Ruangan bawah tanah penuh dengan artefak teater tua. Pintu logam telah tertutup, mengurung Nara dan Maya di dalam. Suara langkah kaki semakin mendekat dari lorong gelap di luar.
Lampu ruangan mulai berkedip-kedip, membuat suasana semakin mencekam. Nara mencoba membuka kembali pintu logam, tetapi pintu itu terkunci rapat. Nara berbisik dengan nada tegang “Kita harus keluar dari sini, sekarang juga!” Maya menolehkan kepalanya sambil melihat sekeliling “Bagaimana? Pintu itu jelas sudah dikunci dari luar.” Maya menunjuk ke kamera kecil yang tersembunyi di sudut ruangan. Kamera itu berkedip merah, menunjukkan bahwa mereka sedang diawasi. Maya mulai panik “Nara, mereka tahu kita di sini. Apa yang harus kita lakukan?” Nara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Dia menatap ke sekeliling, mencari jalan keluar lain. Matanya tertuju pada sebuah ventilasi udara kecil di sudut ruangan. Nara sambil menunjuk ventilasi “Kita bisa keluar lewat sana.” Maya terkejut “Ventilasi? Serius? Itu sempit sekali! Nara menjawab dengan tegas “Enggak ada pilihan lain, May. Kalau kita tetap di sini, kita enggak tahu apa yang akan terjadi.” Maya ragu, tetapi akhirnya mengikuti Nara. Dengan susah payah, mereka berdua membuka penutup ventilasi dan mulai merangkak masuk. Ventilasi itu sempit dan panjang, dengan udara lembap yang membuat napas mereka semakin berat. Maya tampak cemas, sementara Nara terus maju dengan tekad kuat. Suara langkah kaki dari luar ruangan semakin dekat, memberikan tekanan tambahan pada mereka. Maya berbisik dengan nada ketakutan “Nara, kalau mereka menangkap kita, apa yang akan terjadi?” Nara sambil merangkak “Aku enggak tahu, May. Tapi aku lebih takut kalau kita enggak pernah tahu kebenaran ini.” Setelah beberapa menit merangkak, mereka tiba di ujung ventilasi. Nara mendorong penutup keluar, dan mereka menemukan diri mereka di sebuah lorong sempit lainnya. Kali ini, lorong itu dipenuhi dengan jejak-jejak masa lalu, poster teater tua, lampu panggung yang rusak, dan kostum usang berserakan di lantai. Maya sambil memeriksa sekeliling “Apa ini? Ruang penyimpanan?” Nara juga melihat sekeliling “Lebih seperti kuburan teater.” Mereka terus berjalan melalui lorong itu, sampai menemukan pintu lain yang sedikit terbuka. Dari balik pintu, terdengar suara-suara samar. Seperti seseorang sedang berbicara. Nara mendekat dengan hati-hati, mencoba mendengar lebih jelas. Suara Pria dalam nada rendah, tidak jelas “Kita harus menghentikannya. Kalau mereka menemukan semua ini, reputasi kita hancur.” Suara Wanita yang dingin dan tegas “Aku bilang kita harus bertindak cepat. Jangan beri mereka kesempatan.” Nara dan Maya saling berpandangan. Jantung mereka berdetak kencang. Maya menarik tangan Nara, memberi isyarat untuk pergi, tetapi Nara tetap di tempatnya, ingin mendengar lebih banyak. Tiba-tiba, suara-suara itu berhenti. Pintu terbuka perlahan, dan seseorang melangkah keluar. Itu adalah Aksara. Dia melihat langsung ke arah Nara dan Maya, wajahnya menunjukkan kombinasi keterkejutan dan kemarahan. Aksara berteriak dengan keras “Apa yang kalian lakukan di sini?!” Nara mencoba menjawab, tetapi sebelum dia bisa mengatakan apa-apa, dua pria lain muncul dari balik pintu. Mereka tampak seperti petugas keamanan, tetapi wajah mereka tidak ramah. Aksara memerintah tegas, pada para pria itu “Tangkap mereka!” Nara dan Maya berlari secepat mungkin, kembali ke lorong tempat mereka datang. Pria-pria itu mengejar mereka, langkah kaki mereka menggema di sepanjang lorong. Maya berkata sambil berlari, merasa sangat panik “Nara, kita enggak akan bisa lari lebih lama lagi!” Nara menjawab tegas “Terus lari, May! Jangan berhenti!” Mereka akhirnya menemukan pintu lain di ujung lorong. Dengan cepat, mereka masuk dan mengunci pintu di belakang mereka. Mereka terengah-engah, mencoba mengatur napas. Ruangan itu ternyata adalah ruang arsip lain, penuh dengan dokumen dan naskah kuno. Setelah memastikan bahwa pintu terkunci dengan aman, Nara mulai memeriksa isi ruangan. Dia menemukan sebuah lemari besar yang penuh dengan map berlabel nama-nama orang. Maya berjalan sambil melihat ke sekitar, masih dengan perasaan cemas “Apa yang kamu cari?” Nara