Fajar menyingsing, menyapu kegelapan malam dengan lembut. Rumah kecil di pinggiran kota itu masih hening. Maya tertidur di sofa, sementara Adrian tetap terjaga di kursi dekat jendela, memeriksa ponselnya untuk memastikan tidak ada perkembangan buruk. Nara, di sisi lain, duduk di ruang kerja kecil, mempelajari kembali peta dan catatan mereka.
Tiba-tiba, telepon Maya yang berada di meja mulai bergetar pelan. Suara itu memecah keheningan dan membuat mereka semua waspada. Maya terbangun, langsung meraih teleponnya dan membaca pesan yang masuk. Wajahnya berubah tegang. “Berita tentang Aksara sudah menyebar luas,” katanya dengan suara serak. “Tapi ada yang aneh. Seorang sumber dari dalam mengatakan bahwa ada satu nama besar yang sengaja tidak disebutkan dalam dokumen kita.” Adrian mendekat, membaca pesan itu dari balik pundak Maya. “Maksudnya apa? Kita sudah memastikan semuanya lengkap sebelum menyerahkannya.” Maya menggeleng. “Entah bagaimana, nama itu berhasil dihapus. Tapi sumberku bilang, orang itu adalah dalang utama dari semua ini. Jika dia tidak terungkap, maka semua ini sia-sia.” Nara yang mendengar percakapan itu mendekat. “Siapa namanya?” Maya mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Rendra Wijaya. Pemilik sebenarnya dari Aksara.” Nama itu membuat ruangan menjadi sunyi. Rendra Wijaya adalah tokoh yang tidak asing bagi mereka. Dia seorang pengusaha sukses dengan reputasi bersih di mata publik, sering tampil di media sebagai sosok dermawan. “Kalau ini benar, maka kita harus menemukan bukti yang menghubungkannya dengan semua ini.” “Tapi bagaimana? Dia punya pengaruh besar. Mendekati dia saja sudah seperti misi bunuh diri.” Adrian berpikir sejenak, lalu berbicara dengan nada tegas. “Kita harus masuk ke jantung operasinya. Jika Rendra benar-benar terlibat, maka semua bukti ada di kantor pusatnya.” Malam itu, mereka bertiga duduk di meja kecil, merancang rencana dengan hati-hati. Adrian menunjukkan skema gedung Aksara yang dia temukan melalui jaringan lama. Gedung itu dijaga ketat, dengan sistem keamanan yang canggih. “Kita butuh akses ke lantai atas. Di sana, mereka menyimpan semua file rahasia di server utama,” tambahnya.” Kata Adrian sambil menunjuk ke denah. “Tapi kita butuh kode akses untuk masuk.Dan itu nggak akan mudah didapat," tambah Maya. Nara menatap peta dengan serius. “Kita nggak punya pilihan. Kita harus melakukannya sebelum Rendra tahu kita sedang mengejarnya.” Adrian menatap Nara dengan tatapan penuh kekhawatiran. “Ini terlalu berbahaya, Nara. Kalau kita ketahuan, tidak ada jalan keluar.” “Kalau kita tidak melakukannya, semua yang sudah kita capai akan sia-sia, aku tidak akan mundur sekarang,” jawab Nara tegas. Adrian tidak bisa membantahnya. Dia tahu bahwa tidak ada yang bisa menghentikan Nara ketika dia sudah mengambil keputusan. Malam berikutnya, mereka bergerak. Maya bertugas mengalihkan perhatian keamanan di pintu masuk gedung, sementara Adrian dan Nara masuk melalui pintu darurat di sisi belakang. Gedung itu gelap dan sepi, tetapi kamera pengawas yang tersebar di mana-mana membuat setiap langkah mereka terasa seperti permainan hidup dan mati. “Arahkan ke kiri. Di sana ada tangga menuju lantai atas.” Bisik Adrian melalui alat komunikasi mereka. Nara mengangguk, bergerak dengan hati-hati melewati koridor panjang. Jantungnya berdebar kencang, tetapi dia tidak membiarkan rasa takut menguasainya. Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, mereka berhasil mencapai lantai atas. Adrian mulai bekerja di komputer utama, mencoba meretas sistem untuk mendapatkan file yang mereka butuhkan. “Aku butuh waktu beberapa menit,” katanya sambil mengetik cepat. Tapi waktu tidak berpihak pada mereka. Dari kamera pengawas, Maya melihat beberapa penjaga mulai menuju ke arah mereka. “Kalian harus keluar sekarang!” serunya melalui radio. “Kami belum selesai,” balas Adrian. “Kalau kalian nggak keluar, mereka akan menangkap kalian!” Maya panik. Nara mengambil posisi di dekat pintu, mempersiapkan dirinya untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Tapi sebelum dia sempat bertindak, suara langkah kaki mulai terdengar mendekat. Ketika pintu terbuka, mereka terkejut melihat sosok yang masuk. Itu bukan penjaga, melainkan Rendra Wijaya sendiri, diikuti oleh dua pria berbadan besar. “Ah, kalian akhirnya sampai di sini,” katanya dengan suara tenang tetapi dingin. Adrian berdiri, mencoba melindungi Nara. “Jadi, ini permainanmu selama ini?” Rendra tersenyum kecil. “Kalian memang hebat. Tapi kalian terlalu naif kalau berpikir bisa menjatuhkanku hanya dengan dokumen itu.” Nara menatapnya dengan penuh kebencian. “Kebenaran akan terungkap. Cepat atau lambat, semua orang akan tahu siapa kamu sebenarnya.” “Dan kamu pikir siapa yang akan percaya? Aku memiliki kendali atas semua ini. Media, aparat, bahkan orang-orang yang kalian pikir bisa dipercaya. Semua ada di bawahku," ucap Rendra. Namun, sebelum Rendra sempat melanjutkan, Maya muncul di belakangnya dengan sebuah alat pemukul yang dia temukan di ruang kontrol. Dengan satu pukulan cepat, dia melumpuhkan salah satu pria besar yang mengawal Rendra. “Kita harus pergi sekarang!” teriak Maya. Adrian dan Nara tidak membuang waktu. Mereka menyerang pria kedua dan berhasil melumpuhkannya sebelum akhirnya melarikan diri dari ruangan itu. Meski berhasil keluar dari gedung, pelarian mereka tidak berjalan mulus. Di tengah pengejaran, Maya terkena tembakan di lengannya, membuatnya terjatuh. “Terus lari!” teriak Maya sambil mendorong Adrian dan Nara untuk melanjutkan. “Tapi...” “Pergi sekarang!” Maya memaksa mereka. Dengan berat hati, Adrian menarik Nara untuk terus berlari. Mereka berhasil mencapai mobil dan melarikan diri ke tempat aman, tetapi perasaan bersalah menghantui mereka. Di tempat persembunyian, Nara duduk dengan kepala tertunduk. Air matanya mengalir, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa. Adrian duduk di sampingnya, mencoba memberikan dukungan. “Kita akan kembali untuk Maya,” katanya lembut. “Aku janji.” Nara menatapnya, dan dalam keheningan itu, dia merasakan sesuatu yang kuat. Tanpa berpikir panjang, dia memeluk Adrian erat, mencari kehangatan di tengah dinginnya malam. “Aku nggak mau kehilangan siapa pun lagi,” bisiknya dengan suara bergetar. Adrian membalas pelukan itu, membiarkan dirinya larut dalam momen yang penuh emosi. “Aku akan selalu ada di sini, Nara. Apa pun yang terjadi.” Malam itu, di bawah langit gelap, mereka menemukan kekuatan dalam satu sama lain. Meski misi mereka belum selesai, mereka tahu bahwa cinta yang tumbuh di antara mereka adalah cahaya yang akan memandu mereka melewati kegelapan. Mereka tidak mau tinggal diam, mereka kembali lagi dan membuat rencana untuk menyelamatkan Maya. Mereka mengecoh pengawal digedung Aksara. Hingga mereka berhasil membawa Maya. Mereka segera pergi secepat mungkin. Malam semakin larut, dan keheningan di tempat persembunyian mereka terasa berat. Nara, Adrian, dan Maya kini kembali bersama setelah berhasil membawa Maya dari gedung Aksara dengan susah payah. Namun, luka tembak di lengan Maya dan rasa bersalah yang menyelimuti mereka membuat suasana menjadi lebih menekan. Adrian duduk di samping Maya, mencoba menghentikan pendarahan dengan peralatan seadanya. “Kamu harus ke rumah sakit,” katanya dengan nada tegas. Maya meringis, tetapi masih mampu tersenyum. “Nggak mungkin. Rumah sakit terlalu berisiko. Lagipula, aku masih hidup. Jadi tenang aja.” Nara berdiri di dekat jendela, memandangi langit malam. Tangannya mengepal erat, menahan emosi yang berkecamuk dalam dirinya. Dia tahu misi mereka semakin rumit, dan kehadiran Rendra di gedung itu membuktikan bahwa mereka sudah