Ruang latihan teater yang luas, dindingnya dipenuhi cermin besar. Beberapa kursi kayu tersusun berantakan di sudut, sementara lampu panggung menyinari meja panjang yang dipenuhi naskah dan botol air mineral. Di sisi ruangan, tirai merah tebal menggantung, membatasi panggung kecil yang digunakan untuk latihan.
Nara berdiri di tengah panggung kecil, memegang naskah di tangan. Wajahnya tampak serius, berusaha mencerna kata-kata yang baru saja dia baca. Maya duduk di tepi panggung, mengamati dengan penuh perhatian. Maya sedikit kesal tapi ia mencairkan suasana dengan bercanda. “Hei, Nara, ini baru latihan, bukan audisi besar. Santai sedikit, dong.” Nara melirik Maya sambil mengerutkan dahi sembari mengangkat naskah di tangannya. “Santai? Gimana aku bisa santai kalau dialognya kayak...begini?” Nara mendekati Maya lalu berbicara dengan suara pelan. “Itu dia masalahnya, May. Dialog ini... terasa aneh. Seperti aku pernah mendengarnya sebelumnya.” Maya tertawa kecil pada Nara. “Yah, kan semua drama pasti mirip. Konflik keluarga, cinta terlarang, rahasia besar. Itu resep klasik.” Nara menatap Maya, kemudian menggelengkan kepala dengan ekspresi bingung. Nara sedikit menghela nafas panjang. “Bukan soal klise atau enggak, tapi...kalimat ini. Aku merasa pernah mengucapkannya.” Maya merasa cemas, tapi mencoba mencairkan suasana. “Mungkin di kehidupan sebelumnya kamu penulis naskah?” Sebelum Nara sempat menjawab, suara langkah kaki berat terdengar mendekat. Aksara masuk ke ruangan dengan ekspresi tenang tapi tegas. Semua mata tertuju padanya. Aksara berdiri di tengah ruangan, mengenakan jas hitam sederhana. Dia menatap Nara dengan pandangan tajam. Dengan wajah serius Aksara menghampiri Nara. "Nara, bagaimana menurutmu naskahnya?” Nara terkejut, mencoba menjawab dengan hati-hati. “Jujur, ini... luar biasa. Tapi, beberapa bagian terasa... terlalu familiar.” Aksara senyum tipis “Familiar?” Nara sedikit terbata “Ya, seperti aku pernah mengalaminya.” Aksara bebicara dengan nada misterius “Itu berarti kamu memahami inti cerita ini. Tidak semua orang bisa merasakannya seperti itu.” Nara terdiam, merasa ucapannya tidak ditanggapi serius. Maya, yang sejak tadi memperhatikan, mencoba mencairkan suasana. Maya kemudian membuka suara dengan nada santai. “Pak Aksara, dari mana Anda mendapatkan inspirasi untuk naskah ini? Ceritanya begitu hidup, seolah-olah memang terjadi di dunia nyata.” Aksara menatap Maya, lalu ke Nara. “Inspirasi? Kehidupan itu sendiri adalah panggung terbesar. Terkadang, cerita terbaik lahir dari luka terdalam.” Aksara menatap Nara lebih lama, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain. Nara merasa tidak nyaman, tetapi tidak bisa mengalihkan pandangannya. Setelah Aksara pergi, Nara kembali duduk, tetapi pikirannya masih dipenuhi kegelisahan. Maya menghampirinya dengan wajah serius. “Kamu baik-baik saja?” Nara menunduk, berbisik “Aku enggak tahu, May. Rasanya... ada sesuatu yang salah.” Maya merangkul pundak sambil menepuk bahu Nara “Hey, kamu cuma terlalu tegang. Ini cuma naskah, bukan ramalan masa depan.” Nara mengangkat naskahnya, membaca dialog dengan pelan. Dia berhenti di salah satu kalimat, tatapannya tiba-tiba berubah kosong. Nara bergumam dalam hati "Setiap rahasia akan terbuka, tak peduli seberapa rapat kau menutup tirai." Maya terkejut melihat ekspresi Nara “Kenapa, Nara?” Nara berbisik ditelinga Maya “Itu... Itu adalah kata-kata terakhir yang aku dengar