mencari map,sambil membuka map tersebut “Apa saja. Bukti. Rahasia. Petunjuk. Sesuatu yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di sini.” Setelah beberapa saat mencari, Nara menemukan sebuah map dengan nama ayahnya, "Darma". Di dalam map itu, terdapat beberapa dokumen penting. Termasuk kontrak kerja, foto-foto lama, dan sebuah surat tertulis tangan. Nara lalu mengambil dan membaca surat itu“Ini dari ayahku...” Surat itu mengungkapkan bahwa Darma pernah mencoba membongkar korupsi besar yang melibatkan pengelolaan teater. Namun, dia dihentikan oleh orang-orang yang merasa terancam dengan kebenaran itu. Aksara adalah salah satu dari mereka. Maya kaget “Jadi... ayahmu tahu semuanya?” Nara sambil menggenggam erat surat itu “Dia mencoba melawan mereka. Tapi mereka membuatnya diam.” Nara melihat lebih jauh ke dalam map itu dan menemukan sketsa panggung dengan catatan tangan di tepinya. Catatan itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan di bawah panggung utama teater. Mungkin rahasia terbesar yang selama ini mereka cari. Maya sambil menunjuk sketsa “Apa itu?” Nara terlihat begitu serius “Tempat di mana cahaya tidak pernah mencapai, ini ada di bawah panggung.” Dengan informasi baru, Nara dan Maya keluar dari ruang arsip, mencoba menghindari penjaga yang masih mencari mereka. Mereka kembali ke ruang utama teater, di mana panggung besar berdiri dengan megah. Teater itu gelap dan sepi, memberikan aura misterius. Maya berbisik “Kamu yakin ini ide bagus?” Nara sambil mendekati panggung “Enggak! Tapi kita enggak punya pilihan lain.” Mereka naik ke panggung dan mulai mencari pintu masuk ke bawah panggung, sesuai dengan sketsa yang mereka temukan. Setelah beberapa saat, Nara menemukan sebuah panel tersembunyi di lantai panggung. Dengan susah payah, mereka membuka panel itu, mengungkapkan tangga spiral yang mengarah ke bawah. Maya berbicara pelan “Ini terlalu aneh, Nara. Seperti jebakan.” Nara menjawab dengan tegas “Kalau iya, biar saja. Aku enggak akan berhenti sekarang.” Mereka turun ke tangga itu, masuk ke dalam kegelapan yang semakin dalam. Di bawah, mereka menemukan sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan dokumen, rekaman, dan alat-alat misterius lainnya. Di tengah ruangan, ada sebuah meja besar dengan lampu yang menyala redup. Nara dan Maya mendekati meja itu. Di atasnya terdapat sebuah kotak besar yang terkunci, tetapi di sampingnya ada kunci kecil. Nara mengambil kunci itu dan membuka kotak tersebut. Di dalamnya, dia menemukan dokumen yang mengungkapkan kebenaran mengerikan tentang teater itu. Nara sambil membaca dokumen “Mereka... mereka menggunakan teater ini untuk mencuci uang. Untuk menutupi transaksi ilegal.” Nara membaca dokumen-dokumen itu dengan teliti, sementara Maya berdiri di belakangnya, masih waspada terhadap kemungkinan bahaya. Setiap kata dalam dokumen itu mengungkapkan lebih banyak fakta mengejutkan tentang bagaimana teater ini digunakan sebagai kedok untuk aktivitas kriminal. Nara mengerutkan kening “Ini lebih buruk dari yang aku kira. Mereka mencuci uang melalui produksi teater, menggunakan naskah sebagai alasan untuk mengeluarkan anggaran besar. Bahkan beberapa pertunjukan tidak pernah benar-benar terjadi.” Maya terkejut “Tunggu... jadi teater ini bukan cuma tempat seni?” Nara mulai terlihat begitu serius “Bukan. Ini adalah pusat operasi mereka. Dan Aksara salah satu dalangnya.” Maya terlihat cemas. Dia berjalan mengitari ruangan, memeriksa rak-rak penuh dokumen lain. Tiba-tiba, dia menemukan rekaman video tua di dalam sebuah kotak. Maya memegang rekaman “Apa ini?” Nara sambil mengambil rekaman itu“Mari kita lihat.” Mereka menemukan sebuah alat pemutar video tua di sudut ruangan dan memasukkan rekaman itu. Layar kecil menyala, menampilkan gambar buram. Video itu menunjukkan sebuah rapat rahasia di mana Aksara, ayah Nara, dan beberapa orang lain sedang berbicara. Suara mereka jelas. Di layar, ayah Nara tampak marah, berdiri di depan meja besar dengan naskah di tangannya. Darma Ayah Nara mengatakan dengan tegas “Kalian tidak bisa terus melakukan ini. Teater ini seharusnya menjadi tempat seni, bukan tempat untuk kejahatan seperti ini!” Aksara terlihat bersikap