Home / Lainnya / When Drama Becomes Reality / Jejak di Balik Tirai

Share

Jejak di Balik Tirai

Author: Mariya
last update Last Updated: 2024-11-30 09:21:22

Ruangan gelap di balik tirai merah. Di dalamnya, kotak kayu berisi naskah kuno menjadi pusat perhatian. Ketegangan memuncak dengan suara langkah kaki mendekat dari luar ruangan.

Lampu ruangan tiba-tiba padam, membuat ruangan menjadi gelap gulita. Maya meraih tangan Nara, panik.

Maya berbisik “Nara, kita harus pergi! Sekarang!”

Namun, Nara tetap terpaku pada kotak kayu di depannya. Dia menatap naskah di tangannya, mencoba mencari petunjuk lebih lanjut. Suara langkah kaki semakin mendekat.

Terdengar suara Nara samar-samar “Tunggu. Aku harus tahu lebih banyak.”

Maya menjawab dengan cepat dan tegas “Enggak! Kalau ketahuan, kita bisa dikeluarkan dari produksi ini, atau lebih buruk lagi.”

Maya menarik tangan Nara, tapi sebelum mereka bisa keluar, pintu tiba-tiba terbuka. Cahaya dari luar menyorot sosok tinggi Aksara. Wajahnya tegas, tetapi matanya tampak menyimpan sesuatu yang tidak bisa ditebak.

Aksara dingin “Apa yang kalian lakukan di sini?”

Nara dan Maya saling berpandangan. Maya mencoba menjelaskan, tapi Nara menyela lebih dulu.

“Kotak ini... apa hubungan Anda dengan ini?”

Aksara sambil melangkah masuk, menutup pintu “Aku yang seharusnya bertanya, siapa yang mengizinkan kalian masuk ke ruangan ini?”

Nara tidak menjawab. Dia memegang naskah dengan erat, menatap Aksara dengan penuh curiga.

Nara meninggikan suaranya “Naskah ini... Anda tahu sesuatu tentang ayah saya, bukan?”

Aksara berhenti melangkah, terlihat sedikit terkejut mendengar pernyataan Nara. Tapi dia segera memasang wajah tenang, seperti tidak ada yang terjadi.

Aksara sedikit menghindar “Nara, lebih baik kalian keluar dari sini sekarang. Latihan akan dimulai lagi lima belas menit lagi.”

Maya menjawab dengan suara pelan, mencoba meredakan situasi “Pak Aksara, kami tidak bermaksud....”

Aksara memotong perkataan Maya, dengan nada tajam “Keluar!”

Maya menarik Nara keluar dari ruangan dengan paksa, meninggalkan Aksara sendirian di dalam. Ketika pintu tertutup, Nara berbalik menatap pintu itu, rahangnya mengeras. Di dalam hatinya, dia tahu ada sesuatu yang disembunyikan oleh Aksara.

Setelah keluar dari ruangan, Nara dan Maya duduk di sudut ruang latihan. Maya terlihat masih panik, sedangkan Nara memegang naskah kuno yang berhasil dia ambil dari kotak kayu.

Maya berbisik “Kamu gila, Nara. Kita nyaris dihukum tadi.”

Nara menjawab dingin, tanpa menatap Maya “Kalau aku enggak masuk ke sana, aku enggak akan pernah tahu apa yang terjadi dengan ayahku.”

Maya menghela napas panjang “Kamu serius, ya? Jadi kamu benar-benar pikir naskah itu...”

Nara memotong pembicaraan, sambil membuka halaman pertama naskah “Bukan cuma pikir, May. Aku tahu, ini naskah yang pernah ditulis ayahku.”

Maya terlihat terkejut, tapi dia tidak tahu harus berkata apa. Nara melanjutkan membaca naskah itu, membalik halaman dengan cepat. Di beberapa bagian, tulisan tangan ayahnya muncul, mencoret-coret dialog dan memberikan catatan.

Nara bersumpah “Dia mencoba mengatakan sesuatu melalui sandiwara ini.”

Maya kemudian berbisik “Tapi... kenapa Pak Aksara yang memilikinya?”

Nara menatap Maya, tatapannya dingin “Itulah yang akan kita cari tahu.”

Hari berganti malam. Latihan selesai, dan semua pemain sudah pulang kecuali Nara. Dia duduk sendirian di ruang latihan, memegang naskah kuno itu. Lampu di ruangan menyala temaram, menciptakan bayangan panjang di dinding.

Nara membaca naskah itu lebih dalam. Salah satu catatan di tepi halaman menarik perhatiannya.