dari ayahku sebelum dia menghilang.” Setelah Nara mengatakan dialog terakhir ayahnya, suasana menjadi sunyi. Maya terlihat bingung sekaligus khawatir. Di kejauhan, suara langkah kaki kembali terdengar, tetapi kali ini pelan dan berirama seperti gema di lorong kosong. Maya berbisik “Apa maksudmu, Nara? Itu cuma dialog, kan?” Nara masih menatap naskah, suaranya gemetar. “Aku ingat betul. Malam sebelum ayahku menghilang, dia berkata begitu. Jika setiap rahasia akan terbuka, tak peduli seberapa rapat kau menutup tirai.” Maya terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Langkah kaki berhenti. Lampu ruangan tiba-tiba berkedip-kedip, membuat suasana semakin mencekam. Maya berusaha mencairkan suasana dengan bercanda, tetapi suaranya terdengar kaku. Maya tertawa kecil, gugup “Mungkin... mungkin kebetulan? Lagi pula, naskah ini ditulis sama Pak Aksara. Dia pasti enggak ada hubungannya sama....” Tiba-tiba, tirai merah di ujung ruangan bergoyang, meski tidak ada angin. Keduanya terdiam. Nara berdiri perlahan, seperti terhipnotis. Nara dengan suara pelan “Aku harus tahu!” Maya memegang lengan Nara, serta panik. “Tahu apa? Nara, jangan bikin aku takut!” Nara menunjuk ke tirai “Apa yang ada di balik itu?” Maya menelan ludah, mencoba tetap tenang. Namun, suara napas Nara yang berat membuatnya ikut merasa tegang. Dia tahu, ruangan di balik tirai itu jarang digunakan karena sudah lama dikunci. Dengan langkah ragu, Nara mendekati tirai. Maya mengikutinya dengan enggan, mencoba mencegahnya tetapi terlalu takut untuk berkata-kata. Nara menyibak tirai perlahan. Di belakangnya, tampak sebuah pintu tua yang kusam, dengan gagang berkarat. Maya berbisik ditelinga Nara “Itu cuma pintu gudang, Nara. Jangan berlebihan.” Nara menjawab dengan nada datar, seolah yakin “Tidak. Ada sesuatu di dalamnya.” Nara memegang gagang pintu. Ketika dia mencoba membukanya, pintu itu macet. Dia mendorongnya dengan tenaga penuh, dan akhirnya pintu terbuka dengan bunyi berderit yang menyeramkan. Sebuah ruangan gelap terlihat, hanya diterangi sedikit cahaya dari celah tirai. Di dalam, ruangan itu tampak kosong, kecuali sebuah meja kecil di tengahnya. Di atas meja, ada sebuah kotak kayu berukir dengan kunci yang hilang. Nara mendekat, sementara Maya berdiri di pintu dengan cemas. Maya sambil berbisik gugup “Nara... kita enggak seharusnya di sini. Kalau Pak Aksara tahu, dia bisa marah besar.” Nara mengabaikan Maya, menatap kotak itu “Kotak ini... aku pernah melihatnya.” Nara menyentuh kotak itu, lalu membuka perlahan meskipun terkunci. Anehnya, kotak itu terbuka dengan mudah. Di dalamnya ada naskah kuno dengan halaman yang sudah menguning. Pada sampulnya tertulis: "Rahasia di Balik Tirai". Mata Nara membelalak. Maya terkejut, mendekati Nara “Apa itu?” Nara membalik halaman pertama, membaca dialog pembuka dengan suara rendah. Kata-katanya sama persis dengan yang dia baca di naskah latihan mereka. Tapi di sudut halaman, ada tulisan tangan yang tampaknya dibuat terburu-buru. Tulisan tangan "Kebenaran selalu mencari jalannya. Hati-hati dengan apa yang kau perankan." Nara menatap tulisan itu dengan bingung, lalu beralih menatap Maya. Sebelum Maya sempat berkata apa-apa, suara langkah kaki terdengar lagi dari luar ruangan. Kali ini lebih berat, seolah-olah seseorang sedang mendekat dengan cepat. Maya mulai panik “Ada yang datang! Cepat, Nara! Kita harus keluar dari sini!” Tapi Nara tidak bergerak. Dia masih terpaku