Adrian menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Dia menatap Nara lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut.
“Maaf. Aku hanya... Aku hanya ingin memastikan kamu aman, Nara.” Nara tersentuh oleh nada tulus Adrian, tetapi dia segera mengalihkan pandangannya, tidak ingin terlihat lemah. “Kita harus tetap fokus pada tujuan. Itu saja yang penting.” Malam semakin larut. Maya sudah tertidur di sofa, sementara Adrian dan Nara duduk di balkon apartemen kecil itu. Angin malam berhembus pelan, membawa suasana keheningan yang sesekali terisi oleh suara kendaraan di jalanan jauh di bawah. Keduanya memegang cangkir kopi hangat di tangan, meski pikiran mereka jelas masih penuh dengan kekhawatiran. Adrian sambil menatap keluar ke arah lampu kota. “Aku selalu percaya bahwa setiap orang punya batasannya. Tapi kamu, Nara... kamu sepertinya tidak pernah berhenti melampaui batas itu.” Nara menatap Adrian dengan alis terangkat. Dia menyesap kopinya dan berbicara dengan nada ringan. “Bukan soal melampaui batas. Aku cuma tahu, kalau aku berhenti sekarang, aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri.” Adrian menoleh ke arahnya “Itulah yang membuatmu berbeda. Aku bisa melihat itu sejak pertama kali kita bertemu. Kamu bukan orang biasa, Nara.” Nara terdiam, merasa canggung dengan pujian itu. Dia mencoba mengalihkan pandangan, tetapi tatapan Adrian tetap tertuju padanya. Nara mencoba tersenyum “Kalau aku nggak biasa, kenapa aku merasa seperti ini setiap hari? Aku takut, Adrian. Aku takut gagal. Aku takut kehilangan semuanya.” “Dan itulah yang membuatmu luar biasa. Keberanian itu bukan soal tidak merasa takut, tapi soal terus melangkah meskipun ketakutan itu ada.” Nara menatap Adrian, kali ini dengan mata yang mulai melembut. Dia tidak tahu mengapa, tetapi kata-kata pria itu membuatnya merasa sedikit lebih ringan. Namun, dia cepat-cepat mengeraskan hatinya lagi. Nara sambil menatap langit “Aku tidak punya waktu untuk merasa luar biasa. Aku hanya ingin ini selesai.” Tersenyum kecil “Dan aku akan pastikan kamu berhasil Nara.” Mereka terdiam untuk beberapa saat, menikmati keheningan yang nyaman di antara mereka. Meskipun Nara tidak mengatakannya, dia mulai merasa bahwa kehadiran Adrian memberikan rasa aman yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Namun, dia juga tahu bahwa terlalu bergantung pada orang lain bisa menjadi kelemahan. Keesokan paginya, mereka bertiga sedang bersiap untuk melanjutkan penyelidikan. Maya mengecek ponselnya, sementara Adrian dan Nara memeriksa ulang dokumen yang mereka miliki. Ketegangan meningkat ketika Maya tiba-tiba berbicara dengan nada panik. “Aku baru saja dapat pesan dari teman di kantor berita. Ada laporan bahwa Aksara mulai mencari 'pemberontak' yang menyusup ke operasi mereka. Mereka menyebutkan ciri-ciri yang cocok dengan kita.” Nara segera mengambil ponsel Maya dan membaca pesan itu. Matanya menyipit, menunjukkan bahwa dia sedang berpikir keras. Dengan nada serius “ Adrian mereka tahu kita semakin dekat. Kita harus mempercepat langkah sebelum mereka menemukan kita.” “Aku setuju. Tapi ini juga berarti kita harus lebih hati-hati. Setiap langkah salah bisa berakibat fatal.” Maya menjawab dengan nada ragu“Kamu yakin kita bisa mengatasi mereka? Mereka punya kekuatan, uang, dan koneksi. Sedangkan kita cuma punya ini.” “Kadang, keberanian dan kebenaran lebih kuat daripada semua itu. Tapi hanya jika kita memainkannya dengan