Di sudut sebuah kamar dekat jendela, duduk seorang wanita sedang membaca novel. Buku itu terbuka di halaman yang sama sejak bermenit-menit yang lalu. Sepertinya wanita itu tidak benar-benar membacanya. Rintik hujan yang mengenai kaca jendela mengaburkan bayangannya. Macetnya jalan raya di bawah sana tidak lagi menarik perhatiannya.
“Jadi, namanya Arion ya,” gumamnya lalu meraih ponsel di sebelahnya. Mata Val mengamati nomor yang tersimpan di sana. Teringat dalam benaknya pertemuan dengan lelaki tampan nan baik hati siang tadi.
Senyumnya mengembang membayangkan seandainya ia benar-benar berjodoh dengan laki-laki itu. Sungguh paduan yang sempurna untuk seorang calon suami. Apalagi sang ibu sering menanyakan calon yang belum diketahui keberadaannya.
“Mungkin jodohku masih orok.” Itu alasan yang sering ia berikan bila ada yang bertanya tentang calon suami.
Hah! Calon pacar saja belum ada. Apalagi calon suami! dengusnya kesal.
Memang untuk ukuran wanita seumuran Val, sindiran-sindiran halus tentang calon suami sangat mengganggu. Terutama Tante Icha dan Rissa yang tak henti-hentinya memberi nama beberapa kenalan prianya. Di saat teman-teman dan saudaranya yang lain sudah berkeluarga dan mempunyai anak, Val masih ingin bekerja mengejar impian yang terpendam sejak lama.
Mungkin saja, sebentar lagi, impian dan jodohnya itu akan datang bersamaan. Memikirkan hal itu Val tersenyum-senyum sendiri layaknya orang dimabuk cinta. Kemudian ia tersadar saat melihat bayangannya di jendela.
“Astaga! Aku sampai senyum-senyum sendiri kayak orang gila!” pekiknya. Memang jatuh cinta itu berjuta rasanya, tiada hari tanpa memikirkan orang itu.
Val tertawa seperti orang kesetanan. Melompat-lompat di tempat duduknya. Tangannya menari-nari dengan gerakan yang kacau. Beruntung sekarang ini adalah siang hari, bayangan gilanya tidak akan terlihat dari gedung sebelah.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia terkejut mendapati nomor yang meneleponnya dan mengangkatnya dengan gugup.
“Ha-halo? Iya, saya sendiri.” Val menjawab. Ia mendengarkan dengan serius suara di seberang sana. Tak lama matanya terbuka lebar, sama lebarnya dengan senyum di wajahnya.
“Benarkah?” teriaknya tak percaya. “Terima kasih! Terima kasih banyak! Saya akan bekerja sebaik-baiknya! Iya, sampai jumpa!”
“YEAAAY!” Val melompat lagi di kursinya dan mendarat dengan ceroboh. Ia terjatuh di lantai. Bibir tipisnya mengeluarkan rintihan. Tertatih-tatih ia bangun kemudian duduk dengan benar.
Kayaknya ini hari keberuntunganku! Ketemu sama cowok ganteng, dia malah ngasih nomornya juga. Dan, aku diterima di tempat yang kuinginkan! Ah, rasanya hidupku jadi indah kayak di drama!
Mendadak Val melompat dari duduknya dan menghambur ke kamar. Tas hitam itu masih tak tersentuh di atas tempat tidurnya. Ia seperti tersihir oleh pesona laki-laki itu hingga melupakan awal mula pertemuan ajaib ini.
“Gawat! Aku kelupaan!” Val mengambil baju kotor itu lalu membawanya ke kamar mandi. Ia mencoba mencucinya dengan berbagai cara yang ia dapat dari internet dalam perjalanan pulang.
Sekian lama Val mencoba membersihkannya, noda itu tidak bisa hilang sepenuhnya. Jika diamati lebih jelas, masih membekas sedikit.
“Duh, gimana ini?” Val bingung. “Kalau dipaksain, nanti malah rusak.” Ia menatap nanar baju Arion yang tergantung di jemuran setelah usahanya yang terakhir.
