Pagi hari yang mendung di pusat kota. Nara berjalan sendirian di trotoar yang sibuk, dengan tas ransel berisi dokumen di pundaknya. Dia memutuskan untuk memisahkan diri sementara dari Maya demi memastikan bahwa mereka tidak terlalu mencolok. Dengan langkah tergesa-gesa, dia menatap sekeliling, memastikan tidak ada yang mengikutinya.
Tanpa sadar, dia menabrak seseorang di persimpangan jalan. Benturan itu cukup keras sehingga ranselnya jatuh ke tanah, membuat beberapa dokumen terjatuh. Nara buru-buru menunduk untuk mengambilnya, sementara pria yang dia tabrak juga meraih dokumen-dokumen itu. Nara terlihat sedikit panik “Maaf, saya tidak meliha.” Dia berhenti berbicara ketika matanya bertemu dengan pria di depannya. Pria itu berpenampilan rapi, dengan wajah yang tampan dan penuh pesona. Rambutnya hitam pekat dan tersisir rapi, sementara matanya yang tajam tampak penuh perhatian. Dia tersenyum kecil. Pria itu berdiri sambil menyerahkan dokumen “Tidak apa-apa. Ini milikmu, kan?” Nara mengambil dokumen itu dengan canggung, merasa gugup karena tatapan pria itu begitu intens. Dia segera menghindari kontak mata dan mencoba memasukkan dokumen ke dalam ranselnya. Nara menjawab dengan singkat “Terima kasih.” Pria itu tersenyum ramah “Kamu terlihat terburu-buru. Apa aku boleh membantu?” Nara menjawab sambil menggelengkan kepalanya “Tidak, saya bisa mengurusnya sendiri.” Pria itu melihat sekilas ke arah dokumen yang sempat terbuka dan memperhatikan kata-kata seperti "korupsi," "pencucian uang," dan nama teater tempat Nara terlibat. Dia mengerutkan kening, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Pria itu sambil memperkenalkan diri “ Namaku Adrian, by the way. Kamu?” Nara menjawab singkat, sedikit ragu “Nara.” Dia mencoba melangkah pergi, tetapi Adrian, dengan sopan, mengikuti langkahnya. Dia bisa melihat bahwa Nara tampak gugup dan mungkin membutuhkan bantuan, meskipun dia tidak memintanya. Adrian sambil berjalan di sampingnya “Kelihatannya kamu sedang menghadapi sesuatu yang serius. Mungkin aku bisa membantu?” Nara sambil berhenti dan menatapnya curiga “Kenapa kamu ingin membantu? Kita bahkan tidak saling kenal. Adrian tersenyum, kali ini dengan nada yang lebih tulus. “Mungkin karena aku tahu bagaimana rasanya berjuang sendirian. Dan aku tidak bisa diam saja melihat seseorang yang mungkin butuh bantuan.” Nara tetap waspada, tetapi ada sesuatu dalam cara Adrian berbicara yang membuatnya sedikit lebih rileks. Namun, dia tetap tidak mengungkapkan apa pun tentang dokumen atau situasinya. Beberapa jam kemudian, Nara duduk di sebuah kafe kecil, mencoba menenangkan pikirannya. Dia terkejut ketika Adrian muncul lagi, membawa dua cangkir kopi. Dia duduk di meja Nara tanpa menunggu izin. Sambil meletakkan kopi “Aku nggak tahu kamu suka kopi apa, jadi aku ambil yang klasik saja.” Dengan nada sedikit protes “Bagaimana kamu tahu aku ada di sini?” Tertawa kecil “Aku cuma menebak. Tempat ini cocok untuk orang yang ingin berpikir.” Nara menghela napas, merasa sedikit kesal tetapi juga lelah untuk berdebat. Dia menyeruput kopi itu dengan ragu-ragu. Adrian terlihat begitu serius “Dengar, aku tahu kamu nggak percaya sama aku. Tapi aku bisa lihat bahwa apa pun yang kamu hadapi ini penting. Aku ingin membantu, Nara.” Nara terdiam, menimbang-nimbang apakah dia harus mempercayai Adrian. Namun, dia merasa dia tidak punya pilihan lain. Dia akhirnya berbicara dengan nada hati-hati. Nara sambil menatap Adrian “Apa yang membuatmu berpikir kamu bisa membantu?