"Saya tinggal tanda tangan saja kan?" Azura melihat surat kontrak kerja di map yang telah terbuka itu. Gadis muda itu tidak ingin repot membuang waktu untuk membaca beberapa perjanjian yg dibuat oleh Hansa.
Azura sendiri akan mempercayai dosennya itu serta untuk isi perjanjian kontrak tersebut akan dia baca lain kali saja.
Hansa menganggukkan kepalanya sambil menyeruput pelan teh rosella. "Ya, tapi apakah Azura tidak berniat untuk membaca lagi isi kontrak kerjanya?"
Azura tersenyum dan meletakkan pulpen segera di atas meja tamu. "Tidak, saya sepenuhnya percaya dengan anda dan juga dari yang saya lihat sekilas di sini saya akan dibayar 6 juta satu bulan. Tapi ... apa ini tidak berlebihan?" Azura menatap Hansa yang masih terlihat tenang di sofa tunggalnya.
"Itu adalah bayaran seimbang dengan pekerjaan anda sebagai asisten saya," jelas Hansa terdengar santai.
Sedangkan Azura sendiri terdiam. Nominal Gaji itu, terlalu besar dan bagi Azura uang sebanyak itu tentu cukup untuk membayar uang kuliahnya. Dosen mudanya itu tampaknya memang orang yang sangat kaya.
Meskipun tidak masuk akal untuk dosen swasta seperti Hansa memberi gaji sebanyak itu pada Azura.
Jiwa miskin Azura yang selama ini terkubur tiba-tiba bergetar. Dia merasa seperti sugar babby dari seorang ayah gula sekarang.
Tapi, apakah Hansa masih bisah dikategorikan sebagai Sugar Daddy?
"Apa masih ada sesuatu yang ingin anda tanyakan tentang pekerjaan ini Azura?" tanya Hansa yang kini menatap mahasiswanya itu dengan tatapan mata yang bisa menembus tubuh Azura.
Azura seketika merasakan tenggorokannya menjadi kering, dia juga tidak tahu harus bertanya apalagi. Sebab, semuanya sudah sangat sesuai dan melihat nominal gaji itu saja membuat Azura menyeringai puas.
"Tidak ada."
"Kalau begitu, mulai besok anda bisa bekerja."
"Besok?"
Azura dengan matanya yang bulat dan menarik seperti rusa itu mengerjap-ngerjapkan kedua matanya.
"Ya besok, ada masalah?"
"Tapi besok adalah hari minggu? Apa yang harus saya lakukan di hari libur besok? Apakah saya akan datang ke kampus?"
Hansa tersenyum sangat tipis. "Tidak perlu datang ke kampus, besok datanglah ke apartemen ini lagi. Ada pekerjaan untuk anda," katanya santai.
"Ah ... begitu, baiklah." Azura mengulum senyum. "Pak Hansa... tidak maksud saya Hansa, bisakah kita tidak berbicara dengan bahasa formal yang kaku seperti sekarang? Saya hanya merasa tidak nyaman menggunakan Saya dan Anda dalam percakapan kita." Azura mengatakan keluhannya.
Dia sendiri ingin bersikap santai saat berbicara dengan dosennya itu. Jika Hansa sudah memperbolehkan dirinya memanggil dosen mudanya itu dengan namanya langsung. Mungkin tidak masalah jika mereka menggunakan aku kamu saat memanggil satu sama lain.
Hansa sepertinya sedikit mengerutkan alisnya. Walaupun begitu, dia segera menguasai air mukanya.
"Saran yang bagus, kamu harus nyaman saat berbicara dengan ku. Apakah lebih baik?" tanya Hansa membuat Azura mengangguk dan lagi-lagi senyuman Azura yang cerah tersebut membuat Hansa tertegun sejenak, gadis itu sangat indah ketika tersenyum seperti itu seakan-akan keberadaannya bisa memberikan cahaya kebahagiaan di hidup Hansa yang selama ini muram.
"Mohon kerja samanya."
***
Setelah Hansa dan Azura selesai dengan urusan mereka, Azura segera pamit untuk pulang. Hansa mengantar gadis itu sampai di depan lift, akan tetapi ketika lift di lantai apartemen Hansa terbuka. Azura bisa melihat ada seorang gadis yang membawa tiga balita kembar bersamanya keluar dari lift tersebut.
Hanya butuh beberapa detik sampai Azura melebarkan matanya saat gadis yang sekarang menggendong salah satu dari balita itu, menyeringai ke arahnya dan kemudian tatapannya segera berpaling ke Hansa, pria yang sekarang berdiri di samping Azura.
