Setelah malam yang penuh ketegangan, pagi menjelang dengan kabut tipis menyelimuti kota. Di apartemen kecil itu, Nara, Adrian, dan Maya berkumpul di meja dapur, membahas rencana baru. Kopi hangat di cangkir mereka kini terasa hambar, kalah oleh berat pikiran yang mengisi kepala masing-masing.
Nara membuka peta yang mereka ambil dari dokumen malam sebelumnya. “Kita harus mulai dari sini. Lokasi ini disebutkan sebagai salah satu pusat operasi Aksara. Jika kita bisa masuk, mungkin kita menemukan bukti untuk menjatuhkannya.” Adrian mengerutkan dahi, memperhatikan peta itu dengan seksama. “Tapi tempat ini dijaga ketat. Kita tidak bisa masuk begitu saja tanpa persiapan.” Maya, yang biasanya penuh candaan, kini berbicara dengan nada serius. “Aku kenal seseorang yang mungkin bisa membantu. Seorang mantan karyawan Aksara yang tahu seluk-beluk sistem keamanan mereka.” Nara mengangkat alis. “Kenapa kamu baru bilang sekarang?” Maya mengangkat bahu dengan cengiran kecil. “Kamu tidak pernah tanya.” Adrian tersenyum kecil, meski ketegangan tetap terasa di udara. “Baiklah. Ayo temui orang itu. Tapi kita harus hati-hati. Aksara pasti sudah memasang mata-mata di mana-mana.” Maya membawa mereka ke sebuah kedai kopi kecil di sudut kota. Di sana, mereka bertemu dengan Reno, seorang pria berusia pertengahan tiga puluhan dengan wajah lelah dan tatapan penuh kewaspadaan. Reno tampak gugup, terus menatap sekeliling seperti sedang mengawasi bahaya yang tak terlihat. “Aksara bukan lawan main-main. Tapi aku tahu satu kelemahan mereka. Ada pintu belakang ke sistem data mereka, dan itu terhubung ke pusat operasi utama yang kalian sebutkan tadi.” Adrian menyipitkan mata. “Kenapa kamu membantu kami, Reno? Apa risikonya sepadan?” Reno menghela napas panjang. “Karena aku tahu apa yang mereka lakukan itu salah. Aku kehilangan banyak hal karena mereka. Jika kalian bisa menghentikannya, itu cukup buatku.” Maya menepuk bahu Reno. “Terima kasih. Kami tidak akan menyia-nyiakan ini.” Dalam perjalanan pulang, suasana semakin tegang. Nara merasa ada yang mengikuti mereka, tetapi setiap kali dia menoleh, jalanan tampak kosong. Adrian yang juga menyadarinya, berbisik. “Kita harus cepat. Aku yakin kita sedang diawasi.” Sesampainya di apartemen, Nara segera memeriksa dokumen mereka, menghubungkan informasi dari Reno dengan data yang sudah mereka miliki. Namun, suara langkah kaki di luar pintu membuat semuanya terhenti. Adrian menyiapkan diri, mengambil batang besi yang dia simpan di sudut ruangan. Maya bergerak ke arah jendela, mencoba mencari jalan keluar. Nara berdiri di tengah ruangan, berpikir cepat. Ketukan keras di pintu membuat mereka semua terdiam. Sebuah suara berat terdengar dari luar. “Kami tahu kalian ada di dalam. Serahkan diri kalian, atau kami masuk paksa.” Adrian mengisyaratkan mereka untuk tetap tenang. Nara mengambil keputusan cepat. Dia meraih tas berisi dokumen mereka dan memberikan isyarat kepada Maya untuk pergi melalui tangga darurat. “Kita harus pergi sekarang,” bisik Nara. Namun sebelum mereka bisa bergerak, pintu didobrak. Beberapa pria berbadan besar menyerbu masuk, memegang senjata. Pertarungan sengit pun terjadi di ruangan sempit itu. Adrian melawan dua pria sekaligus, menggunakan batang besi untuk menghalangi mereka. Maya berhasil melarikan diri ke tangga darurat, sementara Nara mencoba melindungi tas dokumen yang mereka miliki. Dalam kekacauan itu, Nara hampir tertangkap. Namun, Adrian, dengan satu pukulan terakhir, berhasil menjatuhkan musuh dan menarik Nara keluar. Mereka berlari keluar gedung, mengikuti Maya yang sudah lebih dulu kabur. Ketiganya akhirnya berhasil lolos dan bersembunyi di gudang tua di luar kota. Nafas mereka terengah-engah, wajah mereka penuh keringat dan debu. Adrian