dingin “Kau terlalu idealis, Darma. Dunia ini tidak sesederhana itu.” Darma berteriak “Aku akan membongkar semuanya! Aku tidak peduli apa yang kalian lakukan padaku, kebenaran harus diketahui!” Terdengar suara Pria Lain yang begitu sinis “Kalau begitu, kau tahu apa akibatnya. Jangan pikir kami tidak bisa membuatmu menghilang, Darma.” Video itu berakhir dengan Darma keluar dari ruangan dengan ekspresi penuh tekad, sementara Aksara dan yang lainnya saling bertukar pandang dingin. Maya menatap Nara, yang terlihat sangat terpukul setelah melihat ayahnya dalam rekaman itu. Maya berbicara pelan “Ayahmu tahu risikonya... tapi dia tetap melawan mereka.” Nara menjawab dengan suara gemetar “Dan mereka memastikan dia tidak pernah bisa berbicara lagi.” Air mata mengalir di wajah Nara, tetapi dia dengan cepat menghapusnya. Dia menatap dokumen dan rekaman yang mereka temukan, merasa beban tanggung jawab di pundaknya semakin berat. Sebelum mereka bisa mengambil semua dokumen, suara langkah kaki terdengar dari atas. Nara dan Maya saling berpandangan, panik. Maya kembali berbisik “Mereka menemukan kita! Apa yang harus kita lakukan?” Nara menjawab dengan tegas “Ambil semua yang bisa kamu bawa. Kita enggak bisa meninggalkan bukti ini di sini.” Mereka dengan cepat mengisi tas dengan dokumen dan rekaman yang mereka temukan. Saat mereka selesai, pintu ruangan bawah tanah itu terbuka dengan keras, dan Aksara muncul, diikuti oleh dua pria bertubuh besar. Aksara terlihat sangat marah “Aku sudah bilang, berhenti mencari! Tapi kalian tidak mau mendengarkan.” Nara menjawab dengan tegas “Kami tahu semuanya, Pak Aksara. Aku tahu apa yang kamu lakukan pada ayahku!” Raut wajah Aksara begitu sinis “Ayahmu terlalu bodoh. Dia pikir dia bisa melawan kami sendirian. Dan sekarang, kamu melakukan kesalahan yang sama.” Aksara memberi isyarat kepada pria-pria itu untuk menangkap mereka. Nara dan Maya berlari ke arah pintu lain di ujung ruangan, membawa tas mereka. Salah satu pria berhasil mengejar Maya dan menarik tas dari tangannya, tetapi Nara memukulnya dengan salah satu alat tua yang ada di ruangan itu. Maya berteriak “Ayo, Nara!” Mereka berhasil keluar dari ruangan itu dan kembali ke tangga spiral. Namun, Aksara terus mengejar mereka, wajahnya penuh amarah. Nara dan Maya akhirnya sampai di panggung utama. Mereka mencoba menutup panel rahasia di lantai, tetapi Aksara dan anak buahnya terlalu cepat. Aksara berteriak “Kalian tidak akan pernah keluar dari sini dengan selamat!” Nara melihat ke sekeliling, mencoba mencari cara untuk melarikan diri. Maya menunjuk ke arah balkon di lantai dua, tempat mereka bisa melompat keluar ke jalan. Maya berbisik “Ke sana, Nara! Itu satu-satunya jalan keluar!” Mereka berlari ke balkon, sedangkan Aksara dan anak buahnya masih mengejar. Nara dan Maya akhirnya melompat dari balkon, mendarat di jalan berbatu di luar teater. Dengan susah payah, mereka bangkit dan berlari ke dalam kegelapan malam. Beberapa jam kemudian, Nara dan Maya bersembunyi di apartemen kecil Maya. Tas mereka penuh dengan dokumen dan rekaman yang berhasil mereka ambil. Maya memeriksa lukanya akibat terjatuh, sementara Nara duduk di meja, membaca dokumen-dokumen itu dengan serius. Maya berbicara pelan “Apa rencanamu sekarang, Nara?” Nara sambil menatap dokumen “Aku akan melakukan apa yang ayahku tidak sempat lakukan. Aku akan membongkar semuanya.” Maya merasa sedikit ragu “Tapi ini berbahaya. Aksara tidak akan berhenti sampai dia menghentikanmu.” Nara menjawab dengan tegas “Biarkan dia mencoba. Aku tidak akan mundur.” Nara menatap penuh tekad ke arah dokumen di depannya, sementara Maya mendukungnya meski dengan ketakutan. Perjuangan mereka baru saja dimulai, dan rahasia yang lebih besar masih menanti untuk terungkap. Malam semakin larut di apartemen kecil Maya. Nara masih sibuk membaca dokumen-dokumen di meja. Maya duduk di sofa dengan mata lelah, tetapi pikirannya tetap waspada. Dia menatap Nara yang terlihat begitu tenggelam dalam pekerjaannya, lalu menghela napas panjang. Maya berbicara dengan suara pelan “Nara, istirahatlah sebentar. Kita butuh tenaga buat hari esok.” Nara mendongak, menyadari betapa lelahnya dia sebenarnya. Dia