Beranda / Pernikahan / Wasiat Turun Ranjang / Wasiat Turun Ranjang 6

Share

Wasiat Turun Ranjang 6

Penulis: Mariah Siti
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Oiya Bi, tadi Tante nyuruh aku untuk menelepon Ibu, katanya suruh ke sini. Tante pengen ketemu, padahal baru minggu kemarin Ibu kesini."

"Bilangin saja, Neng! Kasihan. Dulu Bibi juga pernah punya saudara, beliau sering menyuruh Bibi untuk menemaninya, Padahal di rumah banyak Anak-anaknya yang ikut tinggal dengannya, akan tetapi beliau sering merasa kesepian. Tidak lama setelah itu beliau wafat."

"Bibi, jangan nakut-nakutin Dayu!" Dayu mengerucutkan bibirnya. Bi Darsih tersenyum menanggapi Dahayu yang sedang kesal.

"Bibi enggak nakutin kamu, tapi memang kaya gitu. Biasanya kalau orang itu tidak lama lagi hidup di dunia, ia akan selalu merasa kesepian atau sering melihat bayangan-bayangan orang yang sudah meninggal. Karena sebenarnya, 40 hari menjelang orang itu meninggal, di langit itu dia sudah menjadi mayit. Jadi, ruhnya bertemu dengan ruh-ruh orang yang sudah meninggal seperti keluarganya."

"Kok, Dayu merinding ya Bi dengarnya!"

Bi Darsih merangkul Dahayu yang bergidik ngeri. "Makanya, selagi tantemu ada, temani dan turuti apa maunya, biar gak menyesal nanti." Dahayu mengangguk.

"Ya sudah, Bi! Dayu ke luar dulu ya."

Setelah mengobrol dengan Bi Darsih. Dayahu pergi dari kamar Bi Darsih menuju kamarnya, dan tak pikir panjang, Dahayu langsung menghubungi ibunya.

"Ada apa, Yu?" jawab Bu Desri di kampung sana.

"Iya, insyaallah besok Ibu ke sana."

"Jangan takut, kasihan tantemu kalau kamu takut."

"Iya, Yu. Wa'alaikum salam."

Setelah menelepon sang Ibu. Dahayu pun pergi menuju lantai satu untuk membereskan kamar tamu yang akan ditempati oleh ibunya untuk beberapa hari.

***

Keesokan harinya, ketika waktu pagi di atas meja makan, hanya ada Dahayu yang sedang duduk memperhatikan Bi Darsih yang sedang memasak untuk sarapan mereka. Sesekali mereka membahas cara memasak yang enak serta cepat dan tepat.

Mereka terlihat begitu seru berbincang. Namun, tidak dengan Mughni dan Rahma. Semenjak kepulangan mamanya Mughni kemarin sore, Dahayu tidak melihat lagi Omnya keluar dari kamar meski hanya sekejap, untuk makan pun Bi Darsih yang menghantarkannya, Dahayu tidak berani untuk melihat keadaan sang tante selama ada Mughni di dalamnya.

"Assalamu'alaikum ...."

"Sttt ... Bi! Itu seperti suara Ibu!" Dahayu menyimpan telunjuk di bibirnya. Bi Darsih pun mengangguk membenarkan dugaan Dahayu.

"Ya sudah, Neng ke depan saja. Ini biar Bibi yang bereskan." Dahayu mengangguk, kemudian beranjak pergi dari dapur menuju ruangan depan.

"Wa'alaikum salam ...." Dahayu menjawab salam ibunya kemudian membuka pintu.

"Ibu, kenapa sendiri? Bapak kemana?"

"Barusan cuma mengantar, lalu pulang lagi karena harus kerja."

Dahayu mengangguk, lalu memboyong Ibunya ke dapur dan mendudukkannya di kursi meja makan.

"Ibu sekarang gimana? Apa masih suka pegal-pegal?"

"Sedikit, sebelum tidur Bapak selalu memijit badan Ibu."

"Syukurlah, kalau Bapak begitu perhatian. Semoga Adik Dayu nanti mirip Bapak. Beliau sangat bijaksana, perhatian, pasti bakal mampu menggandeng keluarga menuju kebaikan."

"Amiin." Desri hanya tersenyum menanggapi harapan Dahayu.

"Silahkan Bu, Ini air hangatnya. Ibu pasti merasa haus, atau mau dibuatkan susu?"