Val merebahkan diri di tempat tidur. Kelelahan hanya mencuci sepotong pakaian. Mungkin hari ini aku nggak sepenuhnya beruntung. Setiap keberuntungan biasanya diikutii oleh kesialan. Dan aku sial karena menabraknya dua kali.
Ia bukannya tidak punya uang untuk menggantinya. Namun, membeli barang yang bukan kebutuhan itu pemborosan dan akan merusak kenyamanannya.
Coba besok aku bawa ke penatu deh, putusnya kemudian. Biayanya akan lebih ringan daripada harus membeli baru.
Ponsel di sampingnya berdering dengan nada yang khas. Tanpa melihatnya pun ia tahu siapa peneleponnya. Ia menunggu beberapa saat sebelum mengangkatnya dengan malas.
“Halo?”
“Valerie! Apa kamu sudah dapat pekerjaan baru?!” teriak suara di seberang sana.
Val menjauhkan ponsel dari telinga dan mengernyitkan dahi. Sudah kuduga.
“Kamu ini! Sudah enak di kantor lama, gaji besar, malah pindah! Apa yang ada di pikiranmu? Sudah sejak lama kamu menginap di rumah, tapi nggak ada kabar sama sekali!”
Val mendesah. Apa yang dikatakan Mama benar sih. Tapi, apa aku salah ingin bekerja sesuai impianku?
“Val sudah dapat pekerjaan hari Senin besok.”
Nada suara di seberang berubah. “Benarkah? Berapa gajinya? Apa cukup memenuhi semua kebutuhanmu?”
“Iya, cukup. Cukup untuk membayar biaya apartemen dan lainnya. Mama tenang aja, kali ini Val yakin akan berhasil.”
“Lebih dari itu, kenapa kamu nggak menikah saja sih? Cari laki-laki yang mapan dan bertanggung jawab sama kamu. Jangan salahin Tante Icha yang selalu mengomelimu. Dia itu peduli padamu!”
Val memutar mata dengan malas. Nah, mulai lagi nih pembicaraan yang menyebalkan.
“Mama nggak melarang kamu kerja, tapi paling nggak, ada yang bantu dan temani kamu. Di keluarga kita, cuma kamu aja yang belum menikah! Apa kamu nggak kasihan sama Mama sendirian di rumah sepeninggal papamu?” Lagi-lagi nasihat yang sama didengar Val.
“Mencari orang kayak gitu nggak gampang, Ma. Lagian masih banyak yang ingin Val kerjakan. Kalau kesepian, Mama saja yang tinggal di sini temani Val.”
Sang mama berdecak mendengar alasan yang diberikan putrinya. “Kamu ini! Kamu ‘kan tahu Mama nggak suka tinggal di gedung tinggi kayak gitu. Rasanya nggak menapak tanah.”
Val tertawa. Lalu ia teringat pertemuannya dengan laki-laki tadi. “Oh ya, Ma, tadi Val ketemu sama seseorang. Kayaknya sesuai deh sama kriteria Mama!”
Dugaannya benar. Sang mama tampak senang dan mulai menanyakan macam-macam tentang laki-laki yang baru sekali Val temui.
“Orangnya gimana? Baik nggak sama kamu? Kerjaannya apa? Tinggal di mana? Keluarganya? Orang tuanya?”
“Astaga, Ma! Val baru ketemu tadi siang, itu pun nggak sengaja. Nanti deh kalau ada perkembangan, Val kabari Mama. Tapi, jangan berharap banyak ya, Ma ... Val nggak yakin juga soalnya.”
“Yang penting kamu jaga diri baik-baik supoya ketemu sama orang baik juga. Kalau ada apa-apa segera hubungi Mama. Sudah ya, Mama mau arisan dulu. Siapa tahu kali ini Mama yang dapat. Daah, Sayang!”
Val menutup telepon dan memejamkan mata. Sedari tadi benaknya tidak berhenti berpikir tentang Arion. Tentang pakaian yang tidak bisa ia bersihkan dengan sempurna. Khawatir laki-laki itu tidak sebaik penampilannya. Memang terlalu dini untuk menyimpulkan karakter seseorang dalam sekali pertemuan.