meletakkan dokumen di tangannya dan mengusap wajahnya. Nara duduk sambil bersandar di kursi “Aku tahu, tapi rasanya kalau aku berhenti, aku akan kehilangan momen penting. Setiap detik berarti, Maya.” Maya menjawab dengan tegas “Aku ngerti. Tapi, kalau kamu terlalu memaksakan diri, kamu nggak akan bisa berpikir jernih. Dan kita butuh otak kamu utuh kalau mau selamat dari semua ini.” Nara tersenyum kecil, menghargai perhatian Maya. Dia menatap Maya dengan penuh rasa terima kasih. Nara berkata sedikit lebih pelan “Kamu benar. Aku beruntung punya kamu di sini, Maya. Kalau sendirian, aku nggak tahu apa aku bisa bertahan sejauh ini.” Maya tertawa kecil “Yah, seseorang harus memastikan kamu nggak nekat melawan seluruh dunia sendirian.” Mereka tertawa kecil bersama, meskipun suasana masih penuh dengan ketegangan. Maya berjalan ke dapur kecilnya dan menuangkan dua gelas air. Dia membawa salah satu gelas ke Nara dan duduk di sampingnya. Maya sambil menyerahkan gelas “Kamu tahu, Nara, aku bukan orang yang biasa berurusan dengan hal-hal sebesar ini. Aku cuma gadis biasa yang kebetulan terjebak dalam kekacauan ini.” Nara mengangguk “Aku tahu. Dan itu yang bikin aku semakin kagum sama kamu. Kamu nggak harus ada di sini, tapi kamu tetap memilih untuk membantu aku.” Maya berkata dengan serius “Aku di sini karena aku tahu apa yang kamu perjuangkan itu benar. Kalau aku di posisi kamu, aku harap aku bisa sekuat kamu.” Mereka terdiam sejenak, saling menghargai kehadiran satu sama lain. Maya akhirnya memecah keheningan. Maya berbicara sambil tersenyum tipis “Jadi, apa rencana selanjutnya, Pemimpin?” Nara juga tertawa kecil “Pemimpin, ya? Oke, tim kecil, kita butuh strategi. Kita harus cari tempat yang aman buat menyimpan dokumen ini, dan kita butuh bantuan dari seseorang yang bisa kita percaya.” Maya berpikir sejenak “Mungkin kita bisa cari jurnalis investigasi. Orang yang nggak takut sama ancaman, dan punya kemampuan buat membongkar kasus besar.” Nara mengangguk “Itu ide yang bagus. Aku juga ingat ada beberapa kenalan ayahku yang mungkin bisa membantu. Tapi, sebelum itu, kita harus hati-hati. Aksara pasti nggak akan tinggal diam.” Maya mengangguk dengan serius. Dia tahu bahaya yang mereka hadapi, tapi tidak ada sedikit pun keraguan di wajahnya. Beberapa menit kemudian, Nara dan Maya sedang membereskan dokumen dan barang-barang mereka. Maya, yang biasanya canggung dalam situasi serius, mencoba meringankan suasana dengan candaan. Maya sambil memeriksa tas mereka “Kamu sadar nggak, kita kayak detektif-detektif dalam film? Cuma kurang mantel panjang sama topi fedora.” Nara tertawa kecil “Kalau gitu, kamu cocok jadi partner yang suka bikin lelucon, sementara aku yang serius sepanjang waktu.” Maya tertawa “ Hahaha, Tepat sekali! Kalau nanti kita selamat, mungkin kita bisa buka jasa detektif beneran.” Nara tertawa lebih keras, sesuatu yang jarang dia lakukan sejak semua ini dimulai. Maya merasa lega melihat Nara sedikit rileks. Namun, dia segera mengubah nada bicaranya menjadi lebih serius. Maya sambil menatap Nara “Tapi serius, Nara! Apa pun yang terjadi, aku di sini buat kamu. Aku tahu ini bukan perjuangan yang mudah, tapi aku nggak akan ninggalin kamu.” Nara tertegun mendengar kata-kata itu. Dia mengangguk dengan tulus, merasakan kepercayaan yang dalam pada Maya. Nara menjawab dengan pelan “Terima kasih, Maya. Aku juga nggak akan biarkan kamu terluka karena ini. Aku janji, kita akan melalui ini bersama-sama.” Mereka berjabat tangan dengan erat, sebuah janji persahabatan yang menguatkan tekad mereka untuk melawan semua rintangan. Momen itu penuh dengan rasa saling percaya, menjadi pondasi yang kuat untuk kerja sama mereka ke depan. Malam semakin larut, tetapi baik Nara maupun Maya tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang. Mereka menatap dokumen-dokumen di meja, penuh dengan bukti yang akan mengguncang segalanya. Di luar apartemen, dunia tampak tenang, tetapi di dalam, ada api semangat yang perlahan menyala.Pagi hari yang mendung di pusat kota. Nara berjalan sendirian di trotoar yang sibuk, dengan tas ransel berisi dokumen di pundaknya. Dia memutuskan untuk memisahkan diri sementara dari Maya demi memastikan bahwa