“ Menjawab dengan santai “Aku seorang pengacara. Dan aku cukup familiar dengan kasus-kasus seperti ini.” Nara terlihat terkejut, tetapi dia tetap mencoba menyembunyikan perasaannya. Adrian mengambil sesuatu dari sakunya, kartu nama dan menyerahkannya kepada Nara. “Kalau kamu butuh nasihat hukum atau seseorang yang tahu cara menghadapi orang-orang berkuasa, kamu bisa menghubungi aku.” Nara menatap kartu itu sejenak, lalu memasukkannya ke dalam tas. Meskipun masih ragu, dia mulai melihat Adrian sebagai seseorang yang mungkin bisa dia andalkan. Ketika Adrian pergi, dia tidak bisa berhenti memikirkan Nara. Ada sesuatu tentang gadis itu—rasa tanggung jawabnya, kekuatannya, dan juga kerentanannya—yang membuat Adrian merasa ingin melindunginya. Dia memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh tentang apa yang terjadi. Beberapa hari kemudian, Adrian secara tidak sengaja bertemu Maya saat dia mengunjungi salah satu tempat yang sering disebut dalam dokumen Nara. Maya, yang sedang mencari petunjuk lain, merasa kaget tetapi segera mengenali Adrian sebagai pria yang disebutkan Nara. “Kamu Adrian, kan? Nara bilang kamu mencoba membantu.” “Kamu pasti Maya. Senang bertemu denganmu.” Maya tetap waspada, tetapi setelah mendengar tawaran Adrian untuk membantu mereka dengan pengetahuannya tentang hukum, dia mulai melunak. Bersama-sama, mereka kembali menemui Nara, yang akhirnya setuju untuk membiarkan Adrian membantu mereka, meskipun dengan beberapa batasan. Di apartemen Maya, mereka bertiga membahas langkah selanjutnya. Adrian menunjukkan beberapa dokumen yang berhasil dia cari sendiri, yang ternyata relevan dengan kasus yang sedang mereka hadapi. “Ini adalah beberapa bukti tambahan tentang bagaimana organisasi itu mencuci uang. Kita bisa mulai dengan ini dan mencari saksi lain.” “Oke, tapi kita harus bergerak cepat. Mereka pasti tahu aku punya sesuatu yang penting.” Adrian menatap Nara dengan penuh kekaguman. Meskipun situasinya berbahaya, dia tidak mundur. Dalam hatinya, Adrian merasa semakin terhubung dengan Nara. Adrian, Nara, dan Maya kini bekerja sebagai tim kecil. Mereka berkumpul di apartemen Maya yang telah diubah menjadi markas sementara. Peta kota terhampar di atas meja, dikelilingi oleh dokumen, catatan kecil, dan potongan koran yang relevan. Adrian berdiri di depan, menjelaskan temuannya. “Aku menemukan sesuatu yang menarik. Salah satu rekening yang digunakan untuk mencuci uang organisasi itu terhubung ke sebuah perusahaan investasi fiktif di kawasan pinggiran kota ini.” Maya menatap peta “Jadi, kita harus menyelidiki tempat itu?” Adrian berbalik ke arah mereka “Tidak langsung. Aku pikir langkah pertama adalah mencari seseorang dari dalam perusahaan itu yang mungkin bersedia berbicara. Kita butuh bukti lebih kuat sebelum membawa ini ke publik atau pihak berwenang.” Nara menatap Adrian dengan penuh perhatian. Dia masih belum sepenuhnya mempercayai Adrian, tetapi selama beberapa hari terakhir, dia tidak