Home / Lainnya / When Drama Becomes Reality / Kebenaran yang Terungkap

Share

Kebenaran yang Terungkap

Author: Mariya
last update Last Updated: 2024-12-07 08:36:09

Malam gelap menyelimuti gudang tua yang menjadi tempat persembunyian Nara, Adrian, Maya, dan kini Reza. Mereka semua berada di ujung kelelahan, tetapi semangat untuk melanjutkan perjuangan terus membara. Bukti-bukti di flash drive Reza menjadi nyala kecil harapan di tengah derasnya ancaman.

Namun, ancaman itu tidak hanya datang dari luar. Ketegangan di antara mereka mulai terasa. Adrian, yang masih merawat luka Maya, sesekali melirik Reza dengan pandangan penuh curiga.

“Kamu yakin tidak sedang memanfaatkan kami?” tanya Adrian tajam.

Reza mendesah. “Kalau aku ingin menyerahkan kalian, aku sudah melakukannya sejak dulu. Aku kehilangan segalanya karena Aksara. Keluarga, pekerjaan, semuanya. Aku di sini untuk membalas dendam.”

“Cukup,” potong Nara. Dia menatap Adrian dan Reza bergantian. “Kita tidak punya waktu untuk saling mencurigai. Yang penting sekarang, kita harus menyusun langkah berikutnya.”

Reza mengeluarkan peta gedung utama Aksara dari dalam tasnya. “Ada satu tempat yang mungkin bisa menjelaskan semuanya. Ruang arsip pribadi Rendra.”

Adrian memandang peta itu dengan serius. “Ruang arsip? Itu pasti dikunci rapat, bukan?”

“Benar, tapi dari apa yang aku tahu, ada sesuatu yang lebih besar di sana. Dokumen asli yang bisa membuktikan hubungan Rendra dengan para pejabat tinggi dan operasi ilegalnya. Termasuk bukti keberadaan Darma,” jawab Reza.

Mendengar nama ayahnya, Nara langsung tegang. “Darma? Maksudmu, ayahku?”

Reza mengangguk pelan. “Aku pernah melihat namanya di salah satu dokumen. Jika benar, kemungkinan besar dia adalah salah satu kunci dalam seluruh operasi ini.”

Nara berdiri, menggenggam tangannya erat. “Kalau begitu, kita harus ke sana. Kita harus menyelamatkan ayahku dan menghancurkan Rendra.”

“Jangan gegabah, kita harus rencanakan ini dengan matang. Kalau kita gagal, semuanya akan berakhir.” Ujar Maya dengan suara pelan, meski wajahnya pucat akibat luka tembak.

Malam itu, mereka duduk melingkar di lantai gudang, menyusun rencana dengan hati-hati. Reza menjelaskan tata letak gedung dan sistem keamanan yang jauh lebih ketat dibanding sebelumnya. “Aku bisa membobol sistem keamanan dari luar,” ujar Adrian. “Tapi aku butuh waktu lebih banyak daripada sebelumnya.”

“Sementara itu, aku dan Reza akan mencari ruang arsip,” tambah Nara. “Maya, kamu tetap di luar, jadi jika terjadi sesuatu, kamu bisa memberi tahu kami.”

Maya mengangguk pelan. “Tapi kalian harus ingat, kita tidak bisa melakukannya sendirian. Kalau Rendra tahu kita masuk ke sana, dia pasti akan mengerahkan semua orang untuk menghentikan kita.”

Reza berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku punya beberapa kontak lama yang mungkin bisa membantu. Mereka bukan orang yang sepenuhnya bersih, tapi mereka benci dengan Rendra.”

Nara memandangnya dengan penuh keyakinan. “Hubungi mereka. Kita butuh semua bantuan yang bisa kita dapatkan.”

Dua hari kemudian, semuanya sudah siap. Dengan bantuan kontak Reza, mereka berhasil mendapatkan kendaraan dan beberapa peralatan canggih untuk menyusup. Rencana mereka sederhana, tetapi berisiko tinggi: masuk ke ruang arsip, mengambil semua dokumen, dan menyelamatkan Darma.

Malam itu, mereka bergerak dengan hati-hati. Maya, meski masih terluka, bertugas memantau situasi dari luar. Adrian mengakses sistem keamanan melalui laptopnya, mematikan sebagian kamera di lorong utama.

“Jalan bebas,” kata Adrian melalui alat komunikasi mereka.

Nara dan Reza bergerak cepat menuju ruang arsip di lantai bawah tanah. Gedung itu sunyi, tetapi setiap langkah terasa seperti melewati ranjau.

Ketika mereka akhirnya mencapai ruang arsip, Reza segera mengeluarkan alat untuk membuka pintu besi yang terkunci rapat.

“Cepatlah,” bisik Nara sambil berjaga.

Reza bekerja dengan tangan gemetar. “Hampir selesai...”