pada tulisan tangan itu, seolah-olah menemukan potongan teka-teki yang selama ini dia cari. Nara berbisik pada Maya dengan suara serak “Ayahku yang menulis ini...” Suara langkah kaki semakin dekat. Tirai bergoyang keras, dan layar pun gelap.Ruangan gelap di balik tirai merah. Di dalamnya, kotak kayu berisi naskah kuno menjadi pusat perhatian. Ketegangan memuncak dengan suara langkah kaki mendekat dari luar ruangan. Lampu ruangan tiba-tiba padam, membuat ruangan menjadi gelap gulita. Maya meraih tangan Nara, panik. Maya berbisik “Nara, kita harus pergi! Sekarang!” Namun, Nara tetap terpaku pada kotak kayu di depannya. Dia menatap naskah di tangannya, mencoba mencari petunjuk lebih lanjut. Suara langkah kaki semakin mendekat. Terdengar suara Nara samar-samar “Tunggu. Aku harus tahu lebih banyak.” Maya menjawab dengan cepat dan tegas “Enggak! Kalau ketahuan, kita bisa dikeluarkan dari produksi ini, atau lebih buruk lagi.” Maya menarik tangan Nara, tapi sebelum mereka bisa keluar, pintu tiba-tiba terbuka. Cahaya dari luar menyorot sosok tinggi Aksara. Wajahnya tegas, tetapi matanya tampak menyimpan sesuatu yang tidak bisa ditebak. Aksara dingin “Apa yang kalian lakukan di sini?” Nara dan Maya saling berpandangan. Ma
Ruangan bawah tanah penuh dengan artefak teater tua. Pintu logam telah tertutup, mengurung Nara dan Maya di dalam. Suara langkah kaki semakin mendekat dari lorong gelap di luar. Lampu ruangan mulai berkedip-kedip, membuat suasana semakin mencekam. Nara mencoba membuka kembali pintu logam, tetapi pintu itu terkunci rapat. Nara berbisik dengan nada tegang “Kita harus keluar dari sini, sekarang juga!”Maya menolehkan kepalanya sambil melihat sekeliling “Bagaimana? Pintu itu jelas sudah dikunci dari luar.”Maya menunjuk ke kamera kecil yang tersembunyi di sudut ruangan. Kamera itu berkedip merah, menunjukkan bahwa mereka sedang diawasi.Maya mulai panik “Nara, mereka tahu kita di sini. Apa yang harus kita lakukan?”Nara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Dia menatap ke sekeliling, mencari jalan keluar lain. Matanya tertuju pada sebuah ventilasi udara kecil di sudut ruangan.Nara sambil menunjuk ventilasi “Kita bisa keluar lewat sana.”Maya terkejut “Ventilasi?
Pagi hari yang mendung di pusat kota. Nara berjalan sendirian di trotoar yang sibuk, dengan tas ransel berisi dokumen di pundaknya. Dia memutuskan untuk memisahkan diri sementara dari Maya demi memastikan bahwa mereka tidak terlalu mencolok. Dengan langkah tergesa-gesa, dia menatap sekeliling, memastikan tidak ada yang mengikutinya.Tanpa sadar, dia menabrak seseorang di persimpangan jalan. Benturan itu cukup keras sehingga ranselnya jatuh ke tanah, membuat beberapa dokumen terjatuh. Nara buru-buru menunduk untuk mengambilnya, sementara pria yang dia tabrak juga meraih dokumen-dokumen itu.Nara terlihat sedikit panik “Maaf, saya tidak meliha.”Dia berhenti berbicara ketika matanya bertemu dengan pria di depannya. Pria itu berpenampilan rapi, dengan wajah yang tampan dan penuh pesona. Rambutnya hitam pekat dan tersisir rapi, sementara matanya yang tajam tampak penuh perhatian. Dia tersenyum kecil.Pria itu berdiri sambil menyerahkan dokumen “Tidak apa-apa. Ini milikmu, kan?”Nara menga