cerdas.” Nara menatap Adrian, sedikit terkejut oleh keyakinannya. Meskipun mereka baru saling mengenal, Nara mulai merasa bahwa Adrian adalah seseorang yang bisa dia percayai. Sambil mengambil napas dalam “Baiklah, kita butuh rencana baru. Kita akan mulai dengan mencari tahu siapa di perusahaan itu yang bisa menjadi celah kita.” Mereka bertiga mulai bekerja lagi, melupakan kelelahan mereka demi fokus pada tugas yang ada di depan mata. Sementara itu, di luar apartemen, sebuah mobil hitam berhenti di jalanan, menandakan bahwa bahaya sudah semakin mendekat. Siang itu, mereka memutuskan untuk menemui seorang informan yang mungkin bisa memberikan informasi lebih banyak tentang Aksara. Pertemuan dilakukan di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Nara dan Adrian masuk ke dalam, sementara Maya berjaga di luar. Namun, saat mereka sampai di lokasi, suasana terasa aneh. Gudang itu kosong, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Nara mulai merasa ada yang tidak beres. “Ini jebakan. Kita harus keluar sekarang.” Namun sebelum mereka bisa melangkah keluar, beberapa pria berbadan besar dengan wajah keras muncul dari bayang-bayang. Salah satu dari mereka membawa tongkat besi, sementara yang lain tampak memegang senjata tersembunyi. Pemimpin Geng berkata sambil menyeringai “Kalian benar-benar berani, ya. Datang ke wilayah kami dengan begitu percaya diri.” Adrian melangkah maju “Kami hanya di sini untuk bicara. Kami tidak mencari masalah.” Pemimpin Geng menjawab dengan nada mengejek “Oh, kalian sudah mencari masalah begitu menyentuh urusan Aksara. Dan sekarang, kalian harus membayar harga itu.” Salah satu pria mulai mendekat ke arah Nara, tetapi Adrian dengan cepat berdiri di depannya, melindungi Nara. “Jangan sentuh dia.” Ketegangan semakin meningkat. Nara tahu mereka tidak bisa melawan, tetapi dia juga tidak bisa membiarkan dokumen-dokumen penting yang mereka bawa jatuh ke tangan musuh. Sebelum situasi semakin memburuk, sebuah suara terdengar dari arah pintu masuk. Maya membawa tongkat kayu yang ditemukannya di luar “Hey, coba sentuh mereka kalau berani!” Kehadiran Maya mengalihkan perhatian geng tersebut, memberi Nara dan Adrian kesempatan untuk melarikan diri. Ketiganya berlari keluar gudang dengan napas terengah-engah, berhasil menghindari bahaya meskipun dengan susah payah. Setelah lolos dari bahaya, mereka kembali ke apartemen Maya. Suasana di antara mereka hening, penuh dengan ketegangan dan rasa lelah. Adrian mengusap wajahnya “Itu terlalu dekat. Kita harus lebih berhati-hati mulai sekarang.” Maya menatap Adrian dan Nara “Aku tahu ini gila, tapi... aku nggak nyesel. Kita di sini untuk sesuatu yang lebih besar, dan aku nggak akan mundur sekarang.” Nara menatap mereka berdua “Aku juga. Kita tidak bisa mundur. Bukan sekarang.” Adrian menatap Nara, merasa semakin kagum dengan keberaniannya. Dia tahu bahwa perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya bukan sekadar kekaguman, tetapi sesuatu yang lebih dalam. Namun, dia memilih untuk menyimpannya sendiri, karena dia tahu fokus mereka sekarang adalah menyelesaikan misi ini. Malam itu, mereka bertiga duduk bersama, merencanakan langkah selanjutnya. Meskipun suasana penuh dengan bahaya, mereka mulai merasa seperti tim yang solid, dengan tujuan yang sama. Di dalam pikirannya, Adrian memutuskan bahwa apa pun yang terjadi, dia akan melakukan segala cara untuk melindungi Nara, bahkan jika itu berarti harus