Suara alarm yang disetel Azura di ponselnya berbunyi berkali-kali dan nyaris membuat telinga si pemilik ponsel itu sendiri tuli dibuatnya.
Ini adalah hari libur dan seharusnya hari ini Azura gunakan sebaik mungkin untuk hibernasi panjang. Tubuhnya enggan untuk bangkit, dia mengerang pelan saat alarm itu menyala lagi.
Dengan mata yang masih setengah terpejam, Azura segera melihat jam di layar utama ponselnya.
Pukul 08.30 Pagi.
Hal itu sontak membuat Azura segera bangkit, kepalanya terasa sangat pusing dan pandangannya berputar-putar ketika dia bangun secara cepat. "Aissh… Kepalaku." Azura menyentuh kepalanya dengan gerakan halus.
Sudah hampir jam 9 pagi dan Azura baru ingat jika dia ada janji untuk bertemu dengan Hansa di apartemen dosennya itu. Azura dengan gerakan cepat menuju kamar mandi dan berganti pakaian. Dia tidak ada waktu lagi untuk berdandan sedemikian rupa.
Masa bodoh dengan penampilannya yang ala kadarnya, ini adalah hari libur dan tidak ada yang bisa mengaturnya ketika dia bebas dari jam kuliah di kampusnya.
Azura hanya mengenakan kaus blus berwarna baby blue yang mempunyai tulisan 'Wonder Girl' di bagian dadanya dan celana jeans tiga per empat yang warnanya senada dengan kaus yang dia pakai. Tidak lupa Azura mengikat tinggi rambutnya yang cukup panjang dengan ikat rambut putih bercorak kelinci imut.
Lalu, satu sentuhan akhir adalah lip balm rasa cherry mint sudah terpoles di bibir kecil nan merah milik Azura.
Sempurna!
Dia terlihat sangat fresh meskipun bangun kesiangan. Meraih tas punggung kecil berwarna putih yang biasa dia pakai untuk jalan-jalan, dengan segera Azura keluar dari kamar kost miliknya.
Sebuah kebetulan, Gauri juga baru saja keluar dari kamar kost yang berada tepat di samping kamar kost Azura.
"Oh, Hai! Apakah hari ini kau akan mulai menemui Pak Hansa?" tanya Gauri yang masih mengusap matanya sebelah, sangat jelas terlihat temannya itu baru bangun tidur.
Azura mengangguk lambat. "Ya, aku akan menandatangani kontraknya. Setelah itu aku segera pulang," jawab Azura yang mengunci pintu kamar kost nya.
"Hmm begitu, baiklah hati-hati jika terjadi sesuatu padamu. Segera hubungi aku ok! Nomor ku tetap berada di panggilan darurat utama bukan?"
"Selalu," kata Azura yang segera bersiap pergi. "Aku pergi dulu!"
"Ya! Semoga berjalan lancar!"
***
Azura sekarang berada di lobi utama apartemen yang sangat mewah di kota tempat dia tinggal. Hebatnya lagi, sejak pertama kali dia berada di luar gerbang depan apartemen bertingkat puluhan itu. Ada banyak security dan juga beberapa penjaga di sana yang selalu siap siaga.
Sejenak Azura berpikir jika apartemen ini tampak terlalu mewah untuk seorang dosen yang mengajar di sebuah universitas swasta.
Azura tahu gaji dosen yang mengajar di universitas swasta itu tentu besar. Tapi, apa benar gajinya itu bisa membeli salah satu apartemen yang bersih dan kemungkinan besar lantainya bisa dijilat.
Haruskah Azura mulai berspekulasi jika dosennya yang bernama Hansa itu adalah anak orang kaya, yang secara kebetulan bekerja sebagai dosen di kampusnya hanya untuk menyibukkan diri.
"Ada yang bisa saja bantu Nona?"
Pertanyaan dari resepsionis apartemen itu menegur Azura yang sibuk dalam pikirannya sendiri memecahkan lamunan Azura.
"Nona?"
"Ah, hahaha ... Maafkan saya, saya sempat melamun tadi. Apakah ini benar Fancy Diamond Apartemen?"