Adrian menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Dia menatap Nara lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut. “Maaf. Aku hanya... Aku hanya ingin memastikan kamu aman, Nara.” Nara tersentuh oleh nada tulus Adrian, tetapi dia segera mengalihkan pandangannya, tidak ingin terlihat lemah. “Kita harus tetap fokus pada tujuan. Itu saja yang penting.” Malam semakin larut. Maya sudah tertidur di sofa, sementara Adrian dan Nara duduk di balkon apartemen kecil itu. Angin malam berhembus pelan, membawa suasana keheningan yang sesekali terisi oleh suara kendaraan di jalanan jauh di bawah. Keduanya memegang cangkir kopi hangat di tangan, meski pikiran mereka jelas masih penuh dengan kekhawatiran. Adrian sambil menatap keluar ke arah lampu kota. “Aku selalu percaya bahwa setiap orang punya batasannya. Tapi kamu, Nara... kamu sepertinya tidak pernah berhenti melampaui batas itu.” Nara menatap Adrian dengan alis terangkat. Dia menyesap kopinya dan berbicara dengan nada ringan. “
Setelah malam yang penuh ketegangan, pagi menjelang dengan kabut tipis menyelimuti kota. Di apartemen kecil itu, Nara, Adrian, dan Maya berkumpul di meja dapur, membahas rencana baru. Kopi hangat di cangkir mereka kini terasa hambar, kalah oleh berat pikiran yang mengisi kepala masing-masing. Nara membuka peta yang mereka ambil dari dokumen malam sebelumnya. “Kita harus mulai dari sini. Lokasi ini disebutkan sebagai salah satu pusat operasi Aksara. Jika kita bisa masuk, mungkin kita menemukan bukti untuk menjatuhkannya.” Adrian mengerutkan dahi, memperhatikan peta itu dengan seksama. “Tapi tempat ini dijaga ketat. Kita tidak bisa masuk begitu saja tanpa persiapan.” Maya, yang biasanya penuh candaan, kini berbicara dengan nada serius. “Aku kenal seseorang yang mungkin bisa membantu. Seorang mantan karyawan Aksara yang tahu seluk-beluk sistem keamanan mereka.” Nara mengangkat alis. “Kenapa kamu baru bilang sekarang?” Maya mengangkat bahu dengan cengiran kecil. “Kamu tidak pernah ta
Malam di balkon hotel itu menjadi awal dari percakapan yang tidak pernah Adrian atau Nara duga. Setelah begitu lama hidup dalam bayang-bayang pelarian dan ketakutan, ada sesuatu yang terasa berbeda. Udara malam yang dingin tidak mampu menyembunyikan kehangatan yang perlahan tumbuh di antara mereka.“Aku ingin tahu, kalau ini semua berakhir... apa yang akan kamu lakukan?” Kata Adrian tiba-tiba, memecah keheningan.Nara menatapnya, sedikit bingung dengan pertanyaan itu. “Maksudmu?”“Setelah Aksara jatuh. Setelah semua ini selesai. Apa yang kamu inginkan, Nara?”Nara terdiam, mencoba mencari jawaban yang tepat. Tapi setiap kali dia memikirkannya, kepalanya terasa penuh dengan keraguan. “Aku nggak tahu, Adrian. Aku nggak pernah berpikir sejauh itu. Selama ini, aku hanya fokus untuk bertahan hidup.”Adrian mengangguk pelan, memahami jawabannya. “Itu adil. Tapi... kamu berhak memikirkan tentang masa depan. Tentang kebahagiaanmu sendiri.”“Kebahagiaan, ya? Aku nggak yakin itu sesuatu yang bi
Fajar menyingsing, menyapu kegelapan malam dengan lembut. Rumah kecil di pinggiran kota itu masih hening. Maya tertidur di sofa, sementara Adrian tetap terjaga di kursi dekat jendela, memeriksa ponselnya untuk memastikan tidak ada perkembangan buruk. Nara, di sisi lain, duduk di ruang kerja kecil, mempelajari kembali peta dan catatan mereka. Tiba-tiba, telepon Maya yang berada di meja mulai bergetar pelan. Suara itu memecah keheningan dan membuat mereka semua waspada. Maya terbangun, langsung meraih teleponnya dan membaca pesan yang masuk. Wajahnya berubah tegang. “Berita tentang Aksara sudah menyebar luas,” katanya dengan suara serak. “Tapi ada yang aneh. Seorang sumber dari dalam mengatakan bahwa ada satu nama besar yang sengaja tidak disebutkan dalam dokumen kita.” Adrian mendekat, membaca pesan itu dari balik pundak Maya. “Maksudnya apa? Kita sudah memastikan semuanya lengkap sebelum menyerahkannya.” Maya menggeleng. “Entah bagaimana, nama itu berhasil dihapus. Tapi sumberk