"Lihat! Itu Daddy!" seru gadis yang Azura tidak ketahui asal usulnya itu menunjuk Hansa dan menyebut dosen mudanya itu dengan panggilan Ayah.
Para balita kecil itu yang melihat sosok Hansa tersenyum dan tertawa riang, kaki-kaki mungil mereka berlarian di koridor apartemen mewah yang untungnya sedang sepi tersebut.
"Daddy! Daddy!"
Azura menoleh sesaat ke Hansa. Sedangkan pria yang tadinya melebarkan matanya agak terkejut melihat gadis dan tiga balita itu, kini mulai menguasai emosi di wajahnya.
Ada senyuman tipis terlihat dari bibir Hansa yang tertarik sedikit ke atas sehingga memperlihatkan lekukan samar tersebut.
Di sisi lain, gadis dengan dress merah darah yang mencolok dan juga sepatu hak tinggi sekitar lima senti itu berjalan perlahan dan sedikit berhati-hati menuju ke arah tempat di mana Hansa dan Azura berdiri.
Azura memperkirakan jika gadis itu berumur sekitar 20 tahunan lebih, atau kemungkinan besar dia seumur dengan Hansa.
"Hai Sayang, apa urusanmu sudah selesai?" tanya gadis itu dengan suaranya yang terdengar centil, yang sanggup membuat bulu lengan Azura meremang mendengarnya.
Hansa menatap gadis itu dengan mata menyipit tajam. Dia terlihat jelas tidak suka atau lebih tepatnya kesal dengan kedatangan gadis itu.
Azura sendiri lebih memilih diam, merasa tidak mendapatkan respon yang sesuai dengan keinginannya. Gadis itu melepaskan bayi dari gendongannya dan mengangkatnya ke depan wajah Hansa, seperti layaknya simba kecil.
"Oh, lihat Daddy sayang. Dia tidak menjawab pertanyaan Mommy," kata gadis itu terluka.
Hansa yang memang kelihatan muak sejak awal segera mengambil balita itu dari tangan gadis di hadapannya.
"Ini belum jam satu," ucap Hansa.
Gadis itu tersenyum dan mengibaskan rambut panjangnya yang berkilau itu. Lalu melirik jam mahal yang melingkar di tangan kirinya. "Ups, aku tidak melihat jam. Aku pikir ini sudah jam satu, setidaknya aku mengantarkan anakmu dua jam lebih awal dari perjanjian," balas gadis itu sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Hansa mendengus dan melirik Azura yang sedari tadi hanya diam dan memperhatikan keduanya.
"Azura, jangan lupa besok kamu sudah mulai bekerja. Datanglah jam 9 pagi dan bawa jadwal kuliahmu juga."
"Baik, kalau begitu saya permisi. Semoga hari kalian menyenangkan." Setelah berpamitan Azura segera melangkahkan kakinya dan masuk ke dalam lift.
Pintu lift dengan lambat tertutup dan Azura masih bisa melihat bagaimana gadis dengan lipstik merah itu melambai kepadanya dan tersenyum ramah.
"Sampai bertemu lagi," ucap gadis itu dari mulutnya yang bisa Azura tangkap dan Azura hanya membalas dengan anggukan kepala sampai pintu lift benar-benar tertutup dan dia tidak lagi melihat mereka.
***
Hansa membawa ketiga balita laki-laki yang merupakan anaknya itu masuk ke dalam apartemen miliknya dan gadis yang sedari tadi bersama dengannya juga ikut masuk.
Sadar akan perbuatannya yang akan menimbulkan kemarahan Hansa, gadis itu mengelus pelan lengan kokoh Hansa.
"Kakak, maafkan aku ya?"
Gadis itu menepuk-nepuk pelan lengan Hansa sambil disertai dengan wajah tersenyum yang penuh tipu muslihat itu.
Hansa menyentak tangan gadis tersebut dan memutar tubuhnya menghadap gadis itu. "Kau sudah melewati batasanmu," ucap Hansa dengan wajah marah membuat gadis itu menundukkan kepalanya tidak berani menatap mata Hansa yang menakutkan jika sedang marah.
"Aku hanya bercanda," cicitnya membuat Hansa menghela napas kasar.
"Oliver kau membuat sebuah kesalahpahaman pada mahasiswaku," kata Hansa yang sekarang menggiring balita-balita kecil itu ke ruang tamu.