memegang bahu Nara. “Kamu baik-baik saja?” Nara mengangguk, meskipun hatinya masih berdebar. “Kita harus lebih cepat. Mereka semakin dekat dengan kita.” Maya, yang sedang memeriksa dokumen mereka, berbicara dengan nada tegas. “Kalau begitu, kita harus menyerang lebih dulu sebelum mereka menemukan kita lagi.” Adrian menatap mereka berdua dan mengangguk. “Baiklah. Mulai besok, kita akan memanfaatkan apa yang Reno berikan. Ini mungkin kesempatan terakhir kita.” Nara menatap Adrian dan Maya, merasa bahwa ikatan mereka semakin kuat. Bahaya semakin dekat, tetapi dia tahu, bersama mereka, dia memiliki peluang untuk menang. Setelah memastikan mereka aman di gudang tua, Adrian menutup pintu dengan hati-hati dan mengganjalnya dengan beberapa peti kayu yang ada di sana. Nara duduk di lantai, berusaha mengatur napasnya sambil memeriksa tas berisi dokumen. “Semua masih utuh,” katanya sambil membuka tas untuk memastikan tidak ada yang hilang. Maya duduk di sudut, mengusap pelipisnya yang lecet akibat tergores saat melarikan diri. “Kita nggak bisa terus seperti ini, selalu melarikan diri. Kalau mereka tahu lokasi ini, kita selesai.” Adrian menatap mereka berdua dengan tegas. “Kita tidak akan lari lagi. Mulai sekarang, kita harus mengambil langkah lebih besar.” Nara menatap Adrian dengan ekspresi serius. “Apa maksudmu?” Adrian mendekat, mengambil peta dari tas Nara dan meletakkannya di lantai. “Reno bilang ada pintu belakang ke sistem mereka. Jika kita bisa masuk ke sana, kita bisa mendapatkan informasi yang cukup untuk menjatuhkan Aksara. Kita tidak hanya bertahan, kita melawan.” Nara mengerutkan dahi. “Itu akan sangat berbahaya. Mereka tahu kita semakin dekat. Semua mata tertuju pada kita sekarang.” “Tepat, karena itu, kita harus bergerak cepat sebelum mereka memperkuat pertahanan mereka.” Maya, meskipun lelah, tersenyum kecil. “Akhirnya, aku mendengar rencana yang terdengar lebih menarik daripada terus lari.” Selama beberapa jam berikutnya, mereka menyusun rencana. Reno telah memberi mereka informasi tentang lokasi pintu belakang itu, sebuah ruangan kecil di basement gedung pusat operasi Aksara. Tempat itu tidak dijaga ketat karena hanya teknisi yang memiliki akses. Namun, untuk masuk ke sana, mereka membutuhkan kartu akses tingkat tinggi. “Kartu akses ini, milik seorang supervisor bernama Darma. Dia sering bekerja di gedung itu.” Kata Adrian sambil menunjuk pada salah satu dokumen mereka. Maya mengangkat alis. “Dan bagaimana kita mendapatkannya? Pasti dia nggak akan menyerahkan begitu saja.” Adrian tersenyum tipis. “Kita harus mencurinya.” Nara menggelengkan kepala. “Ini semakin berisiko.” “Semua yang kita lakukan berisiko, Nara. “Tapi ini satu-satunya cara. Kita bisa menyusup ke tempat itu tanpa ada yang menyadari jika kita punya kartu itu.” Malam berikutnya, mereka bertiga menuju sebuah bar tempat Darma sering menghabiskan waktu setelah bekerja. Maya, dengan kemampuan berbicara yang luar biasa, berhasil menarik perhatian Darma dan membuatnya mabuk. Sementara itu, Adrian dan Nara mengawasi dari jauh. Saat Darma kehilangan keseimbangan dan tersandar di meja, Maya memberi isyarat kepada Adrian untuk mendekat. Dengan cekatan, Adrian mengambil dompet Darma dan menemukan kartu akses di dalamnya. “Dapat,” bisik Adrian sambil menyelipkan kartu itu ke sakunya. Maya memastikan Darma tidak sadar akan apa yang terjadi, lalu berpamitan dengan alasan dia harus pergi lebih dulu. Mereka bertiga segera meninggalkan bar dengan langkah cepat. Keesokan harinya, mereka memasuki gedung pusat operasi Aksara menggunakan kartu akses Darma. Semua berjalan lancar hingga mereka mencapai basement. Suasana di sana gelap dan sunyi, hanya terdengar dengung mesin server yang beroperasi. “Ini dia,” kata Nara sambil