Sinar mentari mulai menyoroti kaca jendela kamar yang sudah beberapa hari ini ditempati. Rumah lantai dua, paling besar diantara para tetangga yang berada di perumahan, menandakan pemilik rumah bukanlah orang biasa.
"Jam berapa Ini?!" Dahayu mengucek matanya, Ia melirik jam yang berada di dinding kamarnya di lantai dua. "Sudah hampir jam tujuh! Kenapa si Om gak bangunin aku, sih!" decak Dahayu, ia menepuk keningnya lalu bergegas bangun dari tidurnya. Setelah membereskan tempat tidurnya, Dahayu pergi ke kamar mandi yang masih berada di dalam kamarnya. Sejak pertama masuk rumah tantenya, Dahayu begitu takjub dengan interiornya. Rumah ini begitu besar dan tertata rapih, sangat jauh bila dibandingkan dengan rumahnya yang berada di kampung. Dahayu segera menyelesaikan kegiatan di kamar mandi. Kemudian ia keluar kamar untuk menyiapkan makanan. Setelah sampai di dapur, ternyata Omnya suami dari tantenya yang bernama Mughni itu sudah nangkring di depan kompor sedang membuat kopi. "Om! Aku kira om belum bangun. Kenapa gak bangunin aku!" "Om kira kamu masih sakit, karena datang bulan. Jadi Om biarkan saja." Dahayu mengerucutkan bibirnya. Ia teringat dengan dirinya yang semalam begitu kesakitan perutnya karena datang bulan. "Makan dulu, sana! Sudah Om siapkan di meja makan. Om mau ngasih sarapan dulu untuk tantemu." Dahayu mengangguk pelan. Memandang punggung tegap omnya yang berlalu dengan membawa bubur serta susu untuk Adik dari Ibunya yang sedang sakit. 'Beruntung banget Tante dapat suami yang pengertian! Disaat sang istri sakit parah, banyak di luar sana para suami yang mencari pelampiasan hasratnya kepada perempuan lain. Namun, beda dengan Om Mughni, ia begitu sabar dan telaten mengurus sang istri yang sudah bertahun-tahun lemah tak berdaya.' Dahayu berbicara dalam hati. Tak mau membuang waktu, Dahayu langsung mengambil piring kemudian ia isi piring itu dengan berbagai makanan yang di masak oleh Omnya. "Udah mah ganteng! Kaya, baik, jago masak lagi! Benar-benar beruntung Tante Rahma mempunyai suami. Semoga nanti aku juga punya suami kaya Tante!" Dahayu terkekeh sendiri dengan harapannya. Setelah makan, Dahayu membereskan piring kotor yang ada di meja, kemudian ia langsung mencucinya karena tidak mau merepotkan asisten yang ada di rumah itu. "Neng! Tidak usah di bereskan. Nanti sama Bibi saja." "Tidak apa-apa, Bi! Bibi kerjakan yang lain saja." Asisten paruh baya itu pun mengangguk. Dahayu dengan telaten mencuci piring kotornya. Setelah selesai ia kemudian pergi ke lantai dua untuk mengganti baju seragam di kamarnya. Dahayu Nareswari namanya. Ia baru berusia 15 tahun. Dan baru saja pindah dari kampungnya untuk menemani Adik dari Ibunya yang sedang sakit. Dahayu pun menuruti ajakan tantenya dengan pindah sekolah karena ia merasa kasihan. "Om! Tante! Dahayu pergi sekolah." "Silahkan, Yu!" Mughni menjawab seruan Dahayu dari balik pintu kamarnya. "Mas, maafin aku." Rahma menghembuskan nafas berat. "Jangan putus asa! Kamu pasti sembuh. Mas gak akan kemana-mana, kamu harus yakin!" "Tapi Mas, aku sudah hampir tiga tahun lemah seperti ini. Mas pun juga sudah sabar selama ini. Kalau mau menikah lagi aku izinkan, Mas!" "Jangan ngada-ngada, Rahma!" "Mas pasti pengen punya Anak. Sedangkan aku gak--" "Cukup, Rahma! Jangan terus menyuruhku untuk mencari wanita lain! Aku sudah cukup punya kamu meski kamu sekarang sedang terbaring sakit," Mughni menghela nafas. "Tidak mudah untukku mencari