“Kelihatannya sudah lumayan sih,” kata Val mengamati kaus abu-abu di tangannya. Ia lalu memasukkannya dalam tas yang sudah disiapkan.
“Semoga saja dia nggak terlalu mempermasalahkannya,” gumamnya pasrah.
Kemarin ia memberanikan diri menghubungi Arion untuk mengembalikan bajunya. Sesuai kesepakatan dalam pesan singkat, mereka akan bertemu di tempat yang sama seperti hari Jumat kemarin.
Val mengambil napas panjang ketika langkahnya sudah mendekati gedung perkantoran itu. Jantungnya berdebar akan bertemu pria tampan itu lagi. Sejak pertemuan itu, setiap malam Val memimpikan masa depannya bersama laki-laki itu. Bahkan ketika menonton drama kesukaannya, ia membayangkan jika dirinya dan Arion menjadi tokoh utamanya dan berakhir bahagia.
Kaki ramping Val melangkah yakin memasuki kedai kopi tempat mereka akan bertemu. Dalam hati ia berdoa supaya semuanya berjalan lancar hari ini.
Salah satu kursi di area luar kedai, sudah diduduki seseorang. Val hanya bisa melihat punggung yang terbalut kaus lengan panjang berwarna pastel.
Val mengembuskan napas panjang sebelum menyapa pria itu. “Selamat pagi.”
Pria itu menoleh dan senyumannya kembali membuat hati Val porak-poranda.
“Selamat pagi, Val,” sapanya lalu mempersilakan Val duduk.
Val menyerahkan tas di tangannya. “Ini. Sudah saya bersihkan. Maaf kalau nggak maksimal. Atau saya perlu menggantinya?”
Arion mengamati pakaian itu sebentar, lalu menggeleng. “Nggak perlu, ini sudah cukup. Ayo, duduk. Minum atau mungkin sarapan dulu.” Matanya menatap Val yang masih berdiri.
Ini adalah kesempatan Val untuk mengenal pria menawan itu lebih jauh. Setelah hari ini, mungkin ia tak punya alasan lagi untuk menemui Arion. Namun, ia juga tak punya waktu untuk berbincang-bincang santai seperti sekarang. Ia harus bekerja.
Seharusnya aku nggak membawa bajunya sekarang. Harusnya aku mengulur waktu supaya bisa bertemu berkali-kali. Tapi, kalau begitu, kesanku jadi jelek di matanya. Sudahlah, kalau memang berjodoh nggak akan ke mana, ‘kan?
“Terima kasih tawarannya. Tapi, saya harus bekerja sekarang. Ini hari pertama saya,” jawab Val akhirnya.
“Oh, maaf! Aku jadi menganggu waktu kamu,” kata laki-laki itu merasa bersalah. Ia lalu berdiri. “Kalau boleh tahu, kerja di mana? Mau kuantar sekalian?”
“Ah, nggak usah. Saya bekerja di gedung itu, di lantai 15,” jawab Val buru-buru. Ia merasa tidak enak hati untuk menerima kebaikan Arion lagi.
Arion menatap gedung yang dimaksud Val dan mengangguk paham. “Baiklah, kalau begitu. Selamat bekerja!” katanya.
Val mengangguk dan pamit. Tak lama ia kembali menoleh saat Arion memanggilnya.
“Val! Apa kita masih bisa bertemu lagi?”
Otak Val seakan membeku mendengarnya. Kalimat yang meluncur dari bibir Arion memberi harapan untuk pertemuan berikutnya.
Val tersenyum. “Entahlah! Jika Tuhan mengizinkan … mungkin saja!” Ia melihat anggukan Arion.
“Sampai ketemu lagi kalau begitu,” katanya. Ia melambaikan tangan sebelum Val berbalik meninggalkannya.
Arion duduk kembali di kursinya. Pagi ini terasa sangat indah sekali baginya. Ia juga tak pernah merasa sesenang ini. Senyum masih bertahan di wajahnya saat ia menghabiskan kopi dan sarapannya di kedai.
Beberapa saat kemudian Arion bangkit menuju mobil yang terparkir di sebelah kedai. Ia mengganti pakaiannya dengan kaus dari Val lalu mulai berlari mengelilingi perkantoran itu.
Arion baru kembali ke mobil saat mendekati waktu makan siang. Di sana, ia menelepon seseorang.
