Pertemuan dengan Hansa tadi siang di koridor kampus menurut Azura adalah sebuah keberuntungan. Dia sendiri sebenarnya tidak mengenal sosok dosen yang mempunyai gaya pakaian sangat rapi di kampusnya tersebut.
Juga, Azura tidak pernah menyangka jika Hansa bisa mengenal dirinya. Bukankah sangat aneh mengetahui nama lengkap seseorang ketika kau hanya melihat mereka saat baru pertama kali bertemu?
Memang sangat mencurigakan, tapi mengetahui jika Hansa adalah dosen di kampusnya, tentu membuat Azura harus berpikiran positif. Apalagi dosen muda itu sudah berbaik hati membantu dirinya dengan memberikan pekerjaan sebagai asisten dosen.
Ya, begitulah yang Hansa katakan padanya tentang pekerjaannya nanti. Menjadi asisten dosen pastilah berhubungan dengan membantu beberapa pekerjaan dosen di bidang akademis.
"Kau yakin, jika Pak Hansa menawari mu pekerjaan untuk menjadi asistennya? Ini beneran Pak Hansa kan?" Gauri masih belum bisa menerima kenyataan jika temannya Azura benar-benar bertemu dengan Dosen yang merupakan pujaan hati para mahasiswi di kampus mereka.
Azura mengangguk sambil mengunyah keripik kentang yang dia beli di minimarket dekat dengan tempat kost nya. "Aku tidak pernah berbohong padamu Gauri, kau tahu itu." Azura menjentikkan jari-jari tangannya yang penuh bumbu kepada temannya.
Gauri memutar matanya malas, "Kemarin kau baru saja berbohong padaku, kau makan cake stroberi milikku di atas meja dan kau bilang cake itu dimakan tikus! Jangan bilang kau lupa," kata Gauri sambil memiringkan bibirnya.
Azura terkekeh malu. "Oh iya, lupakan itu. Tapi, Gauri kenapa kau tampak terkejut jika Pak Hansa menawari aku pekerjaan. Bukannya itu biasa terjadi di antara dosen dan mahasiswa. Di mana dosen mencari mahasiswa yang bisa dia jadikan asistennya? Menurutku ini adalah kesempatan bagus untuk pengalaman baru."
"Tidak … aku hanya kaget saja, apa kau baru pertama kali bertemu Pak Hansa?" Gauri bertanya sambil melihat wajah temannya yang banyak bumbu menempel di sudut bibirnya itu. Menjijikkan? Oh tentu tidak, Azura malah terlihat sangat menggemaskan. Dia seperti anak berumur tiga tahun yang baru belajar makan.
"Ya, tadi adalah pertemuan pertama kami. Jujur, aku bahkan baru tahu kalau dia adalah dosen di kampus kita," ucap Azura dengan pengakuan polosnya. "Lalu, Gauri. Kau sendiri sepertinya tampak mengenal Pak Hansa."
"Hah, siapa yang tidak mengenal Pak Hansa! Dia itu dosen idola para gadis di kampus kita? Aku sendiri malah bertanya-tanya kenapa kau tidak histeris saat melihat wajahnya yang tampan itu!" Gauri berkata sambil menyentil dahi Azura kuat, sehingga membuat temannya itu meringis.
"Untuk apa aku histeris?! Well, wajahnya memang tampan. Tapi cara bicaranya kaku, seperti kakek-kakek yang hidup di zaman perang!" seru Azura yang mengusap dahinya dengan wajah bersungut marah.
"Bagus! Kau mengakui dia tampan, terus kapan kau mulai bekerja dengannya?"
Azura menggeleng dan membuang bungkus keripik kentangnya dengan cara diremas lalu dilempar dengan sembarangan. Gauri yang melihatnya bergidik. "Aku tidak tahu kapan pastinya, tapi dia memberi ku kartu namanya dan memintaku untuk datang ke apartemen miliknya besok," jawab Azura yang segera meneguk air dengan rakus dari botol mineral yang berada di atas nakas.
"Dia mengundangmu ke apartemennya? Oh, tidak! Ini adalah berita terpanas. Sejauh yang aku ketahui, Pak Hansa tidak pernah memberitahu alamatnya pada mahasiswa secara sembarangan. Tapi … tapi lihat dirimu!" Gauri menunjuk temannya dengan wajah bahagia. "Kau berpeluang besar mendapatkan hati Pak Hansa!" lanjutnya berlebihan.
