“Oh, ayolah kawan. Berhenti menangis seperti bayi, sudah cukup oke!” Gauri gadis berambut pirang cerah itu mengelus pelan rambut hitam gelap milik sahabatnya yaitu Azura yang saat ini tengah menangis tiada henti.
“Aku ... aku tidak menyangka, jika mereka begitu kejam kepadaku.” Azura mengusap lelehan air mata di pipinya yang putih kemerahan tersebut. Wajahnya tampak sangat kacau, dia terlihat seperti seorang istri muda yang baru saja di aniaya oleh ibu mertua.
Gauri melingkari satu lengannya di sekitar leher sahabatnya tersebut, sedangkan tangan satunya kini mengusap punggung kecil Azura si gadis malang.
“Aku tahu, aku tahu. Tapi, menurutku menangis sampai suaramu habis dan juga air matamu kering itu tidak ada gunanya lagi. Mereka sudah mencabut beasiswa itu sekarang,” kata Gauri membuat Azura menangis lebih kencang lagi.
“Huaaa! Kembalikan beasiswa itu padaku,” raung Azura membuat salah satu teman laki-lakinya menggelengkan kepala dan berpikir jika teman seperjuangannya itu sudah mulai gila.
Menangis begitu kencang di kantin kampus yang sedang begitu ramai-ramainya, membuat Naim sedikit malu akan kelakuan Azura Edith itu.
“Berhenti menangis, kau tahu pihak kampus tidak akan peduli lagi. Nyatanya kau harus segera memikirkan sesuatu untuk bisa melanjutkan kuliahmu.” Naim memberi saran walau perkataannya agak mengesalkan untuk di dengar sekali pun.
Gauri telah membebaskan Azura dari pelukannya yang hangat dan menenangkan, sebagai teman. Gauri tentunya merasa sedikit kesal dengan keputusan tiba-tiba dari pihak kampus untuk mencabut beasiswa milik Azura, sebab tidak ada alasan yang kuat kenapa mereka melakukan hal kejam seperti itu pada gadis yang sudah mendedikasikan separuh hidupnya untuk menjadi mahasiswa yang pintar dan tidak pernah sedikit pun membuat kesalahan dalam studinya selama tiga semester ini.
Azura perlahan berhenti menangis, dia memasang wajah cemberut pada Naim teman kuliahnya itu. “Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Untuk lanjut ke semester depan, jelas membutuhkan banyak biaya. Uang kerja paruh waktu ku tentu tidak akan cukup.” Azura jelas sangat frustrasi, ada pikiran untuk menyerah. Tapi, jika dia menyerah sekarang. Bukankah itu terlalu cepat menunjukkan kepada Ibu angkatnya yang sudah membuangnya selama empat tahun yang lalu jika dirinya tidak bisa hidup tanpa bantuan keluarga Edith.
“Kau harus mencari pekerjaan yang lain, kurasa,” saran Naim yang kini menyingkirkan gelas kosong miliknya ke sisi lain.
“Seperti?” Azura bertanya dengan mata penuh harap menunggu Naim melanjutkan perkataannya.
Namun, hampir beberapa detik berlalu pemuda berkacamata tebal itu tidak kunjung melanjutkan ucapannya dan malah menaikkan sebelah alisnya memandang aneh Azura.
“Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanya Naim akhirnya.
Gauri memijat pelipisnya dengan pelan, pada dasarnya dia tidak terlalu mengerti kenapa dia bisa berteman dengan dua manusia aneh seperti Naim dan Azura.
“Ayolah Naim, Azura menatapmu seperti itu karena dia berpikir jika kau akan memberinya saran tempat pekerjaan yang bagus dan bergaji tinggi,” jelas Gauri yang kini mulai berprofesi sebagai penerjemah isi dari otak Azura.
Azura menganggukkan kepalanya dengan cepat. “Apa yang dikatakan oleh Gauri itu sepenuhnya benar, kau pikir kenapa aku mau repot-repot menatapmu dengan penuh harap seperti tadi, hah!” bentak Azura yang kini sudah kembali menjadi gadis ganas dan juga bermulut pedas tanpa perhitungan.
Naim terkekeh pelan dengan tangan yang mengepal menutup mulutnya untuk meredam tawa. “Ah, jadi begitu ... aku pikir tatapan yang kau berikan padaku adalah tatapan cinta,” katanya bergurau.
Azura tersenyum mengejek, “Cinta dalam mimpimu,” balasnya.
“Aku hanya bercanda sungguh! Jangan terlalu serius, sekarang hidupmu ke depan bergantung pada saranku. Karena terakhir kali aku memberi saran padamu itu sangat berguna.” Naim berkata dengan sombong seperti seekor burung merak yang melebarkan keindahaan dari ekornya.