menunjuk sebuah pintu kecil di sudut ruangan. Adrian mendekat dan menggunakan kartu akses untuk membukanya. Setelah beberapa detik, pintu terbuka dengan suara klik pelan. Mereka segera masuk, dan Maya mulai memeriksa sistem komputer di dalam ruangan itu. “Semua data ada di sini, kalau kita bisa mengunduh ini, kita punya bukti yang cukup untuk menjatuhkan Aksara.” Bisik Maya dengan penuh semangat. Namun, saat Maya mulai mengunduh data, alarm tiba-tiba berbunyi. Lampu merah berkedip, dan suara dari pengeras suara memenuhi ruangan. “Pelanggaran keamanan terdeteksi. Semua personel ke basement sekarang.” Nara menoleh dengan panik. “Kita harus keluar sekarang!” “Belum! Kita hampir selesai. Beri aku waktu beberapa menit lagi!” Adrian berdiri di depan pintu, bersiap menghadapi siapa pun yang datang. Langkah kaki mulai terdengar dari kejauhan, mendekat dengan cepat. “Nara, bantu aku!” teriak Maya, berusaha mempercepat proses unduhan. Dengan tangan gemetar, Nara ikut membantu Maya, berharap mereka bisa menyelesaikan misi ini sebelum waktu habis. Langkah kaki semakin mendekat, dan suara teriakan dari penjaga membuat suasana di ruangan itu semakin mencekam. Adrian berdiri di depan pintu, tongkat besi di tangan, bersiap melawan siapa pun yang masuk. “Cepat, Maya!” teriak Nara, matanya terus memandang layar yang menunjukkan kemajuan unduhan data. Maya mengetik dengan gesit, wajahnya tegang. “Tinggal lima detik lagi!” Pintu ruangan mulai digedor dari luar. Adrian menoleh ke Nara. “Begitu selesai, ambil flash drive itu dan lari. Aku akan menahan mereka.” Nara menatap Adrian dengan sorot mata penuh emosi. “Aku nggak akan meninggalkanmu!” “Jangan bodoh, Nara. Kalau kita semua tertangkap, semuanya sia-sia,” balas Adrian dengan tegas. “Sudah selesai!” seru Maya sambil mencabut flash drive dari komputer. Tanpa membuang waktu, mereka bertiga berlari ke pintu belakang ruangan yang sebelumnya mereka identifikasi sebagai jalan keluar darurat. Adrian menahan pintu utama dengan segala tenaganya, memberi waktu bagi Nara dan Maya untuk melarikan diri. Ketika Nara sampai di pintu belakang, dia berhenti dan berbalik. “Aku nggak akan meninggalkanmu, Adrian!” Dengan satu pukulan terakhir pada pengganjal pintu, Adrian melompat ke arah Nara. “Pergi sekarang!” Mereka berhasil keluar ke gang sempit di belakang gedung, tepat sebelum penjaga menerobos masuk ke ruangan. Dengan napas terengah-engah, mereka berlari menjauh, menghilang di antara kegelapan malam. Malam itu, mereka bersembunyi di sebuah motel tua di pinggiran kota. Setelah memastikan semuanya aman, mereka akhirnya bisa bernapas lega. Maya duduk di tepi tempat tidur, memandangi flash drive di tangannya. “Semua bukti ada di sini. Dengan ini, kita bisa menghancurkan Aksara.” Nara tersenyum lemah, tetapi matanya tertuju pada Adrian yang sedang membersihkan luka di lengannya. “Kamu baik-baik saja?” Adrian mengangkat bahu, meski raut wajahnya menunjukkan rasa sakit. “Ini cuma luka kecil. Yang penting kita berhasil.” Nara mendekat, mengambil kapas dan obat antiseptik dari meja. “Biar aku yang urus.” Adrian menatap Nara dengan lembut. “Kamu nggak perlu repot.” “Diam saja,” potong Nara sambil mulai membersihkan lukanya. Tangannya gemetar, tetapi dia berusaha tetap tenang. Adrian memperhatikan wajah Nara yang serius, dan senyuman tipis muncul di bibirnya. “Kamu selalu keras kepala seperti ini, ya?” “Kalau aku nggak keras kepala, mungkin kita nggak akan sampai sejauh ini,” jawab Nara, suaranya lembut tetapi tegas. Saat Nara selesai, dia mendongak, dan untuk pertama kalinya, mata mereka bertemu tanpa ada penghalang. Di balik rasa lelah dan luka yang mereka rasakan, ada sesuatu yang berbeda, sebuah kehangatan yang sulit dijelaskan. “Adrian Terimakasih,” bisik Nara, suaranya