang ditimpa masalah. Masing-masing menghabiskan waktu di tempat yang berbeda dengan sikap yang berbeda pula. Saga seperti orang gila yang kehilangan sesuatu yang teramat berharga baginya. Telepon dari calon mertuanya membuatnya tersiksa sepanjang malam hingga tidak bisa tidur. Hari yang seharusnya cerah ini terasa begitu buruk bagi Saga. Sedari pagi, pria itu mondar-mandir di apartemennya. Seluruh penampilannya tampak berantakan. Botol-botol minuman berserak di meja dan lantai membuat ruangan itu sudah seperti kapal pecah. Bel pintu berbunyi. Buru-buru Saga membukanya dan langsung membentak. “Kai! Arion! kenapa kalian lama sekali?! Kenapa baru datang?!” Arion dan Kaira saling berpandangan lalu mengembuskan napas kesal. “Gimana bisa cepat kalau baru setengah jam lalu kau
Di ruang kerjanya, Arion mengamati layar ponsel yang berisi panggilan dari Val. Beberapa waktu lalu, gadis itu meneleponnya. Meminta izin tidak masuk hari ini. Ia sudah menduga ada sesuatu yang terjadi dengan dua sahabatnya itu. Tanpa mendapat jawaban yang sebenarnya, ia malah mendengar sesuatu yang tidak disangkanya sama sekali. Bentakan Saga, jeritan Val, ia mendengar semuanya dari ponsel yang tidak dimatikan dengan benar. Tidak tahan membayangkan apa yang terjadi di sana, Arion menekan tombol merah. “Apa yang kamu lakukan, Ga? Kenapa kamu begitu? Kenapa kalian seperti ini?” Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Arion. Andai saja ia bisa merebut gadis itu kembali, ia akan melarang Saga berbuat sesukanya. Sekarang ini, ia tidak berdaya untuk membantu apa pun. Itu sudah di luar kendalinya, bukan haknya. Arion mengangkat kepala ketika Saga muncul di ambang pintu ruangannya. Wajahnya tampak kacau dan ia sangat gugup. “Rion …,” katanya lirih. Arion berdiri dan mendekati Saga.
Val yang sangat merindukan kekasihnya itu membalas cumbuan Saga di bibirnya. Namun, beberapa detik kemudian ia mendorong pria itu menjauh. Wajahnya merah. “Kenapa?” Saga heran. “Ini nggak benar,” jawab Val. “Apanya yang nggak benar?” “Masalah ini, nggak semudah itu selesai.” Saga membawa wajah Val menatapnya. “Apanya yang belum selesai?” “Apa buktinya kalau wanita itu nggak akan menganggumu lagi?” “Aku sudah melarangnya. Aku sudah memintanya untuk nggak ganggu aku, kita. Apa lagi?” “Kamu yakin dia akan menurut begitu saja? Kulihat, dia orang yang selalu bisa mendapatkan keinginannya. Dia nggak semudah itu menyerah.” “Lalu, apa maumu, Val? Aku sudah nggak mau lagi berurusan dengannya.” Val masih menatap Saga mencari kebenaran di sana. “Begini saja, kalau sampai dia menghubungiku lagi, aku akan melaporkannya ke polisi. Bagaimana?” “Apa akan berhasil?” “Aku nggak tahu, tapi nggak ada
Setelah Erin pergi dengan wajah tak percaya dan tidak terima diperlakukan begitu, Saga terduduk di sofa dengan kepala sakit. Semua tampak berputar-putar di depan matanya. Bayangan wajah Val yang menangis membuatnya merasa jadi manusia paling bodoh di dunia. Ia merasa bersalah dan rasa itu lebih menyakitkan daripada saat Erin meninggalkannya. Tidak punya pilihan lain, Saga menghubungi seseorang yang ia percaya. “Aku butuh bantuanmu.” Sementara itu, Val menangis dalam diam di kamarnya. Ia ingin memercayai ucapan Saga, tapi apa yang dilihatnya tadi begitu menyakitkan. Sungguh ia tidak bisa membayangkan perjalanan cintanya akan sesulit ini. Pernikahan yang sudah di depan mata, bagaimana nasibnya, ia tidak tahu. Ponsel Val yang bergetar menghentikan isak tangisnya begitu melihat nama peneleponnya. Buru-buru ia menghapus sisa-sisa kesedihan dan mengatur napasnya, sebelum menjawab. “Val, kamu belum tidur?” Rima, ibunya menyapa. “Ah, Mama. Be
Val menatap gedung apartemen yang menjulang tinggi di depannya. Rasanya baru sebentar lalu ia berlari ke gedung sebelah ketika mendengar Saga sakit. Kini, menatapnya hanya menambah garam di atas lukanya. Ia teringat perkataan Noah bahwa Saga butuh waktu.Meski begitu, Val benar-benar merindukan Saga. Ia ingin bertemu dengannya. Ia juga telah membuat sebuah keputusan, dengan harapan itu akan membantu Saga menyelesaikan masalah ini.Kaki Val melangkah dengan mantap ke apartemen Saga. Ia sudah mempunyai kuncinya, jadi tidak ada masalah bila langsung mendatanginya, ‘kan? Ia akan menunggu jika Saga belum pulang dari urusannya, entah apa itu.Niat seringkali bertolak belakang dengan keberanian. Tangan Val bergetar ketika hendak memindai nomor kartu di pintu. Jantungnya berdegup kencang. Ia kemudian bimbang, apakah ini tindakan yang tepat? Namun, tekadnya sudah bulat. Ia pun membuka pintu itu. Sayangnya, apa yang ia lihat di dalam sana tidak sesuai dengan keingin