berada dalam radar musuh. “Apa yang kita punya dari server tadi?” tanyanya tanpa menoleh. Adrian menghela napas, lalu membuka laptop yang telah berhasil dia bawa keluar. “Aku berhasil menyalin sebagian file sebelum Rendra masuk. Tapi ini... ini aneh.” Dia mengetik cepat, membuka file yang berisi serangkaian dokumen keuangan, jadwal pertemuan, dan daftar nama. Salah satu nama yang tertera membuat mereka semua terdiam. “Menteri Dalam Negeri?” Nara membaca dengan suara pelan. “Maksudmu, dia terlibat?” Tanya Nara lagi. Adrian mengangguk. “Bukan hanya dia. Lihat ini.” Dia menunjukkan lebih banyak dokumen yang mengaitkan sejumlah pejabat tinggi, tokoh masyarakat, bahkan beberapa media besar. Maya yang sedang berbaring pun bangkit sedikit, meski menahan sakit. “Kalau ini benar, maka kita bukan cuma melawan Aksara. Kita melawan sistem. Di tengah kebingungan mereka, ponsel Adrian tiba-tiba berbunyi. Sebuah pesan anonim masuk, hanya berisi satu kalimat: "Kalian sudah terlalu dekat. Jangan lanjutkan kalau ingin hidup." Adrian menatap layar itu dengan rahang mengeras. “Mereka tahu kita masih bergerak. Mereka mencoba menghentikan kita.” Nara mengambil ponsel itu dari tangan Adrian dan membaca pesan tersebut. Wajahnya tidak menunjukkan rasa takut, tetapi matanya penuh dengan kemarahan. “Kalau mereka mengancam kita, artinya kita sudah di jalur yang benar. Kita tidak akan berhenti sekarang.” Namun, Maya memotong. “Tunggu. Kalau mereka tahu kita, artinya mereka juga tahu tempat ini. Kita nggak aman di sini.” Baru saja Maya selesai berbicara, suara ledakan kecil terdengar dari luar. Mereka bertiga langsung terdiam, saling bertukar pandang. “Kita harus pergi!” Seru Adrian, segera meraih tas dan dokumen penting. Keluar dari tempat persembunyian mereka, Nara, Adrian, dan Maya menemukan sebuah mobil hitam tanpa plat nomor yang terparkir di ujung jalan. Ketika mereka mulai berlari, mobil itu menyala, dan sekelompok pria berpakaian serba hitam keluar dengan senjata di tangan. “Cepat ke gang sebelah!” perintah Nara sambil menarik Maya yang kesulitan berlari. Adrian mengambil posisi di belakang mereka, memastikan tidak ada yang mengejar terlalu dekat. “Aku akan tahan mereka. Kalian terus maju!” “Nggak, kita nggak akan meninggalkan kamu!” teriak Nara, menoleh ke belakang. “Aku nggak akan apa-apa! Pergi sekarang!” Dengan berat hati, Nara menarik Maya menuju gang sempit, sementara Adrian menghadapi musuh dengan keberanian luar biasa. Dia menggunakan beberapa benda di sekitar untuk mengalihkan perhatian mereka, memberi cukup waktu bagi Nara dan Maya untuk melarikan diri. Setelah berhasil menjauh dari kejaran, mereka bertiga bersembunyi di sebuah gudang tua yang sudah lama ditinggalkan. Nafas mereka terengah-engah, tetapi tidak ada waktu untuk beristirahat. “Adrian,” panggil Nara pelan, memecah keheningan. Adrian menoleh, melihat luka di lengan Maya semakin parah. “Kita butuh bantuan,” gumamnya. Namun, sebelum mereka sempat berpikir lebih jauh, suara langkah kaki mendekat. Nara segera mengambil tongkat besi yang ditemukan di sudut ruangan, bersiap menghadapi siapa pun yang mendekat. “Tenang, ini aku!” Suara seorang pria terdengar dari balik bayangan. Dari gelap, muncul sosok yang tidak asing. Pria itu adalah Reza, seorang mantan jurnalis investigasi yang dulu bekerja sama dengan Nara. “Reza? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Nara dengan nada penuh kecurigaan. “Aku sudah mengikuti kalian. Aku tahu kalian sedang dalam masalah besar, dan aku ingin membantu.” Jawab Reza sambil mengangkat tangan sebagai tanda damai. Adrian tidak langsung percaya. “Bagaimana kami tahu kamu bukan salah satu dari mereka?” Reza mengeluarkan sebuah flash drive dari saku jaketnya. “Karena aku punya sesuatu yang bisa membongkar semuanya. Ini adalah bukti yang aku kumpulkan selama bertahun-tahun tentang Aksara dan Rendra Wijaya.” Di dalam flash drive itu, mereka menemukan video, rekaman suara, dan dokumen yang mengungkap kejahatan Rendra selama bertahun-tahun. Tidak hanya tentang korupsi dan pencucian uang, tetapi juga operasi ilegal yang melibatkan perdagangan manusia dan senjata. Nara merasa perutnya mual saat melihat bukti-bukti itu. “Berapa banyak orang yang sudah menjadi korban?” bisiknya. Reza menunduk. “Terlalu banyak.” Namun, di antara semua bukti itu, ada satu yang membuat mereka semua terpaku. Sebuah video yang menunjukkan bahwa Rendra tidak bekerja sendirian. Ada seorang wanita yang selalu berada di sisinya dalam setiap keputusan besar. “Siapa dia?” tanya Adrian, menunjuk ke layar. Reza menghela napas panjang. “Dia adalah orang kepercayaannya. Dan yang lebih buruk, dia tahu tentang kalian.” Nara merasa tubuhnya bergetar. “Kita harus menghadapinya. Jika dia tahu tentang kita, maka dia adalah kunci untuk menghentikan semua ini.” Namun, Reza memperingatkan mereka. “Dia lebih berbahaya dari yang kalian pikirkan. Jika kalian ingin melawannya, kalian harus memastikan semua bukti ini tersebar ke publik lebih dulu. Itu satu-satunya cara.” Dengan bukti di tangan, mereka menyusun rencana baru. Kali ini, mereka tidak hanya berfokus pada menjatuhkan Rendra, tetapi juga melibatkan semua pihak yang terlibat dalam kejahatan itu. Tetapi waktu tidak berpihak pada mereka. Di luar, bayang-bayang terus mengintai, dan ancaman semakin nyata. Di tengah persiapan mereka, Adrian menarik Nara ke samping. “Aku tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi aku ingin kamu tahu sesuatu.” Nara menatapnya dengan bingung. “Apa?” “Aku tidak peduli apa yang terjadi nanti. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku... aku akan selalu ada di sisimu. Apa pun yang terjadi.” Nara terdiam, tetapi matanya yang lembut mengungkapkan rasa terima kasih yang mendalam. Tanpa banyak kata, dia menggenggam tangan Adrian, membiarkan keheningan berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Misi mereka masih jauh dari selesai, tetapi malam itu, di bawah tekanan dan ancaman, mereka menemukan kekuatan baru dalam kepercayaan satu sama lain.Malam gelap menyelimuti gudang tua yang menjadi tempat persembunyian Nara, Adrian, Maya, dan kini Reza. Mereka semua berada di ujung kelelahan, tetapi semangat untuk melanjutkan perjuangan terus membara. Bukti-bukti di flash drive Reza menjadi nyala kecil harapan di tengah derasnya ancaman. Namun, ancaman itu tidak hanya datang dari luar. Ketegangan di antara mereka mulai terasa. Adrian, yang masih merawat luka Maya, sesekali melirik Reza dengan pandangan penuh curiga. “Kamu yakin tidak sedang memanfaatkan kami?” tanya Adrian tajam. Reza mendesah. “Kalau aku ingin menyerahkan kalian, aku sudah melakukannya sejak dulu. Aku kehilangan segalanya karena Aksara. Keluarga, pekerjaan, semuanya. Aku di sini untuk membalas dendam.” “Cukup,” potong Nara. Dia menatap Adrian dan Reza bergantian. “Kita tidak punya waktu untuk saling mencurigai. Yang penting sekarang, kita harus menyusun langkah berikutnya.” Reza mengeluarkan peta gedung utama Aksara dari dalam tasnya. “Ada satu tempat yang mun
Nara berdiri terpaku, tubuhnya kaku di hadapan Rendra Wijaya yang kini melangkah maju dengan senyum dingin penuh kemenangan. Di belakangnya, pengawal-pengawal bersenjata melangkah memasuki ruangan, membentuk barisan yang membuat pelarian menjadi mustahil. Adrian, Reza, dan Maya langsung bergerak melindungi Nara dan Darma, tetapi mereka tahu posisi mereka saat ini tidak menguntungkan.“Kalian sungguh berani! Menggali terlalu dalam dan mencoba merusak apa yang telah kami bangun selama bertahun-tahun. Apa kalian kira ini akan berakhir baik untuk kalian?” Ucap Rendra dengan nada santai, meski ada ancaman tajam yang tersirat dalam kata-katanya.Mata Nara memancarkan kemarahan. Dia berdiri tegak, menatap langsung ke arah Rendra. “Kami tidak takut padamu. Kau pikir dengan menahan ayahku, kau bisa menghentikan kami? Kau salah besar.”Rendra tertawa kecil. “Keberanianmu mengesankan, Nara. Tapi ini bukan cerita dongeng di mana keberanian akan menyelamatkanmu. Kau menghadapi Aksara sebuah kekuat