mereka tidak terlalu mencolok. Dengan langkah tergesa-gesa, dia menatap sekeliling, memastikan tidak ada yang mengikutinya.Tanpa sadar, dia menabrak seseorang di persimpangan jalan. Benturan itu cukup keras sehingga ranselnya jatuh ke tanah, membuat beberapa dokumen terjatuh. Nara buru-buru menunduk untuk mengambilnya, sementara pria yang dia tabrak juga meraih dokumen-dokumen itu.Nara terlihat sedikit panik “Maaf, saya tidak meliha.”Dia berhenti berbicara ketika matanya bertemu dengan pria di depannya. Pria itu berpenampilan rapi, dengan wajah yang tampan dan penuh pesona. Rambutnya hitam pekat dan tersisir rapi, sementara matanya yang tajam tampak penuh perhatian. Dia tersenyum kecil.Pria itu berdiri sambil menyerahkan dokumen “Tidak apa-apa. Ini milikmu, kan?”Nara menga
Adrian menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Dia menatap Nara lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut. “Maaf. Aku hanya... Aku hanya ingin memastikan kamu aman, Nara.” Nara tersentuh oleh nada tulus Adrian, tetapi dia segera mengalihkan pandangannya, tidak ingin terlihat lemah. “Kita harus tetap fokus pada tujuan. Itu saja yang penting.” Malam semakin larut. Maya sudah tertidur di sofa, sementara Adrian dan Nara duduk di balkon apartemen kecil itu. Angin malam berhembus pelan, membawa suasana keheningan yang sesekali terisi oleh suara kendaraan di jalanan jauh di bawah. Keduanya memegang cangkir kopi hangat di tangan, meski pikiran mereka jelas masih penuh dengan kekhawatiran. Adrian sambil menatap keluar ke arah lampu kota. “Aku selalu percaya bahwa setiap orang punya batasannya. Tapi kamu, Nara... kamu sepertinya tidak pernah berhenti melampaui batas itu.” Nara menatap Adrian dengan alis terangkat. Dia menyesap kopinya dan berbicara dengan nada ringan. “
Setelah malam yang penuh ketegangan, pagi menjelang dengan kabut tipis menyelimuti kota. Di apartemen kecil itu, Nara, Adrian, dan Maya berkumpul di meja dapur, membahas rencana baru. Kopi hangat di cangkir mereka kini terasa hambar, kalah oleh berat pikiran yang mengisi kepala masing-masing. Nara membuka peta yang mereka ambil dari dokumen malam sebelumnya. “Kita harus mulai dari sini. Lokasi ini disebutkan sebagai salah satu pusat operasi Aksara. Jika kita bisa masuk, mungkin kita menemukan bukti untuk menjatuhkannya.” Adrian mengerutkan dahi, memperhatikan peta itu dengan seksama. “Tapi tempat ini dijaga ketat. Kita tidak bisa masuk begitu saja tanpa persiapan.” Maya, yang biasanya penuh candaan, kini berbicara dengan nada serius. “Aku kenal seseorang yang mungkin bisa membantu. Seorang mantan karyawan Aksara yang tahu seluk-beluk sistem keamanan mereka.” Nara mengangkat alis. “Kenapa kamu baru bilang sekarang?” Maya mengangkat bahu dengan cengiran kecil. “Kamu tidak pernah ta
Malam di balkon hotel itu menjadi awal dari percakapan yang tidak pernah Adrian atau Nara duga. Setelah begitu lama hidup dalam bayang-bayang pelarian dan ketakutan, ada sesuatu yang terasa berbeda. Udara malam yang dingin tidak mampu menyembunyikan kehangatan yang perlahan tumbuh di antara mereka.“Aku ingin tahu, kalau ini semua berakhir... apa yang akan kamu lakukan?” Kata Adrian tiba-tiba, memecah keheningan.Nara menatapnya, sedikit bingung dengan pertanyaan itu. “Maksudmu?”“Setelah Aksara jatuh. Setelah semua ini selesai. Apa yang kamu inginkan, Nara?”Nara terdiam, mencoba mencari jawaban yang tepat. Tapi setiap kali dia memikirkannya, kepalanya terasa penuh dengan keraguan. “Aku nggak tahu, Adrian. Aku nggak pernah berpikir sejauh itu. Selama ini, aku hanya fokus untuk bertahan hidup.”Adrian mengangguk pelan, memahami jawabannya. “Itu adil. Tapi... kamu berhak memikirkan tentang masa depan. Tentang kebahagiaanmu sendiri.”“Kebahagiaan, ya? Aku nggak yakin itu sesuatu yang bi