"Ya Nona, itu benar. Apakah ada yang bisa saya bantu untuk nona?" tanya resepsionis itu lagi pada Azura dan kali ini Azura melihat ada tatapan sedikit meremehkan berkilat di mata resepsionis perempuan itu.
Azura tahu penampilannya yang terlihat biasa saja seperti sekarang memang agak mencurigakan datang ke apartemen mewah seperti ini.
"Saya hendak bertemu dengan Pak Hansa, beliau tinggal di apartemen ini." Azura mengeluarkan kartu nama Hansa dan meletakkannya di atas meja resepsionis yang sontak membuat resepsionis yang tadinya memandang rendah dirinya dengan cepat tersenyum munafik yang memuakkan.
"Anda tamunya Tuan Hansa, tentu saja saya akan segera memberi kabar ini pada Tuan Hansa. Jika boleh saya tahu, siapa nama anda Nona?"
"Azura, katakan itu saja padanya." Azura menjawab dengan malas.
Resepsionis itu mengangguk dan menyambungkan panggilan pada Hansa.
Tidak perlu membutuhkan waktu yang lama. Resepsionis itu segera memberitahu Azura nomor apartemen Hansa dan juga lantai berapa apartemen dosen muda itu berada.
Tanpa banyak basa-basi dan membuang waktu, Azura segera melenggang menuju apartemen Hansa.
Anehnya, kali ini jantungnya berdegup agak kencang dari biasanya.
Apa dia gugup?
Ini hanyalah pertemuan normal dan Azura cuma perlu menandatangani kontrak singkat dan membicarakan gajinya nanti.
Tapi perasaan gugup itu tetap saja terus menghantui dirinya karena bagaimanapun ini adalah kali pertama bagi Azura untuk mengunjungi rumah seorang dosen dan yang lebih buruknya dia akan masuk ke dalam apartemen seorang dosen laki-laki muda.
Lelah dengan segala macam pemikiran berat yang bersarang di kepalanya, Azura sampai tidak menyadari jika lift sudah terbuka dan dia kini sudah lebih dekat dengan apartemen milik Hansa.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk Azura mencari pintu apartemen yang sangat bersih dan juga terawat itu.
Namun, belum sempat Azura melakukan panggilan melalui intercom di pintu apartemen tersebut. Pintu apartemen itu segera di buka, menampilkan sosok menawan dosen muda berwajah tampan yang bernama Hansa itu.
Azura sendiri sempat terpaku, melihat penampilan dosennya itu menyambut kedatangannya dengan setelan baju yang sangat amat rapi dan juga berkelas.
Sangat berbeda sekali dengan penampilan Azura yang santai.
"Haruskah saya pulang lagi dan berganti pakaian?" Itu adalah pertanyaan yang sangat tidak terduga keluar dari mulut Azura.
Sehingga ketika dia tersadar dengan pertanyaan bodohnya itu. Azura tersenyum malu.
"Konyol," ucap Hansa sambil tersenyum miring. "Anda tidak perlu berganti pakaian, ini bukan sesi wawancara kerja. Jadi, silakan masuk," sambungnya membuat Azura mengangguk dan melangkah masuk ke dalam apartemen mewah milik Hansa.
Dia tidak pernah berpikir dirinya akan berada di dalam apartemen yang terlihat sangat luas dan benar-benar bersih. Katakan saja dia berlebihan atau norak. Tapi, bagi seorang gadis yang sudah hidup mandiri selama hampir empat tahun itu. Azura sangat kagum melihat kediaman yang bernuansa putih itu.
Apakah dia baru saja masuk ke pintu surga?
Namun, lagi-lagi dia menggelengkan kepalanya. Ini bukan surga, melainkan trial surga.
"Apakah ini benar rumah anda Pak?" tanya Azura ketika dirinya diam-diam melirik guci mahal yang besar di samping pintu masuk.
"Ini rumah saya sendiri. Apa ada yang salah?"
Azura segera menggelengkan kepalanya, lalu berucap dengan nada gugup yang terburu-buru.