Pintu akhirnya terbuka, dan mereka bergegas masuk. Di dalam, rak-rak penuh dengan dokumen dan folder berjejer rapi.

“Cari apa pun yang menyebut nama Darma,” perintah Nara.

Reza mengangguk dan mulai memeriksa dokumen-dokumen tersebut. Tidak butuh waktu lama sebelum dia menemukan sesuatu yang menarik perhatian.

“Nara, lihat ini,” katanya sambil menunjukkan sebuah file.

Nara membaca dokumen itu dengan mata membelalak. “Ini... ini bukti bahwa ayahku dipaksa bekerja untuk Rendra. Dia mengancam keluargaku...”

“Dan ini,” tambah Reza, mengeluarkan dokumen lain, “adalah daftar semua pejabat yang bekerja sama dengan Rendra. Termasuk Menteri Dalam Negeri.”

Namun, sebelum mereka bisa mengambil semua bukti itu, suara langkah kaki terdengar dari luar. “Mereka datang!” bisik Nara.

Reza mengambil semua dokumen yang bisa dia bawa, sementara Nara bersiap menghadapi siapa pun yang masuk. Ketika pintu terbuka, mereka terkejut melihat Rendra berdiri di sana, dengan senyum dingin di wajahnya.

“Aku sudah tahu kalian akan kembali,” katanya santai. “Dan kali ini, kalian tidak akan pergi dengan mudah.”

Dua pria bersenjata masuk, mengarahkan senjata mereka ke arah Nara dan Reza.

“Serahkan dokumen itu, dan aku mungkin akan membiarkan kalian hidup,” ujar Rendra.

Nara menatapnya tajam. “Kebenaran akan keluar. Cepat atau lambat, kamu tidak akan bisa bersembunyi lagi.”

“Kalau begitu, aku pastikan kamu tidak akan sempat melihatnya,” balas Rendra sambil mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada anak buahnya.

Namun, sebelum mereka sempat bertindak, suara ledakan kecil terdengar dari luar. Maya, dengan bantuan kontak Reza, telah berhasil meledakkan salah satu kendaraan Rendra sebagai pengalihan.

Dalam kekacauan itu, Nara dan Reza berhasil melumpuhkan kedua pria bersenjata tersebut. Mereka berlari keluar dengan dokumen di tangan, tetapi Rendra tidak tinggal diam. Dia memerintahkan lebih banyak anak buahnya untuk mengejar mereka.

Di luar gedung, Nara, Reza, dan Adrian bertemu kembali. Mereka segera masuk ke dalam mobil yang telah disiapkan. Namun, pengejaran tidak bisa dihindari. “Kita tidak akan bisa lolos kalau mereka terus mengejar,” kata Reza dengan nada panik.

Adrian mengemudi dengan kecepatan tinggi, mencoba menghindari tembakan dari mobil di belakang mereka.

Di tengah pengejaran, Maya yang duduk di kursi belakang melihat sesuatu di tas Nara. Sebuah granat yang mereka ambil dari salah satu kontak Reza. “Gunakan ini,” katanya sambil menyerahkan granat itu ke Nara.

Nara ragu sejenak, tetapi akhirnya dia membuka jendela dan melemparkan granat itu ke mobil pengejar. Ledakan besar menghentikan mereka, memberi cukup waktu bagi Nara dan timnya untuk melarikan diri.

Namun, ketegangan belum berakhir. Saat mereka mencapai tempat aman, Reza menyadari sesuatu.

“Kita kehilangan sebagian file.”

“Apa maksudmu?” tanya Nara.

“Saat ledakan tadi, beberapa file terjatuh. Bukti tentang Darma mungkin sudah hilang.”

Wajah Nara berubah pucat. “Tidak... Ayahku... Bagaimana kita bisa menyelamatkannya tanpa bukti itu?”

Reza menunduk, merasa bersalah. “Kita harus mencari cara lain. Tapi ini belum berakhir, Nara. Kita masih punya sebagian dokumen.”

Di tengah keputusasaan, Nara menggenggam tangan Adrian. “Aku tidak akan menyerah. Apa pun yang terjadi, aku akan menyelamatkan ayahku.”

Adrian membalas genggaman itu dengan penuh keyakinan. “Dan aku akan selalu ada di sisimu.”

Nara menatap peta yang ada di hadapannya, dan di matanya terlihat ketegangan yang lebih mendalam. Keberadaan ayahnya, Darma, yang seorang penulis terkenal dan sangat dihormati, menjadi sorotan utama dalam teka-teki besar yang mereka hadapi. Selama bertahun-tahun, Darma dikenal sebagai penulis yang berani menyuarakan kebenaran dalam karya-karyanya, namun ada sisi kelam yang tak banyak orang ketahui. Nara tahu, ayahnya telah menjadi korban dari permainan licik yang dimainkan oleh Aksara dan Rendra Wijaya.