Azura tertawa dengan wajah mencibir pada temannya itu. "Ahaha… maaf tapi aku benar-benar tidak berpikiran untuk mendapatkan hati seorang laki-laki yang bahkan baru aku temui kurang dari 24 jam. Besok aku akan datang ke tempat Pak Hansa lalu menandatangani kontrak kerja ku saja, mengerti."
"Tapi, apa kau yakin akan bekerja dengan Pak Hansa. Kau mungkin tidak mempunyai waktu untuk kerja paruh waktu lagi nanti. Apa tidak masalah? Maksudku, apa kau benar-benar tidak ingin meminta bantuan pada keluarga angkat mu? Sebab, bagaimanapun juga status mu di keluarga Edith tetaplah anak di bawah tanggungan mereka."
Gauri tahu tentang masa lalu Azura, temannya itu harus mati-matian bekerja mencari uang sendiri untuk pendidikannya karena konflik yang terjadi antara Azura dan ibu angkatnya.
Azura tersenyum lemah, "Secara hukum, aku memang masih di bawah tanggungan mereka. Tapi, aku sendiri yang pergi dari rumah itu. Jadi secara otomatis aku harus hidup mandiri, aku bahkan tidak ingin berurusan dengan keluarga itu lagi," terang Azura yang sepertinya menjadi murung ketika Gauri mengungkit dan menyebut nama keluarga Edith lagi.
"Maafkan aku oke, aku tidak bermaksud membuat dirimu mengingat mereka lagi. Aku hanya, ingin kamu mendapatkan hakmu dan hidup bahagia tanpa perlu bersusah payah mencari uang saat kamu bahkan sulit menghidupi dirimu sendiri."
"Akan tetapi, jika kamu memutuskan untuk tetap keras. Aku akan mendukungmu dan membantumu. Ingatlah, kau tidak sendirian. Kau punya aku dan juga Naim, Azura." Gauri menggenggam tangan Azura dan meremasnya sedikit bertenaga.
Azura tersenyum, "Terima kasih, aku tidak tahu bagaimana jadinya hidupku ke depan jika kalian tidak bersama dengan ku," balas Azura tulus.
Malam harinya, saat Azura masih sibuk bergelut mengerjakan beberapa tugas project akhir mata kuliah basis data yang akan dia kumpulkan dua hari lagi. Gadis dengan rambut kuncir kuda yang diikat tinggi tersebut melirik ponselnya yang bergetar, menampilkan sebuah notifikasi pesan dari nomor yang tidak dikenalnya.
Tangan Azura segera menggapai ponselnya dan memeriksa isi dari pesan tersebut. Namun, hal yang cukup mengejutkan membuat Azura melebarkan sedikit pupil matanya.
Itu Hansa!
'Selamat malam, Azura. Ini nomor saya Hansa.'
Lalu muncul lagi pesan baru dari nomor milik Hansa membuat Azura buru-buru membacanya. Tanpa membalas secepat mungkin, karena sepertinya dosennya itu masih belum menjelaskan maksudnya.
'Silakan simpan nomor saya dan besok datanglah pukul 9 pagi ke apartemen saya untuk menyelesaikan kontrak kerja anda. Kita akan membahas masalah gaji dan juga aturan kerja.'
Azura membaca dengan cermat pesan dari Hansa, kemudian membalasnya secepat kilat.
'Selamat malam juga. Baik Pak!'
Setelah membalas pesan dari Hansa, Azura segera menyingkirkan ponselnya dan kembali fokus untuk menyelesaikan tugasnya karena setidaknya dia sudah bisa bernapas lega sekarang dan tidak perlu khawatir tentang bayaran kuliahnya untuk semester depan.
Kontrak itu, dengan segera akan Azura tanda tangani. Sebab itulah harapan satu-satunya bagi Azura agar tidak bergantung pada keluarga Edith lagi.
Sudah cukup baginya hidup sebagai orang luar di dalam keluarga itu. Meskipun jauh di dalam lubuk hatinya terdalam dia sangat merindukan sosok Kakak angkat perempuannya yang sangat dia sayangi yaitu Luisa. Orang yang benar-benar menganggap dirinya adalah bagian dari keluarga Edith hanya gadis itu.