kebahagiaanku sendiri di luar sana! Sedangkan sumber kebahagiaan yang sebenarnya aku biarkan dia menahan rasa sakit." Rahma menangis sesegukan, ia merasa bersyukur bersuamikan Mughni Radika yang sudah menemaninya selama tujuh tahun berumah tangga. Mughni yang menyadari Rahma menangis, ia langsung menyimpan mangkuk buburnya ke atas laci. Kemudian mendekap Rahma yang sedang duduk di atas ranjang. "Kamu harus yakin! Kamu pasti sembuh. Apa kamu tidak kasihan dengan Mas. Apa kamu tidak mau mengurus lagi keperluan Mas! Kamu harus sembuh, ya?" Rahma masih menangis pelan dipelukan Mughni. Ia takut Mughni berpaling karena ia tidak bisa memenuhi kebutuhan biologis Mughni. "Aku takut, Mas! Hiks." "Mas gak akan berpaling! Kamu harus yakin!" Rahma mengangguk. Kemudian ia melepaskan pelukan Mughni, lalu menyeka air mata yang masih saja keluar dari matanya. Mughni pun menyeka air mata Rahma yang sedang berada di fase lemahnya. Mughni merasa hancur ketika sang istri yang dicintainya mengalami kelumpuhan karena sebuah penyakit ganas menimpanya sejak tiga tahun yang lalu. "Sudah, ya! Jangan nangis, Mas mau buka toko dulu. Terus mau cek pemasukan dari kampung." Rahma mengangguk. "Hati-hati. Pulangnya jangan terlalu malam." Mughni mengangguk, kemudian mencium kening Rahma." Kalau ada apa-apa, panggil Bibi. Dahayu juga ada, mungkin pulangnya selepas duhur." "Iya Mas." Mughni mengambil jaket serta tas selempang yang biasa ia bawa ke luar rumah. Lalu keluar kamar menuju garasi dan mengendarai mobilnya. Selama di perjalanan menuju toko sembako yang ia dirikan tiga tahun yang lalu, Mughni terus memikirkan perkataan istrinya yang terus menerus menyuruhnya menikah lagi, Ya! Menikah agar bisa mempunyai Anak untuk meneruskan setiap bisnisnya. Mughni telah mendirikan toko sembako agar dirinya bisa mengalihkan rasa jenuhnya terhadap sang istri yang sudah tiga tahun terbaring lemah. Hasrat? Sebagai pria normal, tentu ia punya! Namun bukan suatu kebenaran apabila harus melampiaskannya kepada wanita lain selain istrinya. Mughni masih punya harga diri sebagai pria beristri! "Huuh." Mughni menghembuskan nafas. Ia berusaha untuk tidak memikirkan perkataan istrinya. Tidak lama setelah itu, ia sampai di Toko Sembako miliknya, Mughni memarkirkan mobil di pelataran toko yang lumayan luas. "Sep! Sudah pada datang belum pesanannya?" tanya Mughni kepada Asep yang menjadi karyawannya. "Sudah, Pak Bos! Saya simpan di gudang." Mughni mengangguk mengerti. Kemudian ia duduk di kursi kasir untuk menghitung pendapatan hari kemarin. "Mang Asep!" "Iya Pak Bos! Ada apa?" Asep membungkukkan punggungnya sebagai tanda penghormatan. "Ini, ada rezeki lebih," Mughni menyodorkan tiga amplop kepada Asep. "Bagikan satu orang satu amplop." Asep mengangguk paham. Tanpa bertanya untuk siapa saja, karena memang karyawan hanya ada dia yang bekerja sebagai pencatat keluar dan masuknya pesanan, Arman si pengangkut barang dan Elva yang melayani pelanggan. "Nanti akan ada keponakan saya ke sini. Tolong bimbing dia, saya akan pergi dulu ke rumah Mama." Asep mengangguk kembali. "Ya sudah, kamu boleh bekerja kembali." Sesuai yang di perintahkan oleh sang bos, Asep pun pergi menghampiri karyawan lainnya. "Ini dari Pak Bos!" "Alhamdulillah, Rizki Anak-anak!" Arman mengambil amplop itu kemudian ia menyuhunnya di atas kepalanya sejenak, kemudian ia memasukkan kedalam tasnya yang selalu ia bawa. "Alhamdulillah, dengan uang ini Elva juga bisa nabung