Oliver gadis yang merupakan adik tiri Hansa itu mengerutkan bibirnya. "Salah paham yang seperti apa? Aku hanya bermain-main saja sebentar, aku rasa dia juga tidak terlalu peduli dengan hubungan kita."
Hansa menghadap ke adiknya itu dan menyentil dahi adiknya keras. "Ouch! Memangnya siapa gadis itu? Seumur hidupku menjadi adik tirimu, aku tidak pernah tahu kalau kau ternyata diam-diam mempunyai hubungan gelap dengan mahasiswamu sendiri," ujar Oliver penasaran.
"Bukan hubungan gelap, dia akan bekerja padaku."
Oliver tersenyum sinis, "Bekerja ya, meragukan."
"Lalu, pekerjaan seperti apa yang kau berikan padanya? Aku tahu kau bukanlah orang yang mudah memberikan sebuah pekerjaan pada orang lain."
"Asistenku," jawab Hansa cepat.
"Asisten?" Oliver menaikkan sebelah alisnya dan mencari sebuah kebenaran dari raut wajah kaku Kakak tirinya itu.
"Ya."
"Beri aku kontrak kerjanya, aku ingin tahu lebih jelas," pinta Oliver yang kini tersenyum licik dan itu jelas membuat Hansa harus menahan diri atas sikap adiknya itu.
***
"Kau tidak bohong kan? Benar-benar tidak bohong!" Gauri meremas kedua bahu Azura dengan gemas.
Azura mengangguk dan sebisa mungkin menjauh dari Gauri, sebab takut terkena percikan air ludah temannya itu.
"Oh tidak! Tidak! Ini tidak mungkin." Gauri meremas rambutnya agak frustrasi.
Azura yang sudah terlepas dari cengkeraman Gauri segera menyingkir dan berkacak pinggang. "Kenapa kau selalu histeris Gauri, apa salahnya jika Pak Hansa sudah menikah dan dia juga sudah punya tiga anak kembar. Asal kau tahu saja," terang Azura yang terdengar santai pada temannya itu yang kini mengigit ujung selimutnya.
"Salah! Tentu saja itu salah, kau tahu kami para penggemar Pak Hansa berpikir jika dia masih bujangan. Info mengenai dia sudah menikah itu tidak pernah terdengar sama sekali, tapi kau dengan mudahnya berkata dia sudah menikah! Ah, astaga kepalaku terasa pusing." Gauri ingin berbaring di kasur empuk miliknya.
Azura menatap penuh iba temannya itu, "Aku turut berduka, sepertinya sekelompok gadis penggemar dosen bujangan sudah saatnya berhenti berharap," katanya. "Satu lagi, besok aku akan mulai bekerja dengan Pak Hansa," ungkap Azura membuat Gauri yang sedang meratap kembali melihat wajah polos temannya itu.
"Di hari minggu? Kau bercanda?"
"Ya, aku serius."
Gauri mendecak, "Apa yang dia pikirkan memintamu untuk bekerja di hari minggu dan apa kau sudah membaca kontrak kerjamu?"
Azura menggaruk belakang lehernya.
"Ah, belum," jawabnya dengan kedua mata yang melihat ke bawah.
Gauri otomatis mencubit lengan Azura kesal. Temannya itu memang selalu pemalas untuk membaca hal-hal penting seperti kontrak.
"Apa maksudnya belum! Astaga Azura, kenapa tidak dibaca dulu?"
"Kau tahu ini sakit!"
"Aku tidak peduli dan di mana salinan kontrak kerjamu? Aku harus membacanya, bisa-bisanya anak mantan beasiswa sepertimu bisa lengah tidak membaca kontrak lebih dahulu sebelum tanda tangan. Ini pasti karena kau sudah melihat nominal gajimu," omel Gauri terlihat mirip seperti ibu-ibu yang marah pada anaknya yang ceroboh.
Azura sendiri memberikan sebuah map pada Gauri, temannya itu memang selalu protektif pada dirinya. "Ini."
Tangan Gauri dengan cepat menyambar map tersebut dan membaca isi dari kontrak kerja Azura dan Hansa.
Namun, ketika dia membaca beberapa poin di kontrak tersebut. Gauri kemudian menatap wajah temannya dengan sedih.
"Harusnya kau baca ini terlebih dahulu. Ini bukan pekerjaan asisten dosen yang kau impikan Azura," kata Gauri membuat Azura memasang wajah penuh tanda tanya.
"Maksudnya?"