Catatan tangan "Tidak semua rahasia bisa terungkap di atas panggung. Beberapa harus ditemukan di tempat di mana cahaya tidak pernah mencapai."

Nara mengernyit, mencoba memahami maksud dari kalimat itu. Sebuah kenangan tiba-tiba terlintas di benaknya, wajah ayahnya yang tersenyum di depan meja kerjanya, dengan setumpuk naskah di sekitarnya.

Ayah Nara dalam ingatannya “Tirai tidak hanya menyembunyikan panggung, Nara. Tirai juga bisa menyembunyikan kebenaran.”

Nara tersentak dari lamunannya ketika mendengar suara langkah kaki di lorong. Dia mengintip keluar pintu, melihat Aksara berjalan cepat menuju ruang di balik tirai merah. Tanpa pikir panjang, Nara mengikutinya dari kejauhan.

Nara berhenti di ujung lorong, mengintip ke ruang di balik tirai. Aksara berdiri di depan kotak kayu, memegang naskah kuno lainnya. Dia membuka halaman demi halaman, lalu berbicara sendiri dengan suara rendah.

Aksara dengan nada lirih “Mengapa kau menulis ini, Darma? Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?”

Nara tersentak mendengar nama ayahnya disebut. Dia mencoba mendekat lebih jauh, tetapi tanpa sengaja menginjak sesuatu yang membuat suara kecil. Aksara langsung menoleh, matanya tajam seperti elang.

Aksara berteriak dengan suara keras “Siapa di sana?”

Nara tidak punya pilihan selain keluar dari tempat persembunyiannya. Dia berdiri di depan pintu, berusaha tampak percaya diri meskipun jantungnya berdegup kencang.

Nara bertanya dengan dingin “Anda tahu tentang ayah saya. Saya ingin tahu apa yang terjadi.”

Aksara menatap Nara lama, sebelum akhirnya menghela napas dan menutup kotak kayu itu.

Aksara merasa lelah “Kau tidak akan mengerti.”

Nara menjawab dengan tegas “Kalau Anda tidak memberitahu saya, saya akan mencari tahu sendiri.”

Aksara terlihat ragu, tetapi akhirnya dia berbicara dengan nada rendah.

“Ayahmu, Darma, adalah salah satu penulis terbaik yang pernah bekerja sama denganku. Tapi dia terlalu jujur. Terlalu berbahaya.”

Nara merasa bingung “Apa maksud Anda?”

Aksara menjelaskan maksudnya “Dia menulis sesuatu yang tidak seharusnya dia tulis. Sesuatu yang bisa menghancurkan banyak orang.”

Aksara berjalan mendekati Nara, tatapannya penuh tekanan.

Aksara sedikit kaku “Nara, kalau kau peduli pada hidupmu, lupakan semua ini.”

Sebelum Nara bisa membalas, Aksara melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan Nara sendirian di sana.

Setelah Aksara pergi, Nara kembali melihat kotak kayu itu. Dia membuka lagi naskah di dalamnya, mencari petunjuk lebih lanjut. Pada halaman terakhir, dia menemukan sebuah surat yang ditulis tangan oleh ayahnya.

Isi Surat "Untuk anakku, Nara. Jika kau membaca ini, berarti aku sudah tidak ada lagi. Tetapi percayalah, semua yang kulakukan adalah untuk melindungi keluargamu. Jangan percaya pada siapapun, terutama mereka yang mengendalikan panggung. Temukan aku di tempat di mana cahaya tidak pernah mencapai."

Nara menggenggam surat itu dengan erat, air mata mengalir di pipinya. Dia tahu, apa pun yang terjadi, dia harus melanjutkan pencarian ini meskipun itu berarti menghadapi bahaya yang lebih besar.

Nara masih memegang surat ayahnya. Tangannya bergetar, tidak hanya karena emosi, tetapi juga karena rasa takut yang semakin menyelimuti hatinya. Dia membaca ulang kalimat terakhir surat itu: "Temukan aku di tempat di mana cahaya tidak pernah mencapai." Maya tiba-tiba muncul di pintu, dengan wajah khawatir.

Maya berjalan pelan mendekati Nara “Aku sudah bilang kamu enggak seharusnya di sini, Nara. Apa yang kamu temukan?”

Nara tidak menjawab, tetapi memberikan surat itu kepada Maya. Maya membacanya dengan cepat, dan wajahnya berubah pucat.

Maya lalu berbisik “Tempat di mana cahaya tidak pernah mencapai? Maksudnya apa?”