"Tidak Bi! Ini cukup, Terima kasih Bi." Bi Darsih mengangguk.

Desri- Ibu yang melahirkan Dahayu itu pun meminum air hangat yang disuguhkan Bi Darsih. Sedangkan Dahayu setelah mendudukkan ibunya ia pamit untuk memberitahu Om dan Tante Rahma prihal kedatangan ibunya.

"Om! Itu Ibu sudah datang."

Tidak ada jawaban dari dalam sana. Namun, terdengar oleh Dahayu suara langkah kaki yang berjalan menuju pintu.

"Sudah sampai?" tanya Mughni yang diangguki Dahayu.

"Ajak masuk ke kamar aja, Yu! Tante sudah nungguin."

"Siap Om!"

Mughni membiarkan daun pintu kamarnya terbuka setelah Dahayu pergi. Sedangkan dirinya langsung kembali ke dalam kamar untuk memberi tahu bahwa Kakak kesayangannya sudah tiba.

"Rahma ...." seru Desri ketika memasuki kamar Rahma.

"Eh, Mbak. Maafin Rahma ya Mbak, sering ngerepotin Mbak. Rahma kangen."

"Iya gak apa-apa. Kalau ada sesuatu yang kamu pengen bilang saja sama Mbak," ucap Desri sembari memeluk adiknya dengan erat.

"Ada yang mau aku omongin sama Mbak, sebelum aku gak punya kesempatan lagi menyampaikannya."

"Iya silahkan, Mbak akan menuruti apa maumu."

Mughni yang mendengar jawaban kakak iparnya pun menggeleng pelan. Ia tidak mau bila kakak iparnya menuruti permintaan sang istri yang menurutnya tidak mungkin.

"Mbak, aku berharap banget. Bila nanti aku tiada, Mbak jangan nikahkan Dahayu dengan orang lain." Desri terdiam. Ia tahu maksud dari arah pembicaraan sang Adik kemana. Desri mengangguk pelan, namun bukan berarti setuju dengan keinginan Sang Adik.

Obrolan pun mengalir begitu saja. Desri selalu menanggapi apapun yang Rahma keluhkan. Termasuk tentang mertuanya yang akan menjodohkan Mughni. Mughni hanya bisa memperhatikan kakak beradik itu dari kejauhan, sesekali menanggapi obrolan mereka. Mughni merasakan kehangatan dalam dadanya ketika melihat sang istri begitu bahagis ketika bersama saudaranya.

Mughni teringat dengan masa ketika ia akan menikahi Rahma, Ia selalu Mendatangi Kakak iparnya untuk meminta izin untuk membawa Rahma ngedate di luar rumah.

Terkadang juga hanya bertemu di rumah Mbak Desri, dengan resiko diganggu oleh Dahayu. Dahayu yang masih berusia tujuh tahun itu selalu menginginkan Mughni menemaninya bermain. Yang akhirnya Rahma yang sangat menyayangi keponakannya pun harus mengalah waktunya terbagi.

"Dek Mughni!" Mughni mengerjapkan matanya ketika kakak iparnya memanggil.

"Eh iya kak. Ada apa?" jawab Mughni tergagap ketika Desri menepuk bahu Mughni. Desri hanya tersenyum menanggapi adik iparnya yang melamun.

"Jangan melamun! Ini istrimu katanya pengen ke kamar mandi. Mbak gak bisa bantu."

"Oh iya, Aku kira apa Mbak!" Mughni beranjak dari kursinya, kemudian menghampiri Rahma yang berbaring di atas kasur.

"Kamu ngelamunin apa sih, Mas. Dipanggil-panggil gak nyahut." Bukannya menjawab, Mughni malah menggendong istrinya sembari tersenyum ke kamar mandi.

Karena tidak ada jawaban dari suaminya. Rahma pun semakin kesal. "Mas!"

"Iya sayang apa? Mas gak ngelamunin apa-apa, kok! Mas cuma teringat dengan kisah kita sebelum menikah aja."

"Kisah kita yang mana, Mas?"

"Ya banyak! Jangan penasaran. Sekarang kamu tunaikan dulu hajatmu. Mas tunggu."

Rahma memajukan bibirnya karena kesal sang suami tidak memberitahu tentang kisah mereka mereka sebelum menikah.