mengambil risiko besar. Sementara itu, Nara mulai merasakan bahwa kehadiran Adrian memberikan kekuatan yang dia tidak tahu dia butuhkan. Dan Maya, meskipun sering bercanda, merasa bahwa dia telah menemukan keluarga baru dalam perjuangan ini.Setelah malam yang penuh ketegangan, pagi menjelang dengan kabut tipis menyelimuti kota. Di apartemen kecil itu, Nara, Adrian, dan Maya berkumpul di meja dapur, membahas rencana baru. Kopi hangat di cangkir mereka kini terasa hambar, kalah oleh berat pikiran yang mengisi kepala masing-masing. Nara membuka peta yang mereka ambil dari dokumen malam sebelumnya. “Kita harus mulai dari sini. Lokasi ini disebutkan sebagai salah satu pusat operasi Aksara. Jika kita bisa masuk, mungkin kita menemukan bukti untuk menjatuhkannya.” Adrian mengerutkan dahi, memperhatikan peta itu dengan seksama. “Tapi tempat ini dijaga ketat. Kita tidak bisa masuk begitu saja tanpa persiapan.” Maya, yang biasanya penuh candaan, kini berbicara dengan nada serius. “Aku kenal seseorang yang mungkin bisa membantu. Seorang mantan karyawan Aksara yang tahu seluk-beluk sistem keamanan mereka.” Nara mengangkat alis. “Kenapa kamu baru bilang sekarang?” Maya mengangkat bahu dengan cengiran kecil. “Kamu tidak pernah ta
Malam di balkon hotel itu menjadi awal dari percakapan yang tidak pernah Adrian atau Nara duga. Setelah begitu lama hidup dalam bayang-bayang pelarian dan ketakutan, ada sesuatu yang terasa berbeda. Udara malam yang dingin tidak mampu menyembunyikan kehangatan yang perlahan tumbuh di antara mereka.“Aku ingin tahu, kalau ini semua berakhir... apa yang akan kamu lakukan?” Kata Adrian tiba-tiba, memecah keheningan.Nara menatapnya, sedikit bingung dengan pertanyaan itu. “Maksudmu?”“Setelah Aksara jatuh. Setelah semua ini selesai. Apa yang kamu inginkan, Nara?”Nara terdiam, mencoba mencari jawaban yang tepat. Tapi setiap kali dia memikirkannya, kepalanya terasa penuh dengan keraguan. “Aku nggak tahu, Adrian. Aku nggak pernah berpikir sejauh itu. Selama ini, aku hanya fokus untuk bertahan hidup.”Adrian mengangguk pelan, memahami jawabannya. “Itu adil. Tapi... kamu berhak memikirkan tentang masa depan. Tentang kebahagiaanmu sendiri.”“Kebahagiaan, ya? Aku nggak yakin itu sesuatu yang bi
Fajar menyingsing, menyapu kegelapan malam dengan lembut. Rumah kecil di pinggiran kota itu masih hening. Maya tertidur di sofa, sementara Adrian tetap terjaga di kursi dekat jendela, memeriksa ponselnya untuk memastikan tidak ada perkembangan buruk. Nara, di sisi lain, duduk di ruang kerja kecil, mempelajari kembali peta dan catatan mereka. Tiba-tiba, telepon Maya yang berada di meja mulai bergetar pelan. Suara itu memecah keheningan dan membuat mereka semua waspada. Maya terbangun, langsung meraih teleponnya dan membaca pesan yang masuk. Wajahnya berubah tegang. “Berita tentang Aksara sudah menyebar luas,” katanya dengan suara serak. “Tapi ada yang aneh. Seorang sumber dari dalam mengatakan bahwa ada satu nama besar yang sengaja tidak disebutkan dalam dokumen kita.” Adrian mendekat, membaca pesan itu dari balik pundak Maya. “Maksudnya apa? Kita sudah memastikan semuanya lengkap sebelum menyerahkannya.” Maya menggeleng. “Entah bagaimana, nama itu berhasil dihapus. Tapi sumberk