Nara merasa dingin, sambil menatap ke arah tirai “Aku enggak tahu, tapi aku yakin ini lebih dari sekadar metafora.”

Maya mulai panik “Ini berbahaya, Nara. Pak Aksara jelas menyembunyikan sesuatu, dan aku yakin dia enggak akan membiarkan kita terus mencari.”

Nara dengan tegas “Aku enggak peduli, May. Ini tentang ayahku. Aku harus menemukan jawabannya, apapun risikonya.”

Maya tampak ragu, tetapi dia tahu betapa keras kepala Nara. Dia menghela napas panjang sebelum berbicara lagi.

Maya menyerah “Baiklah. Tapi kamu enggak akan melakukannya sendirian.”

Nara tersenyum tipis, merasa sedikit lega karena Maya bersedia membantunya. Dia menatap kembali naskah di tangannya, mencoba mencari petunjuk lebih lanjut.

Keesokan harinya, Nara dan Maya memutuskan untuk menyelidiki teater lebih lanjut. Mereka menemukan ruang arsip tua di bagian bawah gedung, yang selama ini jarang disentuh. Di sana, mereka menemukan dokumen-dokumen lama, termasuk beberapa naskah dan catatan yang ditulis oleh ayah Nara.

Maya berbisik sambil membuka kotak arsip “Kenapa ruangan ini seperti ditinggalkan?”

Nara sambil melihat sekeliling “Mungkin karena di sini terlalu banyak jejak masa lalu yang ingin dilupakan.”

Maya mengeluarkan salah satu map berdebu, dan di dalamnya terdapat beberapa foto tua. Salah satu foto menunjukkan ayah Nara berdiri bersama Aksara dan beberapa orang lain, di depan panggung yang dihiasi tirai merah.

Maya terkejut “Lihat ini. Ayahmu bekerja dengan Pak Aksara sejak dulu?”

Nara sambil mengambil foto itu “Lebih dari itu. Mereka kelihatannya dekat.”

Di belakang foto itu, ada tulisan tangan kecil: "Rahasia besar dimulai di sini." Maya menunjuk ke sudut lain ruangan, di mana terdapat sebuah pintu kecil yang hampir tersembunyi di balik rak tua.

Maya mendekat seraya merendahkan suaranya “Mungkin ini yang mereka maksud dengan, di tempat di mana cahaya tidak pernah mencapai."

Nara dan Maya mendekati pintu itu. Pintu tersebut terkunci, tetapi Nara menemukan sebuah kunci kecil di salah satu kotak arsip yang mereka buka sebelumnya. Dengan hati-hati, dia memasukkan kunci itu ke lubang kunci dan memutar perlahan. Pintu terbuka dengan bunyi berderit pelan, mengungkap sebuah lorong gelap yang turun ke bawah.

Lorong itu sempit dan berbau lembap. Lampu di atas kepala mereka berkedip-kedip, menciptakan bayangan aneh di dinding. Nara memimpin jalan, dengan Maya mengikutinya dengan enggan. Di ujung lorong, mereka menemukan pintu logam besar dengan simbol misterius yang terukir di tengahnya.

Maya sambil berbisik “Aku enggak suka ini, Nara. Rasanya seperti kita masuk ke sesuatu yang seharusnya tetap terkunci.”

Nara dengan suara tegas “Itu berarti kita ada di tempat yang tepat.”

Nara menemukan tuas di samping pintu logam dan menariknya. Pintu itu terbuka dengan suara gemuruh berat, mengungkapkan sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan alat-alat teater tua, kostum, dan beberapa naskah lain. Di tengah ruangan, ada sebuah meja besar yang penuh dengan catatan.

Maya berbisik kagum “Apa ini? Semacam tempat rahasia untuk penulis?”

Nara sambil melihat sekeliling “Atau tempat mereka menyimpan rahasia yang terlalu berbahaya untuk dipertunjukkan.”

Nara mendekati meja dan melihat catatan yang ditulis oleh ayahnya. Salah satu catatan itu berbunyi: "Kebenaran tidak selalu diterima. Tapi itu tidak berarti kita harus berhenti mencarinya." Di sudut meja, ada amplop besar dengan nama Nara tertulis di atasnya.

Maya berbisik “Itu buat kamu, Nara.”

Nara membuka amplop itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya, ada surat panjang yang menjelaskan bagaimana ayahnya menemukan rahasia besar di balik teater tersebut. Sebuah konspirasi yang melibatkan orang-orang kuat yang menggunakan seni untuk menyembunyikan kebenaran.