"Mas! Sudah." Mughni langsung menghampiri Rahma ketika Rahma memanggilnya. Setelah membersihkan badan Rahma dari percikan air, Mughni menggendong Rahma kembali dan membaringkannya di atas ranjang.

"Mbak Desri kemana?" tanya Mughni sembari celingukan mencari kakak iparnya.

"Keluar, karena ngobrolnya sudah."

Mughni mengangguk. "Tadi tuh, Mas lihat kalian mengobrol begitu jadi ingat ketika kita belum menikah. Sebelum kemana-mana pasti minta izin sama Mbak Desri. Kalau gak diizinin pasti cuma bisa ketemuan di rumahnya saja dengan resiko diganggu oleh Dahayu," kekeh Mughni.

"Iya, Mas. Aku tuh sayang banget sama Dahayu. Aku ingin Dahayu juga merasakan kebahagiaan dengan memiliki suami seperti Mas. Aku sangat kasihan padanya, karena dari kecil dia tidak bisa merasakan kasih sayang dari ayahnya."

Mughni mengangguk. Ia sudah lelah menanggapi Rahma yang selalu menyuruhnya menikahi Dahayu.

"Mas, gak ke toko?"

"Sebentar lagi, apa tidak apa-apa kamu di sini gak Mas temani?"

"Gak apa-apa Mas, berangkat saja. Karena Mbak Desri akan lama di sini."

"Oke! Mas berangkat dulu ya," ucap Mughni sembari mencium kening Rahma. Kemudian Mughni mengambil tas selempang kesayangannya lalu meninggalkan Rahma yang sedari tadi terus menatapnya kagum.

Setelah memastikan semuanya baik-baik saja. Mughni menaiki mobil dan menjalankannya menuju toko sembako miliknya.

Drttt ... Drtt ...

"Hallo, Yu! Ada Apa?"

"Ini Om baru sampai di toko."

"Iya, Om akan pulang sekarang!"

Bab terkait

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 7

    Drttt ... Drtt ... Mughni merasakan getaran ponselnya yang berada di dalam saku bajunya. Ia membiarkan panggilan itu hingga berhenti bergetar. Karena perjalanan menuju toko miliknya hanya tinggal beberapa langkah saja. "Dayu," gumam Mughni ketika melihat siapa yang meneleponnya. "Ada apa ya?" Karena rasa penasarannya. Mughni pun balik menghubungi Dahayu. "Hallo, Om!" "Ada apa, Yu?" "Om sudah sampai mana?!" "Ini baru sampai. Ada apa?" "Om, ini Tante pingsan! Dari tadi Ibu bangunin gak bangun-bangun. Kata Ibu, Om pulang dulu! Dayu takut Tante kenapa-napa," ucap Dahayu yang membuat Mughni mengernyitkan dahi. Karena baru saja sebelum berangkat ia melihat sang istri biasa saja. "Iya Yu, Om pulang sekarang!." "Hati-hati di jalan Om!" "Iya." Setelah mengakhiri panggilan dengan Dahayu. Mughni langsung masuk kembali ke dalam mobilnya meninggalkan toko tanpa bertemu dahulu dengan para karyawannya. Selama di perjalanan menuju rumah, Mughni terus berdo'a dan berharap semua ba

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 8

    "Serangan jantung? Istri saya memang mempunyai penyakit jantung, Dok! Tetapi selama ini dia baik-baik saja meski dalam keadaan tubuhnya yang lumpuh," jelas Mughni. "Apa sebelum Bapak keluar dari kamar, Ibu Rahma dibiarkan sendiri?" Mughni mengangguk, "iya Dok, karena kebetulan ada kakak ipar saya di rumah yang sedang memasak." Dokter itu mengangguk, kemudian terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. "Apa ada kamera tersembunyi di kamar, Pak?" "Kebetulan ada, memangnya kenapa, Dok?" tanya Mughni penasaran. Dokter pun mengangguk, "belum tahu alasannya apa yang membuat istri napak kena serangan jantung. Coba Bapak lihat saja lewat kamera itu, barangkali ada petunjuk." "Baik Dok. Nanti saya akan cek." Setelah perbincangan itu Mughni kembali ke tempat dimana Rahma di baringkan. Ia melihat suami kakak iparnya masuk ke dalam ruangan. Mungkin baru saja datang setelah Dahayu memberitahunya. "Yang sabar!" Suami kakak iparnya itu menepuk bahu Mughni. Mencoba memberikan semangat at