buat masa depan yang cerah!" "Iya, terserah Neng Elva saja! Untuk apapun itu, Mang Asep dukung!" Elva cengengesan, kemudian ia bertanya. "Tadi Elva denger akan ada keponakan Pak Bos. Benar tidak?" Mang Asep mengangguk. "Mungkin nanti sepulang sekolah akan ke sini, karena masih kelas tiga SMP, jadi harus di bimbing." Elva dan Arman mengangguk. "Siap Mang!"Pukul 13:10 WIB. Dahayu melirik jam yang melingkar di tangannya. Saat ini ia sedang di dalam angkutan umum menuju rumah tantenya. Dahayu melirik keluar lewat kaca jendela angkutan umum yang sedang terbuka. Ia begitu takjub dengan kota yang ia tempati sekarang. Toko pakaian yang berdekatan, membuat jiwa pemborongnya meronta-ronta. 'Sekarang harus belajar hemat, Dayu! Ibu di kampung tidak mungkin sering memberi uang untukmu. Karena beliau sendiri sedang berjuang sebagai single parent. Minta sama Bapak?! Sepertinya tidak mungkin, pasti beliau sibuk dengan keluarga barunya.' gumam Dahayu. Dahayu menerawang kisahnya sebelum Ibu dan Bapaknya bercerai. Dahayu begitu bahagia karena sang Bapak selalu mengantar jemput sekolah dirinya dan selalu memberi apapun yang dirinya inginkan. Keharmonisan orang tua yang Dahayu lihat membuat dirinya merasa sempurna. Namun, entah karena apa, pada suatu hari Bapak meminta izin serta pamit pada Dahayu untuk bekerja. yang Dahayu tahu, sebelum Bapaknya per
Bi Darsih mengangguk pilu. "Alangkah baiknya, Ibu bicarakan soal ini dengan Pak Mughni. Kalau saya kan tidak punya kuasa apa-apa, takutnya nanti mereka tidak percaya dengan amanah Ibu yang disimpan di saya." "Aku sudah membicarakan ini dengan Mas Mughni, Bi! Tapi tidak membuahkan hasil. Akhirnya kami selalu bertengkar, Mas Mughni selalu menghindar." "Makanya Ibu jangan nyuruh-nyuruh Bapak menikah lagi. Bapak pasti kesal karena disuruh-suruh. Gimana kalau seandainya Bapak mengabulkan keinginan Ibu untuk menikah lagi? Apa Ibu tidak sakit hati? Apa Ibu tidak cemburu suami Ibu sama orang lain?" Rahma terdiam. Kemudian ia berkata, "Kalau soal itu. Pasti aku sakit hati, cemburu juga. Cuma aku kasihan sama Mas Mughni yang sudah bersabar terlalu lama." Bi Darsih mengangguk. "Bibi mengerti perasaan Ibu. Sekarang jangan terlalu dipikirkan. Bapak juga pasti berpikir mana yang baik dan tidaknya untuk dilakukan." Rahma mengangguk. "Do'akan aku ya, Bi! Semoga ada keajaiban Allah menyembu
Mughni menarik sudut bibirnya, ia tersenyum tipis melihat tingkah lucu Dahayu. Tanpa berkata apapun, Mughni beranjak pergi ke kamarnya meninggalkan Dahayu di meja makan. Dahayu mengambil air teh hangat tanpa gula yang berada di kitchen set, kemudian kembali duduk di kursi meja sembari menunggu omnya keluar dari kamarnya. Ceklek! Suara pintu dibuka terdengar oleh Dahayu, kemudian Dahayu melihat ke arah kamar Tante dan omnya. Dahayu tersenyum lebar, kemudian berlari menghampiri tantenya yang sedang duduk di kursi roda yang didorong oleh Mughni. "Selamat pagi tanteku tersayang ...." ucap Dahayu sembari memeluk tantenya yang sudah cantik serta wangi. "Selamat pagi juga keponakan Tante yang cantik!" jawab Rahma sembari menjepit hidung Dahayu. "Tante mau makan. Aku suapi yah?!" Rahma menggeleng. "Tante memang mau makan, tapi akan disuapi sama suami Tante sendiri." Mughni tersenyum. Ia merasakan kehangatan ketika sang istri bercanda dengan keponakannya. "Oke, Tan! Aku jadi peno
