Drttt ... Drtt ... Mughni merasakan getaran ponselnya yang berada di dalam saku bajunya. Ia membiarkan panggilan itu hingga berhenti bergetar. Karena perjalanan menuju toko miliknya hanya tinggal beberapa langkah saja.
"Dayu," gumam Mughni ketika melihat siapa yang meneleponnya. "Ada apa ya?" Karena rasa penasarannya. Mughni pun balik menghubungi Dahayu. "Hallo, Om!" "Ada apa, Yu?" "Om sudah sampai mana?!" "Ini baru sampai. Ada apa?" "Om, ini Tante pingsan! Dari tadi Ibu bangunin gak bangun-bangun. Kata Ibu, Om pulang dulu! Dayu takut Tante kenapa-napa," ucap Dahayu yang membuat Mughni mengernyitkan dahi. Karena baru saja sebelum berangkat ia melihat sang istri biasa saja. "Iya Yu, Om pulang sekarang!." "Hati-hati di jalan Om!" "Iya." Setelah mengakhiri panggilan dengan Dahayu. Mughni langsung masuk kembali ke dalam mobilnya meninggalkan toko tanpa bertemu dahulu dengan para karyawannya. Selama di perjalanan menuju rumah, Mughni terus berdo'a dan berharap semua baik-baik saja. Ia belum siap, apabila yang selama ini ia takutkan terjadi. Mughni menjalankan mobilnya menuju rumah dengan kecepatan di atas rata-rata. Sehingga membuat siapapun yang melihat mobilnya yang melaju kencang itu mengutuknya. Tidak lama setelah itu, ia sampai di rumah miliknya bersama sang istri. Tanpa berbicara kepada siapapun, Mughni langsung berlari menuju kamar yang sudah ditempatinya selama istrinya sakit-sakitan. "Apa yang terjadi, Mbak?!" tanya Mughni dengan ekspresi wajah kusutnya, ia begitu khawatir dengan keadaan sang istri. "Mbak gak tahu, Dek! Cepetan bawa ke rumah sakit dulu, Ini bukan pingsan biasa!" Dengan hati yang tak karuan, mughni langsung membopong Rahma yang sudah tidak sadarkan diri namun Nafasnya begitu menderu. Dahayu yang melihat kejadian itu begitu syok Ia memegang erat tangan Bi Darsih, karena merasakan ketakutan yang belum pernah ia rasakan selama dirinya menemani tantenya. "Yu! Ayo ikut, Bi Darsih tolong jaga rumah, nanti saya telepon kalau sudah sampai." Dengan badan yang sedikit bergetar, Bi Darsih mengangguk. "Hati-hati Pak, Bu! Semoga Bu Rahma gak kenapa-napa." "Amiinn." Setelah semuanya siap. Mughni menjalankan mobilnya menuju rumah sakit yang terletak lumayan jauh dari rumahnya. Selama mengemudi tak henti-hentinya ia berdo'a dan berharap semua baik-baik saja. Mughni melihat ke belakang lewat kaca spion, di belakang ada sang istri yang berbaring lemah di atas pangkuan kakaknya. sedangkan Dahayu hanya bisa berdo'a dalam hati dan sesekali memijit kaki tantenya. Di dalam mobil begitu hening, mereka terdiam bisu bergelut dengan pikirannya masing-masing."Ya Allah, kuharap engkau menyembuhkan penyakit istriku. Aku gak akan kuat melihat dia tak berdaya," gumam Mughni dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kamu kenapa sayang. Baru tadi kita merasakan kebahagian? Namun, kenapa tiba-tiba kamu pingsan?" Pertanyaan itu tentunya Mughni simpan di kepalanya, sekarang ia harus fokus dengan jalanan agar sampai dengan selamat. Setelah menempuh perjalan sekitar satu jam lebih, akhirnya mereka sampai di rumah sakit yang mereka tuju. Mughni langsung keluar dari mobil dan membuka pintu belakang untuk membopong sang istri. Mughni berjalan dengan tergesa sehingga lupa melakukan administrasi. "Sus, tolong istri saya pingsan!" Para suster dan pelayan pun langsung bergerak cepat mengambil berangkar untuk Rahma. "Cepetan, Sus!!" Mughni sedikit membentak kepada suster yang terlihat