Pelarian mereka dari vila Sutra meninggalkan bekas luka yang mendalam, baik di hati Nara maupun di kelompoknya. Dalam keheningan malam, hanya suara napas yang terengah-engah dan daun-daun yang bergesekan dengan kaki mereka yang terdengar. Nara menggenggam dokumen-dokumen di tangannya erat, seolah itu adalah nyawa ayahnya yang tersisa. Mereka tiba di tempat persembunyian yang baru, sebuah bangunan tua yang tersembunyi di pinggiran kota. Adrian dengan cepat memastikan semua pintu dan jendela terkunci, sementara Maya mencoba menenangkan Nara yang menangis tanpa henti. “Nara...” suara Adrian memecah keheningan. Dia mendekat, duduk di samping Nara yang menundukkan kepala. “Aku tahu ini berat, tapi Ayahmu mengorbankan dirinya agar kamu bisa membawa dokumen ini keluar. Kita harus menghormati perjuangannya.” Nara mengangkat wajahnya, air mata masih mengalir di pipinya. “Aku meninggalkannya, Adrian. Aku bahkan tidak bisa menyelamatkan ayahku. Bagaimana aku bisa melanjutkan ini?” Adrian
Langit malam begitu gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang remang-remang. Suara ombak yang menghantam pantai terdengar mengiringi langkah kaki mereka yang terbungkus dalam kesunyian malam. Waktu terus berputar, dan misi yang mereka rencanakan semakin dekat. Eden, tempat yang dikenal sebagai pusat operasi Aksara, sudah ada di depan mata. Namun, Nara tahu bahwa langkah mereka ke sana bukan hanya langkah menuju pulau terpencil itu, tapi juga langkah menuju sebuah konfrontasi yang bisa mengubah segalanya. Di ruang taksi yang tersembunyi di balik bayang-bayang kota, seluruh tim berkumpul di sekitar meja besar. Maya sudah menghubungi beberapa orang yang bisa membantu mereka, dan meskipun perlahan, mereka mulai mempersiapkan diri untuk keberangkatan. “Nara,” suara Adrian terdengar, lembut namun penuh kehangatan, “kamu yakin dengan keputusan ini? Kita akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kita kira.” Nara menatap Adrian, matanya yang penuh keteguhan bercampur kek
Ketika pintu ruang kendali terbuka, hawa dingin langsung menyergap tubuh Nara. Ruangan itu berbeda dari apa yang ia bayangkan. Tidak seperti laboratorium futuristik yang penuh dengan layar dan perangkat canggih. Sebaliknya, ruangan itu tampak seperti sebuah galeri seni yang gelap dan suram. Di dinding-dindingnya tergantung gambar-gambar besar, potret-potret hitam putih yang menyimpan kisah pilu para korban Aksara. Salah satu potret itu membuat langkah Nara terhenti, wajah Darma, ayahnya, terpampang di sana dengan tatapan kosong yang membekas di hati.“Ini... ayahku,” bisik Nara, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh emosinya.Adrian berjalan mendekat dan menatap potret itu dengan rahang yang mengeras. “Mereka menggunakan ini untuk menakut-nakuti kita. Jangan biarkan mereka menang.”Namun, Nara tak bisa memalingkan matanya. Di bawah potret itu, ada tulisan kecil dalam huruf yang nyaris tak terbaca: Kebenaran adalah kutukan bagi yang mencarinya.“Mereka bermain dengan psikologi kita,”