Malam gelap menyelimuti gudang tua yang menjadi tempat persembunyian Nara, Adrian, Maya, dan kini Reza. Mereka semua berada di ujung kelelahan, tetapi semangat untuk melanjutkan perjuangan terus membara. Bukti-bukti di flash drive Reza menjadi nyala kecil harapan di tengah derasnya ancaman. Namun, ancaman itu tidak hanya datang dari luar. Ketegangan di antara mereka mulai terasa. Adrian, yang masih merawat luka Maya, sesekali melirik Reza dengan pandangan penuh curiga. “Kamu yakin tidak sedang memanfaatkan kami?” tanya Adrian tajam. Reza mendesah. “Kalau aku ingin menyerahkan kalian, aku sudah melakukannya sejak dulu. Aku kehilangan segalanya karena Aksara. Keluarga, pekerjaan, semuanya. Aku di sini untuk membalas dendam.” “Cukup,” potong Nara. Dia menatap Adrian dan Reza bergantian. “Kita tidak punya waktu untuk saling mencurigai. Yang penting sekarang, kita harus menyusun langkah berikutnya.” Reza mengeluarkan peta gedung utama Aksara dari dalam tasnya. “Ada satu tempat yang mun
Nara berdiri terpaku, tubuhnya kaku di hadapan Rendra Wijaya yang kini melangkah maju dengan senyum dingin penuh kemenangan. Di belakangnya, pengawal-pengawal bersenjata melangkah memasuki ruangan, membentuk barisan yang membuat pelarian menjadi mustahil. Adrian, Reza, dan Maya langsung bergerak melindungi Nara dan Darma, tetapi mereka tahu posisi mereka saat ini tidak menguntungkan.“Kalian sungguh berani! Menggali terlalu dalam dan mencoba merusak apa yang telah kami bangun selama bertahun-tahun. Apa kalian kira ini akan berakhir baik untuk kalian?” Ucap Rendra dengan nada santai, meski ada ancaman tajam yang tersirat dalam kata-katanya.Mata Nara memancarkan kemarahan. Dia berdiri tegak, menatap langsung ke arah Rendra. “Kami tidak takut padamu. Kau pikir dengan menahan ayahku, kau bisa menghentikan kami? Kau salah besar.”Rendra tertawa kecil. “Keberanianmu mengesankan, Nara. Tapi ini bukan cerita dongeng di mana keberanian akan menyelamatkanmu. Kau menghadapi Aksara sebuah kekuat
Pelarian mereka dari vila Sutra meninggalkan bekas luka yang mendalam, baik di hati Nara maupun di kelompoknya. Dalam keheningan malam, hanya suara napas yang terengah-engah dan daun-daun yang bergesekan dengan kaki mereka yang terdengar. Nara menggenggam dokumen-dokumen di tangannya erat, seolah itu adalah nyawa ayahnya yang tersisa. Mereka tiba di tempat persembunyian yang baru, sebuah bangunan tua yang tersembunyi di pinggiran kota. Adrian dengan cepat memastikan semua pintu dan jendela terkunci, sementara Maya mencoba menenangkan Nara yang menangis tanpa henti. “Nara...” suara Adrian memecah keheningan. Dia mendekat, duduk di samping Nara yang menundukkan kepala. “Aku tahu ini berat, tapi Ayahmu mengorbankan dirinya agar kamu bisa membawa dokumen ini keluar. Kita harus menghormati perjuangannya.” Nara mengangkat wajahnya, air mata masih mengalir di pipinya. “Aku meninggalkannya, Adrian. Aku bahkan tidak bisa menyelamatkan ayahku. Bagaimana aku bisa melanjutkan ini?” Adrian
Langit malam begitu gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang remang-remang. Suara ombak yang menghantam pantai terdengar mengiringi langkah kaki mereka yang terbungkus dalam kesunyian malam. Waktu terus berputar, dan misi yang mereka rencanakan semakin dekat. Eden, tempat yang dikenal sebagai pusat operasi Aksara, sudah ada di depan mata. Namun, Nara tahu bahwa langkah mereka ke sana bukan hanya langkah menuju pulau terpencil itu, tapi juga langkah menuju sebuah konfrontasi yang bisa mengubah segalanya. Di ruang taksi yang tersembunyi di balik bayang-bayang kota, seluruh tim berkumpul di sekitar meja besar. Maya sudah menghubungi beberapa orang yang bisa membantu mereka, dan meskipun perlahan, mereka mulai mempersiapkan diri untuk keberangkatan. “Nara,” suara Adrian terdengar, lembut namun penuh kehangatan, “kamu yakin dengan keputusan ini? Kita akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kita kira.” Nara menatap Adrian, matanya yang penuh keteguhan bercampur kek