“Setelah makan siang, aku akan datang. Kamu bisa menjemputku?” Ia menatap tas hitam di jok sebelahnya lalu senyumnya mengembang. “Atau kita makan siang dulu sekarang?”
Arion tertawa mendengar jawaban di seberang kemudian menutup teleponnya. Ia menunggu beberapa saat sambil merapikan rambut dan wajahnya yang basah oleh keringat.
Seorang laki-laki seusianya keluar dari pintu gedung kaca dekat ia memarkir mobilnya. Menoleh ke sana ke mari lalu berlari menghampiri Arion yang segera membuka pintu.
“Dasar kau ini! Kau ‘kan bukan anak kecil lagi yang harus dijemput!” gerutunya saat sudah berada di dalam mobil.
Arion hanya bisa tertawa. Hari ini hari yang membahagiakan untuknya. Dia sadar sudah sejak pagi tadi ia tersenyum-senyum sendiri. Sebentar lagi, mungkin ia akan meledak saking girangnya.
“Padahal aku sudah semingguan nggak ke sini. Bukannya kangen sama aku, malah marah-marah.” Arion mencibir.
Pria itu bergidik jijik. “Sepertinya kau harus ke rumah sakit lagi memeriksakan otakmu.”
“Mau makan di mana?” tanya Arion setelah puas tertawa. Ia memutar mobilnya keluar ke jalan raya.
“Memangnya kau sudah boleh makan apa saja?”
Arion mengangguk. “Aku sudah sehat kok. Sudah beberapa hari lalu aku lari pagi lagi.”
Pria di sebelahnya melotot. “Jadi, dari kemarin-kemarin kau lari pagi di sini? Yang benar saja!”
Arion tertawa lagi. Ia memang sempat dirawat di rumah sakit karena masalah pencernaan selama seminggu dan keluar beberapa hari setelahnya. Ia tak bisa menunda lebih lama lagi untuk melakukan hobinya. Badannya menjadi kaku dan tidak nyaman karena tidak diizinkan lari pagi selama sakit. Area perkantoran itu tempat favoritnya.
“Bagaimana situasinya tanpa aku? Pasti aman terkendali.” Arion menoleh.
“Jelas dong! Rasanya memang percuma saja kau masuk kerja. Bagaimana jadinya kalau aku nggak di sini.”
“Yep. Kamu memang yang terbaik. Nggak salah aku memilihmu.”
“Kalau begitu, kau harus menaikkan gajiku.”
Arion tertawa lagi. “Beres!”
“Sepertinya kau senang sekali hari ini.”
Arion mengangguk sambil mengarahkan kendaraannya masuk ke sebuah warung soto favoritnya. Setelah memesan, mereka duduk melanjutkan pembicaraan.
“Jangan bilang kalau kau menggoda perawat-perawat di rumah sakit, lalu menembak salah satunya? Atau mungkin dokternya?”
“Kamu percaya nggak, cinta pada pandangan pertama?” Arion balik bertanya. “Sepertinya aku sedang mengalaminya sekarang. Ah, bukan, tepatnya beberapa hari lalu. Saat aku lari pagi.”
Teman pria di sebelahnya hanya diam mengamati pandangan Arion yang menerawang entah ke mana. Ia memutuskan untuk membiarkan sahabatnya melamun sepuasnya sebelum berkutat dengan tumpukan pekerjaan nanti.
Makan siang itu berlalu dengan cepat. Setelah membahas beberapa daftar pekerjaan, mereka kembali ke perkantoran tadi.