Lorong menuju ruang arsip utama dipenuhi suara derap langkah penjaga yang mulai mendekat. Nara, Adrian, Reza, dan Maya bergerak dengan hati-hati, menjaga agar setiap langkah mereka tak mengundang perhatian. Pria tua yang sebelumnya mereka temui memberi petunjuk jalan sebelum bersembunyi kembali di salah satu ruangan. "Ruang arsipnya ada di ujung lorong ini," bisik Maya sambil memegang tablet yang memindai peta digital bangunan. "Tapi kita harus melewati setidaknya tiga lapis pengamanan." "Berapa banyak penjaga?" tanya Adrian, memeriksa pistolnya. "Setidaknya ada enam di area ini, tapi kita tidak tahu berapa banyak yang berjaga di depan ruang arsip," jawab Maya. Reza memberikan tanda tangan kepada tim untuk terus bergerak. “Kita harus melakukannya dengan cepat dan senyap. Kalau mereka tahu kita di sini, mereka bisa menghancurkan data sebelum kita sempat mendapatkannya.” Langkah mereka terhenti di depan pintu baja besar, salah satu lapisan pertama yang harus dilewati. Maya segera b
Kegelapan menyelimuti ruangan, hanya diiringi oleh suara langkah kaki yang mendekat. Sutra terus berbicara, suaranya dingin dan penuh ejekan.“Tidak ada gunanya kalian lari,” katanya, suaranya menggema di gudang kosong itu. “Aku sudah memprediksi langkah kalian. Dan sekarang, aku ada di sini untuk mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku.”Nara merasa tubuhnya gemetar, tetapi genggaman Adrian di tangannya memberikan kekuatan yang tak ia sangka. Dengan napas tertahan, ia berbisik, “Kita harus keluar dari sini.”Adrian mengangguk pelan. "Ikuti aku. Maya, Reza, siapkan rencana keluar."Reza memberikan isyarat tangan kepada Adrian, lalu bergerak dengan sigap menuju bagian belakang gudang, mencari jalan keluar alternatif. Sementara itu, Maya sibuk menyimpan perangkat keras yang berisi data penting ke dalam tas kecilnya.Namun, langkah Sutra semakin dekat. Suaranya kini terdengar semakin tajam. “Jadi, ini yang tersisa dari keluarga Darma Yudha? Memalukan sekali.”Nara menggigi
“Kenapa Ayahku selalu saja terlibat dalam perbuatan mereka. Sungguh sangat merasa putus asa. Aku kira pementasan yang sebelumnya akan membuatku naik daun. Tapi ternyata aku harus menyelesaikan masalah seperti ini.”“Kamu tidak bersalah Nara, jadi jangan pernah menyesali semua keputusan yang sudah kamu ambil,” ujar Adrian dengan lembut.Maya yang masih sibuk dengan laptopnya segera menyelesaikan semuanya. Setelah dirasa data mereka sudah cukup kini maya menyerahkan sebuah berkas penting. ia mendekati Nara mencoba menghiburnya. Nara berharap semua ini segera berakhir, karena ia sudah tidak tahan lagi dengan apa yang terjadi. Malam-malam yang ia lalui terasa begitu kelam. Namun ia harus selalu dituntun dengan keadaan.“Sudahlah Nara aku tahu kamu ingin sekali menjadi seorang yang mempunyai bakat. Bahkan ingin menjadi seorang penulis hebat seperti ayahmu. Tapi kamu dihadapkan dapam dua pilihan,” jawab Maya sambil mendekati Nara dan menyeka air matanya.“Terimakasih Maya kamu selalu ada u
Nara tak menyangka jika Adrian bisa sampai terluka parah bersimbah darah. Ia segera mamapah Adrian kedalam Apartemennya. Kemudian ia menutup pintu dan membawakan obat untuk segera membalut tangan Adrian yang terluka. “Adrian apa yang terjadi padamu? Kenapa bisa sampai seperti ini?” Tanya Nara dengan rasa khawatir yang menyelimuti dirinya, dan nampak begitu jelas di wajah Nara. “Aku tidak apa-apa, hanya tak sengaja menabrak seseorang saat akan keluar dari rumah.” Jawab Adrian mencari alasan agar Nara tidak terlalu mengawatirkan dirinya. “Kamu jangan membohongiku! Ini jelas-jelas luka senjata tajam, ini belati yang mengandung racun. Dan racunnya baru saja aku bersihkan, mungkin masih tersisa sedikit.” “Kamu tahu tentang obat-obatan Nara?” Tanya Adrian penasaran. Nara menganggukkan kepalanya, dan menjelaskan jika ia belajar mengenal obat-obatan sejak ia masih kecil, ia sering membuat berbagai macam ramuan herbal untuk segala penyakit. “Aku tak menyangka jika kau begitu teramp