Ketika pintu ruang kendali terbuka, hawa dingin langsung menyergap tubuh Nara. Ruangan itu berbeda dari apa yang ia bayangkan. Tidak seperti laboratorium futuristik yang penuh dengan layar dan perangkat canggih. Sebaliknya, ruangan itu tampak seperti sebuah galeri seni yang gelap dan suram. Di dinding-dindingnya tergantung gambar-gambar besar, potret-potret hitam putih yang menyimpan kisah pilu para korban Aksara. Salah satu potret itu membuat langkah Nara terhenti, wajah Darma, ayahnya, terpampang di sana dengan tatapan kosong yang membekas di hati.“Ini... ayahku,” bisik Nara, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh emosinya.Adrian berjalan mendekat dan menatap potret itu dengan rahang yang mengeras. “Mereka menggunakan ini untuk menakut-nakuti kita. Jangan biarkan mereka menang.”Namun, Nara tak bisa memalingkan matanya. Di bawah potret itu, ada tulisan kecil dalam huruf yang nyaris tak terbaca: Kebenaran adalah kutukan bagi yang mencarinya.“Mereka bermain dengan psikologi kita,”
Nara tak menyangka jika Adrian bisa sampai terluka parah bersimbah darah. Ia segera mamapah Adrian kedalam Apartemennya. Kemudian ia menutup pintu dan membawakan obat untuk segera membalut tangan Adrian yang terluka. “Adrian apa yang terjadi padamu? Kenapa bisa sampai seperti ini?” Tanya Nara dengan rasa khawatir yang menyelimuti dirinya, dan nampak begitu jelas di wajah Nara. “Aku tidak apa-apa, hanya tak sengaja menabrak seseorang saat akan keluar dari rumah.” Jawab Adrian mencari alasan agar Nara tidak terlalu mengawatirkan dirinya. “Kamu jangan membohongiku! Ini jelas-jelas luka senjata tajam, ini belati yang mengandung racun. Dan racunnya baru saja aku bersihkan, mungkin masih tersisa sedikit.” “Kamu tahu tentang obat-obatan Nara?” Tanya Adrian penasaran. Nara menganggukkan kepalanya, dan menjelaskan jika ia belajar mengenal obat-obatan sejak ia masih kecil, ia sering membuat berbagai macam ramuan herbal untuk segala penyakit. “Aku tak menyangka jika kau begitu teramp
Hati mereka begitu hancur mendengar Nara tak sadarkan diri. Setelah Nara dipindahkan keruangan VIP, mereka begitu tegang menunggu berjam-jam hingga jam 3 dini hari, Nara belum juga ada tanda-tanda perubahan. Adrian tak menyangka jika Nara akan seperti ini. Ditengah kegelisahannya. Datanglah Maya dan Reza yang baru saja membeli makanan untuk mereka. “Makanlah walau sedikit, jika kamu sakit siapa yang akan menjaga Nara nantinya?” Sambil menerima nasi jitak yang diberikan oleh maya untuknya. “Terimakasih May, maaf jadi merepotkanmu! Apa kalian sudah makan?” “Tidak apa, kebetulan kami sudah makan tadi diwarung makan. Kami bersyukur juga jam segini, masih ada warung makan yang buka.” Andrean merasa terharu dengan kebaikan sahabat, yang belum lama ia kenal. Keesokan paginya disaat mereka sedang terlelap tidur terdengar suara gelas terjatuh. Hingga membuat mereka terkejut. Saat mereka terbangun hak yang tak terduga terjadi pada pada Nara. “Nara, cepat tolong Nara! Sedangkan kau