"Pada dasarnya kau memang akan bekerja sebagai asisten dosen, tapi di samping itu. Kau juga merangkap menjadi babysitter anak Pak Hansa. Selamat!"
Azura merebut surat kontrak dari tangan Gauri dan membaca isi kontrak tersebut.
"Ini ...."
Satu-satunya kesalahan yang telah dibuat oleh Azura di dalam hidupnya kemarin, yaitu menandatangani kontrak kerja dengan Hansa tanpa membaca lebih dahulu.Ucapan selamat dari Gauri benar-benar tidak membantu dirinya sama sekali. Sahabatnya itu jelas sangat senang melihat dia menderita karena pekerjaan barunya.Tidak ada jalan keluar maupun kembali bagi Azura sekarang. Dia harus bekerja dengan Hansa sebagai asisten dosennya itu, entah itu jadi babysitter anaknya atau asisten Hansa di kampus."Aisssh, ini membuatku gila," rutuk Azura yang mengacak rambutnya ketika dia menatap cermin di kamarnya.Bagaimana dia bisa menjaga anak-anak Hansa yang jumlahnya cukup banyak. Tiga bayi laki-laki kecil yang dilihatnya kemarin sudah cukup membuat Azura bisa membayangkan masa depannya kelak.Akan ada banyak tangisan rewel bayi kecil yang harus dia hibur dan dijaga. Terlebih, dosennya itu ternyata sudah mempunyai istri yang lumayan cantik. Sangat menghera
Azura meremas tangannya dengan perasaan gelisah dan tidak tenang. Dia tidak pernah bermaksud menyebarkan rumor palsu mengenai pasangan hidup dan status hubungan Hansa yang ternyata hanya kesalahpahaman semata. Oliver adalah adik Hansa, meski wajahnya tidak mirip sama sekali dengan Hansa. Tapi gadis yang sekarang duduk di kursi depan tepat di samping Hansa yang saat ini mengemudi tersebut, terus tersenyum senang melihat dirinya. Azura duduk di tengah-tengah anak-anak Hansa yang entah mengapa sejak perkenalan mereka secara resmi beberapa menit lalu di apartemen. Ketiga balita kembar itu menjadi sangat lengket dengannya. Tampaknya ketiga balita itu kini menganggap Azura adalah induk baru mereka, menggantikan Oliver yang katanya akan sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang wedding organizer di bulan ini. Itu sebabnya Hansa mencari pengganti adiknya yang bisa mengurus anak-anaknya mulai sekarang. Anak-anak Hansa mempunyai wajah yang lucu dan juga menggem
Gauri dan Naim terkejut ketika mereka melihat sahabat mereka saat ini sedang tertidur di dalam kelas mata kuliah pertama. Pemandangan yang sangat langka mengetahui jika Azura datang sepagi ini untuk belajar, harusnya gadis itu tidak perlu datang pagi-pagi sekali untuk duduk di kursi depan sebab kampus mereka tidak lagi memberikan beasiswa padanya.Gauri yang notabene anti duduk di barisan depan saat kuliah sekarang, mau tidak mau mendekati temannya itu. Naim pun turut ikut ditarik secara paksa dan pemuda itu hanya menurut saja.Azura tertidur dengan kepala yang sekarang berada di atas meja, rambutnya tergerai tanpa diikat. Gauri dan Naim bisa melihat ada guratan dan garis-garis lelah di bawah mata Azura.“Apakah pekerjaan sebagai asisten dosen itu sangat berat?” tanya Naim yang sudah mengetahui pekerjaan baru Azura dari Gauri. Sedangkan Gauri menyeka beberapa rambut yang menutupi sebagian wajah Azura ke belakang teli
Hansa tidak tahu apa yang membuat ayahnya sampai menelponnya secara pribadi di siang hari seperti sekarang ini. Lelaki tua yang merupakan CEO dari perusahaan Artificial intelligence Ehren Technology di Amerika serikat sekarang itu harusnya tidak perlu merepotkan dirinya sendiri untuk menelpon Hansa. Quirin Ehren yang super sibuk itu rela membuang waktunya yang berharga hanya untuk meminta Hansa datang ke acara perjamuan yang telah dia persiapkan besok. Kabar itu terlalu mendadak dan Hansa tentu saja menolak keras untuk ikut dalam acara perjamuan bisnis ayahnya itu. Sudah lama dia tidak pernah lagi berurusan dengan bisnis keluarganya dan bertukar sapa dengan Quirin dan juga ibu tirinya. Tapi, ayahnya yang terkenal bersifat keras kepala dan otoriter itu tidak menerima penolakan yang Hansa ucapkan padanya. "Ayah tidak mau tahu, besok Deon akan menjemputmu. Jadi, persiapkan dirimu dan jangan berani-berani membantah atau kau akan tahu sendiri akiba
Eleanor keluar dari mobilnya, sejak awal dia mengikuti Hansa yang pergi dengan perasaan kesal dan marah. Eleanor juga tidak tahu hal apa yang bisa membuat Hansa— pria yang dia kenal tidak pernah marah itu menjadi murka hanya karena berbicara melalui panggilan telpon.Dia melihat kembali ponsel Hansa yang rusak di jok sampingnya. Sangat disayangkan ponsel keluaran terbaru yang mahal itu harus hancur tanpa harga diri seperti itu. Wanita itu menghela napasnya pelan, kemudian mengamati lagi Hansa yang saat ini berjalan menuju sebuah bar yang cukup terkenal di kota mereka.