Hati mereka begitu hancur mendengar Nara tak sadarkan diri. Setelah Nara dipindahkan keruangan VIP, mereka begitu tegang menunggu berjam-jam hingga jam 3 dini hari, Nara belum juga ada tanda-tanda perubahan. Adrian tak menyangka jika Nara akan seperti ini. Ditengah kegelisahannya. Datanglah Maya dan Reza yang baru saja membeli makanan untuk mereka. “Makanlah walau sedikit, jika kamu sakit siapa yang akan menjaga Nara nantinya?” Sambil menerima nasi jitak yang diberikan oleh maya untuknya. “Terimakasih May, maaf jadi merepotkanmu! Apa kalian sudah makan?” “Tidak apa, kebetulan kami sudah makan tadi diwarung makan. Kami bersyukur juga jam segini, masih ada warung makan yang buka.” Andrean merasa terharu dengan kebaikan sahabat, yang belum lama ia kenal. Keesokan paginya disaat mereka sedang terlelap tidur terdengar suara gelas terjatuh. Hingga membuat mereka terkejut. Saat mereka terbangun hak yang tak terduga terjadi pada pada Nara. “Nara, cepat tolong Nara! Sedangkan kau
Adrian dan Reza menjadi begitu panik ketika mendapatkan kabar yang tak terduga dari nomor tak dikenal. “Apa kamu bisa melacak nomor tersebut ?” tanya adrian yang terlihat begitu panik. “Kamu jangan terlalu panik, jika kamu bersikap seperti ini, pikiranmu tidak akan bisa memecahkan masalah. Tunggu, sepertinya handphonemu berdering.” Nomor yang sama kembali menghubungi Adrian meminta ia mencari alamat yang dikirimkan padanya. Mereka segera berangkat menaiki mobil Reza. Tak berselang lama mereka telah sampai ditempat yang mereka cari. Rumah tua yang terlihat sangat lusuh dan penuh dengan rerumputan yang tumbuh menjulang tinggi menutupi halaman rumah. Adrian bersama Reza berjalan perlahan, sebelum mereka beraksi Adrian menghubungi seseorang. Setelah itu mereka segera beraksi, saat mereka tengah melangkahkan kaki hal tak terduga terjadi. “Hahaha, tak ku sangka kamu begitu peduli padanya!” “Siapa kamu!” Seru Adrian dan Reza. “Kalian tidak perlu tau siapa aku, tapi yang perlu kalian
“Kenapa Ayahku selalu saja terlibat dalam perbuatan mereka. Sungguh sangat merasa putus asa. Aku kira pementasan yang sebelumnya akan membuatku naik daun. Tapi ternyata aku harus menyelesaikan masalah seperti ini.”“Kamu tidak bersalah Nara, jadi jangan pernah menyesali semua keputusan yang sudah kamu ambil,” ujar Adrian dengan lembut.Maya yang masih sibuk dengan laptopnya segera menyelesaikan semuanya. Setelah dirasa data mereka sudah cukup kini maya menyerahkan sebuah berkas penting. ia mendekati Nara mencoba menghiburnya. Nara berharap semua ini segera berakhir, karena ia sudah tidak tahan lagi dengan apa yang terjadi. Malam-malam yang ia lalui terasa begitu kelam. Namun ia harus selalu dituntun dengan keadaan.“Sudahlah Nara aku tahu kamu ingin sekali menjadi seorang yang mempunyai bakat. Bahkan ingin menjadi seorang penulis hebat seperti ayahmu. Tapi kamu dihadapkan dapam dua pilihan,” jawab Maya sambil mendekati Nara dan menyeka air matanya.“Terimakasih Maya kamu selalu ada u
Kegelapan menyelimuti ruangan, hanya diiringi oleh suara langkah kaki yang mendekat. Sutra terus berbicara, suaranya dingin dan penuh ejekan.“Tidak ada gunanya kalian lari,” katanya, suaranya menggema di gudang kosong itu. “Aku sudah memprediksi langkah kalian. Dan sekarang, aku ada di sini untuk mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku.”Nara merasa tubuhnya gemetar, tetapi genggaman Adrian di tangannya memberikan kekuatan yang tak ia sangka. Dengan napas tertahan, ia berbisik, “Kita harus keluar dari sini.”Adrian mengangguk pelan. "Ikuti aku. Maya, Reza, siapkan rencana keluar."Reza memberikan isyarat tangan kepada Adrian, lalu bergerak dengan sigap menuju bagian belakang gudang, mencari jalan keluar alternatif. Sementara itu, Maya sibuk menyimpan perangkat keras yang berisi data penting ke dalam tas kecilnya.Namun, langkah Sutra semakin dekat. Suaranya kini terdengar semakin tajam. “Jadi, ini yang tersisa dari keluarga Darma Yudha? Memalukan sekali.”Nara menggigi