“Ya, sekarang katakan.”
“Sebenarnya cukup mudah dan ini bukanlah hal yang sulit. Kau hanya perlu mencari ayah gula yang mau memberimu uangnya.”
Telinga Azura sedikit panas mendengarnya, itu jelas bukanlah saran yang bagus untuk dia lakukan sekarang. Azura hampir saja mengaktifkan otak jahatnya untuk mencekik temannya itu.
“Dan menjual tubuh begitu? Naim, kau tahu aku membencimu,” ujar Azura yang melempar kue muffin di atas meja mereka ke arah wajah Naim.
“Aku juga membencimu, tapi apa yang aku katakan itu salah? Hei itu pekerjaan mudah!”
Gauri mengibaskan tangannya dan mulai berdiri dari duduknya, pembicaraan mereka bertiga mulai keluar dari konteks permasalahan Azura yang sekarang resmi kehilangan status beasiswanya.
“Simpan omong kosong mu kawan. Azura mari kita pergi dan tinggalkan bocah yang mempunyai kapasitas otak dangkal seperti Naim di sini,” ajak Gauri yang dengan cepat mendapat persetujuan Azura dan tidak lupa gadis cantik itu memandang Naim dengan tatapan mencemooh sambil menunjuk beberapa makanan di atas meja. “Jangan lupa bayar Naim, sampai jumpa!” seru Azura yang segera menarik Gauri pergi dari keramaian kantin.
Meninggalkan teman mereka Naim di kantin sekaligus membuat pemuda itu membayar makanan mereka. Gauri dan Azura hendak kembali pulang ke rumah kost mereka, mata kuliah hari ini tidak terlalu banyak dan keduanya bisa pulang cepat tanpa perlu pusing memikirkan tugas yang banyak.
Akan tetapi ketika Gauri meminta Azura untuk menunggu dirinya sebentar selagi dia ingin ke toilet kampus. Seorang laki-laki yang mempunyai tubuh tinggi dan tegap, berjalan menuju arah di mana tempat Azura kini sedang berdiri menunggu Gauri.
Azura sendiri memiringkan kepalanya dengan mata menyipit, ada perasaan takut dan tidak nyaman ketika laki-laki berkemeja putih bersih serta celana khaki cream tersebut menatap dirinya sembari terus melanjutkan langkah.
Naluri untuk melarikan diri dari tatapan yang dia anggap mengerikan tersebut membuat Azura memundurkan langkahnya sedikit ke belakang, ketika laki-laki yang Azura akui mempunyai wajah tampan tersebut kini sudah berdiri di depan Azura menyisahkan dua langkah kaki untuk lebih dekat dengannya.
Azura menelan ludahnya dengan kasar ke tenggorokannya yang kering.
‘Siapa pria di hadapannya sekarang? Apa dia seorang Dosen?’ pikir Azura kebingungan dan juga agak gugup.
Wajah tegas dan juga mata yang menatap dirinya dengan tajam itu mulai membuka suara. “Apakah anda Nona Azura Edith?” tanya pria itu, suaranya yang berat dan juga lurus membuat Azura melebarkan matanya sambil menunjuk dirinya sendiri.
“Y-ya! Itu aku,” jawab Azura, lalu dia melanjutkan lagi dengan matanya yang menatap pria tersebut ragu-ragu. “Apa ada yang bisa saya bantu Pak?”
“Sebelumnya perkenalkan saya Hansa, Dosen prodi Sistem Informasi di kampus ini,” kata Hansa yang memperkenalkan dirinya pada Azura.
Azura mengangguk sambil tersenyum canggung. “Ah begitu ... saya Azura Edith, dan maafkan saya yang tidak mengenali bapak sebagai dosen di kampus ini.” Azura benar-benar mengutuk kebodohannya untuk tidak mengenal seorang pria yang jelas adalah dosen di kampusnya sendiri, bahkan Hansa adalah dosen jurusan Sistem Informasi yang merupakan prodi Azura sendiri.
“Tidak masalah, itu adalah hal yang bisa dimaklumi. Juga, saya di sini ingin menawarkan sebuah pekerjaan pada Azura,” ungkapnya menjelaskan maksud kehadirannya di depan Azura sekarang.
“Pekerjaan? Pekerjaan seperti apa Pak?”
“Menjadi Asisten saya, mengetahui jika anda adalah salah satu mahasiswa terbaik di angkatan anda sekarang. Saya berharap bisa meminta bantuan anda untuk menjadi asisten saya,” jawab Hansa langsung ke tujuan utamanya.
Azura ingin membalas namun Hansa sepertinya masih belum selesai berbicara. “Jangan khawatir mengenai gaji yang akan anda dapatkan, saya rasa itu akan cukup untuk membayar iuran kuliah anda sampai semester depan.”