Ya, tapi kalau memang benar jodohku, rasanya keren banget! Tampan, mapan, baik hati, tanggung jawab. Sempurna banget kayak tokoh dalam komik atau novel!
Terlarut dalam angan-angan liarnya, Val tertidur.
“Kelihatannya sudah lumayan sih,” kata Val mengamati kaus abu-abu di tangannya. Ia lalu memasukkannya dalam tas yang sudah disiapkan. “Semoga saja dia nggak terlalu mempermasalahkannya,” gumamnya pasrah. Kemarin ia memberanikan diri menghubungi Arion untuk mengembalikan bajunya. Sesuai kesepakatan dalam pesan singkat, mereka akan bertemu di tempat yang sama seperti hari Jumat kemarin. Val mengambil napas panjang ketika langkahnya sudah mendekati gedung perkantoran itu. Jantungnya berdebar akan bertemu pria tampan itu lagi. Sejak pertemuan itu, setiap malam Val memimpikan masa depannya bersama laki-laki itu. Bahkan ketika menonton drama kesukaannya, ia membayangkan jika dirinya dan Arion menjadi tokoh utamanya dan berakhir bahagia. Kaki ramping Val melangkah yakin memasuki kedai kopi tempat mereka akan bertemu. Dalam hati ia berdoa supaya semuanya berjalan lancar hari ini. Salah satu kursi di area luar kedai, sudah diduduki seseorang. Val hanya
Pagi itu Saga terlihat sibuk di mejanya. Beberapa kali ia mengecek surel dan laman yang memuat beberapa tulisannya. Junior sebelumnya berhenti bekerja karena melahirkan dan sekarang ia yang bertugas mengurus semua sampai mendapat penggantinya. Ditambah lagi atasannya, sedang dalam proses pemulihan setelah sakit, membuatnya semakin sibuk. Ia harus menangani tugas tiga orang sekaligus. Sekalipun ia sudah membagi tugas dengan yang lain, ada pekerjaan yang memang harus dikerjakan sendiri. Beberapa hari yang lalu dirinya sudah menghubungi bagian Personalia menanyakan kekosongan pegawai di tempatnya. Mereka bilang sudah menemukan penggantinya, dan membuat Saga sedikit lega. “Semoga saja dia benar-benar orang yang kompeten. Kelihatannya sepele, tapi dampaknya besar,” gumam Saga sambil menata berkas-berkasnya. Tumpukan kertas itu ia letakkan di meja kosong sebelahnya yang sebentar lagi akan terisi. “Untuk permulaan, rasanya cukup segini dulu.” Sekali lagi ia
Kedua pria itu masuk ke ruangan kaca dan menutup pintunya. Val yang sedari tadi menahan napas karena terkejut segera mengembuskan napasnya kuat-kuat. Ia meremas dadanya yang tiba-tiba sesak. Hidungnya menghirup udara banyak-banyak untuk mengisi paru-parunya yang kosong. Yang tadi itu … Arion, ‘kan? Arion yang itu? Dia pakai baju olahraga yang kukembalikan tadi pagi? pikir Val terkejut. Ia menepuk-nepuk pipinya mengecek apakah ia masih tidur atau sudah bangun. Pipinya terasa panas. Itu artinya hal yang terjadi hari ini adalah kenyataan. Kenyataan yang tidak pernah ia bayangkan sama sekali. Kedatangan Saga yang menggeser kursi lalu duduk di sana, membawa Val kembali dari lamunan. Ia bisa merasakan tatapan Saga yang menusuk. Benak Val mulai berpikir macam-macam. Apa yang mereka bicarakan di dalam? Apakah mereka membicarakanku? Jangan ge-er, Val! Memangnya siapa kamu? Kamu pegawai di sini! “Jangan melamun! Lekas lakukan tugasmu!”