nyaris tak terdengar. Adrian mengangkat tangannya, menyentuh pipi Nara dengan lembut. “Kamu nggak perlu berterima kasih. Aku akan selalu ada di sini untuk melindungimu.” Maya, yang menyadari suasana di antara mereka, pura-pura berdeham sambil tersenyum nakal. “Hei, aku masih di sini, kalian tahu.” Nara buru-buru menarik diri, wajahnya memerah. Adrian hanya tertawa kecil, sementara Maya terkikik di tempat tidur. Ketika malam semakin larut, Maya tertidur lebih dulu, meninggalkan Nara dan Adrian di balkon kecil. Mereka duduk berdampingan, memandangi bintang-bintang yang bersinar di langit gelap. “Kamu tahu, aku nggak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Sejak pertama kali aku bertemu kamu, aku tahu kamu berbeda,” kata Adrian sambil menyesap kopi. Nara menoleh, menatap Adrian dengan alis terangkat. “Berbeda? Maksudmu?” “Kamu kuat, Nara. Tapi kamu juga nggak takut menunjukkan bahwa kamu rapuh. Itu hal yang nggak semua orang bisa lakukan,” jawab Adrian. Nara terdiam, lalu mengalihkan pandangannya ke langit. “Aku hanya melakukan apa yang aku bisa. Aku nggak tahu apakah itu cukup.” Adrian mendekat, menaruh tangannya di atas tangan Nara. “Itu lebih dari cukup. Kamu lebih dari cukup.” Hening menyelimuti mereka sejenak. Nara merasakan jantungnya berdebar lebih kencang, tetapi dia tidak menarik tangannya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa tidak sendirian. “Aku nggak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Tapi aku senang kamu ada di sini, Adrian," bisik Nara. Adrian tersenyum lembut. “Dan aku akan selalu ada di sini. Apa pun yang terjadi.” Di bawah sinar bintang, keheningan malam menjadi saksi awal dari hubungan yang perlahan tumbuh di antara mereka, di tengah bahaya dan perjuangan yang terus mengintai.Malam di balkon hotel itu menjadi awal dari percakapan yang tidak pernah Adrian atau Nara duga. Setelah begitu lama hidup dalam bayang-bayang pelarian dan ketakutan, ada sesuatu yang terasa berbeda. Udara malam yang dingin tidak mampu menyembunyikan kehangatan yang perlahan tumbuh di antara mereka.“Aku ingin tahu, kalau ini semua berakhir... apa yang akan kamu lakukan?” Kata Adrian tiba-tiba, memecah keheningan.Nara menatapnya, sedikit bingung dengan pertanyaan itu. “Maksudmu?”“Setelah Aksara jatuh. Setelah semua ini selesai. Apa yang kamu inginkan, Nara?”Nara terdiam, mencoba mencari jawaban yang tepat. Tapi setiap kali dia memikirkannya, kepalanya terasa penuh dengan keraguan. “Aku nggak tahu, Adrian. Aku nggak pernah berpikir sejauh itu. Selama ini, aku hanya fokus untuk bertahan hidup.”Adrian mengangguk pelan, memahami jawabannya. “Itu adil. Tapi... kamu berhak memikirkan tentang masa depan. Tentang kebahagiaanmu sendiri.”“Kebahagiaan, ya? Aku nggak yakin itu sesuatu yang bi
Fajar menyingsing, menyapu kegelapan malam dengan lembut. Rumah kecil di pinggiran kota itu masih hening. Maya tertidur di sofa, sementara Adrian tetap terjaga di kursi dekat jendela, memeriksa ponselnya untuk memastikan tidak ada perkembangan buruk. Nara, di sisi lain, duduk di ruang kerja kecil, mempelajari kembali peta dan catatan mereka. Tiba-tiba, telepon Maya yang berada di meja mulai bergetar pelan. Suara itu memecah keheningan dan membuat mereka semua waspada. Maya terbangun, langsung meraih teleponnya dan membaca pesan yang masuk. Wajahnya berubah tegang. “Berita tentang Aksara sudah menyebar luas,” katanya dengan suara serak. “Tapi ada yang aneh. Seorang sumber dari dalam mengatakan bahwa ada satu nama besar yang sengaja tidak disebutkan dalam dokumen kita.” Adrian mendekat, membaca pesan itu dari balik pundak Maya. “Maksudnya apa? Kita sudah memastikan semuanya lengkap sebelum menyerahkannya.” Maya menggeleng. “Entah bagaimana, nama itu berhasil dihapus. Tapi sumberk