bisa menyangkal bahwa pria itu memang sangat kompeten. “Kita harus hati-hati Adrian. Aksara pasti punya mata-mata di mana-mana. Mereka tidak akan tinggal diam jika tahu kita semakin dekat dengan pusat operasi mereka.” “Sambil tersenyum kecil “Nara selalu berpikir dua langkah ke depan, ya? Itu bagus.” Maya menyadari tatapan singkat Adrian ke arah Nara. Dia mendengus kecil, lalu pura-pura fokus pada dokumen lain, tidak ingin ikut campur dalam momen itu. Malam itu, Adrian dan Maya memutuskan untuk menyelidiki perusahaan investasi yang disebut Adrian. Mereka mengajak Nara untuk tetap di apartemen, tetapi dia bersikeras ikut. Ketiganya tiba di gedung kantor kecil yang tampak sederhana, tetapi suasana di sekitar tempat itu terasa aneh. Adrian menggunakan pengalamannya sebagai pengacara untuk mendapatkan akses ke dalam dengan berpura-pura sebagai klien. Maya dan Nara menunggu di luar sambil mengamati pergerakan. “Nara kamu yakin Adrian bisa mengurus ini sendirian?” Nara sambil menatap gedung “Dia kelihatan tenang, tapi aku tahu dia juga punya keraguan. Kita harus siap kalau sesuatu terjadi.” Beberapa menit kemudian, Adrian keluar dari gedung dengan langkah cepat, wajahnya tampak tegang. Dia langsung menghampiri Nara dan Maya. Dengan nada mendesak “Kita harus pergi. Sekarang.” Tanpa banyak bertanya, mereka bertiga masuk ke mobil Adrian dan melaju pergi. Setelah beberapa menit dalam keheningan, Adrian akhirnya berbicara sambil mengemudi. “Mereka tahu ada yang mengawasi. Aku mendengar salah satu karyawan menyebut nama Aksara. Mereka tidak main-main, Nara.” Nara menjawab dengan tenang “Itu berarti kita di jalur yang benar. Tapi kita harus bergerak lebih hati-hati.” Kembali di apartemen, suasana tegang. Nara dan Adrian mulai membahas langkah selanjutnya, tetapi diskusi mereka berubah menjadi perdebatan kecil. Dengan nada serius “Nara Kita harus melibatkan pihak berwenang sebelum ini semakin berbahaya. Kita tidak bisa terus berlari seperti ini.” “Dan bagaimana jika mereka juga terlibat? Kamu tahu seberapa dalam pengaruh Aksara. Kita tidak bisa sembarangan percaya pada siapa pun.” Adrian menatap Nara dengan intens “Jadi, kamu juga tidak mempercayai aku?” Nara terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Maya, yang menyaksikan dari sudut ruangan, memutuskan untuk turun tangan. “Hei, hei, kalian berdua. Kita ada di tim yang sama di sini. Nggak ada gunanya saling curiga sekarang.”Adrian menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Dia menatap Nara lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut. “Maaf. Aku hanya... Aku hanya ingin memastikan kamu aman, Nara.” Nara tersentuh oleh nada tulus Adrian, tetapi dia segera mengalihkan pandangannya, tidak ingin terlihat lemah. “Kita harus tetap fokus pada tujuan. Itu saja yang penting.” Malam semakin larut. Maya sudah tertidur di sofa, sementara Adrian dan Nara duduk di balkon apartemen kecil itu. Angin malam berhembus pelan, membawa suasana keheningan yang sesekali terisi oleh suara kendaraan di jalanan jauh di bawah. Keduanya memegang cangkir kopi hangat di tangan, meski pikiran mereka jelas masih penuh dengan kekhawatiran. Adrian sambil menatap keluar ke arah lampu kota. “Aku selalu percaya bahwa setiap orang punya batasannya. Tapi kamu, Nara... kamu sepertinya tidak pernah berhenti melampaui batas itu.” Nara menatap Adrian dengan alis terangkat. Dia menyesap kopinya dan berbicara dengan nada ringan. “