"Tidak! Tentu tidak ada yang salah sama sekali, ini sempurna!" katanya sambil tersenyum lebar pada Hansa yang sekarang menatap dirinya dengan tersenyum tipis.
"Baiklah, sebelum kita mulai membicarakan kontrak kerja. Apakah anda mau kopi atau teh?" tawar Hansa yang merupakan tuan rumah baik hati itu.
Azura menggeleng, "Tidak perlu repot-repot, Pak. Saya tidak terbiasa minum teh dan kopi, air putih saja sudah cukup," jawab Azura membuat Hansa mengerti.
"Baik, selagi menunggu saya membawa minuman. Silakan duduk dengan nyaman," ucap Hansa yang segera berlalu menuju dapur.
Azura menjatuhkan tubuhnya untuk terduduk di sofa berbahan lembut. Sesekali dirinya melihat-lihat beberapa barang-barang unik di apartemen dosennya itu.
Dari sekian banyak barang yang terlihat mahal dan berkelas, ada satu barang yang menarik perhatian Azura.
Gadis itu perlahan bangkit untuk melihat lebih dekat barang tersebut. Sebuah keterkejutan merambat ke dalam tubuh Azura.
Itu adalah empeng bayi, ada tiga buah empeng bayi yang diletakkan secara sembarangan di atas meja kayu jati bergaya modern itu.
'Apakah Pak Hansa benar seorang bujangan?' gumam Azura sambil terus mengamati empeng berwarna-warni tersebut.
Sebab, dari info yang Azura dapatkan secara singkat tentang Pak Hansa dari Gauri yakni, jika dosennya itu adalah bujangan ting-ting yang sama sekali belum pernah dekat dengan orang lain apalagi menjalin hubungan.
Meskipun fakta mengatakan dia adalah bujangan, lalu apa-apaan empeng bayi yang masih tampak segar dengan air liur di depan mata Azura sekarang?
"Azura sedang apa anda berdiri di sana?" tanya Hansa pada Azura.
Azura menoleh dan tersenyum lalu mengelap tangannya di bajunya.
"Ah... tidak ada, saya hanya sedang melihat-lihat koleksi bapak saja," jawab Azura yang kembali duduk dengan sopan di sofa empuk milik Hansa.
"Tidak perlu memanggil saya Pak, kita tidak sedang berada di lingkungan kampus. Hansa saja sudah cukup," jelas Hansa membuat Azura menatapnya dengan tatapan rumit.
"Usia kita hanya berbeda lima tahun. Bersikap selayaknya saja, saya sendiri lebih senang dipanggil Hansa," katanya lagi.
Azura menunduk menatap cangkir berisi air putih dingin dan juga ada sepiring cookies cokelat siap untuk dimakan oleh Azura.
"Saya hanya merasa tidak etis, memanggil seseorang yang merupakan dosen saya sendiri di kampus dengan sebutan nama, rasanya sangat aneh," ungkap Azura.
"Saya telah mengizinkan anda untuk memanggil saya dengan nama dan tidak ada yang salah di sini. Jadi, mari kita bicarakan kontrak kerjanya."
Wajah Hansa sendiri tidak menunjukkan jika dia keberatan, sedangkan Azura di sisi lain tersenyum tipis.
"Baik Pak-uhm maksud saya Hansa," balas Azura yang sepertinya harus mulai terbiasa menyebut nama dosennya itu.
'Ini sangat canggung!' jerit Azura di dalam hati.