“Jadi, dia yang membuatmu senyum-senyum sendiri seperti orang gila?” Saga mencondongkan tubuhnya pada Arion yang kini tertawa kecil. “Kamu ingat waktu aku meneleponmu hari Jumat lalu?” Arion melihat anggukan Saga lalu melanjutkan, “Itu pertemuan pertamaku dengannya. Kalau tidak salah, waktu itu ada interview untuk mengisi kekosongan di tempatmu, ‘kan? Kamu nggak ketemu dia?” Saga menggeleng. “Nggak. Aku serahkan semuanya pada Fanny. Aku yakin dia sudah paham orang seperti apa yang kucari.” “Sayang sekali. Kalau saja kamu sempat bertemu dengannya. Dia lucu sekali tahu waktu baju ini ketumpahan kopi yang kubawa. Nggak sengaja sih.” “Maksudnya?” Saga tidak mengerti. Memang sejak beberapa hari lalu sahabatnya ini bertingkah aneh. “Kamu mau tahu cerita lengkapnya?” “Nggak tertarik!” jawab Saga cepat. Namun, di dalam hatinya ia penasaran apa yang membuat Arion bisa jatuh cinta pada pandangan pertama dengan pegawai baru itu. Biasanya
Val menutup pintu ruangan Arion dengan cepat lalu duduk di kursinya. Ia menghela napas lega seolah beban berat telah terangkat dari dadanya. Dengan satu tangan, ia mengusap keringat yang mengucur di dahi dan leher. “Aku harus minum,” gumamnya sambil beranjak menuju pantri. Ia mengambil gelas di lemari dan mengisinya dengan air. “Kamu ngapain tadi di ruang pak Rion lama sekali?” Tiba-tiba saja Rara sudah berdiri di sampingnya. Ia juga melakukan hal yang sama seperti Val. Sedikit tersedak, Val menatap Rara. “Bu-bukan apa-apa. Hanya bertanya sedikit tentang pekerjaanku,” katanya berbohong. Ia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. “Nggak kayak biasanya deh,” celetuk Rara. “Dua orang sebelum kamu, Pak Rion nggak pernah begitu tuh!” “Oh, aku nggak tahu. E-entahlah, mungkin suka-suka dia aja.” Val gugup dan khawatir kebohongannya akan terungkap. Rara mengangguk. Ia lalu kembali ke mejanya dengan membawa segelas air. Tak lama Val juga mening
Pukul delapan kurang sepuluh menit, pintu lift terbuka. Val melangkah masuk ke ruangan di lantai 15 itu dan mendapati Saga sudah berada di sana. Pria itu sedang menatap serius pada monitornya. Val melihat sekeliling. Rara dan lainnya, bahkan kepala bagian sebelah sana belum tampak tanda-tanda kehadirannya. Pagi banget datangnya, gumam Val dalam hati. Ia mendekati meja dan menyapanya, “Selamat pagi, Pak.” Tidak mendapatan jawaban dari Saga, Val pun meletakkan tas dan hendak duduk di kursi. Belum juga pantatnya menyentuh kursi, seniornya itu berkata, lebih tepatnya memerintah, “Val, coba kau cek di halaman itu. Catat dan beri koreksi untuk ke depannya. Kau lihat post-it itu?” Val menatap kertas kuning yang tertempel di monitornya yang sudah menyala. Ada tulisan yang mirip coretan di kertas kecil itu. “Kau buka tautan itu. Pelajari isinya, dan berikan pendapat atau ide tambahan untuk menaikkan jumlah kunjungan.” Saga menambahkan
Val mendelik tak percaya membaca pesan yang dikirim Arion. Sesungguhnya ia melonjak girang dan bisa saja menjawab ‘iya’, tapi posisinya tidak memungkinkan untuk itu. Dia adalah orang baru di kantor ini dan ingin terus bekerja di sini. Apa yang akan terjadi jika ia begitu saja menerima tawaran Arion? Sesuka apa pun Val padanya, ia tak mungkin mengorbankan pekerjaan ini. Lagi pula di mana ada Arion, pasti akan ada Saga, bukan? Dua orang itu seperti lem dan perangko. Orang pacaran pun mungkin akan kalah dengan kedekatan mereka. Val tidak ingin Saga akan semakin menganggapnya rendah. Begitu pula Saga. Pria itu pasti tidak akan suka dirinya dekat-dekat dengan atasannya. Untuk sementara fokus pekerjaan dulu. Urusan hati dan cinta bisa menunggu, putus Val. Ia lalu mengetikkan balasannya, “Maaf, Pak, saya nggak bisa.” “Karena Saga?” Pesan Arion masuk beberapa detik kemudian. Val terkejut. Sudut matanya melirik Saga yang sedang menyeruput kop