Mendengar suara Mughni yang terlihat kaget, membuat Rahma dan Dahayu menoleh ke arah belakang. Dahayu melepaskan pelukannya kemudian undur diri keluar dari kamar karena sudah ada Mughni yang akan menemani tantenya. "Eh! Mas, sudah pulang?" Rahma terdiam seketika. Ketika melihat Mama mertuanya masuk ke dalam kamar dengan seorang wanita yang sangat cantik dan elegan menurutnya. "Mama?" Rahma mencoba untuk tetap tersenyum ramah meski sapaannya tidak di gubris oleh mertuanya. Dahayu yang berpapasan dengan Mertua Rahma pun, mengangguk pelan. Kemudian Dahayu langsung keluar kamar karena tidak mau ikut campur dengan urusan rumah tangga tantenya. "Kamu masih sakit?" Rahma mengangguk pelan ketika sang Mertua bertanya keadaanya. "Perkenalkan, ini Lubis! Anak teman Mama yang akan Mama jodohkan dengan Mughni." "Ma!!" Mughni menggeleng, mencegah mamanya untuk tidak meneruskan ucapan yang mungkin akan lebih menyakitkan bila didengar oleh Rahma. "Hm?" Rahma tersenyum meringis. "Apa
"Oiya Bi, tadi Tante nyuruh aku untuk menelepon Ibu, katanya suruh ke sini. Tante pengen ketemu, padahal baru minggu kemarin Ibu kesini." "Bilangin saja, Neng! Kasihan. Dulu Bibi juga pernah punya saudara, beliau sering menyuruh Bibi untuk menemaninya, Padahal di rumah banyak Anak-anaknya yang ikut tinggal dengannya, akan tetapi beliau sering merasa kesepian. Tidak lama setelah itu beliau wafat." "Bibi, jangan nakut-nakutin Dayu!" Dayu mengerucutkan bibirnya. Bi Darsih tersenyum menanggapi Dahayu yang sedang kesal. "Bibi enggak nakutin kamu, tapi memang kaya gitu. Biasanya kalau orang itu tidak lama lagi hidup di dunia, ia akan selalu merasa kesepian atau sering melihat bayangan-bayangan orang yang sudah meninggal. Karena sebenarnya, 40 hari menjelang orang itu meninggal, di langit itu dia sudah menjadi mayit. Jadi, ruhnya bertemu dengan ruh-ruh orang yang sudah meninggal seperti keluarganya." "Kok, Dayu merinding ya Bi dengarnya!" Bi Darsih merangkul Dahayu yang bergidik nger
Drttt ... Drtt ... Mughni merasakan getaran ponselnya yang berada di dalam saku bajunya. Ia membiarkan panggilan itu hingga berhenti bergetar. Karena perjalanan menuju toko miliknya hanya tinggal beberapa langkah saja. "Dayu," gumam Mughni ketika melihat siapa yang meneleponnya. "Ada apa ya?" Karena rasa penasarannya. Mughni pun balik menghubungi Dahayu. "Hallo, Om!" "Ada apa, Yu?" "Om sudah sampai mana?!" "Ini baru sampai. Ada apa?" "Om, ini Tante pingsan! Dari tadi Ibu bangunin gak bangun-bangun. Kata Ibu, Om pulang dulu! Dayu takut Tante kenapa-napa," ucap Dahayu yang membuat Mughni mengernyitkan dahi. Karena baru saja sebelum berangkat ia melihat sang istri biasa saja. "Iya Yu, Om pulang sekarang!." "Hati-hati di jalan Om!" "Iya." Setelah mengakhiri panggilan dengan Dahayu. Mughni langsung masuk kembali ke dalam mobilnya meninggalkan toko tanpa bertemu dahulu dengan para karyawannya. Selama di perjalanan menuju rumah, Mughni terus berdo'a dan berharap semua ba
"Serangan jantung? Istri saya memang mempunyai penyakit jantung, Dok! Tetapi selama ini dia baik-baik saja meski dalam keadaan tubuhnya yang lumpuh," jelas Mughni. "Apa sebelum Bapak keluar dari kamar, Ibu Rahma dibiarkan sendiri?" Mughni mengangguk, "iya Dok, karena kebetulan ada kakak ipar saya di rumah yang sedang memasak." Dokter itu mengangguk, kemudian terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. "Apa ada kamera tersembunyi di kamar, Pak?" "Kebetulan ada, memangnya kenapa, Dok?" tanya Mughni penasaran. Dokter pun mengangguk, "belum tahu alasannya apa yang membuat istri napak kena serangan jantung. Coba Bapak lihat saja lewat kamera itu, barangkali ada petunjuk." "Baik Dok. Nanti saya akan cek." Setelah perbincangan itu Mughni kembali ke tempat dimana Rahma di baringkan. Ia melihat suami kakak iparnya masuk ke dalam ruangan. Mungkin baru saja datang setelah Dahayu memberitahunya. "Yang sabar!" Suami kakak iparnya itu menepuk bahu Mughni. Mencoba memberikan semangat at