Darma bukan hanya sekadar figur publik. Dia adalah salah satu penulis yang mampu menggali rahasia-rahasia besar melalui tulisan-tulisannya, bahkan yang terkait dengan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berkuasa. Namun, siapa sangka, bahwa kemampuan Darma untuk menggali kebenaran ini malah membuatnya menjadi ancaman besar bagi Aksara dan Rendra. Mereka tahu bahwa Darma sudah mengetahui banyak hal tentang kegiatan ilegal mereka, yang bisa menghancurkan semua yang telah mereka bangun.

“Nara, kita harus menemukan ayahmu. Dia berada dalam bahaya yang lebih besar dari yang kamu kira,” ujar Adrian, sambil menyentuh bahunya.

“Dia ada di tangan mereka. Dan aku yakin, Aksara dan Rendra sudah tahu bahwa kita tahu tentang mereka. Mereka takkan diam saja," jawab Nara pelan.

Reza, yang sejak tadi diam mengamati, mengangguk dengan serius. “Jika mereka tahu, berarti mereka juga tahu bahwa ayahmu adalah kunci untuk menghancurkan mereka. Darma tahu lebih banyak dari yang mereka harapkan. Mereka mungkin sudah menahannya, atau bahkan...”

Nara menatap Reza dengan mata penuh kebingungan dan kekhawatiran. “Atau bahkan apa?”

Reza tidak langsung menjawab. Ia memalingkan wajahnya ke arah jendela, seolah mencerna kata-katanya. “Atau bahkan, mereka mungkin sudah mengambil langkah-langkah untuk menutup mulutnya selamanya.”

Kata-kata itu seperti dentuman keras di telinga Nara. Bagaimana mungkin ayahnya yang selalu kuat dan tegas, bisa jatuh ke dalam cengkraman mereka? Dia menggenggam erat tangan Adrian yang ada di sampingnya, mencari penghiburan di tengah kegelapan yang semakin mencekam.

“Kita harus pergi ke tempat di mana ayahku terakhir kali terlihat. Itu satu-satunya petunjuk yang kita punya. Dia akan tahu bagaimana menghubungkan titik-titik ini,” kata Nara dengan suara yang penuh tekad.

Malam itu, mereka bergegas menyiapkan perjalanan. Nara, Adrian, dan Reza harus menyusuri jalan-jalan yang tidak lagi aman, karena mereka tahu, semakin dekat mereka dengan Darma, semakin dekat pula mereka dengan ancaman yang lebih besar. Mereka melintasi kota yang dipenuhi dengan bayang-bayang Aksara, organisasi yang tampaknya sudah melibatkan hampir setiap lapisan kekuasaan. Hanya satu yang pasti, mereka tidak akan mundur sekarang.

Pagi datang dengan udara yang lembab, dan kabut tebal menyelimuti setiap sudut jalan. Nara menatap ponselnya yang bergetar, mendapat pesan singkat dari kontak anonim yang sudah membantu mereka sebelumnya.

“Darma disembunyikan di gedung yang sama. Aksara tidak ingin dia bicara. Jangan ke sana langsung. Mereka pasti sudah mengantisipasi kedatanganmu.”

Maya, meski masih lemah akibat luka tembak yang didapatnya, ikut serta dalam perjalanan. Keberanian Maya tidak pernah luntur, dan dia tahu bahwa langkah mereka kali ini bukan hanya untuk menghentikan Aksara, tetapi juga untuk menyelamatkan nyawa orang yang mereka cintai.

“Reza, kamu tahu lokasi gedung itu?” Kamu pernah menyelidiki Aksara sebelumnya, kan?” Tanya Adrian dengan nada serius. “

Reza mengangguk. “Aku tahu persis di mana mereka menyembunyikan Darma. Tapi kita harus hati-hati. Itu bukan tempat sembarangan.”

Saat mereka tiba di gedung yang dimaksud, suasana mulai terasa semakin menegangkan. Gedung tinggi itu tampak biasa saja dari luar, namun Nara merasakan ada sesuatu yang salah. Setiap sudutnya seperti dipenuhi oleh bahaya yang siap menerkam mereka. Mereka memutuskan untuk tidak langsung masuk, melainkan mencari cara untuk menyusup tanpa terdeteksi.

Maya yang sebelumnya sudah mulai pulih, mengusulkan untuk menyusup melalui jalur bawah tanah yang menurutnya tidak banyak dijaga.

"Ini akan memakan waktu, tapi kita tidak punya pilihan. Jika kita berhasil masuk tanpa ketahuan, kita bisa menyelamatkan Darma dan keluar tanpa meninggalkan jejak," ujarnya sambil memandang Nara.

Dengan hati-hati, mereka memasuki jalur bawah tanah yang telah lama terbengkalai. Semakin dalam mereka memasuki lorong gelap itu, semakin besar rasa takut yang menggelayuti hati Nara. Dia merasa seperti berada di dalam labirin yang tak ada ujungnya, dan setiap suara yang mereka dengar membuat jantungnya berdebar semakin keras.