Ketika Nara selesai membaca surat itu, Maya menyadari sesuatu. Di salah satu sudut ruangan, ada kamera kecil yang tersembunyi di balik kostum.

Maya kaget, menunjuk kamera “Nara... kita diawasi.”

Sebelum Nara sempat bereaksi, pintu logam di belakang mereka tiba-tiba tertutup dengan suara keras. Lampu ruangan meredup, dan suara langkah kaki mulai terdengar mendekat dari lorong di luar.

Nara dengan suara pelan, dengan mata penuh tekad “Mereka tahu kita di sini.”

Related chapters

  • When Drama Becomes Reality    Di Balik Tirai Kegelapan

    Ruangan bawah tanah penuh dengan artefak teater tua. Pintu logam telah tertutup, mengurung Nara dan Maya di dalam. Suara langkah kaki semakin mendekat dari lorong gelap di luar. Lampu ruangan mulai berkedip-kedip, membuat suasana semakin mencekam. Nara mencoba membuka kembali pintu logam, tetapi pintu itu terkunci rapat. Nara berbisik dengan nada tegang “Kita harus keluar dari sini, sekarang juga!”Maya menolehkan kepalanya sambil melihat sekeliling “Bagaimana? Pintu itu jelas sudah dikunci dari luar.”Maya menunjuk ke kamera kecil yang tersembunyi di sudut ruangan. Kamera itu berkedip merah, menunjukkan bahwa mereka sedang diawasi.Maya mulai panik “Nara, mereka tahu kita di sini. Apa yang harus kita lakukan?”Nara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Dia menatap ke sekeliling, mencari jalan keluar lain. Matanya tertuju pada sebuah ventilasi udara kecil di sudut ruangan.Nara sambil menunjuk ventilasi “Kita bisa keluar lewat sana.”Maya terkejut “Ventilasi?

    Last Updated : 2024-11-30
  • When Drama Becomes Reality    Sang Penolong yang Tak Terduga

    Pagi hari yang mendung di pusat kota. Nara berjalan sendirian di trotoar yang sibuk, dengan tas ransel berisi dokumen di pundaknya. Dia memutuskan untuk memisahkan diri sementara dari Maya demi memastikan bahwa mereka tidak terlalu mencolok. Dengan langkah tergesa-gesa, dia menatap sekeliling, memastikan tidak ada yang mengikutinya.Tanpa sadar, dia menabrak seseorang di persimpangan jalan. Benturan itu cukup keras sehingga ranselnya jatuh ke tanah, membuat beberapa dokumen terjatuh. Nara buru-buru menunduk untuk mengambilnya, sementara pria yang dia tabrak juga meraih dokumen-dokumen itu.Nara terlihat sedikit panik “Maaf, saya tidak meliha.”Dia berhenti berbicara ketika matanya bertemu dengan pria di depannya. Pria itu berpenampilan rapi, dengan wajah yang tampan dan penuh pesona. Rambutnya hitam pekat dan tersisir rapi, sementara matanya yang tajam tampak penuh perhatian. Dia tersenyum kecil.Pria itu berdiri sambil menyerahkan dokumen “Tidak apa-apa. Ini milikmu, kan?”Nara menga

    Last Updated : 2024-12-01
  • When Drama Becomes Reality    Ketulusan Andrian

    Adrian menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Dia menatap Nara lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut. “Maaf. Aku hanya... Aku hanya ingin memastikan kamu aman, Nara.” Nara tersentuh oleh nada tulus Adrian, tetapi dia segera mengalihkan pandangannya, tidak ingin terlihat lemah. “Kita harus tetap fokus pada tujuan. Itu saja yang penting.” Malam semakin larut. Maya sudah tertidur di sofa, sementara Adrian dan Nara duduk di balkon apartemen kecil itu. Angin malam berhembus pelan, membawa suasana keheningan yang sesekali terisi oleh suara kendaraan di jalanan jauh di bawah. Keduanya memegang cangkir kopi hangat di tangan, meski pikiran mereka jelas masih penuh dengan kekhawatiran. Adrian sambil menatap keluar ke arah lampu kota. “Aku selalu percaya bahwa setiap orang punya batasannya. Tapi kamu, Nara... kamu sepertinya tidak pernah berhenti melampaui batas itu.” Nara menatap Adrian dengan alis terangkat. Dia menyesap kopinya dan berbicara dengan nada ringan. “

    Last Updated : 2024-12-03
  • When Drama Becomes Reality    Langkah Yang Tak Terduga