Sebagai pria yang mempunyai bakat penulis, ia juga harus bisa menjadi seseorang yang ramah untuk bisa menarik hati para pembaca. Setelah membalas komentaran dari Dahayu, Mughni langsung membuka kamera tersembunyi yang sempat tertunda. Mughni mengepalkan telapak tangannya hingga terlihat urat jarinya. Nafasnya begitu memburu. Ia menggebrak meja dengan kilatan amarah terlihat dari sorot mata tajamnya. "Sialan!" Mughni berusaha untuk tetap tenang meski ingin berteriak memaki orang yang terlihat di kamera tersebut. Ia harus tahu kenapa orang itu tega melakukannya kepada sang istri yang sudah menganggapnya orang yang sangat dipercayainya. Mughni teringat dengan wajah sang istri yang selalu bersamanya. Mughni tidak menyangka. Orang yang ia percayai adalah orang yang pertama menghancurkan kebahagiaannya. Mughni bangkit dari duduknya. Kemudian keluar menuju kamar orang yang ia maksud. Ia butuh penjelasan kenapa orang itu melakukannya. Tok Tok! Hening.Tok Tok! Masih hening. Kam
Sebagai pria yang mempunyai bakat penulis, ia juga harus bisa menjadi seseorang yang ramah untuk bisa menarik hati para pembaca. Setelah membalas komentaran dari Dahayu, Mughni langsung membuka kamera tersembunyi yang sempat tertunda. Mughni mengepalkan telapak tangannya hingga terlihat urat jarinya. Nafasnya begitu memburu. Ia menggebrak meja dengan kilatan amarah terlihat dari sorot mata tajamnya. "Sialan!" Mughni berusaha untuk tetap tenang meski ingin berteriak memaki orang yang terlihat di kamera tersebut. Ia harus tahu kenapa orang itu tega melakukannya kepada sang istri yang sudah menganggapnya orang yang sangat dipercayainya. Mughni teringat dengan wajah sang istri yang selalu bersamanya. Mughni tidak menyangka. Orang yang ia percayai adalah orang yang pertama menghancurkan kebahagiaannya. Mughni bangkit dari duduknya. Kemudian keluar menuju kamar orang yang ia maksud. Ia butuh penjelasan kenapa orang itu melakukannya. Tok Tok! Hening.Tok Tok! Masih hening. Kam
"Serangan jantung? Istri saya memang mempunyai penyakit jantung, Dok! Tetapi selama ini dia baik-baik saja meski dalam keadaan tubuhnya yang lumpuh," jelas Mughni. "Apa sebelum Bapak keluar dari kamar, Ibu Rahma dibiarkan sendiri?" Mughni mengangguk, "iya Dok, karena kebetulan ada kakak ipar saya di rumah yang sedang memasak." Dokter itu mengangguk, kemudian terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. "Apa ada kamera tersembunyi di kamar, Pak?" "Kebetulan ada, memangnya kenapa, Dok?" tanya Mughni penasaran. Dokter pun mengangguk, "belum tahu alasannya apa yang membuat istri napak kena serangan jantung. Coba Bapak lihat saja lewat kamera itu, barangkali ada petunjuk." "Baik Dok. Nanti saya akan cek." Setelah perbincangan itu Mughni kembali ke tempat dimana Rahma di baringkan. Ia melihat suami kakak iparnya masuk ke dalam ruangan. Mungkin baru saja datang setelah Dahayu memberitahunya. "Yang sabar!" Suami kakak iparnya itu menepuk bahu Mughni. Mencoba memberikan semangat at