Fajar menyingsing, menyapu kegelapan malam dengan lembut. Rumah kecil di pinggiran kota itu masih hening. Maya tertidur di sofa, sementara Adrian tetap terjaga di kursi dekat jendela, memeriksa ponselnya untuk memastikan tidak ada perkembangan buruk. Nara, di sisi lain, duduk di ruang kerja kecil, mempelajari kembali peta dan catatan mereka. Tiba-tiba, telepon Maya yang berada di meja mulai bergetar pelan. Suara itu memecah keheningan dan membuat mereka semua waspada. Maya terbangun, langsung meraih teleponnya dan membaca pesan yang masuk. Wajahnya berubah tegang. “Berita tentang Aksara sudah menyebar luas,” katanya dengan suara serak. “Tapi ada yang aneh. Seorang sumber dari dalam mengatakan bahwa ada satu nama besar yang sengaja tidak disebutkan dalam dokumen kita.” Adrian mendekat, membaca pesan itu dari balik pundak Maya. “Maksudnya apa? Kita sudah memastikan semuanya lengkap sebelum menyerahkannya.” Maya menggeleng. “Entah bagaimana, nama itu berhasil dihapus. Tapi sumberk
Malam gelap menyelimuti gudang tua yang menjadi tempat persembunyian Nara, Adrian, Maya, dan kini Reza. Mereka semua berada di ujung kelelahan, tetapi semangat untuk melanjutkan perjuangan terus membara. Bukti-bukti di flash drive Reza menjadi nyala kecil harapan di tengah derasnya ancaman. Namun, ancaman itu tidak hanya datang dari luar. Ketegangan di antara mereka mulai terasa. Adrian, yang masih merawat luka Maya, sesekali melirik Reza dengan pandangan penuh curiga. “Kamu yakin tidak sedang memanfaatkan kami?” tanya Adrian tajam. Reza mendesah. “Kalau aku ingin menyerahkan kalian, aku sudah melakukannya sejak dulu. Aku kehilangan segalanya karena Aksara. Keluarga, pekerjaan, semuanya. Aku di sini untuk membalas dendam.” “Cukup,” potong Nara. Dia menatap Adrian dan Reza bergantian. “Kita tidak punya waktu untuk saling mencurigai. Yang penting sekarang, kita harus menyusun langkah berikutnya.” Reza mengeluarkan peta gedung utama Aksara dari dalam tasnya. “Ada satu tempat yang mun
Nara berdiri terpaku, tubuhnya kaku di hadapan Rendra Wijaya yang kini melangkah maju dengan senyum dingin penuh kemenangan. Di belakangnya, pengawal-pengawal bersenjata melangkah memasuki ruangan, membentuk barisan yang membuat pelarian menjadi mustahil. Adrian, Reza, dan Maya langsung bergerak melindungi Nara dan Darma, tetapi mereka tahu posisi mereka saat ini tidak menguntungkan.“Kalian sungguh berani! Menggali terlalu dalam dan mencoba merusak apa yang telah kami bangun selama bertahun-tahun. Apa kalian kira ini akan berakhir baik untuk kalian?” Ucap Rendra dengan nada santai, meski ada ancaman tajam yang tersirat dalam kata-katanya.Mata Nara memancarkan kemarahan. Dia berdiri tegak, menatap langsung ke arah Rendra. “Kami tidak takut padamu. Kau pikir dengan menahan ayahku, kau bisa menghentikan kami? Kau salah besar.”Rendra tertawa kecil. “Keberanianmu mengesankan, Nara. Tapi ini bukan cerita dongeng di mana keberanian akan menyelamatkanmu. Kau menghadapi Aksara sebuah kekuat
Pelarian mereka dari vila Sutra meninggalkan bekas luka yang mendalam, baik di hati Nara maupun di kelompoknya. Dalam keheningan malam, hanya suara napas yang terengah-engah dan daun-daun yang bergesekan dengan kaki mereka yang terdengar. Nara menggenggam dokumen-dokumen di tangannya erat, seolah itu adalah nyawa ayahnya yang tersisa. Mereka tiba di tempat persembunyian yang baru, sebuah bangunan tua yang tersembunyi di pinggiran kota. Adrian dengan cepat memastikan semua pintu dan jendela terkunci, sementara Maya mencoba menenangkan Nara yang menangis tanpa henti. “Nara...” suara Adrian memecah keheningan. Dia mendekat, duduk di samping Nara yang menundukkan kepala. “Aku tahu ini berat, tapi Ayahmu mengorbankan dirinya agar kamu bisa membawa dokumen ini keluar. Kita harus menghormati perjuangannya.” Nara mengangkat wajahnya, air mata masih mengalir di pipinya. “Aku meninggalkannya, Adrian. Aku bahkan tidak bisa menyelamatkan ayahku. Bagaimana aku bisa melanjutkan ini?” Adrian
Nara tak menyangka jika Adrian bisa sampai terluka parah bersimbah darah. Ia segera mamapah Adrian kedalam Apartemennya. Kemudian ia menutup pintu dan membawakan obat untuk segera membalut tangan Adrian yang terluka. “Adrian apa yang terjadi padamu? Kenapa bisa sampai seperti ini?” Tanya Nara dengan rasa khawatir yang menyelimuti dirinya, dan nampak begitu jelas di wajah Nara. “Aku tidak apa-apa, hanya tak sengaja menabrak seseorang saat akan keluar dari rumah.” Jawab Adrian mencari alasan agar Nara tidak terlalu mengawatirkan dirinya. “Kamu jangan membohongiku! Ini jelas-jelas luka senjata tajam, ini belati yang mengandung racun. Dan racunnya baru saja aku bersihkan, mungkin masih tersisa sedikit.” “Kamu tahu tentang obat-obatan Nara?” Tanya Adrian penasaran. Nara menganggukkan kepalanya, dan menjelaskan jika ia belajar mengenal obat-obatan sejak ia masih kecil, ia sering membuat berbagai macam ramuan herbal untuk segala penyakit. “Aku tak menyangka jika kau begitu teramp