  • Wasiat Turun Ranjang   Turun Ranjang 9

    Sebagai pria yang mempunyai bakat penulis, ia juga harus bisa menjadi seseorang yang ramah untuk bisa menarik hati para pembaca. Setelah membalas komentaran dari Dahayu, Mughni langsung membuka kamera tersembunyi yang sempat tertunda. Mughni mengepalkan telapak tangannya hingga terlihat urat jarinya. Nafasnya begitu memburu. Ia menggebrak meja dengan kilatan amarah terlihat dari sorot mata tajamnya. "Sialan!" Mughni berusaha untuk tetap tenang meski ingin berteriak memaki orang yang terlihat di kamera tersebut. Ia harus tahu kenapa orang itu tega melakukannya kepada sang istri yang sudah menganggapnya orang yang sangat dipercayainya. Mughni teringat dengan wajah sang istri yang selalu bersamanya. Mughni tidak menyangka. Orang yang ia percayai adalah orang yang pertama menghancurkan kebahagiaannya. Mughni bangkit dari duduknya. Kemudian keluar menuju kamar orang yang ia maksud. Ia butuh penjelasan kenapa orang itu melakukannya. Tok Tok! Hening.Tok Tok! Masih hening. Kam

  • Wasiat Turun Ranjang   Kedatangan Dahayu

    Sinar mentari mulai menyoroti kaca jendela kamar yang sudah beberapa hari ini ditempati. Rumah lantai dua, paling besar diantara para tetangga yang berada di perumahan, menandakan pemilik rumah bukanlah orang biasa. "Jam berapa Ini?!" Dahayu mengucek matanya, Ia melirik jam yang berada di dinding kamarnya di lantai dua. "Sudah hampir jam tujuh! Kenapa si Om gak bangunin aku, sih!" decak Dahayu, ia menepuk keningnya lalu bergegas bangun dari tidurnya. Setelah membereskan tempat tidurnya, Dahayu pergi ke kamar mandi yang masih berada di dalam kamarnya. Sejak pertama masuk rumah tantenya, Dahayu begitu takjub dengan interiornya. Rumah ini begitu besar dan tertata rapih, sangat jauh bila dibandingkan dengan rumahnya yang berada di kampung. Dahayu segera menyelesaikan kegiatan di kamar mandi. Kemudian ia keluar kamar untuk menyiapkan makanan. Setelah sampai di dapur, ternyata Omnya suami dari tantenya yang bernama Mughni itu sudah nangkring di depan kompor sedang membuat kopi. "O

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 2

    Pukul 13:10 WIB. Dahayu melirik jam yang melingkar di tangannya. Saat ini ia sedang di dalam angkutan umum menuju rumah tantenya. Dahayu melirik keluar lewat kaca jendela angkutan umum yang sedang terbuka. Ia begitu takjub dengan kota yang ia tempati sekarang. Toko pakaian yang berdekatan, membuat jiwa pemborongnya meronta-ronta. 'Sekarang harus belajar hemat, Dayu! Ibu di kampung tidak mungkin sering memberi uang untukmu. Karena beliau sendiri sedang berjuang sebagai single parent. Minta sama Bapak?! Sepertinya tidak mungkin, pasti beliau sibuk dengan keluarga barunya.' gumam Dahayu. Dahayu menerawang kisahnya sebelum Ibu dan Bapaknya bercerai. Dahayu begitu bahagia karena sang Bapak selalu mengantar jemput sekolah dirinya dan selalu memberi apapun yang dirinya inginkan. Keharmonisan orang tua yang Dahayu lihat membuat dirinya merasa sempurna. Namun, entah karena apa, pada suatu hari Bapak meminta izin serta pamit pada Dahayu untuk bekerja. yang Dahayu tahu, sebelum Bapaknya per