Malam gelap menyelimuti gudang tua yang menjadi tempat persembunyian Nara, Adrian, Maya, dan kini Reza. Mereka semua berada di ujung kelelahan, tetapi semangat untuk melanjutkan perjuangan terus membara. Bukti-bukti di flash drive Reza menjadi nyala kecil harapan di tengah derasnya ancaman. Namun, ancaman itu tidak hanya datang dari luar. Ketegangan di antara mereka mulai terasa. Adrian, yang masih merawat luka Maya, sesekali melirik Reza dengan pandangan penuh curiga. “Kamu yakin tidak sedang memanfaatkan kami?” tanya Adrian tajam. Reza mendesah. “Kalau aku ingin menyerahkan kalian, aku sudah melakukannya sejak dulu. Aku kehilangan segalanya karena Aksara. Keluarga, pekerjaan, semuanya. Aku di sini untuk membalas dendam.” “Cukup,” potong Nara. Dia menatap Adrian dan Reza bergantian. “Kita tidak punya waktu untuk saling mencurigai. Yang penting sekarang, kita harus menyusun langkah berikutnya.” Reza mengeluarkan peta gedung utama Aksara dari dalam tasnya. “Ada satu tempat yang mun
Nara tak menyangka jika Adrian bisa sampai terluka parah bersimbah darah. Ia segera mamapah Adrian kedalam Apartemennya. Kemudian ia menutup pintu dan membawakan obat untuk segera membalut tangan Adrian yang terluka. “Adrian apa yang terjadi padamu? Kenapa bisa sampai seperti ini?” Tanya Nara dengan rasa khawatir yang menyelimuti dirinya, dan nampak begitu jelas di wajah Nara. “Aku tidak apa-apa, hanya tak sengaja menabrak seseorang saat akan keluar dari rumah.” Jawab Adrian mencari alasan agar Nara tidak terlalu mengawatirkan dirinya. “Kamu jangan membohongiku! Ini jelas-jelas luka senjata tajam, ini belati yang mengandung racun. Dan racunnya baru saja aku bersihkan, mungkin masih tersisa sedikit.” “Kamu tahu tentang obat-obatan Nara?” Tanya Adrian penasaran. Nara menganggukkan kepalanya, dan menjelaskan jika ia belajar mengenal obat-obatan sejak ia masih kecil, ia sering membuat berbagai macam ramuan herbal untuk segala penyakit. “Aku tak menyangka jika kau begitu teramp
Hati mereka begitu hancur mendengar Nara tak sadarkan diri. Setelah Nara dipindahkan keruangan VIP, mereka begitu tegang menunggu berjam-jam hingga jam 3 dini hari, Nara belum juga ada tanda-tanda perubahan. Adrian tak menyangka jika Nara akan seperti ini. Ditengah kegelisahannya. Datanglah Maya dan Reza yang baru saja membeli makanan untuk mereka. “Makanlah walau sedikit, jika kamu sakit siapa yang akan menjaga Nara nantinya?” Sambil menerima nasi jitak yang diberikan oleh maya untuknya. “Terimakasih May, maaf jadi merepotkanmu! Apa kalian sudah makan?” “Tidak apa, kebetulan kami sudah makan tadi diwarung makan. Kami bersyukur juga jam segini, masih ada warung makan yang buka.” Andrean merasa terharu dengan kebaikan sahabat, yang belum lama ia kenal. Keesokan paginya disaat mereka sedang terlelap tidur terdengar suara gelas terjatuh. Hingga membuat mereka terkejut. Saat mereka terbangun hak yang tak terduga terjadi pada pada Nara. “Nara, cepat tolong Nara! Sedangkan kau