"Saya tinggal tanda tangan saja kan?" Azura melihat surat kontrak kerja di map yang telah terbuka itu. Gadis muda itu tidak ingin repot membuang waktu untuk membaca beberapa perjanjian yg dibuat oleh Hansa. Azura sendiri akan mempercayai dosennya itu serta untuk isi perjanjian kontrak tersebut akan dia baca lain kali saja. Hansa menganggukkan kepalanya sambil menyeruput pelan teh rosella. "Ya, tapi apakah Azura tidak berniat untuk membaca lagi isi kontrak kerjanya?" Azura tersenyum dan meletakkan pulpen segera di atas meja tamu. "Tidak, saya sepenuhnya percaya dengan anda dan juga dari yang saya lihat sekilas di sini saya akan dibayar 6 juta satu bulan. Tapi ... apa ini tidak berlebihan?" Azura menatap Hansa yang masih terlihat tenang di sofa tunggalnya. "Itu adalah bayaran seimbang dengan pekerjaan anda sebagai asisten saya," jelas Hansa terdengar santai. Sedangkan Azura sendiri terd
Satu-satunya kesalahan yang telah dibuat oleh Azura di dalam hidupnya kemarin, yaitu menandatangani kontrak kerja dengan Hansa tanpa membaca lebih dahulu.Ucapan selamat dari Gauri benar-benar tidak membantu dirinya sama sekali. Sahabatnya itu jelas sangat senang melihat dia menderita karena pekerjaan barunya.Tidak ada jalan keluar maupun kembali bagi Azura sekarang. Dia harus bekerja dengan Hansa sebagai asisten dosennya itu, entah itu jadi babysitter anaknya atau asisten Hansa di kampus."Aisssh, ini membuatku gila," rutuk Azura yang mengacak rambutnya ketika dia menatap cermin di kamarnya.Bagaimana dia bisa menjaga anak-anak Hansa yang jumlahnya cukup banyak. Tiga bayi laki-laki kecil yang dilihatnya kemarin sudah cukup membuat Azura bisa membayangkan masa depannya kelak.Akan ada banyak tangisan rewel bayi kecil yang harus dia hibur dan dijaga. Terlebih, dosennya itu ternyata sudah mempunyai istri yang lumayan cantik. Sangat menghera
Azura meremas tangannya dengan perasaan gelisah dan tidak tenang. Dia tidak pernah bermaksud menyebarkan rumor palsu mengenai pasangan hidup dan status hubungan Hansa yang ternyata hanya kesalahpahaman semata. Oliver adalah adik Hansa, meski wajahnya tidak mirip sama sekali dengan Hansa. Tapi gadis yang sekarang duduk di kursi depan tepat di samping Hansa yang saat ini mengemudi tersebut, terus tersenyum senang melihat dirinya. Azura duduk di tengah-tengah anak-anak Hansa yang entah mengapa sejak perkenalan mereka secara resmi beberapa menit lalu di apartemen. Ketiga balita kembar itu menjadi sangat lengket dengannya. Tampaknya ketiga balita itu kini menganggap Azura adalah induk baru mereka, menggantikan Oliver yang katanya akan sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang wedding organizer di bulan ini. Itu sebabnya Hansa mencari pengganti adiknya yang bisa mengurus anak-anaknya mulai sekarang. Anak-anak Hansa mempunyai wajah yang lucu dan juga menggem
Gauri dan Naim terkejut ketika mereka melihat sahabat mereka saat ini sedang tertidur di dalam kelas mata kuliah pertama. Pemandangan yang sangat langka mengetahui jika Azura datang sepagi ini untuk belajar, harusnya gadis itu tidak perlu datang pagi-pagi sekali untuk duduk di kursi depan sebab kampus mereka tidak lagi memberikan beasiswa padanya.Gauri yang notabene anti duduk di barisan depan saat kuliah sekarang, mau tidak mau mendekati temannya itu. Naim pun turut ikut ditarik secara paksa dan pemuda itu hanya menurut saja.Azura tertidur dengan kepala yang sekarang berada di atas meja, rambutnya tergerai tanpa diikat. Gauri dan Naim bisa melihat ada guratan dan garis-garis lelah di bawah mata Azura.“Apakah pekerjaan sebagai asisten dosen itu sangat berat?” tanya Naim yang sudah mengetahui pekerjaan baru Azura dari Gauri. Sedangkan Gauri menyeka beberapa rambut yang menutupi sebagian wajah Azura ke belakang teli