Azura memandang dosennya dengan wajah meringis kecil, bagaimana Pak Hansa tahu jika dirinya sedang kesulitan memikirkan iuran kuliahnya di universitas swasta yang mahal ini. Apakah Dosen itu mendengar percakapannya dengan teman-temannya di kantin beberapa waktu lalu.
Azura seketika merasakan pusing menyerang kepalanya. Tawaran dari Hansa adalah sebuah harapan yang selama ini Azura inginkan. Menjadi asisten dosen adalah pekerjaan yang baik dan bisa memberinya banyak pengalaman.
Apalagi Hansa adalah dosen yang juga mengajar di jurusan sistem informasi, itu adalah nilai tambah untuk Azura belajar lebih tentang jurusannya sendiri.
“Bagaimana apa anda tertarik?” tanya Hansa akhirnya meminta kepastian.
Azura tanpa perlu menimbang baik atau buruknya pekerjaan tersebut segera menganggukkan kepalanya. “Saya tertarik! Jadi mulai kapan saya akan bekerja?”
Pertemuan dengan Hansa tadi siang di koridor kampus menurut Azura adalah sebuah keberuntungan. Dia sendiri sebenarnya tidak mengenal sosok dosen yang mempunyai gaya pakaian sangat rapi di kampusnya tersebut.Juga, Azura tidak pernah menyangka jika Hansa bisa mengenal dirinya. Bukankah sangat aneh mengetahui nama lengkap seseorang ketika kau hanya melihat mereka saat baru pertama kali bertemu?Memang sangat mencurigakan, tapi mengetahui jika Hansa adalah dosen di kampusnya, tentu membuat Azura harus berpikiran positif. Apalagi dosen muda itu sudah berbaik hati membantu dirinya dengan memberikan pekerjaan sebagai asisten dosen.Ya, begitulah yang Hansa katakan padanya tentang pekerjaannya nanti. Menjadi asisten dosen pastilah berhubungan dengan membantu beberapa pekerjaan dosen di bidang akademis.
Suara alarm yang disetel Azura di ponselnya berbunyi berkali-kali dan nyaris membuat telinga si pemilik ponsel itu sendiri tuli dibuatnya.Ini adalah hari libur dan seharusnya hari ini Azura gunakan sebaik mungkin untuk hibernasi panjang. Tubuhnya enggan untuk bangkit, dia mengerang pelan saat alarm itu menyala lagi.Dengan mata yang masih setengah terpejam, Azura segera melihat jam di layar utama ponselnya.Pukul 08.30 Pagi.Hal itu sontak membuat Azura segera bangkit, kepalanya terasa sangat pusing dan pandangannya berputar-putar ketika dia bangun secara cepat. "Aissh… Kepalaku." Azura menyentuh kepalanya dengan gerakan halus.Sudah hampir jam 9 pagi dan Azura baru ingat jika dia ada janji untuk bertemu dengan Hansa di apartemen dosennya itu. Azura dengan gerakan cepat menuju kamar mandi dan berganti pakaian. Dia tidak ada waktu lagi untuk berdandan sedemikian rupa.
"Saya tinggal tanda tangan saja kan?" Azura melihat surat kontrak kerja di map yang telah terbuka itu. Gadis muda itu tidak ingin repot membuang waktu untuk membaca beberapa perjanjian yg dibuat oleh Hansa. Azura sendiri akan mempercayai dosennya itu serta untuk isi perjanjian kontrak tersebut akan dia baca lain kali saja. Hansa menganggukkan kepalanya sambil menyeruput pelan teh rosella. "Ya, tapi apakah Azura tidak berniat untuk membaca lagi isi kontrak kerjanya?" Azura tersenyum dan meletakkan pulpen segera di atas meja tamu. "Tidak, saya sepenuhnya percaya dengan anda dan juga dari yang saya lihat sekilas di sini saya akan dibayar 6 juta satu bulan. Tapi ... apa ini tidak berlebihan?" Azura menatap Hansa yang masih terlihat tenang di sofa tunggalnya. "Itu adalah bayaran seimbang dengan pekerjaan anda sebagai asisten saya," jelas Hansa terdengar santai. Sedangkan Azura sendiri terd
Satu-satunya kesalahan yang telah dibuat oleh Azura di dalam hidupnya kemarin, yaitu menandatangani kontrak kerja dengan Hansa tanpa membaca lebih dahulu.Ucapan selamat dari Gauri benar-benar tidak membantu dirinya sama sekali. Sahabatnya itu jelas sangat senang melihat dia menderita karena pekerjaan barunya.Tidak ada jalan keluar maupun kembali bagi Azura sekarang. Dia harus bekerja dengan Hansa sebagai asisten dosennya itu, entah itu jadi babysitter anaknya atau asisten Hansa di kampus."Aisssh, ini membuatku gila," rutuk Azura yang mengacak rambutnya ketika dia menatap cermin di kamarnya.Bagaimana dia bisa menjaga anak-anak Hansa yang jumlahnya cukup banyak. Tiga bayi laki-laki kecil yang dilihatnya kemarin sudah cukup membuat Azura bisa membayangkan masa depannya kelak.Akan ada banyak tangisan rewel bayi kecil yang harus dia hibur dan dijaga. Terlebih, dosennya itu ternyata sudah mempunyai istri yang lumayan cantik. Sangat menghera