Arion sedang duduk di kursi kerjanya saat gadis pujaannya masuk dengan gugup. Senyum tipis mengembang di wajah tampannya. Saga yang berdiri di depannya melotot tak senang, tapi ia tidak peduli. Manik hitamnya masih melekat pada Val yang bergerak kaku di sana. Sejujurnya Val kebingungan hendak duduk di mana. Sofa yang menempel di dinding sudah penuh oleh Rara dan lainnya. Akhirnya ia memutuskan untuk berdiri saja di sebelah sandaran sofa tempat Rara berada. “Sori, Val, sudah penuh,” bisiknya. Val mengangguk dan tersenyum. Matanya menangkap buku kecil dan pulpen di pangkuan Rara dan lainnya. Mendadak Val sadar, ini adalah meeting pertamanya dan ia tidak membawa apa pun. Uh, oh! Bodoh sekali kamu, Val! rutuknya dalam hati. Ia meremas tangannya yang mulai basah dan kebas. Sementara Val berdiri kikuk, dua pria tampan itu sama-sama menatap ke arahnya. Yang satu memandang dengan senyum di bibirnya, satunya lagi dengan mata menyipit
“Ga …?” “Ah, apa …?” Saga baru tersadar ketika Val menggoyang-goyangkan lengan jasnya. Val menatap pria yang kini sudah menjadi suaminya. Ia lalu memandang arah yang tadi dilihat Saga, tetapi tidak menemukan ada yang aneh di sana. “Kenapa lihat ke sana terus? Sudah waktunya kita turun,” katanya. “Oh, ayo.” Saga menggandeng tangan Val dan membantunya turun dari panggung. Tak lama, Val dan Saga duduk bersama keluarga mereka. Menikmati jamuan makan malam yang disediakan. Obrolan ringan juga turut mewarnai kehangatan keluarga baru itu. Beberapa jam kemudian, acara selesai. Seluruh tamu undangan sudah meninggalkan gedung. Para keluarga sebagian meninggalkan gedung, sebagian lagi menginap di hotel yang sama dengan Val dan Saga. Mereka memang sengaja menyediakan kamar kosong untuk beberapa keluarga yang tinggal di luar kora, seperti Tante Icha dan Riska. Val dan Saga diantar Kaira dan Arion ke kamar hotel mereka. Kaira tampak bahagia dengan senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya.
“Kamu sudah yakin, Val?” Rima bertanya pada putrinya karena sedikit khawatir. Val mengangguk dan tersenyum. “Iya. Masa sudah begini, masih ditanya lagi sih?” Rima tersenyum sedikit. “Kamu bisa bilang ke Mama, Val. Nanti Mama yang akan cari cara.” Kali ini Val menggeleng. “Nggak usah, Ma. Memangnya Mama berani bilang sama Tante Diana? Dia teman baik Mama, ‘kan?” Rima diam sejenak lalu menjawab, “Iya, tapi … Mama rasa dia akan mengerti, Val.” “Nggak usah, Ma. Val baik-baik saja kok. Mama juga sudah lihat sendiri, ‘kan?” Val memamerkan senyum terbaik dan tercantiknya. “Saga pasti juga begitu.” Rima menatap putrinya sekali lagi. Val pun mengangguk untuk meyakinkan sang ibu. “Baiklah kalau begitu. Mama keluar dulu. Tamu-tamu sudah banyak yang datang.” Rima berdiri lalu keluar dari ruangan itu. Val mengantarnya dengan senyum bahagia. Ketika pintu di depannya tertutup, senyumnya memudar. Sungguh merupakan keputusan yang sulit baginya, tapi ia harus melakukannya. Sementara itu, di rua