Namun, dia tidak bisa bertemu lagi dengan sosok gadis baik hati tersebut. Mengingatnya saja sudah membuat hati Azura menjadi sakit. Azura memejamkan kedua matanya rapat dan menarik napas pelan, hubungan keluarga itu memang sangat rumit.
Suara alarm yang disetel Azura di ponselnya berbunyi berkali-kali dan nyaris membuat telinga si pemilik ponsel itu sendiri tuli dibuatnya.Ini adalah hari libur dan seharusnya hari ini Azura gunakan sebaik mungkin untuk hibernasi panjang. Tubuhnya enggan untuk bangkit, dia mengerang pelan saat alarm itu menyala lagi.Dengan mata yang masih setengah terpejam, Azura segera melihat jam di layar utama ponselnya.Pukul 08.30 Pagi.Hal itu sontak membuat Azura segera bangkit, kepalanya terasa sangat pusing dan pandangannya berputar-putar ketika dia bangun secara cepat. "Aissh… Kepalaku." Azura menyentuh kepalanya dengan gerakan halus.Sudah hampir jam 9 pagi dan Azura baru ingat jika dia ada janji untuk bertemu dengan Hansa di apartemen dosennya itu. Azura dengan gerakan cepat menuju kamar mandi dan berganti pakaian. Dia tidak ada waktu lagi untuk berdandan sedemikian rupa.
"Saya tinggal tanda tangan saja kan?" Azura melihat surat kontrak kerja di map yang telah terbuka itu. Gadis muda itu tidak ingin repot membuang waktu untuk membaca beberapa perjanjian yg dibuat oleh Hansa. Azura sendiri akan mempercayai dosennya itu serta untuk isi perjanjian kontrak tersebut akan dia baca lain kali saja. Hansa menganggukkan kepalanya sambil menyeruput pelan teh rosella. "Ya, tapi apakah Azura tidak berniat untuk membaca lagi isi kontrak kerjanya?" Azura tersenyum dan meletakkan pulpen segera di atas meja tamu. "Tidak, saya sepenuhnya percaya dengan anda dan juga dari yang saya lihat sekilas di sini saya akan dibayar 6 juta satu bulan. Tapi ... apa ini tidak berlebihan?" Azura menatap Hansa yang masih terlihat tenang di sofa tunggalnya. "Itu adalah bayaran seimbang dengan pekerjaan anda sebagai asisten saya," jelas Hansa terdengar santai. Sedangkan Azura sendiri terd
Satu-satunya kesalahan yang telah dibuat oleh Azura di dalam hidupnya kemarin, yaitu menandatangani kontrak kerja dengan Hansa tanpa membaca lebih dahulu.Ucapan selamat dari Gauri benar-benar tidak membantu dirinya sama sekali. Sahabatnya itu jelas sangat senang melihat dia menderita karena pekerjaan barunya.Tidak ada jalan keluar maupun kembali bagi Azura sekarang. Dia harus bekerja dengan Hansa sebagai asisten dosennya itu, entah itu jadi babysitter anaknya atau asisten Hansa di kampus."Aisssh, ini membuatku gila," rutuk Azura yang mengacak rambutnya ketika dia menatap cermin di kamarnya.Bagaimana dia bisa menjaga anak-anak Hansa yang jumlahnya cukup banyak. Tiga bayi laki-laki kecil yang dilihatnya kemarin sudah cukup membuat Azura bisa membayangkan masa depannya kelak.Akan ada banyak tangisan rewel bayi kecil yang harus dia hibur dan dijaga. Terlebih, dosennya itu ternyata sudah mempunyai istri yang lumayan cantik. Sangat menghera
Azura meremas tangannya dengan perasaan gelisah dan tidak tenang. Dia tidak pernah bermaksud menyebarkan rumor palsu mengenai pasangan hidup dan status hubungan Hansa yang ternyata hanya kesalahpahaman semata. Oliver adalah adik Hansa, meski wajahnya tidak mirip sama sekali dengan Hansa. Tapi gadis yang sekarang duduk di kursi depan tepat di samping Hansa yang saat ini mengemudi tersebut, terus tersenyum senang melihat dirinya. Azura duduk di tengah-tengah anak-anak Hansa yang entah mengapa sejak perkenalan mereka secara resmi beberapa menit lalu di apartemen. Ketiga balita kembar itu menjadi sangat lengket dengannya. Tampaknya ketiga balita itu kini menganggap Azura adalah induk baru mereka, menggantikan Oliver yang katanya akan sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang wedding organizer di bulan ini. Itu sebabnya Hansa mencari pengganti adiknya yang bisa mengurus anak-anaknya mulai sekarang. Anak-anak Hansa mempunyai wajah yang lucu dan juga menggem