“Darma… di mana kamu?” bisik Nara dalam hati, berharap ayahnya masih dalam keadaan hidup dan bisa membantu mereka mengungkap segalanya.

Setelah berjam-jam menyusuri lorong-lorong gelap yang dipenuhi reruntuhan dan sampah, akhirnya mereka tiba di sebuah pintu yang terkunci rapat. Reza yang mengamati pintu itu dengan seksama berbisik,“Ini dia. Di balik pintu ini, Darma berada.”

Adrian maju dan mulai memeriksa pintu dengan hati-hati. “Aku butuh waktu untuk membuka ini,” katanya, mencoba meretas sistem pengaman yang terkunci di depan mereka.

Di saat yang sama, Nara merasa cemas. Waktu terasa semakin mendesak, dan bayangan Aksara yang mengintai di setiap sudut gedung itu semakin menekan.“Cepat, Adrian!” teriaknya, menatap pintu yang seakan tak akan pernah terbuka.

Namun, tak lama setelah itu, suara langkah kaki terdengar mendekat.

“Ada yang datang,” bisik Reza dengan cepat. “Cepat, sembunyikan diri!”

Mereka semua segera berlindung di balik kotak besar di dekat pintu, menahan napas. Sekelompok pria berpakaian hitam melintas tanpa melihat mereka. Nara merasakan keringat dingin mengalir di dahinya, namun dia tahu, mereka tidak bisa mundur. Selama mereka belum menemukan Darma, misi mereka belum selesai.

Setelah beberapa menit berlalu, pintu yang terkunci berhasil dibuka oleh Adrian. Mereka bergerak cepat, menyelinap masuk ke dalam ruangan yang tampaknya menjadi tempat penyimpanan. Di sana, mereka menemukan Darma yang terbaring lemah, terikat di kursi, namun masih hidup.

“Darma!” Nara berlari mendekat, suaranya bergetar. Ayahnya membuka matanya yang sedikit kabur dan tersenyum lemah.

“Nara... kamu akhirnya datang...” kata Darma dengan suara parau.

Air mata Nara mengalir deras saat dia membebaskan ayahnya dari ikatan. “Aku akan membawamu keluar dari sini, ayah. Kita akan selamatkan semuanya.”

Namun, sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, pintu ruangan terbuka dengan suara keras, dan di sana berdiri Rendra Wijaya, dengan senyum dingin yang menakutkan di wajahnya.

“Jadi, kalian sudah sampai di sini! Sayangnya, ini adalah akhir dari perjalanan kalian,” kata Rendra sambil melangkah masuk, diikuti oleh beberapa pengawal bersenjata.

Related chapters

  • When Drama Becomes Reality    Di Antara Bayang-Bayang Penghianatan

    Nara berdiri terpaku, tubuhnya kaku di hadapan Rendra Wijaya yang kini melangkah maju dengan senyum dingin penuh kemenangan. Di belakangnya, pengawal-pengawal bersenjata melangkah memasuki ruangan, membentuk barisan yang membuat pelarian menjadi mustahil. Adrian, Reza, dan Maya langsung bergerak melindungi Nara dan Darma, tetapi mereka tahu posisi mereka saat ini tidak menguntungkan.“Kalian sungguh berani! Menggali terlalu dalam dan mencoba merusak apa yang telah kami bangun selama bertahun-tahun. Apa kalian kira ini akan berakhir baik untuk kalian?” Ucap Rendra dengan nada santai, meski ada ancaman tajam yang tersirat dalam kata-katanya.Mata Nara memancarkan kemarahan. Dia berdiri tegak, menatap langsung ke arah Rendra. “Kami tidak takut padamu. Kau pikir dengan menahan ayahku, kau bisa menghentikan kami? Kau salah besar.”Rendra tertawa kecil. “Keberanianmu mengesankan, Nara. Tapi ini bukan cerita dongeng di mana keberanian akan menyelamatkanmu. Kau menghadapi Aksara sebuah kekuat

    Last Updated : 2024-12-07
  • When Drama Becomes Reality    Langkah Pertama Menuju Balas Dendam

    Pelarian mereka dari vila Sutra meninggalkan bekas luka yang mendalam, baik di hati Nara maupun di kelompoknya. Dalam keheningan malam, hanya suara napas yang terengah-engah dan daun-daun yang bergesekan dengan kaki mereka yang terdengar. Nara menggenggam dokumen-dokumen di tangannya erat, seolah itu adalah nyawa ayahnya yang tersisa. Mereka tiba di tempat persembunyian yang baru, sebuah bangunan tua yang tersembunyi di pinggiran kota. Adrian dengan cepat memastikan semua pintu dan jendela terkunci, sementara Maya mencoba menenangkan Nara yang menangis tanpa henti. “Nara...” suara Adrian memecah keheningan. Dia mendekat, duduk di samping Nara yang menundukkan kepala. “Aku tahu ini berat, tapi Ayahmu mengorbankan dirinya agar kamu bisa membawa dokumen ini keluar. Kita harus menghormati perjuangannya.” Nara mengangkat wajahnya, air mata masih mengalir di pipinya. “Aku meninggalkannya, Adrian. Aku bahkan tidak bisa menyelamatkan ayahku. Bagaimana aku bisa melanjutkan ini?” Adrian