Malam gelap menyelimuti gudang tua yang menjadi tempat persembunyian Nara, Adrian, Maya, dan kini Reza. Mereka semua berada di ujung kelelahan, tetapi semangat untuk melanjutkan perjuangan terus membara. Bukti-bukti di flash drive Reza menjadi nyala kecil harapan di tengah derasnya ancaman. Namun, ancaman itu tidak hanya datang dari luar. Ketegangan di antara mereka mulai terasa. Adrian, yang masih merawat luka Maya, sesekali melirik Reza dengan pandangan penuh curiga. “Kamu yakin tidak sedang memanfaatkan kami?” tanya Adrian tajam. Reza mendesah. “Kalau aku ingin menyerahkan kalian, aku sudah melakukannya sejak dulu. Aku kehilangan segalanya karena Aksara. Keluarga, pekerjaan, semuanya. Aku di sini untuk membalas dendam.” “Cukup,” potong Nara. Dia menatap Adrian dan Reza bergantian. “Kita tidak punya waktu untuk saling mencurigai. Yang penting sekarang, kita harus menyusun langkah berikutnya.” Reza mengeluarkan peta gedung utama Aksara dari dalam tasnya. “Ada satu tempat yang mun
Nara berdiri terpaku, tubuhnya kaku di hadapan Rendra Wijaya yang kini melangkah maju dengan senyum dingin penuh kemenangan. Di belakangnya, pengawal-pengawal bersenjata melangkah memasuki ruangan, membentuk barisan yang membuat pelarian menjadi mustahil. Adrian, Reza, dan Maya langsung bergerak melindungi Nara dan Darma, tetapi mereka tahu posisi mereka saat ini tidak menguntungkan.“Kalian sungguh berani! Menggali terlalu dalam dan mencoba merusak apa yang telah kami bangun selama bertahun-tahun. Apa kalian kira ini akan berakhir baik untuk kalian?” Ucap Rendra dengan nada santai, meski ada ancaman tajam yang tersirat dalam kata-katanya.Mata Nara memancarkan kemarahan. Dia berdiri tegak, menatap langsung ke arah Rendra. “Kami tidak takut padamu. Kau pikir dengan menahan ayahku, kau bisa menghentikan kami? Kau salah besar.”Rendra tertawa kecil. “Keberanianmu mengesankan, Nara. Tapi ini bukan cerita dongeng di mana keberanian akan menyelamatkanmu. Kau menghadapi Aksara sebuah kekuat
Pelarian mereka dari vila Sutra meninggalkan bekas luka yang mendalam, baik di hati Nara maupun di kelompoknya. Dalam keheningan malam, hanya suara napas yang terengah-engah dan daun-daun yang bergesekan dengan kaki mereka yang terdengar. Nara menggenggam dokumen-dokumen di tangannya erat, seolah itu adalah nyawa ayahnya yang tersisa. Mereka tiba di tempat persembunyian yang baru, sebuah bangunan tua yang tersembunyi di pinggiran kota. Adrian dengan cepat memastikan semua pintu dan jendela terkunci, sementara Maya mencoba menenangkan Nara yang menangis tanpa henti. “Nara...” suara Adrian memecah keheningan. Dia mendekat, duduk di samping Nara yang menundukkan kepala. “Aku tahu ini berat, tapi Ayahmu mengorbankan dirinya agar kamu bisa membawa dokumen ini keluar. Kita harus menghormati perjuangannya.” Nara mengangkat wajahnya, air mata masih mengalir di pipinya. “Aku meninggalkannya, Adrian. Aku bahkan tidak bisa menyelamatkan ayahku. Bagaimana aku bisa melanjutkan ini?” Adrian
Langit malam begitu gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang remang-remang. Suara ombak yang menghantam pantai terdengar mengiringi langkah kaki mereka yang terbungkus dalam kesunyian malam. Waktu terus berputar, dan misi yang mereka rencanakan semakin dekat. Eden, tempat yang dikenal sebagai pusat operasi Aksara, sudah ada di depan mata. Namun, Nara tahu bahwa langkah mereka ke sana bukan hanya langkah menuju pulau terpencil itu, tapi juga langkah menuju sebuah konfrontasi yang bisa mengubah segalanya. Di ruang taksi yang tersembunyi di balik bayang-bayang kota, seluruh tim berkumpul di sekitar meja besar. Maya sudah menghubungi beberapa orang yang bisa membantu mereka, dan meskipun perlahan, mereka mulai mempersiapkan diri untuk keberangkatan. “Nara,” suara Adrian terdengar, lembut namun penuh kehangatan, “kamu yakin dengan keputusan ini? Kita akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kita kira.” Nara menatap Adrian, matanya yang penuh keteguhan bercampur kek