Gauri dan Naim terkejut ketika mereka melihat sahabat mereka saat ini sedang tertidur di dalam kelas mata kuliah pertama. Pemandangan yang sangat langka mengetahui jika Azura datang sepagi ini untuk belajar, harusnya gadis itu tidak perlu datang pagi-pagi sekali untuk duduk di kursi depan sebab kampus mereka tidak lagi memberikan beasiswa padanya.Gauri yang notabene anti duduk di barisan depan saat kuliah sekarang, mau tidak mau mendekati temannya itu. Naim pun turut ikut ditarik secara paksa dan pemuda itu hanya menurut saja.Azura tertidur dengan kepala yang sekarang berada di atas meja, rambutnya tergerai tanpa diikat. Gauri dan Naim bisa melihat ada guratan dan garis-garis lelah di bawah mata Azura.“Apakah pekerjaan sebagai asisten dosen itu sangat berat?” tanya Naim yang sudah mengetahui pekerjaan baru Azura dari Gauri. Sedangkan Gauri menyeka beberapa rambut yang menutupi sebagian wajah Azura ke belakang teli
Hansa tidak tahu apa yang membuat ayahnya sampai menelponnya secara pribadi di siang hari seperti sekarang ini. Lelaki tua yang merupakan CEO dari perusahaan Artificial intelligence Ehren Technology di Amerika serikat sekarang itu harusnya tidak perlu merepotkan dirinya sendiri untuk menelpon Hansa. Quirin Ehren yang super sibuk itu rela membuang waktunya yang berharga hanya untuk meminta Hansa datang ke acara perjamuan yang telah dia persiapkan besok. Kabar itu terlalu mendadak dan Hansa tentu saja menolak keras untuk ikut dalam acara perjamuan bisnis ayahnya itu. Sudah lama dia tidak pernah lagi berurusan dengan bisnis keluarganya dan bertukar sapa dengan Quirin dan juga ibu tirinya. Tapi, ayahnya yang terkenal bersifat keras kepala dan otoriter itu tidak menerima penolakan yang Hansa ucapkan padanya. "Ayah tidak mau tahu, besok Deon akan menjemputmu. Jadi, persiapkan dirimu dan jangan berani-berani membantah atau kau akan tahu sendiri akiba
Eleanor keluar dari mobilnya, sejak awal dia mengikuti Hansa yang pergi dengan perasaan kesal dan marah. Eleanor juga tidak tahu hal apa yang bisa membuat Hansa— pria yang dia kenal tidak pernah marah itu menjadi murka hanya karena berbicara melalui panggilan telpon.Dia melihat kembali ponsel Hansa yang rusak di jok sampingnya. Sangat disayangkan ponsel keluaran terbaru yang mahal itu harus hancur tanpa harga diri seperti itu. Wanita itu menghela napasnya pelan, kemudian mengamati lagi Hansa yang saat ini berjalan menuju sebuah bar yang cukup terkenal di kota mereka.
Oliver menggenggam ponselnya dengan perasaan geram yang membuncah dadanya. Tidak, tidak seharusnya dia marah, pikirnya berusaha menenangkan emosinya saat ini. Dia tidak pernah menyangka jika ayah tirinya akan mengambil tindakan sendiri untuk mengundang Hansa datang ke acara perjamuan besok. Ibunya yang baru saja memberitahu kabar itu juga turut cemas. Mereka berdua, sangat takut akan ketegangan yang terjadi besok antara Hansa dan Quirin Ehren yang terhomat itu. "Sial, kenapa dia mengundang Kak Hansa ke perjamuan besok? Pak Tua itu, setelah bertahun-tahun tidak peduli pada putra keduanya. Akhirnya menelpon secara pribadi... amat sangat mencurigakan," gumam Oliver yang sekarang meletakan ponselnya ke sofa dan turun bergabung ke kumpulan anak-anak angkat Hansa yang saat ini sibuk bermain bersama. Ihsan yang menyadari jika gadis muda itu duduk di sampingnya mulai tersenyum senang. Deretan gigi susu yang putih menyambut wajah lelah dan penuh beban dari Oli