Home / Romansa / What A Bad Thing / Kontrak Kerja

Share

Kontrak Kerja

"Saya tinggal tanda tangan saja kan?" Azura melihat surat kontrak kerja di map yang telah terbuka itu. Gadis muda itu tidak ingin repot membuang waktu untuk membaca beberapa perjanjian yg dibuat oleh Hansa.

Azura sendiri akan mempercayai dosennya itu serta untuk isi perjanjian kontrak tersebut akan dia baca lain kali saja.

Hansa menganggukkan kepalanya sambil menyeruput pelan teh rosella. "Ya, tapi apakah Azura tidak berniat untuk membaca lagi isi kontrak kerjanya?"

Azura tersenyum dan meletakkan pulpen segera di atas meja tamu. "Tidak, saya sepenuhnya percaya dengan anda dan juga dari yang saya lihat sekilas di sini saya akan dibayar 6 juta satu bulan. Tapi ... apa ini tidak berlebihan?" Azura menatap Hansa yang masih terlihat tenang di sofa tunggalnya.

"Itu adalah bayaran seimbang dengan pekerjaan anda sebagai asisten saya," jelas Hansa terdengar santai.

Sedangkan Azura sendiri terdiam. Nominal Gaji itu, terlalu besar dan bagi Azura uang sebanyak itu tentu cukup untuk membayar uang kuliahnya. Dosen mudanya itu tampaknya memang orang yang sangat kaya.

Meskipun tidak masuk akal untuk dosen swasta seperti Hansa memberi gaji sebanyak itu pada Azura.

Jiwa miskin Azura yang selama ini terkubur tiba-tiba bergetar. Dia merasa seperti sugar babby dari seorang ayah gula sekarang.

Tapi, apakah Hansa masih bisah dikategorikan sebagai Sugar Daddy?

"Apa masih ada sesuatu yang ingin anda tanyakan tentang pekerjaan ini Azura?" tanya Hansa yang kini menatap mahasiswanya itu dengan tatapan mata yang bisa menembus tubuh Azura.

Azura seketika merasakan tenggorokannya menjadi kering, dia juga tidak tahu harus bertanya apalagi. Sebab, semuanya sudah sangat sesuai dan melihat nominal gaji itu saja membuat Azura menyeringai puas.

"Tidak ada."

"Kalau begitu, mulai besok anda bisa bekerja."

"Besok?"

Azura dengan matanya yang bulat dan menarik seperti rusa itu mengerjap-ngerjapkan kedua matanya.

"Ya besok, ada masalah?"

"Tapi besok adalah hari minggu? Apa yang harus saya lakukan di hari libur besok? Apakah saya akan datang ke kampus?"

Hansa tersenyum sangat tipis. "Tidak perlu datang ke kampus, besok datanglah ke apartemen ini lagi. Ada pekerjaan untuk anda," katanya santai.

"Ah ... begitu, baiklah." Azura mengulum senyum. "Pak Hansa... tidak maksud saya Hansa, bisakah kita tidak berbicara dengan bahasa formal yang kaku seperti sekarang? Saya hanya merasa tidak nyaman menggunakan Saya dan Anda dalam percakapan kita." Azura mengatakan keluhannya.

Dia sendiri ingin bersikap santai saat berbicara dengan dosennya itu. Jika Hansa sudah memperbolehkan dirinya memanggil dosen mudanya itu dengan namanya langsung. Mungkin tidak masalah jika mereka menggunakan aku kamu saat memanggil satu sama lain.

Hansa sepertinya sedikit mengerutkan alisnya. Walaupun begitu, dia segera menguasai air mukanya.

"Saran yang bagus, kamu harus nyaman saat berbicara dengan ku. Apakah lebih baik?" tanya Hansa membuat Azura mengangguk dan lagi-lagi senyuman Azura yang cerah tersebut membuat Hansa tertegun sejenak, gadis itu sangat indah ketika tersenyum seperti itu seakan-akan keberadaannya bisa memberikan cahaya kebahagiaan di hidup Hansa yang selama ini muram.

"Mohon kerja samanya."

***

Setelah Hansa dan Azura selesai dengan urusan mereka, Azura segera pamit untuk pulang. Hansa mengantar gadis itu sampai di depan lift, akan tetapi ketika lift di lantai apartemen Hansa terbuka. Azura bisa melihat ada seorang gadis yang membawa tiga balita kembar bersamanya keluar dari lift tersebut.

Hanya butuh beberapa detik sampai Azura melebarkan matanya saat gadis yang sekarang menggendong salah satu dari balita itu, menyeringai ke arahnya dan kemudian tatapannya segera berpaling ke Hansa, pria yang sekarang berdiri di samping Azura.