    Setelah malam yang penuh ketegangan, pagi menjelang dengan kabut tipis menyelimuti kota. Di apartemen kecil itu, Nara, Adrian, dan Maya berkumpul di meja dapur, membahas rencana baru. Kopi hangat di cangkir mereka kini terasa hambar, kalah oleh berat pikiran yang mengisi kepala masing-masing. Nara membuka peta yang mereka ambil dari dokumen malam sebelumnya. “Kita harus mulai dari sini. Lokasi ini disebutkan sebagai salah satu pusat operasi Aksara. Jika kita bisa masuk, mungkin kita menemukan bukti untuk menjatuhkannya.” Adrian mengerutkan dahi, memperhatikan peta itu dengan seksama. “Tapi tempat ini dijaga ketat. Kita tidak bisa masuk begitu saja tanpa persiapan.” Maya, yang biasanya penuh candaan, kini berbicara dengan nada serius. “Aku kenal seseorang yang mungkin bisa membantu. Seorang mantan karyawan Aksara yang tahu seluk-beluk sistem keamanan mereka.” Nara mengangkat alis. “Kenapa kamu baru bilang sekarang?” Maya mengangkat bahu dengan cengiran kecil. “Kamu tidak pernah ta

    Last Updated : 2024-12-04
  • When Drama Becomes Reality    Di Bawah Langit Yang Sama

    Malam di balkon hotel itu menjadi awal dari percakapan yang tidak pernah Adrian atau Nara duga. Setelah begitu lama hidup dalam bayang-bayang pelarian dan ketakutan, ada sesuatu yang terasa berbeda. Udara malam yang dingin tidak mampu menyembunyikan kehangatan yang perlahan tumbuh di antara mereka.“Aku ingin tahu, kalau ini semua berakhir... apa yang akan kamu lakukan?” Kata Adrian tiba-tiba, memecah keheningan.Nara menatapnya, sedikit bingung dengan pertanyaan itu. “Maksudmu?”“Setelah Aksara jatuh. Setelah semua ini selesai. Apa yang kamu inginkan, Nara?”Nara terdiam, mencoba mencari jawaban yang tepat. Tapi setiap kali dia memikirkannya, kepalanya terasa penuh dengan keraguan. “Aku nggak tahu, Adrian. Aku nggak pernah berpikir sejauh itu. Selama ini, aku hanya fokus untuk bertahan hidup.”Adrian mengangguk pelan, memahami jawabannya. “Itu adil. Tapi... kamu berhak memikirkan tentang masa depan. Tentang kebahagiaanmu sendiri.”“Kebahagiaan, ya? Aku nggak yakin itu sesuatu yang bi

    Last Updated : 2024-12-06
  • When Drama Becomes Reality    Jejak di Balik Bayangan

    Fajar menyingsing, menyapu kegelapan malam dengan lembut. Rumah kecil di pinggiran kota itu masih hening. Maya tertidur di sofa, sementara Adrian tetap terjaga di kursi dekat jendela, memeriksa ponselnya untuk memastikan tidak ada perkembangan buruk. Nara, di sisi lain, duduk di ruang kerja kecil, mempelajari kembali peta dan catatan mereka. Tiba-tiba, telepon Maya yang berada di meja mulai bergetar pelan. Suara itu memecah keheningan dan membuat mereka semua waspada. Maya terbangun, langsung meraih teleponnya dan membaca pesan yang masuk. Wajahnya berubah tegang. “Berita tentang Aksara sudah menyebar luas,” katanya dengan suara serak. “Tapi ada yang aneh. Seorang sumber dari dalam mengatakan bahwa ada satu nama besar yang sengaja tidak disebutkan dalam dokumen kita.” Adrian mendekat, membaca pesan itu dari balik pundak Maya. “Maksudnya apa? Kita sudah memastikan semuanya lengkap sebelum menyerahkannya.” Maya menggeleng. “Entah bagaimana, nama itu berhasil dihapus. Tapi sumberk

    Last Updated : 2024-12-06
  • When Drama Becomes Reality    Kebenaran yang Terungkap