Drttt ... Drtt ... Mughni merasakan getaran ponselnya yang berada di dalam saku bajunya. Ia membiarkan panggilan itu hingga berhenti bergetar. Karena perjalanan menuju toko miliknya hanya tinggal beberapa langkah saja. "Dayu," gumam Mughni ketika melihat siapa yang meneleponnya. "Ada apa ya?" Karena rasa penasarannya. Mughni pun balik menghubungi Dahayu. "Hallo, Om!" "Ada apa, Yu?" "Om sudah sampai mana?!" "Ini baru sampai. Ada apa?" "Om, ini Tante pingsan! Dari tadi Ibu bangunin gak bangun-bangun. Kata Ibu, Om pulang dulu! Dayu takut Tante kenapa-napa," ucap Dahayu yang membuat Mughni mengernyitkan dahi. Karena baru saja sebelum berangkat ia melihat sang istri biasa saja. "Iya Yu, Om pulang sekarang!." "Hati-hati di jalan Om!" "Iya." Setelah mengakhiri panggilan dengan Dahayu. Mughni langsung masuk kembali ke dalam mobilnya meninggalkan toko tanpa bertemu dahulu dengan para karyawannya. Selama di perjalanan menuju rumah, Mughni terus berdo'a dan berharap semua ba
"Oiya Bi, tadi Tante nyuruh aku untuk menelepon Ibu, katanya suruh ke sini. Tante pengen ketemu, padahal baru minggu kemarin Ibu kesini." "Bilangin saja, Neng! Kasihan. Dulu Bibi juga pernah punya saudara, beliau sering menyuruh Bibi untuk menemaninya, Padahal di rumah banyak Anak-anaknya yang ikut tinggal dengannya, akan tetapi beliau sering merasa kesepian. Tidak lama setelah itu beliau wafat." "Bibi, jangan nakut-nakutin Dayu!" Dayu mengerucutkan bibirnya. Bi Darsih tersenyum menanggapi Dahayu yang sedang kesal. "Bibi enggak nakutin kamu, tapi memang kaya gitu. Biasanya kalau orang itu tidak lama lagi hidup di dunia, ia akan selalu merasa kesepian atau sering melihat bayangan-bayangan orang yang sudah meninggal. Karena sebenarnya, 40 hari menjelang orang itu meninggal, di langit itu dia sudah menjadi mayit. Jadi, ruhnya bertemu dengan ruh-ruh orang yang sudah meninggal seperti keluarganya." "Kok, Dayu merinding ya Bi dengarnya!" Bi Darsih merangkul Dahayu yang bergidik nger
Mendengar suara Mughni yang terlihat kaget, membuat Rahma dan Dahayu menoleh ke arah belakang. Dahayu melepaskan pelukannya kemudian undur diri keluar dari kamar karena sudah ada Mughni yang akan menemani tantenya. "Eh! Mas, sudah pulang?" Rahma terdiam seketika. Ketika melihat Mama mertuanya masuk ke dalam kamar dengan seorang wanita yang sangat cantik dan elegan menurutnya. "Mama?" Rahma mencoba untuk tetap tersenyum ramah meski sapaannya tidak di gubris oleh mertuanya. Dahayu yang berpapasan dengan Mertua Rahma pun, mengangguk pelan. Kemudian Dahayu langsung keluar kamar karena tidak mau ikut campur dengan urusan rumah tangga tantenya. "Kamu masih sakit?" Rahma mengangguk pelan ketika sang Mertua bertanya keadaanya. "Perkenalkan, ini Lubis! Anak teman Mama yang akan Mama jodohkan dengan Mughni." "Ma!!" Mughni menggeleng, mencegah mamanya untuk tidak meneruskan ucapan yang mungkin akan lebih menyakitkan bila didengar oleh Rahma. "Hm?" Rahma tersenyum meringis. "Apa
Mughni menarik sudut bibirnya, ia tersenyum tipis melihat tingkah lucu Dahayu. Tanpa berkata apapun, Mughni beranjak pergi ke kamarnya meninggalkan Dahayu di meja makan. Dahayu mengambil air teh hangat tanpa gula yang berada di kitchen set, kemudian kembali duduk di kursi meja sembari menunggu omnya keluar dari kamarnya. Ceklek! Suara pintu dibuka terdengar oleh Dahayu, kemudian Dahayu melihat ke arah kamar Tante dan omnya. Dahayu tersenyum lebar, kemudian berlari menghampiri tantenya yang sedang duduk di kursi roda yang didorong oleh Mughni. "Selamat pagi tanteku tersayang ...." ucap Dahayu sembari memeluk tantenya yang sudah cantik serta wangi. "Selamat pagi juga keponakan Tante yang cantik!" jawab Rahma sembari menjepit hidung Dahayu. "Tante mau makan. Aku suapi yah?!" Rahma menggeleng. "Tante memang mau makan, tapi akan disuapi sama suami Tante sendiri." Mughni tersenyum. Ia merasakan kehangatan ketika sang istri bercanda dengan keponakannya. "Oke, Tan! Aku jadi peno