Oliver menggenggam ponselnya dengan perasaan geram yang membuncah dadanya. Tidak, tidak seharusnya dia marah, pikirnya berusaha menenangkan emosinya saat ini. Dia tidak pernah menyangka jika ayah tirinya akan mengambil tindakan sendiri untuk mengundang Hansa datang ke acara perjamuan besok. Ibunya yang baru saja memberitahu kabar itu juga turut cemas. Mereka berdua, sangat takut akan ketegangan yang terjadi besok antara Hansa dan Quirin Ehren yang terhomat itu. "Sial, kenapa dia mengundang Kak Hansa ke perjamuan besok? Pak Tua itu, setelah bertahun-tahun tidak peduli pada putra keduanya. Akhirnya menelpon secara pribadi... amat sangat mencurigakan," gumam Oliver yang sekarang meletakan ponselnya ke sofa dan turun bergabung ke kumpulan anak-anak angkat Hansa yang saat ini sibuk bermain bersama. Ihsan yang menyadari jika gadis muda itu duduk di sampingnya mulai tersenyum senang. Deretan gigi susu yang putih menyambut wajah lelah dan penuh beban dari Oli
"Hansa memiliki masalah yang rumit dengan ayah kandungnya," ucap Oliver yang mulai bercerita. Anak-anak Hansa yang duduk di karpet bulu halus di bawah mereka tidak terlalu memedulikan pembicaraan kedua wanita muda di belakang mereka yang sekarang duduk di sofa. Azura menatap Oliver dengan wajah penasaran. "Mereka sering bertengkar?" Azura menebak dan dibalas anggukan kepala dari Oliver. "Itu benar, Hansa adalah kakak tiriku. Dulu saat aku pertama kali masuk dalam kehidupan kelurga Ehren. Baik ayah tiriku dan juga Hansa memang sudah tidak akur. Aku rasa itu mungkin ada hubungannya dengan kematian dari ibu kandung Hansa. Hansa sangat membenci ayahnya yang menurutnya selalu mengatur dirinya." Oliver menceritakan alasan Hansa membenci orang tuanya sendiri. "Mungkinkah penyebab mabuknya kali ini juga ada hubungannya dengan ayahnya?" tanya Azura. Oliver lagi-lagi mengangguk, gadis yang sedang dia ajak bicara ini memang pandai menebak. "Itu benar, ay
Pagi-pagi sekali Hansa telah bersiap untuk pergi ke rumah utama keluarganya. Wajahnya kini terlihat lebih segar dibandingkan kemarin. Mengingat apa saja yang terjadi kemarin sebelum dia benar-benar mabuk. Hansa, jadi memikirkan Azura. Dia pasti sudah banyak menyusahkan gadis itu. Hansa berniat setelah dirinya selesai menghadiri acara perjamuan yang dibuat oleh ayahnya. Dia akan memberikan Azura hadiah kecil sebagai tanda terima kasihnya. Setelah merasa penampilannya sudah rapi dan tidak akan membuat malu keluarganya yang sudah lama tidak pernah dia kunjungi lagi beberapa tahun belakangan itu. Pantulan dirinya di cermin membuat Hansa bersenandung puas. Sebelum meninggalkan apartemennya dan meminta Oliver untuk menjaga anak-anaknya sebentar sampai Azura selesai kembali kuliah. Namun, apa yang dia bayangkan ketika dirinya membuka pintu dan berjalan ke ruang tamu. Hansa dibuat tercengang. Azura dan ketiga anak-anaknya kini tertidur di karp