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 3

    Bi Darsih mengangguk pilu. "Alangkah baiknya, Ibu bicarakan soal ini dengan Pak Mughni. Kalau saya kan tidak punya kuasa apa-apa, takutnya nanti mereka tidak percaya dengan amanah Ibu yang disimpan di saya." "Aku sudah membicarakan ini dengan Mas Mughni, Bi! Tapi tidak membuahkan hasil. Akhirnya kami selalu bertengkar, Mas Mughni selalu menghindar." "Makanya Ibu jangan nyuruh-nyuruh Bapak menikah lagi. Bapak pasti kesal karena disuruh-suruh. Gimana kalau seandainya Bapak mengabulkan keinginan Ibu untuk menikah lagi? Apa Ibu tidak sakit hati? Apa Ibu tidak cemburu suami Ibu sama orang lain?" Rahma terdiam. Kemudian ia berkata, "Kalau soal itu. Pasti aku sakit hati, cemburu juga. Cuma aku kasihan sama Mas Mughni yang sudah bersabar terlalu lama." Bi Darsih mengangguk. "Bibi mengerti perasaan Ibu. Sekarang jangan terlalu dipikirkan. Bapak juga pasti berpikir mana yang baik dan tidaknya untuk dilakukan." Rahma mengangguk. "Do'akan aku ya, Bi! Semoga ada keajaiban Allah menyembu

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 4

    Mughni menarik sudut bibirnya, ia tersenyum tipis melihat tingkah lucu Dahayu. Tanpa berkata apapun, Mughni beranjak pergi ke kamarnya meninggalkan Dahayu di meja makan. Dahayu mengambil air teh hangat tanpa gula yang berada di kitchen set, kemudian kembali duduk di kursi meja sembari menunggu omnya keluar dari kamarnya. Ceklek! Suara pintu dibuka terdengar oleh Dahayu, kemudian Dahayu melihat ke arah kamar Tante dan omnya. Dahayu tersenyum lebar, kemudian berlari menghampiri tantenya yang sedang duduk di kursi roda yang didorong oleh Mughni. "Selamat pagi tanteku tersayang ...." ucap Dahayu sembari memeluk tantenya yang sudah cantik serta wangi. "Selamat pagi juga keponakan Tante yang cantik!" jawab Rahma sembari menjepit hidung Dahayu. "Tante mau makan. Aku suapi yah?!" Rahma menggeleng. "Tante memang mau makan, tapi akan disuapi sama suami Tante sendiri." Mughni tersenyum. Ia merasakan kehangatan ketika sang istri bercanda dengan keponakannya. "Oke, Tan! Aku jadi peno

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 5

    Mendengar suara Mughni yang terlihat kaget, membuat Rahma dan Dahayu menoleh ke arah belakang. Dahayu melepaskan pelukannya kemudian undur diri keluar dari kamar karena sudah ada Mughni yang akan menemani tantenya. "Eh! Mas, sudah pulang?" Rahma terdiam seketika. Ketika melihat Mama mertuanya masuk ke dalam kamar dengan seorang wanita yang sangat cantik dan elegan menurutnya. "Mama?" Rahma mencoba untuk tetap tersenyum ramah meski sapaannya tidak di gubris oleh mertuanya. Dahayu yang berpapasan dengan Mertua Rahma pun, mengangguk pelan. Kemudian Dahayu langsung keluar kamar karena tidak mau ikut campur dengan urusan rumah tangga tantenya. "Kamu masih sakit?" Rahma mengangguk pelan ketika sang Mertua bertanya keadaanya. "Perkenalkan, ini Lubis! Anak teman Mama yang akan Mama jodohkan dengan Mughni." "Ma!!" Mughni menggeleng, mencegah mamanya untuk tidak meneruskan ucapan yang mungkin akan lebih menyakitkan bila didengar oleh Rahma. "Hm?" Rahma tersenyum meringis. "Apa

Bab terbaru

  • Wasiat Turun Ranjang   Turun Ranjang 9

    Sebagai pria yang mempunyai bakat penulis, ia juga harus bisa menjadi seseorang yang ramah untuk bisa menarik hati para pembaca. Setelah membalas komentaran dari Dahayu, Mughni langsung membuka kamera tersembunyi yang sempat tertunda. Mughni mengepalkan telapak tangannya hingga terlihat urat jarinya. Nafasnya begitu memburu. Ia menggebrak meja dengan kilatan amarah terlihat dari sorot mata tajamnya. "Sialan!" Mughni berusaha untuk tetap tenang meski ingin berteriak memaki orang yang terlihat di kamera tersebut. Ia harus tahu kenapa orang itu tega melakukannya kepada sang istri yang sudah menganggapnya orang yang sangat dipercayainya. Mughni teringat dengan wajah sang istri yang selalu bersamanya. Mughni tidak menyangka. Orang yang ia percayai adalah orang yang pertama menghancurkan kebahagiaannya. Mughni bangkit dari duduknya. Kemudian keluar menuju kamar orang yang ia maksud. Ia butuh penjelasan kenapa orang itu melakukannya. Tok Tok! Hening.Tok Tok! Masih hening. Kam