Pagi itu Saga terlihat sibuk di mejanya. Beberapa kali ia mengecek surel dan laman yang memuat beberapa tulisannya. Junior sebelumnya berhenti bekerja karena melahirkan dan sekarang ia yang bertugas mengurus semua sampai mendapat penggantinya. Ditambah lagi atasannya, sedang dalam proses pemulihan setelah sakit, membuatnya semakin sibuk. Ia harus menangani tugas tiga orang sekaligus. Sekalipun ia sudah membagi tugas dengan yang lain, ada pekerjaan yang memang harus dikerjakan sendiri. Beberapa hari yang lalu dirinya sudah menghubungi bagian Personalia menanyakan kekosongan pegawai di tempatnya. Mereka bilang sudah menemukan penggantinya, dan membuat Saga sedikit lega. “Semoga saja dia benar-benar orang yang kompeten. Kelihatannya sepele, tapi dampaknya besar,” gumam Saga sambil menata berkas-berkasnya. Tumpukan kertas itu ia letakkan di meja kosong sebelahnya yang sebentar lagi akan terisi. “Untuk permulaan, rasanya cukup segini dulu.” Sekali lagi ia
Kedua pria itu masuk ke ruangan kaca dan menutup pintunya. Val yang sedari tadi menahan napas karena terkejut segera mengembuskan napasnya kuat-kuat. Ia meremas dadanya yang tiba-tiba sesak. Hidungnya menghirup udara banyak-banyak untuk mengisi paru-parunya yang kosong. Yang tadi itu … Arion, ‘kan? Arion yang itu? Dia pakai baju olahraga yang kukembalikan tadi pagi? pikir Val terkejut. Ia menepuk-nepuk pipinya mengecek apakah ia masih tidur atau sudah bangun. Pipinya terasa panas. Itu artinya hal yang terjadi hari ini adalah kenyataan. Kenyataan yang tidak pernah ia bayangkan sama sekali. Kedatangan Saga yang menggeser kursi lalu duduk di sana, membawa Val kembali dari lamunan. Ia bisa merasakan tatapan Saga yang menusuk. Benak Val mulai berpikir macam-macam. Apa yang mereka bicarakan di dalam? Apakah mereka membicarakanku? Jangan ge-er, Val! Memangnya siapa kamu? Kamu pegawai di sini! “Jangan melamun! Lekas lakukan tugasmu!”
“Jadi, dia yang membuatmu senyum-senyum sendiri seperti orang gila?” Saga mencondongkan tubuhnya pada Arion yang kini tertawa kecil. “Kamu ingat waktu aku meneleponmu hari Jumat lalu?” Arion melihat anggukan Saga lalu melanjutkan, “Itu pertemuan pertamaku dengannya. Kalau tidak salah, waktu itu ada interview untuk mengisi kekosongan di tempatmu, ‘kan? Kamu nggak ketemu dia?” Saga menggeleng. “Nggak. Aku serahkan semuanya pada Fanny. Aku yakin dia sudah paham orang seperti apa yang kucari.” “Sayang sekali. Kalau saja kamu sempat bertemu dengannya. Dia lucu sekali tahu waktu baju ini ketumpahan kopi yang kubawa. Nggak sengaja sih.” “Maksudnya?” Saga tidak mengerti. Memang sejak beberapa hari lalu sahabatnya ini bertingkah aneh. “Kamu mau tahu cerita lengkapnya?” “Nggak tertarik!” jawab Saga cepat. Namun, di dalam hatinya ia penasaran apa yang membuat Arion bisa jatuh cinta pada pandangan pertama dengan pegawai baru itu. Biasanya
Val menutup pintu ruangan Arion dengan cepat lalu duduk di kursinya. Ia menghela napas lega seolah beban berat telah terangkat dari dadanya. Dengan satu tangan, ia mengusap keringat yang mengucur di dahi dan leher. “Aku harus minum,” gumamnya sambil beranjak menuju pantri. Ia mengambil gelas di lemari dan mengisinya dengan air. “Kamu ngapain tadi di ruang pak Rion lama sekali?” Tiba-tiba saja Rara sudah berdiri di sampingnya. Ia juga melakukan hal yang sama seperti Val. Sedikit tersedak, Val menatap Rara. “Bu-bukan apa-apa. Hanya bertanya sedikit tentang pekerjaanku,” katanya berbohong. Ia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. “Nggak kayak biasanya deh,” celetuk Rara. “Dua orang sebelum kamu, Pak Rion nggak pernah begitu tuh!” “Oh, aku nggak tahu. E-entahlah, mungkin suka-suka dia aja.” Val gugup dan khawatir kebohongannya akan terungkap. Rara mengangguk. Ia lalu kembali ke mejanya dengan membawa segelas air. Tak lama Val juga mening