    Malam gelap menyelimuti gudang tua yang menjadi tempat persembunyian Nara, Adrian, Maya, dan kini Reza. Mereka semua berada di ujung kelelahan, tetapi semangat untuk melanjutkan perjuangan terus membara. Bukti-bukti di flash drive Reza menjadi nyala kecil harapan di tengah derasnya ancaman. Namun, ancaman itu tidak hanya datang dari luar. Ketegangan di antara mereka mulai terasa. Adrian, yang masih merawat luka Maya, sesekali melirik Reza dengan pandangan penuh curiga. “Kamu yakin tidak sedang memanfaatkan kami?” tanya Adrian tajam. Reza mendesah. “Kalau aku ingin menyerahkan kalian, aku sudah melakukannya sejak dulu. Aku kehilangan segalanya karena Aksara. Keluarga, pekerjaan, semuanya. Aku di sini untuk membalas dendam.” “Cukup,” potong Nara. Dia menatap Adrian dan Reza bergantian. “Kita tidak punya waktu untuk saling mencurigai. Yang penting sekarang, kita harus menyusun langkah berikutnya.” Reza mengeluarkan peta gedung utama Aksara dari dalam tasnya. “Ada satu tempat yang mun

    Last Updated : 2024-12-07
  • When Drama Becomes Reality    Di Antara Bayang-Bayang Penghianatan

    Nara berdiri terpaku, tubuhnya kaku di hadapan Rendra Wijaya yang kini melangkah maju dengan senyum dingin penuh kemenangan. Di belakangnya, pengawal-pengawal bersenjata melangkah memasuki ruangan, membentuk barisan yang membuat pelarian menjadi mustahil. Adrian, Reza, dan Maya langsung bergerak melindungi Nara dan Darma, tetapi mereka tahu posisi mereka saat ini tidak menguntungkan.“Kalian sungguh berani! Menggali terlalu dalam dan mencoba merusak apa yang telah kami bangun selama bertahun-tahun. Apa kalian kira ini akan berakhir baik untuk kalian?” Ucap Rendra dengan nada santai, meski ada ancaman tajam yang tersirat dalam kata-katanya.Mata Nara memancarkan kemarahan. Dia berdiri tegak, menatap langsung ke arah Rendra. “Kami tidak takut padamu. Kau pikir dengan menahan ayahku, kau bisa menghentikan kami? Kau salah besar.”Rendra tertawa kecil. “Keberanianmu mengesankan, Nara. Tapi ini bukan cerita dongeng di mana keberanian akan menyelamatkanmu. Kau menghadapi Aksara sebuah kekuat

    Last Updated : 2024-12-07

Latest chapter

  • When Drama Becomes Reality    Kejadian Tak Terduga

    Nara tak menyangka jika Adrian bisa sampai terluka parah bersimbah darah. Ia segera mamapah Adrian kedalam Apartemennya. Kemudian ia menutup pintu dan membawakan obat untuk segera membalut tangan Adrian yang terluka. “Adrian apa yang terjadi padamu? Kenapa bisa sampai seperti ini?” Tanya Nara dengan rasa khawatir yang menyelimuti dirinya, dan nampak begitu jelas di wajah Nara. “Aku tidak apa-apa, hanya tak sengaja menabrak seseorang saat akan keluar dari rumah.” Jawab Adrian mencari alasan agar Nara tidak terlalu mengawatirkan dirinya. “Kamu jangan membohongiku! Ini jelas-jelas luka senjata tajam, ini belati yang mengandung racun. Dan racunnya baru saja aku bersihkan, mungkin masih tersisa sedikit.” “Kamu tahu tentang obat-obatan Nara?” Tanya Adrian penasaran. Nara menganggukkan kepalanya, dan menjelaskan jika ia belajar mengenal obat-obatan sejak ia masih kecil, ia sering membuat berbagai macam ramuan herbal untuk segala penyakit. “Aku tak menyangka jika kau begitu teramp

  • When Drama Becomes Reality    Novel Yang Tertunda

    Hati mereka begitu hancur mendengar Nara tak sadarkan diri. Setelah Nara dipindahkan keruangan VIP, mereka begitu tegang menunggu berjam-jam hingga jam 3 dini hari, Nara belum juga ada tanda-tanda perubahan. Adrian tak menyangka jika Nara akan seperti ini. Ditengah kegelisahannya. Datanglah Maya dan Reza yang baru saja membeli makanan untuk mereka. “Makanlah walau sedikit, jika kamu sakit siapa yang akan menjaga Nara nantinya?” Sambil menerima nasi jitak yang diberikan oleh maya untuknya. “Terimakasih May, maaf jadi merepotkanmu! Apa kalian sudah makan?” “Tidak apa, kebetulan kami sudah makan tadi diwarung makan. Kami bersyukur juga jam segini, masih ada warung makan yang buka.” Andrean merasa terharu dengan kebaikan sahabat, yang belum lama ia kenal. Keesokan paginya disaat mereka sedang terlelap tidur terdengar suara gelas terjatuh. Hingga membuat mereka terkejut. Saat mereka terbangun hak yang tak terduga terjadi pada pada Nara. “Nara, cepat tolong Nara! Sedangkan kau