"Lihat! Itu Daddy!" seru gadis yang Azura tidak ketahui asal usulnya itu menunjuk Hansa dan menyebut dosen mudanya itu dengan panggilan Ayah.

Para balita kecil itu yang melihat sosok Hansa tersenyum dan tertawa riang, kaki-kaki mungil mereka berlarian di koridor apartemen mewah yang untungnya sedang sepi tersebut.

"Daddy! Daddy!"

Azura menoleh sesaat ke Hansa. Sedangkan pria yang tadinya melebarkan matanya agak terkejut melihat gadis dan tiga balita itu, kini mulai menguasai emosi di wajahnya.

Ada senyuman tipis terlihat dari bibir Hansa yang tertarik sedikit ke atas sehingga memperlihatkan lekukan samar tersebut.

Di sisi lain, gadis dengan dress merah darah yang mencolok dan juga sepatu hak tinggi sekitar lima senti itu berjalan perlahan dan sedikit berhati-hati menuju ke arah tempat di mana Hansa dan Azura berdiri.

Azura memperkirakan jika gadis itu berumur sekitar 20 tahunan lebih, atau kemungkinan besar dia seumur dengan Hansa.

"Hai Sayang, apa urusanmu sudah selesai?" tanya gadis itu dengan suaranya yang terdengar centil, yang sanggup membuat bulu lengan Azura meremang mendengarnya.

Hansa menatap gadis itu dengan mata menyipit tajam. Dia terlihat jelas tidak suka atau lebih tepatnya kesal dengan kedatangan gadis itu.

Azura sendiri lebih memilih diam, merasa tidak mendapatkan respon yang sesuai dengan keinginannya. Gadis itu melepaskan bayi dari gendongannya dan mengangkatnya ke depan wajah Hansa, seperti layaknya simba kecil.

"Oh, lihat Daddy sayang. Dia tidak menjawab pertanyaan Mommy," kata gadis itu terluka.

Hansa yang memang kelihatan muak sejak awal segera mengambil balita itu dari tangan gadis di hadapannya.

"Ini belum jam satu," ucap Hansa.

Gadis itu tersenyum dan mengibaskan rambut panjangnya yang berkilau itu. Lalu melirik jam mahal yang melingkar di tangan kirinya. "Ups, aku tidak melihat jam. Aku pikir ini sudah jam satu, setidaknya aku mengantarkan anakmu dua jam lebih awal dari perjanjian," balas gadis itu sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Hansa mendengus dan melirik Azura yang sedari tadi hanya diam dan memperhatikan keduanya.

"Azura, jangan lupa besok kamu sudah mulai bekerja. Datanglah jam 9 pagi dan bawa jadwal kuliahmu juga."

"Baik, kalau begitu saya permisi. Semoga hari kalian menyenangkan." Setelah berpamitan Azura segera melangkahkan kakinya dan masuk ke dalam lift.

Pintu lift dengan lambat tertutup dan Azura masih bisa melihat bagaimana gadis dengan lipstik merah itu melambai kepadanya dan tersenyum ramah.

"Sampai bertemu lagi," ucap gadis itu dari mulutnya yang bisa Azura tangkap dan Azura hanya membalas dengan anggukan kepala sampai pintu lift benar-benar tertutup dan dia tidak lagi melihat mereka.

***

Hansa membawa ketiga balita laki-laki yang merupakan anaknya itu masuk ke dalam apartemen miliknya dan gadis yang sedari tadi bersama dengannya juga ikut masuk.

Sadar akan perbuatannya yang akan menimbulkan kemarahan Hansa, gadis itu mengelus pelan lengan kokoh Hansa.

"Kakak, maafkan aku ya?"

Gadis itu menepuk-nepuk pelan lengan Hansa sambil disertai dengan wajah tersenyum yang penuh tipu muslihat itu.

Hansa menyentak tangan gadis tersebut dan memutar tubuhnya menghadap gadis itu. "Kau sudah melewati batasanmu," ucap Hansa dengan wajah marah membuat gadis itu menundukkan kepalanya tidak berani menatap mata Hansa yang menakutkan jika sedang marah.

"Aku hanya bercanda," cicitnya membuat Hansa menghela napas kasar.

"Oliver kau membuat sebuah kesalahpahaman pada mahasiswaku," kata Hansa yang sekarang menggiring balita-balita kecil itu ke ruang tamu.

Oliver gadis yang merupakan adik tiri Hansa itu mengerutkan bibirnya. "Salah paham yang seperti apa? Aku hanya bermain-main saja sebentar, aku rasa dia juga tidak terlalu peduli dengan hubungan kita."