sedikit santai. Gimana bisa sesantai itu, sedangkan dirinya merasakan khawatir yang amat dalam ketika mengetahui istrinya pingsan. "Itu, Om kayanya lupa melakukan administrasi. Kamu saja Yu! Kamu bawa dokumen punya Tante kan?" Dahayu mengangguk. "Ayok," sambung Desri. Desri mengajak Dahayu untuk melakukan administrasi terlebih dahulu dan membiarkan adik iparnya untuk mengantar Rahma ke IGD agar secepatnya ditangani. Setelah melakukan administrasi, Bu Desri dan Dahayu menghampiri Mughni yang sedang duduk di kursi tunggu dengan tangan yang menangkup diwajahnya. "Mbak," keluhnya dengan suara yang seperti menahan tangis. Desri yang juga merasakan kesedihan pun ikut duduk di dekat Mughni. "Do'akan, semoga Rahma baik-baik saja," jawab Desri mencoba menenangkan adik iparnya. "Kenapa bisa pingsan, Mbak? Sebelum aku berangkat Rahma baik-baik saja." "Mbak nggak tahu, Dek! Setelah kamu pergi, Mbak menyiapkan makanan untuk Rahma. Setelah makanan itu jadi, Mbak masuk ke kamar, Mbak kira Rahma masih bangun, ternyata Rahma tidur. Mbak kira beneran tidur jadi Mbak coba bangunin dia, Tapi pas dibangunin dia gak bangun-bangun." jelas Desri dengan tangan mengusap-ngusap pundak Mughni. "Maafin Dayu juga Om. Tadi Dayu lagi di belakang rumah, Dayu kira ada Bi Darsih dan Ibu yang nemenin Tante. Ternyata dugaan Dayu salah." "Gak apa-apa Yu! Sekarang kalau kamu mau pulang boleh pulang duluan." Dahayu menggeleng pelan, ia ikut duduk di sisi sang Ibu. "Nanti saja Om. Kalau Tante sudah sadar, Dayu akan pulang." "Keluarga Ibu Rahma?" "Saya suaminya Sus!!" Mughni dan Desri berdiri ketika seorang suster memanggil keluarga Rahma. "Silahkan masuk Pak! Dokter sudah menunggu."Mughni mengangguk. Kemudian masuk ke ruangan IGD yang diikuti oleh Desri dan Dahayu "keluarga Ibu Rahma?" Tanpa menjawab pertanyaan sang Dokter. Mughni langsung menghampiri Rahma yang sudah tertutup kain. Melihat keadaan itu, tiba-tiba lututnya terasa melemas. Dadanya terasa sesak. Serta mata yang mulai memanas. "Sayang, jangan bercanda! Bangun! " Mughni mendekap tubuh Rahma yang sudah tidak bernyawa, Ia mencoba untuk menahan air matanya agar tidak tumpah dihadapan sang istri. Namun semua itu tidak bisa ia lakukan. Mughni menangis untuk pertama kalinya dihadapan sang istri. "Maafkan aku, Maaf! Maaf!" ungkap Mughni pilu. "Seandainya aku gak ninggalin kamu sayang. mungkin ini gak akan terjadi." "Maafkan aku, yang belum bisa menjadi suami yang terbaik untukmu selama ini. Maaf!" Mughni mencium kening Rahma. Wajah pias itu mengingatkan Mughni dengan perjuangan Rahma terhadap penyakitnya. "Aku ikhlas, aku ridha padamu. Semoga engkau tenang di sana sayang." Mughni mencium kembali kening Rahma serta ubun-ubun untuk terakhir kalinya. Desri menyeka air matanya, ia tidak tahan melihat pemandangan menyakitkan itu berada di hadapannya. Genggaman erat Dahayu pada tangan sang Ibu begitu kuat. Dahayu amat ingin memeluk tubuh tantenya yang sudah tiada, namun ia menahan keinginannya agar Mughni bisa puas menumpahkan rasanya pada sang istri. Karena tak tahan. Akhirnya Dahayu memeluk sang Ibu. Ia menumpahkan tangisnya dipundak sang Ibu yang juga menangis melihat sang adik tiada. Desri melepaskan pelukan Dahayu, lalu menghampiri adik iparnya untuk mencoba menenangkan. "Ikhlas ya, Dek. Maafkan Rahma bila selama menjadi istrimu dia belum bisa memberikan yang terbaik untukmu." Desri mengusap pundak Mughni yang masih sesegukan.Mughni mendongkak, memberikan ruang