Adrian dan Reza menjadi begitu panik ketika mendapatkan kabar yang tak terduga dari nomor tak dikenal. “Apa kamu bisa melacak nomor tersebut ?” tanya adrian yang terlihat begitu panik. “Kamu jangan terlalu panik, jika kamu bersikap seperti ini, pikiranmu tidak akan bisa memecahkan masalah. Tunggu, sepertinya handphonemu berdering.” Nomor yang sama kembali menghubungi Adrian meminta ia mencari alamat yang dikirimkan padanya. Mereka segera berangkat menaiki mobil Reza. Tak berselang lama mereka telah sampai ditempat yang mereka cari. Rumah tua yang terlihat sangat lusuh dan penuh dengan rerumputan yang tumbuh menjulang tinggi menutupi halaman rumah. Adrian bersama Reza berjalan perlahan, sebelum mereka beraksi Adrian menghubungi seseorang. Setelah itu mereka segera beraksi, saat mereka tengah melangkahkan kaki hal tak terduga terjadi. “Hahaha, tak ku sangka kamu begitu peduli padanya!” “Siapa kamu!” Seru Adrian dan Reza. “Kalian tidak perlu tau siapa aku, tapi yang perlu kalian
“Kenapa Ayahku selalu saja terlibat dalam perbuatan mereka. Sungguh sangat merasa putus asa. Aku kira pementasan yang sebelumnya akan membuatku naik daun. Tapi ternyata aku harus menyelesaikan masalah seperti ini.”“Kamu tidak bersalah Nara, jadi jangan pernah menyesali semua keputusan yang sudah kamu ambil,” ujar Adrian dengan lembut.Maya yang masih sibuk dengan laptopnya segera menyelesaikan semuanya. Setelah dirasa data mereka sudah cukup kini maya menyerahkan sebuah berkas penting. ia mendekati Nara mencoba menghiburnya. Nara berharap semua ini segera berakhir, karena ia sudah tidak tahan lagi dengan apa yang terjadi. Malam-malam yang ia lalui terasa begitu kelam. Namun ia harus selalu dituntun dengan keadaan.“Sudahlah Nara aku tahu kamu ingin sekali menjadi seorang yang mempunyai bakat. Bahkan ingin menjadi seorang penulis hebat seperti ayahmu. Tapi kamu dihadapkan dapam dua pilihan,” jawab Maya sambil mendekati Nara dan menyeka air matanya.“Terimakasih Maya kamu selalu ada u
Kegelapan menyelimuti ruangan, hanya diiringi oleh suara langkah kaki yang mendekat. Sutra terus berbicara, suaranya dingin dan penuh ejekan.“Tidak ada gunanya kalian lari,” katanya, suaranya menggema di gudang kosong itu. “Aku sudah memprediksi langkah kalian. Dan sekarang, aku ada di sini untuk mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku.”Nara merasa tubuhnya gemetar, tetapi genggaman Adrian di tangannya memberikan kekuatan yang tak ia sangka. Dengan napas tertahan, ia berbisik, “Kita harus keluar dari sini.”Adrian mengangguk pelan. "Ikuti aku. Maya, Reza, siapkan rencana keluar."Reza memberikan isyarat tangan kepada Adrian, lalu bergerak dengan sigap menuju bagian belakang gudang, mencari jalan keluar alternatif. Sementara itu, Maya sibuk menyimpan perangkat keras yang berisi data penting ke dalam tas kecilnya.Namun, langkah Sutra semakin dekat. Suaranya kini terdengar semakin tajam. “Jadi, ini yang tersisa dari keluarga Darma Yudha? Memalukan sekali.”Nara menggigi
Lorong menuju ruang arsip utama dipenuhi suara derap langkah penjaga yang mulai mendekat. Nara, Adrian, Reza, dan Maya bergerak dengan hati-hati, menjaga agar setiap langkah mereka tak mengundang perhatian. Pria tua yang sebelumnya mereka temui memberi petunjuk jalan sebelum bersembunyi kembali di salah satu ruangan. "Ruang arsipnya ada di ujung lorong ini," bisik Maya sambil memegang tablet yang memindai peta digital bangunan. "Tapi kita harus melewati setidaknya tiga lapis pengamanan." "Berapa banyak penjaga?" tanya Adrian, memeriksa pistolnya. "Setidaknya ada enam di area ini, tapi kita tidak tahu berapa banyak yang berjaga di depan ruang arsip," jawab Maya. Reza memberikan tanda tangan kepada tim untuk terus bergerak. “Kita harus melakukannya dengan cepat dan senyap. Kalau mereka tahu kita di sini, mereka bisa menghancurkan data sebelum kita sempat mendapatkannya.” Langkah mereka terhenti di depan pintu baja besar, salah satu lapisan pertama yang harus dilewati. Maya segera b