    Last Updated : 2024-12-09
  • When Drama Becomes Reality    Misi Menuju Eden

    Langit malam begitu gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang remang-remang. Suara ombak yang menghantam pantai terdengar mengiringi langkah kaki mereka yang terbungkus dalam kesunyian malam. Waktu terus berputar, dan misi yang mereka rencanakan semakin dekat. Eden, tempat yang dikenal sebagai pusat operasi Aksara, sudah ada di depan mata. Namun, Nara tahu bahwa langkah mereka ke sana bukan hanya langkah menuju pulau terpencil itu, tapi juga langkah menuju sebuah konfrontasi yang bisa mengubah segalanya. Di ruang taksi yang tersembunyi di balik bayang-bayang kota, seluruh tim berkumpul di sekitar meja besar. Maya sudah menghubungi beberapa orang yang bisa membantu mereka, dan meskipun perlahan, mereka mulai mempersiapkan diri untuk keberangkatan. “Nara,” suara Adrian terdengar, lembut namun penuh kehangatan, “kamu yakin dengan keputusan ini? Kita akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kita kira.” Nara menatap Adrian, matanya yang penuh keteguhan bercampur kek

    Last Updated : 2024-12-09
  • When Drama Becomes Reality    Bayang-Bayang Kebenaran

    Ketika pintu ruang kendali terbuka, hawa dingin langsung menyergap tubuh Nara. Ruangan itu berbeda dari apa yang ia bayangkan. Tidak seperti laboratorium futuristik yang penuh dengan layar dan perangkat canggih. Sebaliknya, ruangan itu tampak seperti sebuah galeri seni yang gelap dan suram. Di dinding-dindingnya tergantung gambar-gambar besar, potret-potret hitam putih yang menyimpan kisah pilu para korban Aksara. Salah satu potret itu membuat langkah Nara terhenti, wajah Darma, ayahnya, terpampang di sana dengan tatapan kosong yang membekas di hati.“Ini... ayahku,” bisik Nara, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh emosinya.Adrian berjalan mendekat dan menatap potret itu dengan rahang yang mengeras. “Mereka menggunakan ini untuk menakut-nakuti kita. Jangan biarkan mereka menang.”Namun, Nara tak bisa memalingkan matanya. Di bawah potret itu, ada tulisan kecil dalam huruf yang nyaris tak terbaca: Kebenaran adalah kutukan bagi yang mencarinya.“Mereka bermain dengan psikologi kita,”

    Last Updated : 2024-12-10
  • When Drama Becomes Reality    Jejak Yang Tertinggal

    Lorong menuju ruang arsip utama dipenuhi suara derap langkah penjaga yang mulai mendekat. Nara, Adrian, Reza, dan Maya bergerak dengan hati-hati, menjaga agar setiap langkah mereka tak mengundang perhatian. Pria tua yang sebelumnya mereka temui memberi petunjuk jalan sebelum bersembunyi kembali di salah satu ruangan. "Ruang arsipnya ada di ujung lorong ini," bisik Maya sambil memegang tablet yang memindai peta digital bangunan. "Tapi kita harus melewati setidaknya tiga lapis pengamanan." "Berapa banyak penjaga?" tanya Adrian, memeriksa pistolnya. "Setidaknya ada enam di area ini, tapi kita tidak tahu berapa banyak yang berjaga di depan ruang arsip," jawab Maya. Reza memberikan tanda tangan kepada tim untuk terus bergerak. “Kita harus melakukannya dengan cepat dan senyap. Kalau mereka tahu kita di sini, mereka bisa menghancurkan data sebelum kita sempat mendapatkannya.” Langkah mereka terhenti di depan pintu baja besar, salah satu lapisan pertama yang harus dilewati. Maya segera b

    Last Updated : 2024-12-11
  • When Drama Becomes Reality    Jejak dalam Kegelapan