untuk Kakak iparnya, kemudian ia menghampiri sang dokter untuk mengetahui penyebab kematian sang istri. "Apa dokter tahu kenapa istri saya bisa meninggal mendadak?" "Gini ya Pak. Setelah saya cek keadaan Ibu, sepertinya Ibu Rahma kena serangan jantung. waktu pertama datang detak jantungnya begitu cepat, Bu Rahma seperti mengalami keterkejutan yang amat tinggi.""Serangan jantung? Istri saya memang mempunyai penyakit jantung, Dok! Tetapi selama ini dia baik-baik saja meski dalam keadaan tubuhnya yang lumpuh," jelas Mughni. "Apa sebelum Bapak keluar dari kamar, Ibu Rahma dibiarkan sendiri?" Mughni mengangguk, "iya Dok, karena kebetulan ada kakak ipar saya di rumah yang sedang memasak." Dokter itu mengangguk, kemudian terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. "Apa ada kamera tersembunyi di kamar, Pak?" "Kebetulan ada, memangnya kenapa, Dok?" tanya Mughni penasaran. Dokter pun mengangguk, "belum tahu alasannya apa yang membuat istri napak kena serangan jantung. Coba Bapak lihat saja lewat kamera itu, barangkali ada petunjuk." "Baik Dok. Nanti saya akan cek." Setelah perbincangan itu Mughni kembali ke tempat dimana Rahma di baringkan. Ia melihat suami kakak iparnya masuk ke dalam ruangan. Mungkin baru saja datang setelah Dahayu memberitahunya. "Yang sabar!" Suami kakak iparnya itu menepuk bahu Mughni. Mencoba memberikan semangat at
Sebagai pria yang mempunyai bakat penulis, ia juga harus bisa menjadi seseorang yang ramah untuk bisa menarik hati para pembaca. Setelah membalas komentaran dari Dahayu, Mughni langsung membuka kamera tersembunyi yang sempat tertunda. Mughni mengepalkan telapak tangannya hingga terlihat urat jarinya. Nafasnya begitu memburu. Ia menggebrak meja dengan kilatan amarah terlihat dari sorot mata tajamnya. "Sialan!" Mughni berusaha untuk tetap tenang meski ingin berteriak memaki orang yang terlihat di kamera tersebut. Ia harus tahu kenapa orang itu tega melakukannya kepada sang istri yang sudah menganggapnya orang yang sangat dipercayainya. Mughni teringat dengan wajah sang istri yang selalu bersamanya. Mughni tidak menyangka. Orang yang ia percayai adalah orang yang pertama menghancurkan kebahagiaannya. Mughni bangkit dari duduknya. Kemudian keluar menuju kamar orang yang ia maksud. Ia butuh penjelasan kenapa orang itu melakukannya. Tok Tok! Hening.Tok Tok! Masih hening. Kam
Sinar mentari mulai menyoroti kaca jendela kamar yang sudah beberapa hari ini ditempati. Rumah lantai dua, paling besar diantara para tetangga yang berada di perumahan, menandakan pemilik rumah bukanlah orang biasa. "Jam berapa Ini?!" Dahayu mengucek matanya, Ia melirik jam yang berada di dinding kamarnya di lantai dua. "Sudah hampir jam tujuh! Kenapa si Om gak bangunin aku, sih!" decak Dahayu, ia menepuk keningnya lalu bergegas bangun dari tidurnya. Setelah membereskan tempat tidurnya, Dahayu pergi ke kamar mandi yang masih berada di dalam kamarnya. Sejak pertama masuk rumah tantenya, Dahayu begitu takjub dengan interiornya. Rumah ini begitu besar dan tertata rapih, sangat jauh bila dibandingkan dengan rumahnya yang berada di kampung. Dahayu segera menyelesaikan kegiatan di kamar mandi. Kemudian ia keluar kamar untuk menyiapkan makanan. Setelah sampai di dapur, ternyata Omnya suami dari tantenya yang bernama Mughni itu sudah nangkring di depan kompor sedang membuat kopi. "O