Adrian dan Reza menjadi begitu panik ketika mendapatkan kabar yang tak terduga dari nomor tak dikenal. “Apa kamu bisa melacak nomor tersebut ?” tanya adrian yang terlihat begitu panik. “Kamu jangan terlalu panik, jika kamu bersikap seperti ini, pikiranmu tidak akan bisa memecahkan masalah. Tunggu, sepertinya handphonemu berdering.” Nomor yang sama kembali menghubungi Adrian meminta ia mencari alamat yang dikirimkan padanya. Mereka segera berangkat menaiki mobil Reza. Tak berselang lama mereka telah sampai ditempat yang mereka cari. Rumah tua yang terlihat sangat lusuh dan penuh dengan rerumputan yang tumbuh menjulang tinggi menutupi halaman rumah. Adrian bersama Reza berjalan perlahan, sebelum mereka beraksi Adrian menghubungi seseorang. Setelah itu mereka segera beraksi, saat mereka tengah melangkahkan kaki hal tak terduga terjadi. “Hahaha, tak ku sangka kamu begitu peduli padanya!” “Siapa kamu!” Seru Adrian dan Reza. “Kalian tidak perlu tau siapa aku, tapi yang perlu kalian
“Kenapa Ayahku selalu saja terlibat dalam perbuatan mereka. Sungguh sangat merasa putus asa. Aku kira pementasan yang sebelumnya akan membuatku naik daun. Tapi ternyata aku harus menyelesaikan masalah seperti ini.”“Kamu tidak bersalah Nara, jadi jangan pernah menyesali semua keputusan yang sudah kamu ambil,” ujar Adrian dengan lembut.Maya yang masih sibuk dengan laptopnya segera menyelesaikan semuanya. Setelah dirasa data mereka sudah cukup kini maya menyerahkan sebuah berkas penting. ia mendekati Nara mencoba menghiburnya. Nara berharap semua ini segera berakhir, karena ia sudah tidak tahan lagi dengan apa yang terjadi. Malam-malam yang ia lalui terasa begitu kelam. Namun ia harus selalu dituntun dengan keadaan.“Sudahlah Nara aku tahu kamu ingin sekali menjadi seorang yang mempunyai bakat. Bahkan ingin menjadi seorang penulis hebat seperti ayahmu. Tapi kamu dihadapkan dapam dua pilihan,” jawab Maya sambil mendekati Nara dan menyeka air matanya.“Terimakasih Maya kamu selalu ada u
Kegelapan menyelimuti ruangan, hanya diiringi oleh suara langkah kaki yang mendekat. Sutra terus berbicara, suaranya dingin dan penuh ejekan.“Tidak ada gunanya kalian lari,” katanya, suaranya menggema di gudang kosong itu. “Aku sudah memprediksi langkah kalian. Dan sekarang, aku ada di sini untuk mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku.”Nara merasa tubuhnya gemetar, tetapi genggaman Adrian di tangannya memberikan kekuatan yang tak ia sangka. Dengan napas tertahan, ia berbisik, “Kita harus keluar dari sini.”Adrian mengangguk pelan. "Ikuti aku. Maya, Reza, siapkan rencana keluar."Reza memberikan isyarat tangan kepada Adrian, lalu bergerak dengan sigap menuju bagian belakang gudang, mencari jalan keluar alternatif. Sementara itu, Maya sibuk menyimpan perangkat keras yang berisi data penting ke dalam tas kecilnya.Namun, langkah Sutra semakin dekat. Suaranya kini terdengar semakin tajam. “Jadi, ini yang tersisa dari keluarga Darma Yudha? Memalukan sekali.”Nara menggigi
Lorong menuju ruang arsip utama dipenuhi suara derap langkah penjaga yang mulai mendekat. Nara, Adrian, Reza, dan Maya bergerak dengan hati-hati, menjaga agar setiap langkah mereka tak mengundang perhatian. Pria tua yang sebelumnya mereka temui memberi petunjuk jalan sebelum bersembunyi kembali di salah satu ruangan. "Ruang arsipnya ada di ujung lorong ini," bisik Maya sambil memegang tablet yang memindai peta digital bangunan. "Tapi kita harus melewati setidaknya tiga lapis pengamanan." "Berapa banyak penjaga?" tanya Adrian, memeriksa pistolnya. "Setidaknya ada enam di area ini, tapi kita tidak tahu berapa banyak yang berjaga di depan ruang arsip," jawab Maya. Reza memberikan tanda tangan kepada tim untuk terus bergerak. “Kita harus melakukannya dengan cepat dan senyap. Kalau mereka tahu kita di sini, mereka bisa menghancurkan data sebelum kita sempat mendapatkannya.” Langkah mereka terhenti di depan pintu baja besar, salah satu lapisan pertama yang harus dilewati. Maya segera b