Lorong menuju ruang arsip utama dipenuhi suara derap langkah penjaga yang mulai mendekat. Nara, Adrian, Reza, dan Maya bergerak dengan hati-hati, menjaga agar setiap langkah mereka tak mengundang perhatian. Pria tua yang sebelumnya mereka temui memberi petunjuk jalan sebelum bersembunyi kembali di salah satu ruangan. "Ruang arsipnya ada di ujung lorong ini," bisik Maya sambil memegang tablet yang memindai peta digital bangunan. "Tapi kita harus melewati setidaknya tiga lapis pengamanan." "Berapa banyak penjaga?" tanya Adrian, memeriksa pistolnya. "Setidaknya ada enam di area ini, tapi kita tidak tahu berapa banyak yang berjaga di depan ruang arsip," jawab Maya. Reza memberikan tanda tangan kepada tim untuk terus bergerak. “Kita harus melakukannya dengan cepat dan senyap. Kalau mereka tahu kita di sini, mereka bisa menghancurkan data sebelum kita sempat mendapatkannya.” Langkah mereka terhenti di depan pintu baja besar, salah satu lapisan pertama yang harus dilewati. Maya segera b
Ketika pintu ruang kendali terbuka, hawa dingin langsung menyergap tubuh Nara. Ruangan itu berbeda dari apa yang ia bayangkan. Tidak seperti laboratorium futuristik yang penuh dengan layar dan perangkat canggih. Sebaliknya, ruangan itu tampak seperti sebuah galeri seni yang gelap dan suram. Di dinding-dindingnya tergantung gambar-gambar besar, potret-potret hitam putih yang menyimpan kisah pilu para korban Aksara. Salah satu potret itu membuat langkah Nara terhenti, wajah Darma, ayahnya, terpampang di sana dengan tatapan kosong yang membekas di hati.“Ini... ayahku,” bisik Nara, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh emosinya.Adrian berjalan mendekat dan menatap potret itu dengan rahang yang mengeras. “Mereka menggunakan ini untuk menakut-nakuti kita. Jangan biarkan mereka menang.”Namun, Nara tak bisa memalingkan matanya. Di bawah potret itu, ada tulisan kecil dalam huruf yang nyaris tak terbaca: Kebenaran adalah kutukan bagi yang mencarinya.“Mereka bermain dengan psikologi kita,”
Langit malam begitu gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang remang-remang. Suara ombak yang menghantam pantai terdengar mengiringi langkah kaki mereka yang terbungkus dalam kesunyian malam. Waktu terus berputar, dan misi yang mereka rencanakan semakin dekat. Eden, tempat yang dikenal sebagai pusat operasi Aksara, sudah ada di depan mata. Namun, Nara tahu bahwa langkah mereka ke sana bukan hanya langkah menuju pulau terpencil itu, tapi juga langkah menuju sebuah konfrontasi yang bisa mengubah segalanya. Di ruang taksi yang tersembunyi di balik bayang-bayang kota, seluruh tim berkumpul di sekitar meja besar. Maya sudah menghubungi beberapa orang yang bisa membantu mereka, dan meskipun perlahan, mereka mulai mempersiapkan diri untuk keberangkatan. “Nara,” suara Adrian terdengar, lembut namun penuh kehangatan, “kamu yakin dengan keputusan ini? Kita akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kita kira.” Nara menatap Adrian, matanya yang penuh keteguhan bercampur kek
Pelarian mereka dari vila Sutra meninggalkan bekas luka yang mendalam, baik di hati Nara maupun di kelompoknya. Dalam keheningan malam, hanya suara napas yang terengah-engah dan daun-daun yang bergesekan dengan kaki mereka yang terdengar. Nara menggenggam dokumen-dokumen di tangannya erat, seolah itu adalah nyawa ayahnya yang tersisa. Mereka tiba di tempat persembunyian yang baru, sebuah bangunan tua yang tersembunyi di pinggiran kota. Adrian dengan cepat memastikan semua pintu dan jendela terkunci, sementara Maya mencoba menenangkan Nara yang menangis tanpa henti. “Nara...” suara Adrian memecah keheningan. Dia mendekat, duduk di samping Nara yang menundukkan kepala. “Aku tahu ini berat, tapi Ayahmu mengorbankan dirinya agar kamu bisa membawa dokumen ini keluar. Kita harus menghormati perjuangannya.” Nara mengangkat wajahnya, air mata masih mengalir di pipinya. “Aku meninggalkannya, Adrian. Aku bahkan tidak bisa menyelamatkan ayahku. Bagaimana aku bisa melanjutkan ini?” Adrian