Setelah malam yang penuh ketegangan, pagi menjelang dengan kabut tipis menyelimuti kota. Di apartemen kecil itu, Nara, Adrian, dan Maya berkumpul di meja dapur, membahas rencana baru. Kopi hangat di cangkir mereka kini terasa hambar, kalah oleh berat pikiran yang mengisi kepala masing-masing. Nara membuka peta yang mereka ambil dari dokumen malam sebelumnya. “Kita harus mulai dari sini. Lokasi ini disebutkan sebagai salah satu pusat operasi Aksara. Jika kita bisa masuk, mungkin kita menemukan bukti untuk menjatuhkannya.” Adrian mengerutkan dahi, memperhatikan peta itu dengan seksama. “Tapi tempat ini dijaga ketat. Kita tidak bisa masuk begitu saja tanpa persiapan.” Maya, yang biasanya penuh candaan, kini berbicara dengan nada serius. “Aku kenal seseorang yang mungkin bisa membantu. Seorang mantan karyawan Aksara yang tahu seluk-beluk sistem keamanan mereka.” Nara mengangkat alis. “Kenapa kamu baru bilang sekarang?” Maya mengangkat bahu dengan cengiran kecil. “Kamu tidak pernah ta
Malam di balkon hotel itu menjadi awal dari percakapan yang tidak pernah Adrian atau Nara duga. Setelah begitu lama hidup dalam bayang-bayang pelarian dan ketakutan, ada sesuatu yang terasa berbeda. Udara malam yang dingin tidak mampu menyembunyikan kehangatan yang perlahan tumbuh di antara mereka.“Aku ingin tahu, kalau ini semua berakhir... apa yang akan kamu lakukan?” Kata Adrian tiba-tiba, memecah keheningan.Nara menatapnya, sedikit bingung dengan pertanyaan itu. “Maksudmu?”“Setelah Aksara jatuh. Setelah semua ini selesai. Apa yang kamu inginkan, Nara?”Nara terdiam, mencoba mencari jawaban yang tepat. Tapi setiap kali dia memikirkannya, kepalanya terasa penuh dengan keraguan. “Aku nggak tahu, Adrian. Aku nggak pernah berpikir sejauh itu. Selama ini, aku hanya fokus untuk bertahan hidup.”Adrian mengangguk pelan, memahami jawabannya. “Itu adil. Tapi... kamu berhak memikirkan tentang masa depan. Tentang kebahagiaanmu sendiri.”“Kebahagiaan, ya? Aku nggak yakin itu sesuatu yang bi
Fajar menyingsing, menyapu kegelapan malam dengan lembut. Rumah kecil di pinggiran kota itu masih hening. Maya tertidur di sofa, sementara Adrian tetap terjaga di kursi dekat jendela, memeriksa ponselnya untuk memastikan tidak ada perkembangan buruk. Nara, di sisi lain, duduk di ruang kerja kecil, mempelajari kembali peta dan catatan mereka. Tiba-tiba, telepon Maya yang berada di meja mulai bergetar pelan. Suara itu memecah keheningan dan membuat mereka semua waspada. Maya terbangun, langsung meraih teleponnya dan membaca pesan yang masuk. Wajahnya berubah tegang. “Berita tentang Aksara sudah menyebar luas,” katanya dengan suara serak. “Tapi ada yang aneh. Seorang sumber dari dalam mengatakan bahwa ada satu nama besar yang sengaja tidak disebutkan dalam dokumen kita.” Adrian mendekat, membaca pesan itu dari balik pundak Maya. “Maksudnya apa? Kita sudah memastikan semuanya lengkap sebelum menyerahkannya.” Maya menggeleng. “Entah bagaimana, nama itu berhasil dihapus. Tapi sumberk