  • When Drama Becomes Reality    Kejadian Tak Terduga

    Adrian dan Reza menjadi begitu panik ketika mendapatkan kabar yang tak terduga dari nomor tak dikenal. “Apa kamu bisa melacak nomor tersebut ?” tanya adrian yang terlihat begitu panik. “Kamu jangan terlalu panik, jika kamu bersikap seperti ini, pikiranmu tidak akan bisa memecahkan masalah. Tunggu, sepertinya handphonemu berdering.” Nomor yang sama kembali menghubungi Adrian meminta ia mencari alamat yang dikirimkan padanya. Mereka segera berangkat menaiki mobil Reza. Tak berselang lama mereka telah sampai ditempat yang mereka cari. Rumah tua yang terlihat sangat lusuh dan penuh dengan rerumputan yang tumbuh menjulang tinggi menutupi halaman rumah. Adrian bersama Reza berjalan perlahan, sebelum mereka beraksi Adrian menghubungi seseorang. Setelah itu mereka segera beraksi, saat mereka tengah melangkahkan kaki hal tak terduga terjadi. “Hahaha, tak ku sangka kamu begitu peduli padanya!” “Siapa kamu!” Seru Adrian dan Reza. “Kalian tidak perlu tau siapa aku, tapi yang perlu kalian

  • When Drama Becomes Reality    Hidup yang Baru

    “Kenapa Ayahku selalu saja terlibat dalam perbuatan mereka. Sungguh sangat merasa putus asa. Aku kira pementasan yang sebelumnya akan membuatku naik daun. Tapi ternyata aku harus menyelesaikan masalah seperti ini.”“Kamu tidak bersalah Nara, jadi jangan pernah menyesali semua keputusan yang sudah kamu ambil,” ujar Adrian dengan lembut.Maya yang masih sibuk dengan laptopnya segera menyelesaikan semuanya. Setelah dirasa data mereka sudah cukup kini maya menyerahkan sebuah berkas penting. ia mendekati Nara mencoba menghiburnya. Nara berharap semua ini segera berakhir, karena ia sudah tidak tahan lagi dengan apa yang terjadi. Malam-malam yang ia lalui terasa begitu kelam. Namun ia harus selalu dituntun dengan keadaan.“Sudahlah Nara aku tahu kamu ingin sekali menjadi seorang yang mempunyai bakat. Bahkan ingin menjadi seorang penulis hebat seperti ayahmu. Tapi kamu dihadapkan dapam dua pilihan,” jawab Maya sambil mendekati Nara dan menyeka air matanya.“Terimakasih Maya kamu selalu ada u

  • When Drama Becomes Reality    Jejak dalam Kegelapan

    Kegelapan menyelimuti ruangan, hanya diiringi oleh suara langkah kaki yang mendekat. Sutra terus berbicara, suaranya dingin dan penuh ejekan.“Tidak ada gunanya kalian lari,” katanya, suaranya menggema di gudang kosong itu. “Aku sudah memprediksi langkah kalian. Dan sekarang, aku ada di sini untuk mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku.”Nara merasa tubuhnya gemetar, tetapi genggaman Adrian di tangannya memberikan kekuatan yang tak ia sangka. Dengan napas tertahan, ia berbisik, “Kita harus keluar dari sini.”Adrian mengangguk pelan. "Ikuti aku. Maya, Reza, siapkan rencana keluar."Reza memberikan isyarat tangan kepada Adrian, lalu bergerak dengan sigap menuju bagian belakang gudang, mencari jalan keluar alternatif. Sementara itu, Maya sibuk menyimpan perangkat keras yang berisi data penting ke dalam tas kecilnya.Namun, langkah Sutra semakin dekat. Suaranya kini terdengar semakin tajam. “Jadi, ini yang tersisa dari keluarga Darma Yudha? Memalukan sekali.”Nara menggigi