Hansa menghadap ke adiknya itu dan menyentil dahi adiknya keras. "Ouch! Memangnya siapa gadis itu? Seumur hidupku menjadi adik tirimu, aku tidak pernah tahu kalau kau ternyata diam-diam mempunyai hubungan gelap dengan mahasiswamu sendiri," ujar Oliver penasaran.

"Bukan hubungan gelap, dia akan bekerja padaku."

Oliver tersenyum sinis, "Bekerja ya, meragukan."

"Lalu, pekerjaan seperti apa yang kau berikan padanya? Aku tahu kau bukanlah orang yang mudah memberikan sebuah pekerjaan pada orang lain."

"Asistenku," jawab Hansa cepat.

"Asisten?" Oliver menaikkan sebelah alisnya dan mencari sebuah kebenaran dari raut wajah kaku Kakak tirinya itu.

"Ya."

"Beri aku kontrak kerjanya, aku ingin tahu lebih jelas," pinta Oliver yang kini tersenyum licik dan itu jelas membuat Hansa harus menahan diri atas sikap adiknya itu.

***

"Kau tidak bohong kan? Benar-benar tidak bohong!" Gauri meremas kedua bahu Azura dengan gemas.

Azura mengangguk dan sebisa mungkin menjauh dari Gauri, sebab takut terkena percikan air ludah temannya itu.

"Oh tidak! Tidak! Ini tidak mungkin." Gauri meremas rambutnya agak frustrasi.

Azura yang sudah terlepas dari cengkeraman Gauri segera menyingkir dan berkacak pinggang. "Kenapa kau selalu histeris Gauri, apa salahnya jika Pak Hansa sudah menikah dan dia juga sudah punya tiga anak kembar. Asal kau tahu saja," terang Azura yang terdengar santai pada temannya itu yang kini mengigit ujung selimutnya.

"Salah! Tentu saja itu salah, kau tahu kami para penggemar Pak Hansa berpikir jika dia masih bujangan. Info mengenai dia sudah menikah itu tidak pernah terdengar sama sekali, tapi kau dengan mudahnya berkata dia sudah menikah! Ah, astaga kepalaku terasa pusing." Gauri ingin berbaring di kasur empuk miliknya.

Azura menatap penuh iba temannya itu, "Aku turut berduka, sepertinya sekelompok gadis penggemar dosen bujangan sudah saatnya berhenti berharap," katanya. "Satu lagi, besok aku akan mulai bekerja dengan Pak Hansa," ungkap Azura membuat Gauri yang sedang meratap kembali melihat wajah polos temannya itu.

"Di hari minggu? Kau bercanda?"

"Ya, aku serius."

Gauri mendecak, "Apa yang dia pikirkan memintamu untuk bekerja di hari minggu dan apa kau sudah membaca kontrak kerjamu?"

Azura menggaruk belakang lehernya.

"Ah, belum," jawabnya dengan kedua mata yang melihat ke bawah.

Gauri otomatis mencubit lengan Azura kesal. Temannya itu memang selalu pemalas untuk membaca hal-hal penting seperti kontrak.

"Apa maksudnya belum! Astaga Azura, kenapa tidak dibaca dulu?"

"Kau tahu ini sakit!"

"Aku tidak peduli dan di mana salinan kontrak kerjamu? Aku harus membacanya, bisa-bisanya anak mantan beasiswa sepertimu bisa lengah tidak membaca kontrak lebih dahulu sebelum tanda tangan. Ini pasti karena kau sudah melihat nominal gajimu," omel Gauri terlihat mirip seperti ibu-ibu yang marah pada anaknya yang ceroboh.

Azura sendiri memberikan sebuah map pada Gauri, temannya itu memang selalu protektif pada dirinya. "Ini."

Tangan Gauri dengan cepat menyambar map tersebut dan membaca isi dari kontrak kerja Azura dan Hansa.

Namun, ketika dia membaca beberapa poin di kontrak tersebut. Gauri kemudian menatap wajah temannya dengan sedih.

"Harusnya kau baca ini terlebih dahulu. Ini bukan pekerjaan asisten dosen yang kau impikan Azura," kata Gauri membuat Azura memasang wajah penuh tanda tanya.

"Maksudnya?"

"Pada dasarnya kau memang akan bekerja sebagai asisten dosen, tapi di samping itu. Kau juga merangkap menjadi babysitter anak Pak Hansa. Selamat!"

Azura merebut surat kontrak dari tangan Gauri dan membaca isi kontrak tersebut.

"Ini ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status