    Kegelapan menyelimuti ruangan, hanya diiringi oleh suara langkah kaki yang mendekat. Sutra terus berbicara, suaranya dingin dan penuh ejekan.“Tidak ada gunanya kalian lari,” katanya, suaranya menggema di gudang kosong itu. “Aku sudah memprediksi langkah kalian. Dan sekarang, aku ada di sini untuk mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku.”Nara merasa tubuhnya gemetar, tetapi genggaman Adrian di tangannya memberikan kekuatan yang tak ia sangka. Dengan napas tertahan, ia berbisik, “Kita harus keluar dari sini.”Adrian mengangguk pelan. "Ikuti aku. Maya, Reza, siapkan rencana keluar."Reza memberikan isyarat tangan kepada Adrian, lalu bergerak dengan sigap menuju bagian belakang gudang, mencari jalan keluar alternatif. Sementara itu, Maya sibuk menyimpan perangkat keras yang berisi data penting ke dalam tas kecilnya.Namun, langkah Sutra semakin dekat. Suaranya kini terdengar semakin tajam. “Jadi, ini yang tersisa dari keluarga Darma Yudha? Memalukan sekali.”Nara menggigi

    Last Updated : 2024-12-12
  • When Drama Becomes Reality    Hidup yang Baru

    “Kenapa Ayahku selalu saja terlibat dalam perbuatan mereka. Sungguh sangat merasa putus asa. Aku kira pementasan yang sebelumnya akan membuatku naik daun. Tapi ternyata aku harus menyelesaikan masalah seperti ini.”“Kamu tidak bersalah Nara, jadi jangan pernah menyesali semua keputusan yang sudah kamu ambil,” ujar Adrian dengan lembut.Maya yang masih sibuk dengan laptopnya segera menyelesaikan semuanya. Setelah dirasa data mereka sudah cukup kini maya menyerahkan sebuah berkas penting. ia mendekati Nara mencoba menghiburnya. Nara berharap semua ini segera berakhir, karena ia sudah tidak tahan lagi dengan apa yang terjadi. Malam-malam yang ia lalui terasa begitu kelam. Namun ia harus selalu dituntun dengan keadaan.“Sudahlah Nara aku tahu kamu ingin sekali menjadi seorang yang mempunyai bakat. Bahkan ingin menjadi seorang penulis hebat seperti ayahmu. Tapi kamu dihadapkan dapam dua pilihan,” jawab Maya sambil mendekati Nara dan menyeka air matanya.“Terimakasih Maya kamu selalu ada u

    Last Updated : 2024-12-13
  • When Drama Becomes Reality    Kejadian Tak Terduga

    Adrian dan Reza menjadi begitu panik ketika mendapatkan kabar yang tak terduga dari nomor tak dikenal. “Apa kamu bisa melacak nomor tersebut ?” tanya adrian yang terlihat begitu panik. “Kamu jangan terlalu panik, jika kamu bersikap seperti ini, pikiranmu tidak akan bisa memecahkan masalah. Tunggu, sepertinya handphonemu berdering.” Nomor yang sama kembali menghubungi Adrian meminta ia mencari alamat yang dikirimkan padanya. Mereka segera berangkat menaiki mobil Reza. Tak berselang lama mereka telah sampai ditempat yang mereka cari. Rumah tua yang terlihat sangat lusuh dan penuh dengan rerumputan yang tumbuh menjulang tinggi menutupi halaman rumah. Adrian bersama Reza berjalan perlahan, sebelum mereka beraksi Adrian menghubungi seseorang. Setelah itu mereka segera beraksi, saat mereka tengah melangkahkan kaki hal tak terduga terjadi. “Hahaha, tak ku sangka kamu begitu peduli padanya!” “Siapa kamu!” Seru Adrian dan Reza. “Kalian tidak perlu tau siapa aku, tapi yang perlu kalian

    Last Updated : 2024-12-14

Latest chapter

  • When Drama Becomes Reality    Kejadian Tak Terduga

    Nara tak menyangka jika Adrian bisa sampai terluka parah bersimbah darah. Ia segera mamapah Adrian kedalam Apartemennya. Kemudian ia menutup pintu dan membawakan obat untuk segera membalut tangan Adrian yang terluka. “Adrian apa yang terjadi padamu? Kenapa bisa sampai seperti ini?” Tanya Nara dengan rasa khawatir yang menyelimuti dirinya, dan nampak begitu jelas di wajah Nara. “Aku tidak apa-apa, hanya tak sengaja menabrak seseorang saat akan keluar dari rumah.” Jawab Adrian mencari alasan agar Nara tidak terlalu mengawatirkan dirinya. “Kamu jangan membohongiku! Ini jelas-jelas luka senjata tajam, ini belati yang mengandung racun. Dan racunnya baru saja aku bersihkan, mungkin masih tersisa sedikit.” “Kamu tahu tentang obat-obatan Nara?” Tanya Adrian penasaran. Nara menganggukkan kepalanya, dan menjelaskan jika ia belajar mengenal obat-obatan sejak ia masih kecil, ia sering membuat berbagai macam ramuan herbal untuk segala penyakit. “Aku tak menyangka jika kau begitu teramp