Malam gelap menyelimuti gudang tua yang menjadi tempat persembunyian Nara, Adrian, Maya, dan kini Reza. Mereka semua berada di ujung kelelahan, tetapi semangat untuk melanjutkan perjuangan terus membara. Bukti-bukti di flash drive Reza menjadi nyala kecil harapan di tengah derasnya ancaman. Namun, ancaman itu tidak hanya datang dari luar. Ketegangan di antara mereka mulai terasa. Adrian, yang masih merawat luka Maya, sesekali melirik Reza dengan pandangan penuh curiga. “Kamu yakin tidak sedang memanfaatkan kami?” tanya Adrian tajam. Reza mendesah. “Kalau aku ingin menyerahkan kalian, aku sudah melakukannya sejak dulu. Aku kehilangan segalanya karena Aksara. Keluarga, pekerjaan, semuanya. Aku di sini untuk membalas dendam.” “Cukup,” potong Nara. Dia menatap Adrian dan Reza bergantian. “Kita tidak punya waktu untuk saling mencurigai. Yang penting sekarang, kita harus menyusun langkah berikutnya.” Reza mengeluarkan peta gedung utama Aksara dari dalam tasnya. “Ada satu tempat yang mun
Nara berdiri terpaku, tubuhnya kaku di hadapan Rendra Wijaya yang kini melangkah maju dengan senyum dingin penuh kemenangan. Di belakangnya, pengawal-pengawal bersenjata melangkah memasuki ruangan, membentuk barisan yang membuat pelarian menjadi mustahil. Adrian, Reza, dan Maya langsung bergerak melindungi Nara dan Darma, tetapi mereka tahu posisi mereka saat ini tidak menguntungkan.“Kalian sungguh berani! Menggali terlalu dalam dan mencoba merusak apa yang telah kami bangun selama bertahun-tahun. Apa kalian kira ini akan berakhir baik untuk kalian?” Ucap Rendra dengan nada santai, meski ada ancaman tajam yang tersirat dalam kata-katanya.Mata Nara memancarkan kemarahan. Dia berdiri tegak, menatap langsung ke arah Rendra. “Kami tidak takut padamu. Kau pikir dengan menahan ayahku, kau bisa menghentikan kami? Kau salah besar.”Rendra tertawa kecil. “Keberanianmu mengesankan, Nara. Tapi ini bukan cerita dongeng di mana keberanian akan menyelamatkanmu. Kau menghadapi Aksara sebuah kekuat
Pelarian mereka dari vila Sutra meninggalkan bekas luka yang mendalam, baik di hati Nara maupun di kelompoknya. Dalam keheningan malam, hanya suara napas yang terengah-engah dan daun-daun yang bergesekan dengan kaki mereka yang terdengar. Nara menggenggam dokumen-dokumen di tangannya erat, seolah itu adalah nyawa ayahnya yang tersisa. Mereka tiba di tempat persembunyian yang baru, sebuah bangunan tua yang tersembunyi di pinggiran kota. Adrian dengan cepat memastikan semua pintu dan jendela terkunci, sementara Maya mencoba menenangkan Nara yang menangis tanpa henti. “Nara...” suara Adrian memecah keheningan. Dia mendekat, duduk di samping Nara yang menundukkan kepala. “Aku tahu ini berat, tapi Ayahmu mengorbankan dirinya agar kamu bisa membawa dokumen ini keluar. Kita harus menghormati perjuangannya.” Nara mengangkat wajahnya, air mata masih mengalir di pipinya. “Aku meninggalkannya, Adrian. Aku bahkan tidak bisa menyelamatkan ayahku. Bagaimana aku bisa melanjutkan ini?” Adrian