Ketika pintu ruang kendali terbuka, hawa dingin langsung menyergap tubuh Nara. Ruangan itu berbeda dari apa yang ia bayangkan. Tidak seperti laboratorium futuristik yang penuh dengan layar dan perangkat canggih. Sebaliknya, ruangan itu tampak seperti sebuah galeri seni yang gelap dan suram. Di dinding-dindingnya tergantung gambar-gambar besar, potret-potret hitam putih yang menyimpan kisah pilu para korban Aksara. Salah satu potret itu membuat langkah Nara terhenti, wajah Darma, ayahnya, terpampang di sana dengan tatapan kosong yang membekas di hati.“Ini... ayahku,” bisik Nara, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh emosinya.Adrian berjalan mendekat dan menatap potret itu dengan rahang yang mengeras. “Mereka menggunakan ini untuk menakut-nakuti kita. Jangan biarkan mereka menang.”Namun, Nara tak bisa memalingkan matanya. Di bawah potret itu, ada tulisan kecil dalam huruf yang nyaris tak terbaca: Kebenaran adalah kutukan bagi yang mencarinya.“Mereka bermain dengan psikologi kita,”
Langit malam begitu gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang remang-remang. Suara ombak yang menghantam pantai terdengar mengiringi langkah kaki mereka yang terbungkus dalam kesunyian malam. Waktu terus berputar, dan misi yang mereka rencanakan semakin dekat. Eden, tempat yang dikenal sebagai pusat operasi Aksara, sudah ada di depan mata. Namun, Nara tahu bahwa langkah mereka ke sana bukan hanya langkah menuju pulau terpencil itu, tapi juga langkah menuju sebuah konfrontasi yang bisa mengubah segalanya. Di ruang taksi yang tersembunyi di balik bayang-bayang kota, seluruh tim berkumpul di sekitar meja besar. Maya sudah menghubungi beberapa orang yang bisa membantu mereka, dan meskipun perlahan, mereka mulai mempersiapkan diri untuk keberangkatan. “Nara,” suara Adrian terdengar, lembut namun penuh kehangatan, “kamu yakin dengan keputusan ini? Kita akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kita kira.” Nara menatap Adrian, matanya yang penuh keteguhan bercampur kek
Pelarian mereka dari vila Sutra meninggalkan bekas luka yang mendalam, baik di hati Nara maupun di kelompoknya. Dalam keheningan malam, hanya suara napas yang terengah-engah dan daun-daun yang bergesekan dengan kaki mereka yang terdengar. Nara menggenggam dokumen-dokumen di tangannya erat, seolah itu adalah nyawa ayahnya yang tersisa. Mereka tiba di tempat persembunyian yang baru, sebuah bangunan tua yang tersembunyi di pinggiran kota. Adrian dengan cepat memastikan semua pintu dan jendela terkunci, sementara Maya mencoba menenangkan Nara yang menangis tanpa henti. “Nara...” suara Adrian memecah keheningan. Dia mendekat, duduk di samping Nara yang menundukkan kepala. “Aku tahu ini berat, tapi Ayahmu mengorbankan dirinya agar kamu bisa membawa dokumen ini keluar. Kita harus menghormati perjuangannya.” Nara mengangkat wajahnya, air mata masih mengalir di pipinya. “Aku meninggalkannya, Adrian. Aku bahkan tidak bisa menyelamatkan ayahku. Bagaimana aku bisa melanjutkan ini?” Adrian