“Aaah … capek juga ternyata bikin kue!” keluh Val sambil mengempaskan tubuh ke tempat tidur. Ia baru saja memasukkan dua loyang kue ke oven dan mengatur waktunya. Sambil menunggu, ia berniat beristirahat sebentar. Dari luar, Val bisa saja tertawa lepas seolah tidak ada yang mengusiknya. Namun, hatinya menjeritkan rindu yang sama pada seseorang. Berbagai kenangan bersama Saga mulai bermunculan, menggoda dirinya, dan membawanya kembali ke masa lalu yang jauh. Masa-masa di mana ia sama sekali tidak menyadari perhatian-perhatian kecil Saga padanya. “Aku mau ke kantin! Ada yang titip?” tanya Nita sambil berdiri. Saat itu, tim mading yang terdiri dari Saga, Val, Nita, Noah, dan Andi, sedang mengerjakan proyek minggu ini. Mereka berkumpul di ruang OSIS sepulang sekolah. Segera anak-anak menyebutkan pesanannya dan Nita pun berlalu. Val tidak pernah mengetahui bahwa saat itu Saga selalu memperhatikan gerak-geriknya. Apa pun yang ia lakukan, selalu mampu membuat senyum Saga mengembang. Namun
Val terbangun di Minggu pagi yang cerah. Sinar matahari sudah masuk dari jendela yang terbuka lebar. Kehangatannya memenuhi kamar dan tubuh Val yang masih memeluk guling, sambil mengejap-ngejapkan mata untuk menyesuaikan perubahan yang mendadak. Beberapa detik kemudian tubuh Val tegak di tempat tidur dengan rambut kusut dan wajah kusam. Samar-samar telinganya menangkap percakapan di luar. Ada suara ibunya dan suara lain yang tidak ia kenal. “Maaf, Bu Rima, sudah ganggu pagi-pagi.” “Oh, nggak apa-apa, Bu. Saya yang terima kasih karena sudah diberi ini.” “Itu cuma hasil kebun dari kampung, Bu. Kebetulan kemarin baru pulang dari sana.” “Pantesan kelihatan segar ini. Terima kasih banyak, Bu Nuri.” “Sama-sama, Bu. Baiklah, saya permisi dulu.” “Silakan.” “Siapa itu? Tetangga?” gumam Val lalu beringsut turun dari tempat tidur dan keluar. Baru saja ia menutup pintu di belakangnya, sang ibu muncul sambil membawa dua sisir pisang ambon di tangan. “Sudah bangun, Val?” sapa Rima. Val men
Hari pun berganti. Biasanya di akhir pekan banyak pasangan menghabiskan waktu bersama, termasuk Val dan Saga. Namun, kali ini berbeda. Pasangan yang dalam satu minggu ke depan akan melangsungkan pernikahan itu sedang ditimpa masalah. Masing-masing menghabiskan waktu di tempat yang berbeda dengan sikap yang berbeda pula. Saga seperti orang gila yang kehilangan sesuatu yang teramat berharga baginya. Telepon dari calon mertuanya membuatnya tersiksa sepanjang malam hingga tidak bisa tidur. Hari yang seharusnya cerah ini terasa begitu buruk bagi Saga. Sedari pagi, pria itu mondar-mandir di apartemennya. Seluruh penampilannya tampak berantakan. Botol-botol minuman berserak di meja dan lantai membuat ruangan itu sudah seperti kapal pecah. Bel pintu berbunyi. Buru-buru Saga membukanya dan langsung membentak. “Kai! Arion! kenapa kalian lama sekali?! Kenapa baru datang?!” Arion dan Kaira saling berpandangan lalu mengembuskan napas kesal. “Gimana bisa cepat kalau baru setengah jam lalu kau
Di ruang kerjanya, Arion mengamati layar ponsel yang berisi panggilan dari Val. Beberapa waktu lalu, gadis itu meneleponnya. Meminta izin tidak masuk hari ini. Ia sudah menduga ada sesuatu yang terjadi dengan dua sahabatnya itu. Tanpa mendapat jawaban yang sebenarnya, ia malah mendengar sesuatu yang tidak disangkanya sama sekali. Bentakan Saga, jeritan Val, ia mendengar semuanya dari ponsel yang tidak dimatikan dengan benar. Tidak tahan membayangkan apa yang terjadi di sana, Arion menekan tombol merah. “Apa yang kamu lakukan, Ga? Kenapa kamu begitu? Kenapa kalian seperti ini?” Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Arion. Andai saja ia bisa merebut gadis itu kembali, ia akan melarang Saga berbuat sesukanya. Sekarang ini, ia tidak berdaya untuk membantu apa pun. Itu sudah di luar kendalinya, bukan haknya. Arion mengangkat kepala ketika Saga muncul di ambang pintu ruangannya. Wajahnya tampak kacau dan ia sangat gugup. “Rion …,” katanya lirih. Arion berdiri dan mendekati Saga.
