Share

BAB 13. Perhatian

Saga membereskan meja dan mematikan komputernya setelah keluar dari ruangan Arion. Ia sudah memperingatkan sahabatnya sekali lagi untuk tidak mengganggu Val di kantor. Namun, sepertinya Arion sudah tergila-gila pada gadis itu, dan tidak menghiraukan ucapannya. Itu yang membuat Saga semakin kesal.

Val yang masih menyelesaikan pekerjaan terakhirnya, mengamati Saga diam-diam dari ekor matanya. Ternyata Arion bisa juga membuat orang ini kesal! pikirnya.

“Kau bereskan semua. Dan jangan lupa mematikan komputermu!” Saga memerintah sebelum ia pergi tanpa mendengar jawaban Val.

Tak lama, Arion pun keluar dari ruangan dan berpamitan pada Val yang dibalas dengan anggukan pelan. Pria itu juga melakukan hal yang sama pada Rara dan lainnya.

Setelah Arion turun, Rara langsung menyerbu Val dengan rentetan pertanyaan. Demikian juga Dewi dan Sandy yang terlihat bersemangat.

“Val! Apa-apaan tadi itu?” sembur Rara. Ia menarik Val berdiri setelah mengambil tas.

“Pak Rion sama kamu?” Dewi ikut-ikutan bertanya sambil berjalan beriringan memasuki lift.

“Kamu sudah kenal Pak Rion, Val?” Sandy bertanya sambil menekan tombol turun. Pertanyaan itu sontak membuat Rara dan Dewi menoleh padanya. Mereka pun kompak membulatkan mata dan mulut.

“Ooohh…!” pekik mereka seolah memahami apa yang terjadi.

“Wah, Sandy, kamu peka banget ya!” puji Rara.

“Iya, Val, kamu sudah kenal sama Pak Rion?” ulang Dewi penasaran. “Dari gerak-geriknya sih iya. Kenal di mana? Kok bisa?”

“Bukan itu aja, Wi!” celetuk Rara. “Kayaknya Pak Rion naksir Val deh! Kalian tadi lihat sendiri ‘kan gimana perhatiannya?”

“Bener! Bela-belain berdiri biar Val bisa duduk!”  timpal Dewi setuju.

Val bingung dengan semua pertanyaan dan tuduhan itu. Cepat-cepat ia menyanggah semuanya. “Nggak! Nggak kok! Nggak begitu! Mana mungkin! Hahaha!” Tawa sengau yang terdengar semakin membuat teman-temannya curiga.

“Kamu nggak pintar bohong, Val! Mukamu merah tuh!” cetus Rara sambil tertawa.

Val merasa wajahnya memanas. Ia berpikir denting lift yang menandakan mereka sudah sampai di lantai satu, akan melegakannya. Namun, justru membuat kebohongannya terbongkar.

Arion sedang duduk di lobi dan langsung berdiri begitu melihat Val keluar dari lift. Rara, Dewi, dan Sandy senyum-senyum sendiri sambil menyikut lengannya yang terjuntai lemas.

Ya, ampun, Arion … apa kamu nggak bisa memberiku waktu untuk bernapas? Kalau kayak gini, aku nggak yakin jantungku bakal kuat! Dada Val bergejolak.

“Dah, Val! Kami duluan, ya!” Rara dan lainnya bergerak meninggalkan Val. Mereka juga menyempatkan diri menyapa Arion yang terlihat santai dan tak peduli dengan tingkah bawahannya yang cekikikan.

“Kok belum pulang, Pak? Ada yang ditunggu nih sekarang!” canda Rara.

“Biasanya nunggu Pak Saga, sekarang ….” Dewi sengaja mengantung kalimatnya.

“Bosan nunggu Saga terus,” jawab Arion kemudian tertawa. Ia pun mendekati Val yang membeku di tempatnya.

Val merasa tidak enak ketika pandangan semua orang yang berada di sana tertuju padanya. Beberapa di antaranya tersenyum dan berbisik-bisik.

“So-sore, Pak,” sapanya gugup.

Tawa Arion menguar dengan menampakkan dua lekukan kecil di bawah pipinya. “Sekarang sudah bukan jam kerja lagi, ‘kan? Kamu bisa berbicara santai denganku,” katanya.