Hansa tidak tahu apa yang membuat ayahnya sampai menelponnya secara pribadi di siang hari seperti sekarang ini. Lelaki tua yang merupakan CEO dari perusahaan Artificial intelligence Ehren Technology di Amerika serikat sekarang itu harusnya tidak perlu merepotkan dirinya sendiri untuk menelpon Hansa. Quirin Ehren yang super sibuk itu rela membuang waktunya yang berharga hanya untuk meminta Hansa datang ke acara perjamuan yang telah dia persiapkan besok. Kabar itu terlalu mendadak dan Hansa tentu saja menolak keras untuk ikut dalam acara perjamuan bisnis ayahnya itu. Sudah lama dia tidak pernah lagi berurusan dengan bisnis keluarganya dan bertukar sapa dengan Quirin dan juga ibu tirinya. Tapi, ayahnya yang terkenal bersifat keras kepala dan otoriter itu tidak menerima penolakan yang Hansa ucapkan padanya. "Ayah tidak mau tahu, besok Deon akan menjemputmu. Jadi, persiapkan dirimu dan jangan berani-berani membantah atau kau akan tahu sendiri akiba
Eleanor keluar dari mobilnya, sejak awal dia mengikuti Hansa yang pergi dengan perasaan kesal dan marah. Eleanor juga tidak tahu hal apa yang bisa membuat Hansa— pria yang dia kenal tidak pernah marah itu menjadi murka hanya karena berbicara melalui panggilan telpon.Dia melihat kembali ponsel Hansa yang rusak di jok sampingnya. Sangat disayangkan ponsel keluaran terbaru yang mahal itu harus hancur tanpa harga diri seperti itu. Wanita itu menghela napasnya pelan, kemudian mengamati lagi Hansa yang saat ini berjalan menuju sebuah bar yang cukup terkenal di kota mereka.
Oliver menggenggam ponselnya dengan perasaan geram yang membuncah dadanya. Tidak, tidak seharusnya dia marah, pikirnya berusaha menenangkan emosinya saat ini. Dia tidak pernah menyangka jika ayah tirinya akan mengambil tindakan sendiri untuk mengundang Hansa datang ke acara perjamuan besok. Ibunya yang baru saja memberitahu kabar itu juga turut cemas. Mereka berdua, sangat takut akan ketegangan yang terjadi besok antara Hansa dan Quirin Ehren yang terhomat itu. "Sial, kenapa dia mengundang Kak Hansa ke perjamuan besok? Pak Tua itu, setelah bertahun-tahun tidak peduli pada putra keduanya. Akhirnya menelpon secara pribadi... amat sangat mencurigakan," gumam Oliver yang sekarang meletakan ponselnya ke sofa dan turun bergabung ke kumpulan anak-anak angkat Hansa yang saat ini sibuk bermain bersama. Ihsan yang menyadari jika gadis muda itu duduk di sampingnya mulai tersenyum senang. Deretan gigi susu yang putih menyambut wajah lelah dan penuh beban dari Oli
"Hansa memiliki masalah yang rumit dengan ayah kandungnya," ucap Oliver yang mulai bercerita. Anak-anak Hansa yang duduk di karpet bulu halus di bawah mereka tidak terlalu memedulikan pembicaraan kedua wanita muda di belakang mereka yang sekarang duduk di sofa. Azura menatap Oliver dengan wajah penasaran. "Mereka sering bertengkar?" Azura menebak dan dibalas anggukan kepala dari Oliver. "Itu benar, Hansa adalah kakak tiriku. Dulu saat aku pertama kali masuk dalam kehidupan kelurga Ehren. Baik ayah tiriku dan juga Hansa memang sudah tidak akur. Aku rasa itu mungkin ada hubungannya dengan kematian dari ibu kandung Hansa. Hansa sangat membenci ayahnya yang menurutnya selalu mengatur dirinya." Oliver menceritakan alasan Hansa membenci orang tuanya sendiri. "Mungkinkah penyebab mabuknya kali ini juga ada hubungannya dengan ayahnya?" tanya Azura. Oliver lagi-lagi mengangguk, gadis yang sedang dia ajak bicara ini memang pandai menebak. "Itu benar, ay