Val yang sangat merindukan kekasihnya itu membalas cumbuan Saga di bibirnya. Namun, beberapa detik kemudian ia mendorong pria itu menjauh. Wajahnya merah. “Kenapa?” Saga heran. “Ini nggak benar,” jawab Val. “Apanya yang nggak benar?” “Masalah ini, nggak semudah itu selesai.” Saga membawa wajah Val menatapnya. “Apanya yang belum selesai?” “Apa buktinya kalau wanita itu nggak akan menganggumu lagi?” “Aku sudah melarangnya. Aku sudah memintanya untuk nggak ganggu aku, kita. Apa lagi?” “Kamu yakin dia akan menurut begitu saja? Kulihat, dia orang yang selalu bisa mendapatkan keinginannya. Dia nggak semudah itu menyerah.” “Lalu, apa maumu, Val? Aku sudah nggak mau lagi berurusan dengannya.” Val masih menatap Saga mencari kebenaran di sana. “Begini saja, kalau sampai dia menghubungiku lagi, aku akan melaporkannya ke polisi. Bagaimana?” “Apa akan berhasil?” “Aku nggak tahu, tapi nggak ada
Setelah Erin pergi dengan wajah tak percaya dan tidak terima diperlakukan begitu, Saga terduduk di sofa dengan kepala sakit. Semua tampak berputar-putar di depan matanya. Bayangan wajah Val yang menangis membuatnya merasa jadi manusia paling bodoh di dunia. Ia merasa bersalah dan rasa itu lebih menyakitkan daripada saat Erin meninggalkannya. Tidak punya pilihan lain, Saga menghubungi seseorang yang ia percaya. “Aku butuh bantuanmu.” Sementara itu, Val menangis dalam diam di kamarnya. Ia ingin memercayai ucapan Saga, tapi apa yang dilihatnya tadi begitu menyakitkan. Sungguh ia tidak bisa membayangkan perjalanan cintanya akan sesulit ini. Pernikahan yang sudah di depan mata, bagaimana nasibnya, ia tidak tahu. Ponsel Val yang bergetar menghentikan isak tangisnya begitu melihat nama peneleponnya. Buru-buru ia menghapus sisa-sisa kesedihan dan mengatur napasnya, sebelum menjawab. “Val, kamu belum tidur?” Rima, ibunya menyapa. “Ah, Mama. Be
Val menatap gedung apartemen yang menjulang tinggi di depannya. Rasanya baru sebentar lalu ia berlari ke gedung sebelah ketika mendengar Saga sakit. Kini, menatapnya hanya menambah garam di atas lukanya. Ia teringat perkataan Noah bahwa Saga butuh waktu.Meski begitu, Val benar-benar merindukan Saga. Ia ingin bertemu dengannya. Ia juga telah membuat sebuah keputusan, dengan harapan itu akan membantu Saga menyelesaikan masalah ini.Kaki Val melangkah dengan mantap ke apartemen Saga. Ia sudah mempunyai kuncinya, jadi tidak ada masalah bila langsung mendatanginya, ‘kan? Ia akan menunggu jika Saga belum pulang dari urusannya, entah apa itu.Niat seringkali bertolak belakang dengan keberanian. Tangan Val bergetar ketika hendak memindai nomor kartu di pintu. Jantungnya berdegup kencang. Ia kemudian bimbang, apakah ini tindakan yang tepat? Namun, tekadnya sudah bulat. Ia pun membuka pintu itu. Sayangnya, apa yang ia lihat di dalam sana tidak sesuai dengan keingin