Pukul 13:10 WIB. Dahayu melirik jam yang melingkar di tangannya. Saat ini ia sedang di dalam angkutan umum menuju rumah tantenya. Dahayu melirik keluar lewat kaca jendela angkutan umum yang sedang terbuka. Ia begitu takjub dengan kota yang ia tempati sekarang. Toko pakaian yang berdekatan, membuat jiwa pemborongnya meronta-ronta. 'Sekarang harus belajar hemat, Dayu! Ibu di kampung tidak mungkin sering memberi uang untukmu. Karena beliau sendiri sedang berjuang sebagai single parent. Minta sama Bapak?! Sepertinya tidak mungkin, pasti beliau sibuk dengan keluarga barunya.' gumam Dahayu. Dahayu menerawang kisahnya sebelum Ibu dan Bapaknya bercerai. Dahayu begitu bahagia karena sang Bapak selalu mengantar jemput sekolah dirinya dan selalu memberi apapun yang dirinya inginkan. Keharmonisan orang tua yang Dahayu lihat membuat dirinya merasa sempurna. Namun, entah karena apa, pada suatu hari Bapak meminta izin serta pamit pada Dahayu untuk bekerja. yang Dahayu tahu, sebelum Bapaknya per
Bi Darsih mengangguk pilu. "Alangkah baiknya, Ibu bicarakan soal ini dengan Pak Mughni. Kalau saya kan tidak punya kuasa apa-apa, takutnya nanti mereka tidak percaya dengan amanah Ibu yang disimpan di saya." "Aku sudah membicarakan ini dengan Mas Mughni, Bi! Tapi tidak membuahkan hasil. Akhirnya kami selalu bertengkar, Mas Mughni selalu menghindar." "Makanya Ibu jangan nyuruh-nyuruh Bapak menikah lagi. Bapak pasti kesal karena disuruh-suruh. Gimana kalau seandainya Bapak mengabulkan keinginan Ibu untuk menikah lagi? Apa Ibu tidak sakit hati? Apa Ibu tidak cemburu suami Ibu sama orang lain?" Rahma terdiam. Kemudian ia berkata, "Kalau soal itu. Pasti aku sakit hati, cemburu juga. Cuma aku kasihan sama Mas Mughni yang sudah bersabar terlalu lama." Bi Darsih mengangguk. "Bibi mengerti perasaan Ibu. Sekarang jangan terlalu dipikirkan. Bapak juga pasti berpikir mana yang baik dan tidaknya untuk dilakukan." Rahma mengangguk. "Do'akan aku ya, Bi! Semoga ada keajaiban Allah menyembu
Mughni menarik sudut bibirnya, ia tersenyum tipis melihat tingkah lucu Dahayu. Tanpa berkata apapun, Mughni beranjak pergi ke kamarnya meninggalkan Dahayu di meja makan. Dahayu mengambil air teh hangat tanpa gula yang berada di kitchen set, kemudian kembali duduk di kursi meja sembari menunggu omnya keluar dari kamarnya. Ceklek! Suara pintu dibuka terdengar oleh Dahayu, kemudian Dahayu melihat ke arah kamar Tante dan omnya. Dahayu tersenyum lebar, kemudian berlari menghampiri tantenya yang sedang duduk di kursi roda yang didorong oleh Mughni. "Selamat pagi tanteku tersayang ...." ucap Dahayu sembari memeluk tantenya yang sudah cantik serta wangi. "Selamat pagi juga keponakan Tante yang cantik!" jawab Rahma sembari menjepit hidung Dahayu. "Tante mau makan. Aku suapi yah?!" Rahma menggeleng. "Tante memang mau makan, tapi akan disuapi sama suami Tante sendiri." Mughni tersenyum. Ia merasakan kehangatan ketika sang istri bercanda dengan keponakannya. "Oke, Tan! Aku jadi peno
Mendengar suara Mughni yang terlihat kaget, membuat Rahma dan Dahayu menoleh ke arah belakang. Dahayu melepaskan pelukannya kemudian undur diri keluar dari kamar karena sudah ada Mughni yang akan menemani tantenya. "Eh! Mas, sudah pulang?" Rahma terdiam seketika. Ketika melihat Mama mertuanya masuk ke dalam kamar dengan seorang wanita yang sangat cantik dan elegan menurutnya. "Mama?" Rahma mencoba untuk tetap tersenyum ramah meski sapaannya tidak di gubris oleh mertuanya. Dahayu yang berpapasan dengan Mertua Rahma pun, mengangguk pelan. Kemudian Dahayu langsung keluar kamar karena tidak mau ikut campur dengan urusan rumah tangga tantenya. "Kamu masih sakit?" Rahma mengangguk pelan ketika sang Mertua bertanya keadaanya. "Perkenalkan, ini Lubis! Anak teman Mama yang akan Mama jodohkan dengan Mughni." "Ma!!" Mughni menggeleng, mencegah mamanya untuk tidak meneruskan ucapan yang mungkin akan lebih menyakitkan bila didengar oleh Rahma. "Hm?" Rahma tersenyum meringis. "Apa