Ketika pintu ruang kendali terbuka, hawa dingin langsung menyergap tubuh Nara. Ruangan itu berbeda dari apa yang ia bayangkan. Tidak seperti laboratorium futuristik yang penuh dengan layar dan perangkat canggih. Sebaliknya, ruangan itu tampak seperti sebuah galeri seni yang gelap dan suram. Di dinding-dindingnya tergantung gambar-gambar besar, potret-potret hitam putih yang menyimpan kisah pilu para korban Aksara. Salah satu potret itu membuat langkah Nara terhenti, wajah Darma, ayahnya, terpampang di sana dengan tatapan kosong yang membekas di hati.“Ini... ayahku,” bisik Nara, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh emosinya.Adrian berjalan mendekat dan menatap potret itu dengan rahang yang mengeras. “Mereka menggunakan ini untuk menakut-nakuti kita. Jangan biarkan mereka menang.”Namun, Nara tak bisa memalingkan matanya. Di bawah potret itu, ada tulisan kecil dalam huruf yang nyaris tak terbaca: Kebenaran adalah kutukan bagi yang mencarinya.“Mereka bermain dengan psikologi kita,”
Lorong menuju ruang arsip utama dipenuhi suara derap langkah penjaga yang mulai mendekat. Nara, Adrian, Reza, dan Maya bergerak dengan hati-hati, menjaga agar setiap langkah mereka tak mengundang perhatian. Pria tua yang sebelumnya mereka temui memberi petunjuk jalan sebelum bersembunyi kembali di salah satu ruangan. "Ruang arsipnya ada di ujung lorong ini," bisik Maya sambil memegang tablet yang memindai peta digital bangunan. "Tapi kita harus melewati setidaknya tiga lapis pengamanan." "Berapa banyak penjaga?" tanya Adrian, memeriksa pistolnya. "Setidaknya ada enam di area ini, tapi kita tidak tahu berapa banyak yang berjaga di depan ruang arsip," jawab Maya. Reza memberikan tanda tangan kepada tim untuk terus bergerak. “Kita harus melakukannya dengan cepat dan senyap. Kalau mereka tahu kita di sini, mereka bisa menghancurkan data sebelum kita sempat mendapatkannya.” Langkah mereka terhenti di depan pintu baja besar, salah satu lapisan pertama yang harus dilewati. Maya segera b
Nara tak menyangka jika Adrian bisa sampai terluka parah bersimbah darah. Ia segera mamapah Adrian kedalam Apartemennya. Kemudian ia menutup pintu dan membawakan obat untuk segera membalut tangan Adrian yang terluka. “Adrian apa yang terjadi padamu? Kenapa bisa sampai seperti ini?” Tanya Nara dengan rasa khawatir yang menyelimuti dirinya, dan nampak begitu jelas di wajah Nara. “Aku tidak apa-apa, hanya tak sengaja menabrak seseorang saat akan keluar dari rumah.” Jawab Adrian mencari alasan agar Nara tidak terlalu mengawatirkan dirinya. “Kamu jangan membohongiku! Ini jelas-jelas luka senjata tajam, ini belati yang mengandung racun. Dan racunnya baru saja aku bersihkan, mungkin masih tersisa sedikit.” “Kamu tahu tentang obat-obatan Nara?” Tanya Adrian penasaran. Nara menganggukkan kepalanya, dan menjelaskan jika ia belajar mengenal obat-obatan sejak ia masih kecil, ia sering membuat berbagai macam ramuan herbal untuk segala penyakit. “Aku tak menyangka jika kau begitu teramp