Hati mereka begitu hancur mendengar Nara tak sadarkan diri. Setelah Nara dipindahkan keruangan VIP, mereka begitu tegang menunggu berjam-jam hingga jam 3 dini hari, Nara belum juga ada tanda-tanda perubahan. Adrian tak menyangka jika Nara akan seperti ini. Ditengah kegelisahannya. Datanglah Maya dan Reza yang baru saja membeli makanan untuk mereka. “Makanlah walau sedikit, jika kamu sakit siapa yang akan menjaga Nara nantinya?” Sambil menerima nasi jitak yang diberikan oleh maya untuknya. “Terimakasih May, maaf jadi merepotkanmu! Apa kalian sudah makan?” “Tidak apa, kebetulan kami sudah makan tadi diwarung makan. Kami bersyukur juga jam segini, masih ada warung makan yang buka.” Andrean merasa terharu dengan kebaikan sahabat, yang belum lama ia kenal. Keesokan paginya disaat mereka sedang terlelap tidur terdengar suara gelas terjatuh. Hingga membuat mereka terkejut. Saat mereka terbangun hak yang tak terduga terjadi pada pada Nara. “Nara, cepat tolong Nara! Sedangkan kau
Adrian dan Reza menjadi begitu panik ketika mendapatkan kabar yang tak terduga dari nomor tak dikenal. “Apa kamu bisa melacak nomor tersebut ?” tanya adrian yang terlihat begitu panik. “Kamu jangan terlalu panik, jika kamu bersikap seperti ini, pikiranmu tidak akan bisa memecahkan masalah. Tunggu, sepertinya handphonemu berdering.” Nomor yang sama kembali menghubungi Adrian meminta ia mencari alamat yang dikirimkan padanya. Mereka segera berangkat menaiki mobil Reza. Tak berselang lama mereka telah sampai ditempat yang mereka cari. Rumah tua yang terlihat sangat lusuh dan penuh dengan rerumputan yang tumbuh menjulang tinggi menutupi halaman rumah. Adrian bersama Reza berjalan perlahan, sebelum mereka beraksi Adrian menghubungi seseorang. Setelah itu mereka segera beraksi, saat mereka tengah melangkahkan kaki hal tak terduga terjadi. “Hahaha, tak ku sangka kamu begitu peduli padanya!” “Siapa kamu!” Seru Adrian dan Reza. “Kalian tidak perlu tau siapa aku, tapi yang perlu kalian
“Kenapa Ayahku selalu saja terlibat dalam perbuatan mereka. Sungguh sangat merasa putus asa. Aku kira pementasan yang sebelumnya akan membuatku naik daun. Tapi ternyata aku harus menyelesaikan masalah seperti ini.”“Kamu tidak bersalah Nara, jadi jangan pernah menyesali semua keputusan yang sudah kamu ambil,” ujar Adrian dengan lembut.Maya yang masih sibuk dengan laptopnya segera menyelesaikan semuanya. Setelah dirasa data mereka sudah cukup kini maya menyerahkan sebuah berkas penting. ia mendekati Nara mencoba menghiburnya. Nara berharap semua ini segera berakhir, karena ia sudah tidak tahan lagi dengan apa yang terjadi. Malam-malam yang ia lalui terasa begitu kelam. Namun ia harus selalu dituntun dengan keadaan.“Sudahlah Nara aku tahu kamu ingin sekali menjadi seorang yang mempunyai bakat. Bahkan ingin menjadi seorang penulis hebat seperti ayahmu. Tapi kamu dihadapkan dapam dua pilihan,” jawab Maya sambil mendekati Nara dan menyeka air matanya.“Terimakasih Maya kamu selalu ada u
Kegelapan menyelimuti ruangan, hanya diiringi oleh suara langkah kaki yang mendekat. Sutra terus berbicara, suaranya dingin dan penuh ejekan.“Tidak ada gunanya kalian lari,” katanya, suaranya menggema di gudang kosong itu. “Aku sudah memprediksi langkah kalian. Dan sekarang, aku ada di sini untuk mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku.”Nara merasa tubuhnya gemetar, tetapi genggaman Adrian di tangannya memberikan kekuatan yang tak ia sangka. Dengan napas tertahan, ia berbisik, “Kita harus keluar dari sini.”Adrian mengangguk pelan. "Ikuti aku. Maya, Reza, siapkan rencana keluar."Reza memberikan isyarat tangan kepada Adrian, lalu bergerak dengan sigap menuju bagian belakang gudang, mencari jalan keluar alternatif. Sementara itu, Maya sibuk menyimpan perangkat keras yang berisi data penting ke dalam tas kecilnya.Namun, langkah Sutra semakin dekat. Suaranya kini terdengar semakin tajam. “Jadi, ini yang tersisa dari keluarga Darma Yudha? Memalukan sekali.”Nara menggigi