“Tapi … saya masih nggak enak, Pak,” tolak Val. “Sebelumnya saya juga berbuat salah sama Bapak. Kalau Bapak terlalu baik, saya merasa tidak tahu diri.”

“Oh, baju itu? Nggak masalah kok. Masih bisa dipakai.”

“Saya ….” Val memandang sekelilingnya. “Kita ‘kan ….”

“Atasan dan bawahan? Kayak baju sama rok itu?” Arion menunjuk kemeja dan rok yang dikenakan Val.

Val semakin salah tingkah dengan keterusterangan Arion. “Maaf, Pak, saya harus pulang.” Ia buru-buru melangkah.

Arion mengikutinya dengan mudah. “Kuantar, ya?”

“Nggak! Nggak usah, Pak! Maaf, permisi!” Val berlari keluar gedung menuju jalan raya. Ia mencegat sembarang taksi supaya Arion tidak lagi mengejarnya.

Arion menatap Val yang masuk ke dalam taksi sambil menghela napas panjang. Ia pun menaiki mobil hitamnya yang terparkir di depan gedung.

Yah, hari ini belum beruntung. Mungkin besok? Atau lusa? Apa mungkin terlalu cepat? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepala Arion. Ia pun mengemudikan kendaraannya untuk pulang.

Di saat Arion sibuk memikirkan bagaimana cara mendekati Val, gadis itu sendiri sedang kebingungan di dalam taksi. Berkali-kali ia menepuk pipinya yang sudah bersemu merah.

Ya, Tuhan! Benarkah ini? Apa Arion menyukaiku? Semua sikap dan perhatiannya membuat jantungku berdebar!

Sedetik kemudian, wajah Val mendadak lesu. Ia menyadari posisinya saat ini. Mungkin memang ada kisah cinta antara atasan dan bawahan. Hanya saja, tidak secepat dan kentara seperti ini.

Kalau boleh jujur dengan perasaannya, tentu saja Val senang dengan semua perhatian Arion. Ia memang menyukainya sejak awal, dan gelagat pria itu juga menunjukkan perasaan yang sama.

Val mulai berandai-andai. Andai saja Pak Saga nggak ada, mungkin pikiranku nggak akan seruwet ini. Atau mungkin, kalau Pak Saga nggak segalak itu, akan lain ceritanya.

Embusan napas pelan lolos dari bibir Val. Ia memijat dahinya yang berdenyut. Tak pernah ia merasa selelah ini dalam bekerja. Padahal pekerjaannya dulu lebih berat karena harus mengejar target penjualan tiap bulan.

Val tidak pernah menduga bahwa impiannya bekerja di bidang ini akan membuatnya pusing dan lelah seperti sekarang. Ia pikir, karena menyukai dunia literasi sejak kecil semuanya akan lebih mudah. Ternyata ia salah!

Kayaknya ini bukan karena pekerjaan yang membuatku tertekan, pikir Val dengan dahi berkerut. Ini semua gara-gara Pak Saga, aku jadi capek secara emosi!

Val turun dari taksi dan naik ke apartemennya masih dengan perasaan kesal. Namun, ia bertekad akan membuktikan kemampuannya. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi Saga untuk menghalangi hubungannya dengan Arion.

Mungkin aku terlalu percaya diri. Tapi, sudah jelas Arion menyukaiku. Nggak mungkin dia begitu tanpa ada alasan di baliknya. Lupakan saja senior galak itu! Aku harus mengenang perhatian-perhatian kecil Arion padaku.

Val tersenyum penuh tekad saat memasuki apartemennya. Ia melempar tasnya di sembarang tempat dan membuka lemari es. Diambilnya makanan siap saji dalam wadah aluminium dan memanaskannya di microwave.

Ketika Val memulai suapan pertamanya, ada pesan masuk di ponselnya. Seketika ia tersedak membaca nama pengirimnya.

lirinkw

Terima kasih sudah membaca sampai di sini. Support author untuk cerita ini dengan memberikan vote, ya, Kak ^_^ Selamat membaca bab-bab berikutnya...

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status