  • When Drama Becomes Reality    Jejak Yang Tertinggal

    Lorong menuju ruang arsip utama dipenuhi suara derap langkah penjaga yang mulai mendekat. Nara, Adrian, Reza, dan Maya bergerak dengan hati-hati, menjaga agar setiap langkah mereka tak mengundang perhatian. Pria tua yang sebelumnya mereka temui memberi petunjuk jalan sebelum bersembunyi kembali di salah satu ruangan. "Ruang arsipnya ada di ujung lorong ini," bisik Maya sambil memegang tablet yang memindai peta digital bangunan. "Tapi kita harus melewati setidaknya tiga lapis pengamanan." "Berapa banyak penjaga?" tanya Adrian, memeriksa pistolnya. "Setidaknya ada enam di area ini, tapi kita tidak tahu berapa banyak yang berjaga di depan ruang arsip," jawab Maya. Reza memberikan tanda tangan kepada tim untuk terus bergerak. “Kita harus melakukannya dengan cepat dan senyap. Kalau mereka tahu kita di sini, mereka bisa menghancurkan data sebelum kita sempat mendapatkannya.” Langkah mereka terhenti di depan pintu baja besar, salah satu lapisan pertama yang harus dilewati. Maya segera b

  • When Drama Becomes Reality    Bayang-Bayang Kebenaran

    Ketika pintu ruang kendali terbuka, hawa dingin langsung menyergap tubuh Nara. Ruangan itu berbeda dari apa yang ia bayangkan. Tidak seperti laboratorium futuristik yang penuh dengan layar dan perangkat canggih. Sebaliknya, ruangan itu tampak seperti sebuah galeri seni yang gelap dan suram. Di dinding-dindingnya tergantung gambar-gambar besar, potret-potret hitam putih yang menyimpan kisah pilu para korban Aksara. Salah satu potret itu membuat langkah Nara terhenti, wajah Darma, ayahnya, terpampang di sana dengan tatapan kosong yang membekas di hati.“Ini... ayahku,” bisik Nara, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh emosinya.Adrian berjalan mendekat dan menatap potret itu dengan rahang yang mengeras. “Mereka menggunakan ini untuk menakut-nakuti kita. Jangan biarkan mereka menang.”Namun, Nara tak bisa memalingkan matanya. Di bawah potret itu, ada tulisan kecil dalam huruf yang nyaris tak terbaca: Kebenaran adalah kutukan bagi yang mencarinya.“Mereka bermain dengan psikologi kita,”

  • When Drama Becomes Reality    Misi Menuju Eden

    Langit malam begitu gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang remang-remang. Suara ombak yang menghantam pantai terdengar mengiringi langkah kaki mereka yang terbungkus dalam kesunyian malam. Waktu terus berputar, dan misi yang mereka rencanakan semakin dekat. Eden, tempat yang dikenal sebagai pusat operasi Aksara, sudah ada di depan mata. Namun, Nara tahu bahwa langkah mereka ke sana bukan hanya langkah menuju pulau terpencil itu, tapi juga langkah menuju sebuah konfrontasi yang bisa mengubah segalanya. Di ruang taksi yang tersembunyi di balik bayang-bayang kota, seluruh tim berkumpul di sekitar meja besar. Maya sudah menghubungi beberapa orang yang bisa membantu mereka, dan meskipun perlahan, mereka mulai mempersiapkan diri untuk keberangkatan. “Nara,” suara Adrian terdengar, lembut namun penuh kehangatan, “kamu yakin dengan keputusan ini? Kita akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kita kira.” Nara menatap Adrian, matanya yang penuh keteguhan bercampur kek

  • When Drama Becomes Reality    Langkah Pertama Menuju Balas Dendam

    Pelarian mereka dari vila Sutra meninggalkan bekas luka yang mendalam, baik di hati Nara maupun di kelompoknya. Dalam keheningan malam, hanya suara napas yang terengah-engah dan daun-daun yang bergesekan dengan kaki mereka yang terdengar. Nara menggenggam dokumen-dokumen di tangannya erat, seolah itu adalah nyawa ayahnya yang tersisa. Mereka tiba di tempat persembunyian yang baru, sebuah bangunan tua yang tersembunyi di pinggiran kota. Adrian dengan cepat memastikan semua pintu dan jendela terkunci, sementara Maya mencoba menenangkan Nara yang menangis tanpa henti. “Nara...” suara Adrian memecah keheningan. Dia mendekat, duduk di samping Nara yang menundukkan kepala. “Aku tahu ini berat, tapi Ayahmu mengorbankan dirinya agar kamu bisa membawa dokumen ini keluar. Kita harus menghormati perjuangannya.” Nara mengangkat wajahnya, air mata masih mengalir di pipinya. “Aku meninggalkannya, Adrian. Aku bahkan tidak bisa menyelamatkan ayahku. Bagaimana aku bisa melanjutkan ini?” Adrian

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status