"Oiya Bi, tadi Tante nyuruh aku untuk menelepon Ibu, katanya suruh ke sini. Tante pengen ketemu, padahal baru minggu kemarin Ibu kesini." "Bilangin saja, Neng! Kasihan. Dulu Bibi juga pernah punya saudara, beliau sering menyuruh Bibi untuk menemaninya, Padahal di rumah banyak Anak-anaknya yang ikut tinggal dengannya, akan tetapi beliau sering merasa kesepian. Tidak lama setelah itu beliau wafat." "Bibi, jangan nakut-nakutin Dayu!" Dayu mengerucutkan bibirnya. Bi Darsih tersenyum menanggapi Dahayu yang sedang kesal. "Bibi enggak nakutin kamu, tapi memang kaya gitu. Biasanya kalau orang itu tidak lama lagi hidup di dunia, ia akan selalu merasa kesepian atau sering melihat bayangan-bayangan orang yang sudah meninggal. Karena sebenarnya, 40 hari menjelang orang itu meninggal, di langit itu dia sudah menjadi mayit. Jadi, ruhnya bertemu dengan ruh-ruh orang yang sudah meninggal seperti keluarganya." "Kok, Dayu merinding ya Bi dengarnya!" Bi Darsih merangkul Dahayu yang bergidik nger
Sebagai pria yang mempunyai bakat penulis, ia juga harus bisa menjadi seseorang yang ramah untuk bisa menarik hati para pembaca. Setelah membalas komentaran dari Dahayu, Mughni langsung membuka kamera tersembunyi yang sempat tertunda. Mughni mengepalkan telapak tangannya hingga terlihat urat jarinya. Nafasnya begitu memburu. Ia menggebrak meja dengan kilatan amarah terlihat dari sorot mata tajamnya. "Sialan!" Mughni berusaha untuk tetap tenang meski ingin berteriak memaki orang yang terlihat di kamera tersebut. Ia harus tahu kenapa orang itu tega melakukannya kepada sang istri yang sudah menganggapnya orang yang sangat dipercayainya. Mughni teringat dengan wajah sang istri yang selalu bersamanya. Mughni tidak menyangka. Orang yang ia percayai adalah orang yang pertama menghancurkan kebahagiaannya. Mughni bangkit dari duduknya. Kemudian keluar menuju kamar orang yang ia maksud. Ia butuh penjelasan kenapa orang itu melakukannya. Tok Tok! Hening.Tok Tok! Masih hening. Kam
"Serangan jantung? Istri saya memang mempunyai penyakit jantung, Dok! Tetapi selama ini dia baik-baik saja meski dalam keadaan tubuhnya yang lumpuh," jelas Mughni. "Apa sebelum Bapak keluar dari kamar, Ibu Rahma dibiarkan sendiri?" Mughni mengangguk, "iya Dok, karena kebetulan ada kakak ipar saya di rumah yang sedang memasak." Dokter itu mengangguk, kemudian terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. "Apa ada kamera tersembunyi di kamar, Pak?" "Kebetulan ada, memangnya kenapa, Dok?" tanya Mughni penasaran. Dokter pun mengangguk, "belum tahu alasannya apa yang membuat istri napak kena serangan jantung. Coba Bapak lihat saja lewat kamera itu, barangkali ada petunjuk." "Baik Dok. Nanti saya akan cek." Setelah perbincangan itu Mughni kembali ke tempat dimana Rahma di baringkan. Ia melihat suami kakak iparnya masuk ke dalam ruangan. Mungkin baru saja datang setelah Dahayu memberitahunya. "Yang sabar!" Suami kakak iparnya itu menepuk bahu Mughni. Mencoba memberikan semangat at