Langit malam begitu gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang remang-remang. Suara ombak yang menghantam pantai terdengar mengiringi langkah kaki mereka yang terbungkus dalam kesunyian malam. Waktu terus berputar, dan misi yang mereka rencanakan semakin dekat. Eden, tempat yang dikenal sebagai pusat operasi Aksara, sudah ada di depan mata. Namun, Nara tahu bahwa langkah mereka ke sana bukan hanya langkah menuju pulau terpencil itu, tapi juga langkah menuju sebuah konfrontasi yang bisa mengubah segalanya. Di ruang taksi yang tersembunyi di balik bayang-bayang kota, seluruh tim berkumpul di sekitar meja besar. Maya sudah menghubungi beberapa orang yang bisa membantu mereka, dan meskipun perlahan, mereka mulai mempersiapkan diri untuk keberangkatan. “Nara,” suara Adrian terdengar, lembut namun penuh kehangatan, “kamu yakin dengan keputusan ini? Kita akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kita kira.” Nara menatap Adrian, matanya yang penuh keteguhan bercampur kek
Nara tak menyangka jika Adrian bisa sampai terluka parah bersimbah darah. Ia segera mamapah Adrian kedalam Apartemennya. Kemudian ia menutup pintu dan membawakan obat untuk segera membalut tangan Adrian yang terluka. “Adrian apa yang terjadi padamu? Kenapa bisa sampai seperti ini?” Tanya Nara dengan rasa khawatir yang menyelimuti dirinya, dan nampak begitu jelas di wajah Nara. “Aku tidak apa-apa, hanya tak sengaja menabrak seseorang saat akan keluar dari rumah.” Jawab Adrian mencari alasan agar Nara tidak terlalu mengawatirkan dirinya. “Kamu jangan membohongiku! Ini jelas-jelas luka senjata tajam, ini belati yang mengandung racun. Dan racunnya baru saja aku bersihkan, mungkin masih tersisa sedikit.” “Kamu tahu tentang obat-obatan Nara?” Tanya Adrian penasaran. Nara menganggukkan kepalanya, dan menjelaskan jika ia belajar mengenal obat-obatan sejak ia masih kecil, ia sering membuat berbagai macam ramuan herbal untuk segala penyakit. “Aku tak menyangka jika kau begitu teramp
Hati mereka begitu hancur mendengar Nara tak sadarkan diri. Setelah Nara dipindahkan keruangan VIP, mereka begitu tegang menunggu berjam-jam hingga jam 3 dini hari, Nara belum juga ada tanda-tanda perubahan. Adrian tak menyangka jika Nara akan seperti ini. Ditengah kegelisahannya. Datanglah Maya dan Reza yang baru saja membeli makanan untuk mereka. “Makanlah walau sedikit, jika kamu sakit siapa yang akan menjaga Nara nantinya?” Sambil menerima nasi jitak yang diberikan oleh maya untuknya. “Terimakasih May, maaf jadi merepotkanmu! Apa kalian sudah makan?” “Tidak apa, kebetulan kami sudah makan tadi diwarung makan. Kami bersyukur juga jam segini, masih ada warung makan yang buka.” Andrean merasa terharu dengan kebaikan sahabat, yang belum lama ia kenal. Keesokan paginya disaat mereka sedang terlelap tidur terdengar suara gelas terjatuh. Hingga membuat mereka terkejut. Saat mereka terbangun hak yang tak terduga terjadi pada pada Nara. “Nara, cepat tolong Nara! Sedangkan kau
Adrian dan Reza menjadi begitu panik ketika mendapatkan kabar yang tak terduga dari nomor tak dikenal. “Apa kamu bisa melacak nomor tersebut ?” tanya adrian yang terlihat begitu panik. “Kamu jangan terlalu panik, jika kamu bersikap seperti ini, pikiranmu tidak akan bisa memecahkan masalah. Tunggu, sepertinya handphonemu berdering.” Nomor yang sama kembali menghubungi Adrian meminta ia mencari alamat yang dikirimkan padanya. Mereka segera berangkat menaiki mobil Reza. Tak berselang lama mereka telah sampai ditempat yang mereka cari. Rumah tua yang terlihat sangat lusuh dan penuh dengan rerumputan yang tumbuh menjulang tinggi menutupi halaman rumah. Adrian bersama Reza berjalan perlahan, sebelum mereka beraksi Adrian menghubungi seseorang. Setelah itu mereka segera beraksi, saat mereka tengah melangkahkan kaki hal tak terduga terjadi. “Hahaha, tak ku sangka kamu begitu peduli padanya!” “Siapa kamu!” Seru Adrian dan Reza. “Kalian tidak perlu tau siapa aku, tapi yang perlu kalian