  • When Drama Becomes Reality    Novel Yang Tertunda

    Hati mereka begitu hancur mendengar Nara tak sadarkan diri. Setelah Nara dipindahkan keruangan VIP, mereka begitu tegang menunggu berjam-jam hingga jam 3 dini hari, Nara belum juga ada tanda-tanda perubahan. Adrian tak menyangka jika Nara akan seperti ini. Ditengah kegelisahannya. Datanglah Maya dan Reza yang baru saja membeli makanan untuk mereka. “Makanlah walau sedikit, jika kamu sakit siapa yang akan menjaga Nara nantinya?” Sambil menerima nasi jitak yang diberikan oleh maya untuknya. “Terimakasih May, maaf jadi merepotkanmu! Apa kalian sudah makan?” “Tidak apa, kebetulan kami sudah makan tadi diwarung makan. Kami bersyukur juga jam segini, masih ada warung makan yang buka.” Andrean merasa terharu dengan kebaikan sahabat, yang belum lama ia kenal. Keesokan paginya disaat mereka sedang terlelap tidur terdengar suara gelas terjatuh. Hingga membuat mereka terkejut. Saat mereka terbangun hak yang tak terduga terjadi pada pada Nara. “Nara, cepat tolong Nara! Sedangkan kau

  • When Drama Becomes Reality    Kejadian Tak Terduga

    Adrian dan Reza menjadi begitu panik ketika mendapatkan kabar yang tak terduga dari nomor tak dikenal. “Apa kamu bisa melacak nomor tersebut ?” tanya adrian yang terlihat begitu panik. “Kamu jangan terlalu panik, jika kamu bersikap seperti ini, pikiranmu tidak akan bisa memecahkan masalah. Tunggu, sepertinya handphonemu berdering.” Nomor yang sama kembali menghubungi Adrian meminta ia mencari alamat yang dikirimkan padanya. Mereka segera berangkat menaiki mobil Reza. Tak berselang lama mereka telah sampai ditempat yang mereka cari. Rumah tua yang terlihat sangat lusuh dan penuh dengan rerumputan yang tumbuh menjulang tinggi menutupi halaman rumah. Adrian bersama Reza berjalan perlahan, sebelum mereka beraksi Adrian menghubungi seseorang. Setelah itu mereka segera beraksi, saat mereka tengah melangkahkan kaki hal tak terduga terjadi. “Hahaha, tak ku sangka kamu begitu peduli padanya!” “Siapa kamu!” Seru Adrian dan Reza. “Kalian tidak perlu tau siapa aku, tapi yang perlu kalian

  • When Drama Becomes Reality    Hidup yang Baru

    “Kenapa Ayahku selalu saja terlibat dalam perbuatan mereka. Sungguh sangat merasa putus asa. Aku kira pementasan yang sebelumnya akan membuatku naik daun. Tapi ternyata aku harus menyelesaikan masalah seperti ini.”“Kamu tidak bersalah Nara, jadi jangan pernah menyesali semua keputusan yang sudah kamu ambil,” ujar Adrian dengan lembut.Maya yang masih sibuk dengan laptopnya segera menyelesaikan semuanya. Setelah dirasa data mereka sudah cukup kini maya menyerahkan sebuah berkas penting. ia mendekati Nara mencoba menghiburnya. Nara berharap semua ini segera berakhir, karena ia sudah tidak tahan lagi dengan apa yang terjadi. Malam-malam yang ia lalui terasa begitu kelam. Namun ia harus selalu dituntun dengan keadaan.“Sudahlah Nara aku tahu kamu ingin sekali menjadi seorang yang mempunyai bakat. Bahkan ingin menjadi seorang penulis hebat seperti ayahmu. Tapi kamu dihadapkan dapam dua pilihan,” jawab Maya sambil mendekati Nara dan menyeka air matanya.“Terimakasih Maya kamu selalu ada u

  • When Drama Becomes Reality    Jejak dalam Kegelapan

    Kegelapan menyelimuti ruangan, hanya diiringi oleh suara langkah kaki yang mendekat. Sutra terus berbicara, suaranya dingin dan penuh ejekan.“Tidak ada gunanya kalian lari,” katanya, suaranya menggema di gudang kosong itu. “Aku sudah memprediksi langkah kalian. Dan sekarang, aku ada di sini untuk mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku.”Nara merasa tubuhnya gemetar, tetapi genggaman Adrian di tangannya memberikan kekuatan yang tak ia sangka. Dengan napas tertahan, ia berbisik, “Kita harus keluar dari sini.”Adrian mengangguk pelan. "Ikuti aku. Maya, Reza, siapkan rencana keluar."Reza memberikan isyarat tangan kepada Adrian, lalu bergerak dengan sigap menuju bagian belakang gudang, mencari jalan keluar alternatif. Sementara itu, Maya sibuk menyimpan perangkat keras yang berisi data penting ke dalam tas kecilnya.Namun, langkah Sutra semakin dekat. Suaranya kini terdengar semakin tajam. “Jadi, ini yang tersisa dari keluarga Darma Yudha? Memalukan sekali.”Nara menggigi