Pukul delapan kurang sepuluh menit, pintu lift terbuka. Val melangkah masuk ke ruangan di lantai 15 itu dan mendapati Saga sudah berada di sana. Pria itu sedang menatap serius pada monitornya. Val melihat sekeliling. Rara dan lainnya, bahkan kepala bagian sebelah sana belum tampak tanda-tanda kehadirannya. Pagi banget datangnya, gumam Val dalam hati. Ia mendekati meja dan menyapanya, “Selamat pagi, Pak.” Tidak mendapatan jawaban dari Saga, Val pun meletakkan tas dan hendak duduk di kursi. Belum juga pantatnya menyentuh kursi, seniornya itu berkata, lebih tepatnya memerintah, “Val, coba kau cek di halaman itu. Catat dan beri koreksi untuk ke depannya. Kau lihat post-it itu?” Val menatap kertas kuning yang tertempel di monitornya yang sudah menyala. Ada tulisan yang mirip coretan di kertas kecil itu. “Kau buka tautan itu. Pelajari isinya, dan berikan pendapat atau ide tambahan untuk menaikkan jumlah kunjungan.” Saga menambahkan
Val mendelik tak percaya membaca pesan yang dikirim Arion. Sesungguhnya ia melonjak girang dan bisa saja menjawab ‘iya’, tapi posisinya tidak memungkinkan untuk itu. Dia adalah orang baru di kantor ini dan ingin terus bekerja di sini. Apa yang akan terjadi jika ia begitu saja menerima tawaran Arion? Sesuka apa pun Val padanya, ia tak mungkin mengorbankan pekerjaan ini. Lagi pula di mana ada Arion, pasti akan ada Saga, bukan? Dua orang itu seperti lem dan perangko. Orang pacaran pun mungkin akan kalah dengan kedekatan mereka. Val tidak ingin Saga akan semakin menganggapnya rendah. Begitu pula Saga. Pria itu pasti tidak akan suka dirinya dekat-dekat dengan atasannya. Untuk sementara fokus pekerjaan dulu. Urusan hati dan cinta bisa menunggu, putus Val. Ia lalu mengetikkan balasannya, “Maaf, Pak, saya nggak bisa.” “Karena Saga?” Pesan Arion masuk beberapa detik kemudian. Val terkejut. Sudut matanya melirik Saga yang sedang menyeruput kop
Arion sedang duduk di kursi kerjanya saat gadis pujaannya masuk dengan gugup. Senyum tipis mengembang di wajah tampannya. Saga yang berdiri di depannya melotot tak senang, tapi ia tidak peduli. Manik hitamnya masih melekat pada Val yang bergerak kaku di sana. Sejujurnya Val kebingungan hendak duduk di mana. Sofa yang menempel di dinding sudah penuh oleh Rara dan lainnya. Akhirnya ia memutuskan untuk berdiri saja di sebelah sandaran sofa tempat Rara berada. “Sori, Val, sudah penuh,” bisiknya. Val mengangguk dan tersenyum. Matanya menangkap buku kecil dan pulpen di pangkuan Rara dan lainnya. Mendadak Val sadar, ini adalah meeting pertamanya dan ia tidak membawa apa pun. Uh, oh! Bodoh sekali kamu, Val! rutuknya dalam hati. Ia meremas tangannya yang mulai basah dan kebas. Sementara Val berdiri kikuk, dua pria tampan itu sama-sama menatap ke arahnya. Yang satu memandang dengan senyum di bibirnya, satunya lagi dengan mata menyipit
Saga membereskan meja dan mematikan komputernya setelah keluar dari ruangan Arion. Ia sudah memperingatkan sahabatnya sekali lagi untuk tidak mengganggu Val di kantor. Namun, sepertinya Arion sudah tergila-gila pada gadis itu, dan tidak menghiraukan ucapannya. Itu yang membuat Saga semakin kesal. Val yang masih menyelesaikan pekerjaan terakhirnya, mengamati Saga diam-diam dari ekor matanya. Ternyata Arion bisa juga membuat orang ini kesal! pikirnya. “Kau bereskan semua. Dan jangan lupa mematikan komputermu!” Saga memerintah sebelum ia pergi tanpa mendengar jawaban Val. Tak lama, Arion pun keluar dari ruangan dan berpamitan pada Val yang dibalas dengan anggukan pelan. Pria itu juga melakukan hal yang sama pada Rara dan lainnya. Setelah Arion turun, Rara langsung menyerbu Val dengan rentetan pertanyaan. Demikian juga Dewi dan Sandy yang terlihat bersemangat. “Val! Apa-apaan tadi itu?” sembur Rara. Ia menarik Val berdiri setelah mengambi