Drttt ... Drtt ... Mughni merasakan getaran ponselnya yang berada di dalam saku bajunya. Ia membiarkan panggilan itu hingga berhenti bergetar. Karena perjalanan menuju toko miliknya hanya tinggal beberapa langkah saja. "Dayu," gumam Mughni ketika melihat siapa yang meneleponnya. "Ada apa ya?" Karena rasa penasarannya. Mughni pun balik menghubungi Dahayu. "Hallo, Om!" "Ada apa, Yu?" "Om sudah sampai mana?!" "Ini baru sampai. Ada apa?" "Om, ini Tante pingsan! Dari tadi Ibu bangunin gak bangun-bangun. Kata Ibu, Om pulang dulu! Dayu takut Tante kenapa-napa," ucap Dahayu yang membuat Mughni mengernyitkan dahi. Karena baru saja sebelum berangkat ia melihat sang istri biasa saja. "Iya Yu, Om pulang sekarang!." "Hati-hati di jalan Om!" "Iya." Setelah mengakhiri panggilan dengan Dahayu. Mughni langsung masuk kembali ke dalam mobilnya meninggalkan toko tanpa bertemu dahulu dengan para karyawannya. Selama di perjalanan menuju rumah, Mughni terus berdo'a dan berharap semua ba
"Oiya Bi, tadi Tante nyuruh aku untuk menelepon Ibu, katanya suruh ke sini. Tante pengen ketemu, padahal baru minggu kemarin Ibu kesini." "Bilangin saja, Neng! Kasihan. Dulu Bibi juga pernah punya saudara, beliau sering menyuruh Bibi untuk menemaninya, Padahal di rumah banyak Anak-anaknya yang ikut tinggal dengannya, akan tetapi beliau sering merasa kesepian. Tidak lama setelah itu beliau wafat." "Bibi, jangan nakut-nakutin Dayu!" Dayu mengerucutkan bibirnya. Bi Darsih tersenyum menanggapi Dahayu yang sedang kesal. "Bibi enggak nakutin kamu, tapi memang kaya gitu. Biasanya kalau orang itu tidak lama lagi hidup di dunia, ia akan selalu merasa kesepian atau sering melihat bayangan-bayangan orang yang sudah meninggal. Karena sebenarnya, 40 hari menjelang orang itu meninggal, di langit itu dia sudah menjadi mayit. Jadi, ruhnya bertemu dengan ruh-ruh orang yang sudah meninggal seperti keluarganya." "Kok, Dayu merinding ya Bi dengarnya!" Bi Darsih merangkul Dahayu yang bergidik nger
Mendengar suara Mughni yang terlihat kaget, membuat Rahma dan Dahayu menoleh ke arah belakang. Dahayu melepaskan pelukannya kemudian undur diri keluar dari kamar karena sudah ada Mughni yang akan menemani tantenya. "Eh! Mas, sudah pulang?" Rahma terdiam seketika. Ketika melihat Mama mertuanya masuk ke dalam kamar dengan seorang wanita yang sangat cantik dan elegan menurutnya. "Mama?" Rahma mencoba untuk tetap tersenyum ramah meski sapaannya tidak di gubris oleh mertuanya. Dahayu yang berpapasan dengan Mertua Rahma pun, mengangguk pelan. Kemudian Dahayu langsung keluar kamar karena tidak mau ikut campur dengan urusan rumah tangga tantenya. "Kamu masih sakit?" Rahma mengangguk pelan ketika sang Mertua bertanya keadaanya. "Perkenalkan, ini Lubis! Anak teman Mama yang akan Mama jodohkan dengan Mughni." "Ma!!" Mughni menggeleng, mencegah mamanya untuk tidak meneruskan ucapan yang mungkin akan lebih menyakitkan bila didengar oleh Rahma. "Hm?" Rahma tersenyum meringis. "Apa
Mughni menarik sudut bibirnya, ia tersenyum tipis melihat tingkah lucu Dahayu. Tanpa berkata apapun, Mughni beranjak pergi ke kamarnya meninggalkan Dahayu di meja makan. Dahayu mengambil air teh hangat tanpa gula yang berada di kitchen set, kemudian kembali duduk di kursi meja sembari menunggu omnya keluar dari kamarnya. Ceklek! Suara pintu dibuka terdengar oleh Dahayu, kemudian Dahayu melihat ke arah kamar Tante dan omnya. Dahayu tersenyum lebar, kemudian berlari menghampiri tantenya yang sedang duduk di kursi roda yang didorong oleh Mughni. "Selamat pagi tanteku tersayang ...." ucap Dahayu sembari memeluk tantenya yang sudah cantik serta wangi. "Selamat pagi juga keponakan Tante yang cantik!" jawab Rahma sembari menjepit hidung Dahayu. "Tante mau makan. Aku suapi yah?!" Rahma menggeleng. "Tante memang mau makan, tapi akan disuapi sama suami Tante sendiri." Mughni tersenyum. Ia merasakan kehangatan ketika sang istri bercanda dengan keponakannya. "Oke, Tan! Aku jadi peno