“Kenapa Ayahku selalu saja terlibat dalam perbuatan mereka. Sungguh sangat merasa putus asa. Aku kira pementasan yang sebelumnya akan membuatku naik daun. Tapi ternyata aku harus menyelesaikan masalah seperti ini.”“Kamu tidak bersalah Nara, jadi jangan pernah menyesali semua keputusan yang sudah kamu ambil,” ujar Adrian dengan lembut.Maya yang masih sibuk dengan laptopnya segera menyelesaikan semuanya. Setelah dirasa data mereka sudah cukup kini maya menyerahkan sebuah berkas penting. ia mendekati Nara mencoba menghiburnya. Nara berharap semua ini segera berakhir, karena ia sudah tidak tahan lagi dengan apa yang terjadi. Malam-malam yang ia lalui terasa begitu kelam. Namun ia harus selalu dituntun dengan keadaan.“Sudahlah Nara aku tahu kamu ingin sekali menjadi seorang yang mempunyai bakat. Bahkan ingin menjadi seorang penulis hebat seperti ayahmu. Tapi kamu dihadapkan dapam dua pilihan,” jawab Maya sambil mendekati Nara dan menyeka air matanya.“Terimakasih Maya kamu selalu ada u
Kegelapan menyelimuti ruangan, hanya diiringi oleh suara langkah kaki yang mendekat. Sutra terus berbicara, suaranya dingin dan penuh ejekan.“Tidak ada gunanya kalian lari,” katanya, suaranya menggema di gudang kosong itu. “Aku sudah memprediksi langkah kalian. Dan sekarang, aku ada di sini untuk mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku.”Nara merasa tubuhnya gemetar, tetapi genggaman Adrian di tangannya memberikan kekuatan yang tak ia sangka. Dengan napas tertahan, ia berbisik, “Kita harus keluar dari sini.”Adrian mengangguk pelan. "Ikuti aku. Maya, Reza, siapkan rencana keluar."Reza memberikan isyarat tangan kepada Adrian, lalu bergerak dengan sigap menuju bagian belakang gudang, mencari jalan keluar alternatif. Sementara itu, Maya sibuk menyimpan perangkat keras yang berisi data penting ke dalam tas kecilnya.Namun, langkah Sutra semakin dekat. Suaranya kini terdengar semakin tajam. “Jadi, ini yang tersisa dari keluarga Darma Yudha? Memalukan sekali.”Nara menggigi
Lorong menuju ruang arsip utama dipenuhi suara derap langkah penjaga yang mulai mendekat. Nara, Adrian, Reza, dan Maya bergerak dengan hati-hati, menjaga agar setiap langkah mereka tak mengundang perhatian. Pria tua yang sebelumnya mereka temui memberi petunjuk jalan sebelum bersembunyi kembali di salah satu ruangan. "Ruang arsipnya ada di ujung lorong ini," bisik Maya sambil memegang tablet yang memindai peta digital bangunan. "Tapi kita harus melewati setidaknya tiga lapis pengamanan." "Berapa banyak penjaga?" tanya Adrian, memeriksa pistolnya. "Setidaknya ada enam di area ini, tapi kita tidak tahu berapa banyak yang berjaga di depan ruang arsip," jawab Maya. Reza memberikan tanda tangan kepada tim untuk terus bergerak. “Kita harus melakukannya dengan cepat dan senyap. Kalau mereka tahu kita di sini, mereka bisa menghancurkan data sebelum kita sempat mendapatkannya.” Langkah mereka terhenti di depan pintu baja besar, salah satu lapisan pertama yang harus dilewati. Maya segera b