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 8

    "Serangan jantung? Istri saya memang mempunyai penyakit jantung, Dok! Tetapi selama ini dia baik-baik saja meski dalam keadaan tubuhnya yang lumpuh," jelas Mughni. "Apa sebelum Bapak keluar dari kamar, Ibu Rahma dibiarkan sendiri?" Mughni mengangguk, "iya Dok, karena kebetulan ada kakak ipar saya di rumah yang sedang memasak." Dokter itu mengangguk, kemudian terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. "Apa ada kamera tersembunyi di kamar, Pak?" "Kebetulan ada, memangnya kenapa, Dok?" tanya Mughni penasaran. Dokter pun mengangguk, "belum tahu alasannya apa yang membuat istri napak kena serangan jantung. Coba Bapak lihat saja lewat kamera itu, barangkali ada petunjuk." "Baik Dok. Nanti saya akan cek." Setelah perbincangan itu Mughni kembali ke tempat dimana Rahma di baringkan. Ia melihat suami kakak iparnya masuk ke dalam ruangan. Mungkin baru saja datang setelah Dahayu memberitahunya. "Yang sabar!" Suami kakak iparnya itu menepuk bahu Mughni. Mencoba memberikan semangat at

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 7

    Drttt ... Drtt ... Mughni merasakan getaran ponselnya yang berada di dalam saku bajunya. Ia membiarkan panggilan itu hingga berhenti bergetar. Karena perjalanan menuju toko miliknya hanya tinggal beberapa langkah saja. "Dayu," gumam Mughni ketika melihat siapa yang meneleponnya. "Ada apa ya?" Karena rasa penasarannya. Mughni pun balik menghubungi Dahayu. "Hallo, Om!" "Ada apa, Yu?" "Om sudah sampai mana?!" "Ini baru sampai. Ada apa?" "Om, ini Tante pingsan! Dari tadi Ibu bangunin gak bangun-bangun. Kata Ibu, Om pulang dulu! Dayu takut Tante kenapa-napa," ucap Dahayu yang membuat Mughni mengernyitkan dahi. Karena baru saja sebelum berangkat ia melihat sang istri biasa saja. "Iya Yu, Om pulang sekarang!." "Hati-hati di jalan Om!" "Iya." Setelah mengakhiri panggilan dengan Dahayu. Mughni langsung masuk kembali ke dalam mobilnya meninggalkan toko tanpa bertemu dahulu dengan para karyawannya. Selama di perjalanan menuju rumah, Mughni terus berdo'a dan berharap semua ba

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 6

    "Oiya Bi, tadi Tante nyuruh aku untuk menelepon Ibu, katanya suruh ke sini. Tante pengen ketemu, padahal baru minggu kemarin Ibu kesini." "Bilangin saja, Neng! Kasihan. Dulu Bibi juga pernah punya saudara, beliau sering menyuruh Bibi untuk menemaninya, Padahal di rumah banyak Anak-anaknya yang ikut tinggal dengannya, akan tetapi beliau sering merasa kesepian. Tidak lama setelah itu beliau wafat." "Bibi, jangan nakut-nakutin Dayu!" Dayu mengerucutkan bibirnya. Bi Darsih tersenyum menanggapi Dahayu yang sedang kesal. "Bibi enggak nakutin kamu, tapi memang kaya gitu. Biasanya kalau orang itu tidak lama lagi hidup di dunia, ia akan selalu merasa kesepian atau sering melihat bayangan-bayangan orang yang sudah meninggal. Karena sebenarnya, 40 hari menjelang orang itu meninggal, di langit itu dia sudah menjadi mayit. Jadi, ruhnya bertemu dengan ruh-ruh orang yang sudah meninggal seperti keluarganya." "Kok, Dayu merinding ya Bi dengarnya!" Bi Darsih merangkul Dahayu yang bergidik nger