Lorong menuju ruang arsip utama dipenuhi suara derap langkah penjaga yang mulai mendekat. Nara, Adrian, Reza, dan Maya bergerak dengan hati-hati, menjaga agar setiap langkah mereka tak mengundang perhatian. Pria tua yang sebelumnya mereka temui memberi petunjuk jalan sebelum bersembunyi kembali di salah satu ruangan. "Ruang arsipnya ada di ujung lorong ini," bisik Maya sambil memegang tablet yang memindai peta digital bangunan. "Tapi kita harus melewati setidaknya tiga lapis pengamanan." "Berapa banyak penjaga?" tanya Adrian, memeriksa pistolnya. "Setidaknya ada enam di area ini, tapi kita tidak tahu berapa banyak yang berjaga di depan ruang arsip," jawab Maya. Reza memberikan tanda tangan kepada tim untuk terus bergerak. “Kita harus melakukannya dengan cepat dan senyap. Kalau mereka tahu kita di sini, mereka bisa menghancurkan data sebelum kita sempat mendapatkannya.” Langkah mereka terhenti di depan pintu baja besar, salah satu lapisan pertama yang harus dilewati. Maya segera b
Ketika pintu ruang kendali terbuka, hawa dingin langsung menyergap tubuh Nara. Ruangan itu berbeda dari apa yang ia bayangkan. Tidak seperti laboratorium futuristik yang penuh dengan layar dan perangkat canggih. Sebaliknya, ruangan itu tampak seperti sebuah galeri seni yang gelap dan suram. Di dinding-dindingnya tergantung gambar-gambar besar, potret-potret hitam putih yang menyimpan kisah pilu para korban Aksara. Salah satu potret itu membuat langkah Nara terhenti, wajah Darma, ayahnya, terpampang di sana dengan tatapan kosong yang membekas di hati.“Ini... ayahku,” bisik Nara, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh emosinya.Adrian berjalan mendekat dan menatap potret itu dengan rahang yang mengeras. “Mereka menggunakan ini untuk menakut-nakuti kita. Jangan biarkan mereka menang.”Namun, Nara tak bisa memalingkan matanya. Di bawah potret itu, ada tulisan kecil dalam huruf yang nyaris tak terbaca: Kebenaran adalah kutukan bagi yang mencarinya.“Mereka bermain dengan psikologi kita,”
Langit malam begitu gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang remang-remang. Suara ombak yang menghantam pantai terdengar mengiringi langkah kaki mereka yang terbungkus dalam kesunyian malam. Waktu terus berputar, dan misi yang mereka rencanakan semakin dekat. Eden, tempat yang dikenal sebagai pusat operasi Aksara, sudah ada di depan mata. Namun, Nara tahu bahwa langkah mereka ke sana bukan hanya langkah menuju pulau terpencil itu, tapi juga langkah menuju sebuah konfrontasi yang bisa mengubah segalanya. Di ruang taksi yang tersembunyi di balik bayang-bayang kota, seluruh tim berkumpul di sekitar meja besar. Maya sudah menghubungi beberapa orang yang bisa membantu mereka, dan meskipun perlahan, mereka mulai mempersiapkan diri untuk keberangkatan. “Nara,” suara Adrian terdengar, lembut namun penuh kehangatan, “kamu yakin dengan keputusan ini? Kita akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kita kira.” Nara menatap Adrian, matanya yang penuh keteguhan bercampur kek
Pelarian mereka dari vila Sutra meninggalkan bekas luka yang mendalam, baik di hati Nara maupun di kelompoknya. Dalam keheningan malam, hanya suara napas yang terengah-engah dan daun-daun yang bergesekan dengan kaki mereka yang terdengar. Nara menggenggam dokumen-dokumen di tangannya erat, seolah itu adalah nyawa ayahnya yang tersisa. Mereka tiba di tempat persembunyian yang baru, sebuah bangunan tua yang tersembunyi di pinggiran kota. Adrian dengan cepat memastikan semua pintu dan jendela terkunci, sementara Maya mencoba menenangkan Nara yang menangis tanpa henti. “Nara...” suara Adrian memecah keheningan. Dia mendekat, duduk di samping Nara yang menundukkan kepala. “Aku tahu ini berat, tapi Ayahmu mengorbankan dirinya agar kamu bisa membawa dokumen ini keluar. Kita harus menghormati perjuangannya.” Nara mengangkat wajahnya, air mata masih mengalir di pipinya. “Aku meninggalkannya, Adrian. Aku bahkan tidak bisa menyelamatkan ayahku. Bagaimana aku bisa melanjutkan ini?” Adrian