Ketika pintu ruang kendali terbuka, hawa dingin langsung menyergap tubuh Nara. Ruangan itu berbeda dari apa yang ia bayangkan. Tidak seperti laboratorium futuristik yang penuh dengan layar dan perangkat canggih. Sebaliknya, ruangan itu tampak seperti sebuah galeri seni yang gelap dan suram. Di dinding-dindingnya tergantung gambar-gambar besar, potret-potret hitam putih yang menyimpan kisah pilu para korban Aksara. Salah satu potret itu membuat langkah Nara terhenti, wajah Darma, ayahnya, terpampang di sana dengan tatapan kosong yang membekas di hati.“Ini... ayahku,” bisik Nara, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh emosinya.Adrian berjalan mendekat dan menatap potret itu dengan rahang yang mengeras. “Mereka menggunakan ini untuk menakut-nakuti kita. Jangan biarkan mereka menang.”Namun, Nara tak bisa memalingkan matanya. Di bawah potret itu, ada tulisan kecil dalam huruf yang nyaris tak terbaca: Kebenaran adalah kutukan bagi yang mencarinya.“Mereka bermain dengan psikologi kita,”
Langit malam begitu gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang remang-remang. Suara ombak yang menghantam pantai terdengar mengiringi langkah kaki mereka yang terbungkus dalam kesunyian malam. Waktu terus berputar, dan misi yang mereka rencanakan semakin dekat. Eden, tempat yang dikenal sebagai pusat operasi Aksara, sudah ada di depan mata. Namun, Nara tahu bahwa langkah mereka ke sana bukan hanya langkah menuju pulau terpencil itu, tapi juga langkah menuju sebuah konfrontasi yang bisa mengubah segalanya. Di ruang taksi yang tersembunyi di balik bayang-bayang kota, seluruh tim berkumpul di sekitar meja besar. Maya sudah menghubungi beberapa orang yang bisa membantu mereka, dan meskipun perlahan, mereka mulai mempersiapkan diri untuk keberangkatan. “Nara,” suara Adrian terdengar, lembut namun penuh kehangatan, “kamu yakin dengan keputusan ini? Kita akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kita kira.” Nara menatap Adrian, matanya yang penuh keteguhan bercampur kek
Pelarian mereka dari vila Sutra meninggalkan bekas luka yang mendalam, baik di hati Nara maupun di kelompoknya. Dalam keheningan malam, hanya suara napas yang terengah-engah dan daun-daun yang bergesekan dengan kaki mereka yang terdengar. Nara menggenggam dokumen-dokumen di tangannya erat, seolah itu adalah nyawa ayahnya yang tersisa. Mereka tiba di tempat persembunyian yang baru, sebuah bangunan tua yang tersembunyi di pinggiran kota. Adrian dengan cepat memastikan semua pintu dan jendela terkunci, sementara Maya mencoba menenangkan Nara yang menangis tanpa henti. “Nara...” suara Adrian memecah keheningan. Dia mendekat, duduk di samping Nara yang menundukkan kepala. “Aku tahu ini berat, tapi Ayahmu mengorbankan dirinya agar kamu bisa membawa dokumen ini keluar. Kita harus menghormati perjuangannya.” Nara mengangkat wajahnya, air mata masih mengalir di pipinya. “Aku meninggalkannya, Adrian. Aku bahkan tidak bisa menyelamatkan ayahku. Bagaimana aku bisa melanjutkan ini?” Adrian