Hati mereka begitu hancur mendengar Nara tak sadarkan diri. Setelah Nara dipindahkan keruangan VIP, mereka begitu tegang menunggu berjam-jam hingga jam 3 dini hari, Nara belum juga ada tanda-tanda perubahan. Adrian tak menyangka jika Nara akan seperti ini. Ditengah kegelisahannya. Datanglah Maya dan Reza yang baru saja membeli makanan untuk mereka. “Makanlah walau sedikit, jika kamu sakit siapa yang akan menjaga Nara nantinya?” Sambil menerima nasi jitak yang diberikan oleh maya untuknya. “Terimakasih May, maaf jadi merepotkanmu! Apa kalian sudah makan?” “Tidak apa, kebetulan kami sudah makan tadi diwarung makan. Kami bersyukur juga jam segini, masih ada warung makan yang buka.” Andrean merasa terharu dengan kebaikan sahabat, yang belum lama ia kenal. Keesokan paginya disaat mereka sedang terlelap tidur terdengar suara gelas terjatuh. Hingga membuat mereka terkejut. Saat mereka terbangun hak yang tak terduga terjadi pada pada Nara. “Nara, cepat tolong Nara! Sedangkan kau
Adrian dan Reza menjadi begitu panik ketika mendapatkan kabar yang tak terduga dari nomor tak dikenal. “Apa kamu bisa melacak nomor tersebut ?” tanya adrian yang terlihat begitu panik. “Kamu jangan terlalu panik, jika kamu bersikap seperti ini, pikiranmu tidak akan bisa memecahkan masalah. Tunggu, sepertinya handphonemu berdering.” Nomor yang sama kembali menghubungi Adrian meminta ia mencari alamat yang dikirimkan padanya. Mereka segera berangkat menaiki mobil Reza. Tak berselang lama mereka telah sampai ditempat yang mereka cari. Rumah tua yang terlihat sangat lusuh dan penuh dengan rerumputan yang tumbuh menjulang tinggi menutupi halaman rumah. Adrian bersama Reza berjalan perlahan, sebelum mereka beraksi Adrian menghubungi seseorang. Setelah itu mereka segera beraksi, saat mereka tengah melangkahkan kaki hal tak terduga terjadi. “Hahaha, tak ku sangka kamu begitu peduli padanya!” “Siapa kamu!” Seru Adrian dan Reza. “Kalian tidak perlu tau siapa aku, tapi yang perlu kalian
“Kenapa Ayahku selalu saja terlibat dalam perbuatan mereka. Sungguh sangat merasa putus asa. Aku kira pementasan yang sebelumnya akan membuatku naik daun. Tapi ternyata aku harus menyelesaikan masalah seperti ini.”“Kamu tidak bersalah Nara, jadi jangan pernah menyesali semua keputusan yang sudah kamu ambil,” ujar Adrian dengan lembut.Maya yang masih sibuk dengan laptopnya segera menyelesaikan semuanya. Setelah dirasa data mereka sudah cukup kini maya menyerahkan sebuah berkas penting. ia mendekati Nara mencoba menghiburnya. Nara berharap semua ini segera berakhir, karena ia sudah tidak tahan lagi dengan apa yang terjadi. Malam-malam yang ia lalui terasa begitu kelam. Namun ia harus selalu dituntun dengan keadaan.“Sudahlah Nara aku tahu kamu ingin sekali menjadi seorang yang mempunyai bakat. Bahkan ingin menjadi seorang penulis hebat seperti ayahmu. Tapi kamu dihadapkan dapam dua pilihan,” jawab Maya sambil mendekati Nara dan menyeka air matanya.“Terimakasih Maya kamu selalu ada u
Kegelapan menyelimuti ruangan, hanya diiringi oleh suara langkah kaki yang mendekat. Sutra terus berbicara, suaranya dingin dan penuh ejekan.“Tidak ada gunanya kalian lari,” katanya, suaranya menggema di gudang kosong itu. “Aku sudah memprediksi langkah kalian. Dan sekarang, aku ada di sini untuk mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku.”Nara merasa tubuhnya gemetar, tetapi genggaman Adrian di tangannya memberikan kekuatan yang tak ia sangka. Dengan napas tertahan, ia berbisik, “Kita harus keluar dari sini.”Adrian mengangguk pelan. "Ikuti aku. Maya, Reza, siapkan rencana keluar."Reza memberikan isyarat tangan kepada Adrian, lalu bergerak dengan sigap menuju bagian belakang gudang, mencari jalan keluar alternatif. Sementara itu, Maya sibuk menyimpan perangkat keras yang berisi data penting ke dalam tas kecilnya.Namun, langkah Sutra semakin dekat. Suaranya kini terdengar semakin tajam. “Jadi, ini yang tersisa dari keluarga Darma Yudha? Memalukan sekali.”Nara menggigi