Bi Darsih mengangguk pilu. "Alangkah baiknya, Ibu bicarakan soal ini dengan Pak Mughni. Kalau saya kan tidak punya kuasa apa-apa, takutnya nanti mereka tidak percaya dengan amanah Ibu yang disimpan di saya." "Aku sudah membicarakan ini dengan Mas Mughni, Bi! Tapi tidak membuahkan hasil. Akhirnya kami selalu bertengkar, Mas Mughni selalu menghindar." "Makanya Ibu jangan nyuruh-nyuruh Bapak menikah lagi. Bapak pasti kesal karena disuruh-suruh. Gimana kalau seandainya Bapak mengabulkan keinginan Ibu untuk menikah lagi? Apa Ibu tidak sakit hati? Apa Ibu tidak cemburu suami Ibu sama orang lain?" Rahma terdiam. Kemudian ia berkata, "Kalau soal itu. Pasti aku sakit hati, cemburu juga. Cuma aku kasihan sama Mas Mughni yang sudah bersabar terlalu lama." Bi Darsih mengangguk. "Bibi mengerti perasaan Ibu. Sekarang jangan terlalu dipikirkan. Bapak juga pasti berpikir mana yang baik dan tidaknya untuk dilakukan." Rahma mengangguk. "Do'akan aku ya, Bi! Semoga ada keajaiban Allah menyembu
Pukul 13:10 WIB. Dahayu melirik jam yang melingkar di tangannya. Saat ini ia sedang di dalam angkutan umum menuju rumah tantenya. Dahayu melirik keluar lewat kaca jendela angkutan umum yang sedang terbuka. Ia begitu takjub dengan kota yang ia tempati sekarang. Toko pakaian yang berdekatan, membuat jiwa pemborongnya meronta-ronta. 'Sekarang harus belajar hemat, Dayu! Ibu di kampung tidak mungkin sering memberi uang untukmu. Karena beliau sendiri sedang berjuang sebagai single parent. Minta sama Bapak?! Sepertinya tidak mungkin, pasti beliau sibuk dengan keluarga barunya.' gumam Dahayu. Dahayu menerawang kisahnya sebelum Ibu dan Bapaknya bercerai. Dahayu begitu bahagia karena sang Bapak selalu mengantar jemput sekolah dirinya dan selalu memberi apapun yang dirinya inginkan. Keharmonisan orang tua yang Dahayu lihat membuat dirinya merasa sempurna. Namun, entah karena apa, pada suatu hari Bapak meminta izin serta pamit pada Dahayu untuk bekerja. yang Dahayu tahu, sebelum Bapaknya per
Sinar mentari mulai menyoroti kaca jendela kamar yang sudah beberapa hari ini ditempati. Rumah lantai dua, paling besar diantara para tetangga yang berada di perumahan, menandakan pemilik rumah bukanlah orang biasa. "Jam berapa Ini?!" Dahayu mengucek matanya, Ia melirik jam yang berada di dinding kamarnya di lantai dua. "Sudah hampir jam tujuh! Kenapa si Om gak bangunin aku, sih!" decak Dahayu, ia menepuk keningnya lalu bergegas bangun dari tidurnya. Setelah membereskan tempat tidurnya, Dahayu pergi ke kamar mandi yang masih berada di dalam kamarnya. Sejak pertama masuk rumah tantenya, Dahayu begitu takjub dengan interiornya. Rumah ini begitu besar dan tertata rapih, sangat jauh bila dibandingkan dengan rumahnya yang berada di kampung. Dahayu segera menyelesaikan kegiatan di kamar mandi. Kemudian ia keluar kamar untuk menyiapkan makanan. Setelah sampai di dapur, ternyata Omnya suami dari tantenya yang bernama Mughni itu sudah nangkring di depan kompor sedang membuat kopi. "O