Ketika pintu ruang kendali terbuka, hawa dingin langsung menyergap tubuh Nara. Ruangan itu berbeda dari apa yang ia bayangkan. Tidak seperti laboratorium futuristik yang penuh dengan layar dan perangkat canggih. Sebaliknya, ruangan itu tampak seperti sebuah galeri seni yang gelap dan suram. Di dinding-dindingnya tergantung gambar-gambar besar, potret-potret hitam putih yang menyimpan kisah pilu para korban Aksara. Salah satu potret itu membuat langkah Nara terhenti, wajah Darma, ayahnya, terpampang di sana dengan tatapan kosong yang membekas di hati.“Ini... ayahku,” bisik Nara, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh emosinya.Adrian berjalan mendekat dan menatap potret itu dengan rahang yang mengeras. “Mereka menggunakan ini untuk menakut-nakuti kita. Jangan biarkan mereka menang.”Namun, Nara tak bisa memalingkan matanya. Di bawah potret itu, ada tulisan kecil dalam huruf yang nyaris tak terbaca: Kebenaran adalah kutukan bagi yang mencarinya.“Mereka bermain dengan psikologi kita,”
Langit malam begitu gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang remang-remang. Suara ombak yang menghantam pantai terdengar mengiringi langkah kaki mereka yang terbungkus dalam kesunyian malam. Waktu terus berputar, dan misi yang mereka rencanakan semakin dekat. Eden, tempat yang dikenal sebagai pusat operasi Aksara, sudah ada di depan mata. Namun, Nara tahu bahwa langkah mereka ke sana bukan hanya langkah menuju pulau terpencil itu, tapi juga langkah menuju sebuah konfrontasi yang bisa mengubah segalanya. Di ruang taksi yang tersembunyi di balik bayang-bayang kota, seluruh tim berkumpul di sekitar meja besar. Maya sudah menghubungi beberapa orang yang bisa membantu mereka, dan meskipun perlahan, mereka mulai mempersiapkan diri untuk keberangkatan. “Nara,” suara Adrian terdengar, lembut namun penuh kehangatan, “kamu yakin dengan keputusan ini? Kita akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kita kira.” Nara menatap Adrian, matanya yang penuh keteguhan bercampur kek
Pelarian mereka dari vila Sutra meninggalkan bekas luka yang mendalam, baik di hati Nara maupun di kelompoknya. Dalam keheningan malam, hanya suara napas yang terengah-engah dan daun-daun yang bergesekan dengan kaki mereka yang terdengar. Nara menggenggam dokumen-dokumen di tangannya erat, seolah itu adalah nyawa ayahnya yang tersisa. Mereka tiba di tempat persembunyian yang baru, sebuah bangunan tua yang tersembunyi di pinggiran kota. Adrian dengan cepat memastikan semua pintu dan jendela terkunci, sementara Maya mencoba menenangkan Nara yang menangis tanpa henti. “Nara...” suara Adrian memecah keheningan. Dia mendekat, duduk di samping Nara yang menundukkan kepala. “Aku tahu ini berat, tapi Ayahmu mengorbankan dirinya agar kamu bisa membawa dokumen ini keluar. Kita harus menghormati perjuangannya.” Nara mengangkat wajahnya, air mata masih mengalir di pipinya. “Aku meninggalkannya, Adrian. Aku bahkan tidak bisa menyelamatkan ayahku. Bagaimana aku bisa melanjutkan ini?” Adrian