Bi Darsih mengangguk pilu. "Alangkah baiknya, Ibu bicarakan soal ini dengan Pak Mughni. Kalau saya kan tidak punya kuasa apa-apa, takutnya nanti mereka tidak percaya dengan amanah Ibu yang disimpan di saya." "Aku sudah membicarakan ini dengan Mas Mughni, Bi! Tapi tidak membuahkan hasil. Akhirnya kami selalu bertengkar, Mas Mughni selalu menghindar." "Makanya Ibu jangan nyuruh-nyuruh Bapak menikah lagi. Bapak pasti kesal karena disuruh-suruh. Gimana kalau seandainya Bapak mengabulkan keinginan Ibu untuk menikah lagi? Apa Ibu tidak sakit hati? Apa Ibu tidak cemburu suami Ibu sama orang lain?" Rahma terdiam. Kemudian ia berkata, "Kalau soal itu. Pasti aku sakit hati, cemburu juga. Cuma aku kasihan sama Mas Mughni yang sudah bersabar terlalu lama." Bi Darsih mengangguk. "Bibi mengerti perasaan Ibu. Sekarang jangan terlalu dipikirkan. Bapak juga pasti berpikir mana yang baik dan tidaknya untuk dilakukan." Rahma mengangguk. "Do'akan aku ya, Bi! Semoga ada keajaiban Allah menyembu
Pukul 13:10 WIB. Dahayu melirik jam yang melingkar di tangannya. Saat ini ia sedang di dalam angkutan umum menuju rumah tantenya. Dahayu melirik keluar lewat kaca jendela angkutan umum yang sedang terbuka. Ia begitu takjub dengan kota yang ia tempati sekarang. Toko pakaian yang berdekatan, membuat jiwa pemborongnya meronta-ronta. 'Sekarang harus belajar hemat, Dayu! Ibu di kampung tidak mungkin sering memberi uang untukmu. Karena beliau sendiri sedang berjuang sebagai single parent. Minta sama Bapak?! Sepertinya tidak mungkin, pasti beliau sibuk dengan keluarga barunya.' gumam Dahayu. Dahayu menerawang kisahnya sebelum Ibu dan Bapaknya bercerai. Dahayu begitu bahagia karena sang Bapak selalu mengantar jemput sekolah dirinya dan selalu memberi apapun yang dirinya inginkan. Keharmonisan orang tua yang Dahayu lihat membuat dirinya merasa sempurna. Namun, entah karena apa, pada suatu hari Bapak meminta izin serta pamit pada Dahayu untuk bekerja. yang Dahayu tahu, sebelum Bapaknya per
Sinar mentari mulai menyoroti kaca jendela kamar yang sudah beberapa hari ini ditempati. Rumah lantai dua, paling besar diantara para tetangga yang berada di perumahan, menandakan pemilik rumah bukanlah orang biasa. "Jam berapa Ini?!" Dahayu mengucek matanya, Ia melirik jam yang berada di dinding kamarnya di lantai dua. "Sudah hampir jam tujuh! Kenapa si Om gak bangunin aku, sih!" decak Dahayu, ia menepuk keningnya lalu bergegas bangun dari tidurnya. Setelah membereskan tempat tidurnya, Dahayu pergi ke kamar mandi yang masih berada di dalam kamarnya. Sejak pertama masuk rumah tantenya, Dahayu begitu takjub dengan interiornya. Rumah ini begitu besar dan tertata rapih, sangat jauh bila dibandingkan dengan rumahnya yang berada di kampung. Dahayu segera menyelesaikan kegiatan di kamar mandi. Kemudian ia keluar kamar untuk menyiapkan makanan. Setelah sampai di dapur, ternyata Omnya suami dari tantenya yang bernama Mughni itu sudah nangkring di depan kompor sedang membuat kopi. "O