Lorong menuju ruang arsip utama dipenuhi suara derap langkah penjaga yang mulai mendekat. Nara, Adrian, Reza, dan Maya bergerak dengan hati-hati, menjaga agar setiap langkah mereka tak mengundang perhatian. Pria tua yang sebelumnya mereka temui memberi petunjuk jalan sebelum bersembunyi kembali di salah satu ruangan. "Ruang arsipnya ada di ujung lorong ini," bisik Maya sambil memegang tablet yang memindai peta digital bangunan. "Tapi kita harus melewati setidaknya tiga lapis pengamanan." "Berapa banyak penjaga?" tanya Adrian, memeriksa pistolnya. "Setidaknya ada enam di area ini, tapi kita tidak tahu berapa banyak yang berjaga di depan ruang arsip," jawab Maya. Reza memberikan tanda tangan kepada tim untuk terus bergerak. “Kita harus melakukannya dengan cepat dan senyap. Kalau mereka tahu kita di sini, mereka bisa menghancurkan data sebelum kita sempat mendapatkannya.” Langkah mereka terhenti di depan pintu baja besar, salah satu lapisan pertama yang harus dilewati. Maya segera b
Ketika pintu ruang kendali terbuka, hawa dingin langsung menyergap tubuh Nara. Ruangan itu berbeda dari apa yang ia bayangkan. Tidak seperti laboratorium futuristik yang penuh dengan layar dan perangkat canggih. Sebaliknya, ruangan itu tampak seperti sebuah galeri seni yang gelap dan suram. Di dinding-dindingnya tergantung gambar-gambar besar, potret-potret hitam putih yang menyimpan kisah pilu para korban Aksara. Salah satu potret itu membuat langkah Nara terhenti, wajah Darma, ayahnya, terpampang di sana dengan tatapan kosong yang membekas di hati.“Ini... ayahku,” bisik Nara, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh emosinya.Adrian berjalan mendekat dan menatap potret itu dengan rahang yang mengeras. “Mereka menggunakan ini untuk menakut-nakuti kita. Jangan biarkan mereka menang.”Namun, Nara tak bisa memalingkan matanya. Di bawah potret itu, ada tulisan kecil dalam huruf yang nyaris tak terbaca: Kebenaran adalah kutukan bagi yang mencarinya.“Mereka bermain dengan psikologi kita,”
Langit malam begitu gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang remang-remang. Suara ombak yang menghantam pantai terdengar mengiringi langkah kaki mereka yang terbungkus dalam kesunyian malam. Waktu terus berputar, dan misi yang mereka rencanakan semakin dekat. Eden, tempat yang dikenal sebagai pusat operasi Aksara, sudah ada di depan mata. Namun, Nara tahu bahwa langkah mereka ke sana bukan hanya langkah menuju pulau terpencil itu, tapi juga langkah menuju sebuah konfrontasi yang bisa mengubah segalanya. Di ruang taksi yang tersembunyi di balik bayang-bayang kota, seluruh tim berkumpul di sekitar meja besar. Maya sudah menghubungi beberapa orang yang bisa membantu mereka, dan meskipun perlahan, mereka mulai mempersiapkan diri untuk keberangkatan. “Nara,” suara Adrian terdengar, lembut namun penuh kehangatan, “kamu yakin dengan keputusan ini? Kita akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kita kira.” Nara menatap Adrian, matanya yang penuh keteguhan bercampur kek
Pelarian mereka dari vila Sutra meninggalkan bekas luka yang mendalam, baik di hati Nara maupun di kelompoknya. Dalam keheningan malam, hanya suara napas yang terengah-engah dan daun-daun yang bergesekan dengan kaki mereka yang terdengar. Nara menggenggam dokumen-dokumen di tangannya erat, seolah itu adalah nyawa ayahnya yang tersisa. Mereka tiba di tempat persembunyian yang baru, sebuah bangunan tua yang tersembunyi di pinggiran kota. Adrian dengan cepat memastikan semua pintu dan jendela terkunci, sementara Maya mencoba menenangkan Nara yang menangis tanpa henti. “Nara...” suara Adrian memecah keheningan. Dia mendekat, duduk di samping Nara yang menundukkan kepala. “Aku tahu ini berat, tapi Ayahmu mengorbankan dirinya agar kamu bisa membawa dokumen ini keluar. Kita harus menghormati perjuangannya.” Nara mengangkat wajahnya, air mata masih mengalir di pipinya. “Aku meninggalkannya, Adrian. Aku bahkan tidak bisa menyelamatkan ayahku. Bagaimana aku bisa melanjutkan ini?” Adrian