  • When Drama Becomes Reality    Jejak Yang Tertinggal

    Lorong menuju ruang arsip utama dipenuhi suara derap langkah penjaga yang mulai mendekat. Nara, Adrian, Reza, dan Maya bergerak dengan hati-hati, menjaga agar setiap langkah mereka tak mengundang perhatian. Pria tua yang sebelumnya mereka temui memberi petunjuk jalan sebelum bersembunyi kembali di salah satu ruangan. "Ruang arsipnya ada di ujung lorong ini," bisik Maya sambil memegang tablet yang memindai peta digital bangunan. "Tapi kita harus melewati setidaknya tiga lapis pengamanan." "Berapa banyak penjaga?" tanya Adrian, memeriksa pistolnya. "Setidaknya ada enam di area ini, tapi kita tidak tahu berapa banyak yang berjaga di depan ruang arsip," jawab Maya. Reza memberikan tanda tangan kepada tim untuk terus bergerak. “Kita harus melakukannya dengan cepat dan senyap. Kalau mereka tahu kita di sini, mereka bisa menghancurkan data sebelum kita sempat mendapatkannya.” Langkah mereka terhenti di depan pintu baja besar, salah satu lapisan pertama yang harus dilewati. Maya segera b

  • When Drama Becomes Reality    Bayang-Bayang Kebenaran

    Ketika pintu ruang kendali terbuka, hawa dingin langsung menyergap tubuh Nara. Ruangan itu berbeda dari apa yang ia bayangkan. Tidak seperti laboratorium futuristik yang penuh dengan layar dan perangkat canggih. Sebaliknya, ruangan itu tampak seperti sebuah galeri seni yang gelap dan suram. Di dinding-dindingnya tergantung gambar-gambar besar, potret-potret hitam putih yang menyimpan kisah pilu para korban Aksara. Salah satu potret itu membuat langkah Nara terhenti, wajah Darma, ayahnya, terpampang di sana dengan tatapan kosong yang membekas di hati.“Ini... ayahku,” bisik Nara, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh emosinya.Adrian berjalan mendekat dan menatap potret itu dengan rahang yang mengeras. “Mereka menggunakan ini untuk menakut-nakuti kita. Jangan biarkan mereka menang.”Namun, Nara tak bisa memalingkan matanya. Di bawah potret itu, ada tulisan kecil dalam huruf yang nyaris tak terbaca: Kebenaran adalah kutukan bagi yang mencarinya.“Mereka bermain dengan psikologi kita,”

  • When Drama Becomes Reality    Misi Menuju Eden

    Langit malam begitu gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang remang-remang. Suara ombak yang menghantam pantai terdengar mengiringi langkah kaki mereka yang terbungkus dalam kesunyian malam. Waktu terus berputar, dan misi yang mereka rencanakan semakin dekat. Eden, tempat yang dikenal sebagai pusat operasi Aksara, sudah ada di depan mata. Namun, Nara tahu bahwa langkah mereka ke sana bukan hanya langkah menuju pulau terpencil itu, tapi juga langkah menuju sebuah konfrontasi yang bisa mengubah segalanya. Di ruang taksi yang tersembunyi di balik bayang-bayang kota, seluruh tim berkumpul di sekitar meja besar. Maya sudah menghubungi beberapa orang yang bisa membantu mereka, dan meskipun perlahan, mereka mulai mempersiapkan diri untuk keberangkatan. “Nara,” suara Adrian terdengar, lembut namun penuh kehangatan, “kamu yakin dengan keputusan ini? Kita akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kita kira.” Nara menatap Adrian, matanya yang penuh keteguhan bercampur kek

  • When Drama Becomes Reality    Langkah Pertama Menuju Balas Dendam

    Pelarian mereka dari vila Sutra meninggalkan bekas luka yang mendalam, baik di hati Nara maupun di kelompoknya. Dalam keheningan malam, hanya suara napas yang terengah-engah dan daun-daun yang bergesekan dengan kaki mereka yang terdengar. Nara menggenggam dokumen-dokumen di tangannya erat, seolah itu adalah nyawa ayahnya yang tersisa. Mereka tiba di tempat persembunyian yang baru, sebuah bangunan tua yang tersembunyi di pinggiran kota. Adrian dengan cepat memastikan semua pintu dan jendela terkunci, sementara Maya mencoba menenangkan Nara yang menangis tanpa henti. “Nara...” suara Adrian memecah keheningan. Dia mendekat, duduk di samping Nara yang menundukkan kepala. “Aku tahu ini berat, tapi Ayahmu mengorbankan dirinya agar kamu bisa membawa dokumen ini keluar. Kita harus menghormati perjuangannya.” Nara mengangkat wajahnya, air mata masih mengalir di pipinya. “Aku meninggalkannya, Adrian. Aku bahkan tidak bisa menyelamatkan ayahku. Bagaimana aku bisa melanjutkan ini?” Adrian

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status