Azura meremas tangannya dengan perasaan gelisah dan tidak tenang. Dia tidak pernah bermaksud menyebarkan rumor palsu mengenai pasangan hidup dan status hubungan Hansa yang ternyata hanya kesalahpahaman semata. Oliver adalah adik Hansa, meski wajahnya tidak mirip sama sekali dengan Hansa. Tapi gadis yang sekarang duduk di kursi depan tepat di samping Hansa yang saat ini mengemudi tersebut, terus tersenyum senang melihat dirinya. Azura duduk di tengah-tengah anak-anak Hansa yang entah mengapa sejak perkenalan mereka secara resmi beberapa menit lalu di apartemen. Ketiga balita kembar itu menjadi sangat lengket dengannya. Tampaknya ketiga balita itu kini menganggap Azura adalah induk baru mereka, menggantikan Oliver yang katanya akan sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang wedding organizer di bulan ini. Itu sebabnya Hansa mencari pengganti adiknya yang bisa mengurus anak-anaknya mulai sekarang. Anak-anak Hansa mempunyai wajah yang lucu dan juga menggem
Gauri dan Naim terkejut ketika mereka melihat sahabat mereka saat ini sedang tertidur di dalam kelas mata kuliah pertama. Pemandangan yang sangat langka mengetahui jika Azura datang sepagi ini untuk belajar, harusnya gadis itu tidak perlu datang pagi-pagi sekali untuk duduk di kursi depan sebab kampus mereka tidak lagi memberikan beasiswa padanya.Gauri yang notabene anti duduk di barisan depan saat kuliah sekarang, mau tidak mau mendekati temannya itu. Naim pun turut ikut ditarik secara paksa dan pemuda itu hanya menurut saja.Azura tertidur dengan kepala yang sekarang berada di atas meja, rambutnya tergerai tanpa diikat. Gauri dan Naim bisa melihat ada guratan dan garis-garis lelah di bawah mata Azura.“Apakah pekerjaan sebagai asisten dosen itu sangat berat?” tanya Naim yang sudah mengetahui pekerjaan baru Azura dari Gauri. Sedangkan Gauri menyeka beberapa rambut yang menutupi sebagian wajah Azura ke belakang teli
Hansa tidak tahu apa yang membuat ayahnya sampai menelponnya secara pribadi di siang hari seperti sekarang ini. Lelaki tua yang merupakan CEO dari perusahaan Artificial intelligence Ehren Technology di Amerika serikat sekarang itu harusnya tidak perlu merepotkan dirinya sendiri untuk menelpon Hansa. Quirin Ehren yang super sibuk itu rela membuang waktunya yang berharga hanya untuk meminta Hansa datang ke acara perjamuan yang telah dia persiapkan besok. Kabar itu terlalu mendadak dan Hansa tentu saja menolak keras untuk ikut dalam acara perjamuan bisnis ayahnya itu. Sudah lama dia tidak pernah lagi berurusan dengan bisnis keluarganya dan bertukar sapa dengan Quirin dan juga ibu tirinya. Tapi, ayahnya yang terkenal bersifat keras kepala dan otoriter itu tidak menerima penolakan yang Hansa ucapkan padanya. "Ayah tidak mau tahu, besok Deon akan menjemputmu. Jadi, persiapkan dirimu dan jangan berani-berani membantah atau kau akan tahu sendiri akiba
Eleanor keluar dari mobilnya, sejak awal dia mengikuti Hansa yang pergi dengan perasaan kesal dan marah. Eleanor juga tidak tahu hal apa yang bisa membuat Hansa— pria yang dia kenal tidak pernah marah itu menjadi murka hanya karena berbicara melalui panggilan telpon.Dia melihat kembali ponsel Hansa yang rusak di jok sampingnya. Sangat disayangkan ponsel keluaran terbaru yang mahal itu harus hancur tanpa harga diri seperti itu. Wanita itu menghela napasnya pelan, kemudian mengamati lagi Hansa yang saat ini berjalan menuju sebuah bar yang cukup terkenal di kota mereka.