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 5

    Mendengar suara Mughni yang terlihat kaget, membuat Rahma dan Dahayu menoleh ke arah belakang. Dahayu melepaskan pelukannya kemudian undur diri keluar dari kamar karena sudah ada Mughni yang akan menemani tantenya. "Eh! Mas, sudah pulang?" Rahma terdiam seketika. Ketika melihat Mama mertuanya masuk ke dalam kamar dengan seorang wanita yang sangat cantik dan elegan menurutnya. "Mama?" Rahma mencoba untuk tetap tersenyum ramah meski sapaannya tidak di gubris oleh mertuanya. Dahayu yang berpapasan dengan Mertua Rahma pun, mengangguk pelan. Kemudian Dahayu langsung keluar kamar karena tidak mau ikut campur dengan urusan rumah tangga tantenya. "Kamu masih sakit?" Rahma mengangguk pelan ketika sang Mertua bertanya keadaanya. "Perkenalkan, ini Lubis! Anak teman Mama yang akan Mama jodohkan dengan Mughni." "Ma!!" Mughni menggeleng, mencegah mamanya untuk tidak meneruskan ucapan yang mungkin akan lebih menyakitkan bila didengar oleh Rahma. "Hm?" Rahma tersenyum meringis. "Apa

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 4

    Mughni menarik sudut bibirnya, ia tersenyum tipis melihat tingkah lucu Dahayu. Tanpa berkata apapun, Mughni beranjak pergi ke kamarnya meninggalkan Dahayu di meja makan. Dahayu mengambil air teh hangat tanpa gula yang berada di kitchen set, kemudian kembali duduk di kursi meja sembari menunggu omnya keluar dari kamarnya. Ceklek! Suara pintu dibuka terdengar oleh Dahayu, kemudian Dahayu melihat ke arah kamar Tante dan omnya. Dahayu tersenyum lebar, kemudian berlari menghampiri tantenya yang sedang duduk di kursi roda yang didorong oleh Mughni. "Selamat pagi tanteku tersayang ...." ucap Dahayu sembari memeluk tantenya yang sudah cantik serta wangi. "Selamat pagi juga keponakan Tante yang cantik!" jawab Rahma sembari menjepit hidung Dahayu. "Tante mau makan. Aku suapi yah?!" Rahma menggeleng. "Tante memang mau makan, tapi akan disuapi sama suami Tante sendiri." Mughni tersenyum. Ia merasakan kehangatan ketika sang istri bercanda dengan keponakannya. "Oke, Tan! Aku jadi peno

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 3

    Bi Darsih mengangguk pilu. "Alangkah baiknya, Ibu bicarakan soal ini dengan Pak Mughni. Kalau saya kan tidak punya kuasa apa-apa, takutnya nanti mereka tidak percaya dengan amanah Ibu yang disimpan di saya." "Aku sudah membicarakan ini dengan Mas Mughni, Bi! Tapi tidak membuahkan hasil. Akhirnya kami selalu bertengkar, Mas Mughni selalu menghindar." "Makanya Ibu jangan nyuruh-nyuruh Bapak menikah lagi. Bapak pasti kesal karena disuruh-suruh. Gimana kalau seandainya Bapak mengabulkan keinginan Ibu untuk menikah lagi? Apa Ibu tidak sakit hati? Apa Ibu tidak cemburu suami Ibu sama orang lain?" Rahma terdiam. Kemudian ia berkata, "Kalau soal itu. Pasti aku sakit hati, cemburu juga. Cuma aku kasihan sama Mas Mughni yang sudah bersabar terlalu lama." Bi Darsih mengangguk. "Bibi mengerti perasaan Ibu. Sekarang jangan terlalu dipikirkan. Bapak juga pasti berpikir mana yang baik dan tidaknya untuk dilakukan." Rahma mengangguk. "Do'akan aku ya, Bi! Semoga ada keajaiban Allah menyembu

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 2

    Pukul 13:10 WIB. Dahayu melirik jam yang melingkar di tangannya. Saat ini ia sedang di dalam angkutan umum menuju rumah tantenya. Dahayu melirik keluar lewat kaca jendela angkutan umum yang sedang terbuka. Ia begitu takjub dengan kota yang ia tempati sekarang. Toko pakaian yang berdekatan, membuat jiwa pemborongnya meronta-ronta. 'Sekarang harus belajar hemat, Dayu! Ibu di kampung tidak mungkin sering memberi uang untukmu. Karena beliau sendiri sedang berjuang sebagai single parent. Minta sama Bapak?! Sepertinya tidak mungkin, pasti beliau sibuk dengan keluarga barunya.' gumam Dahayu. Dahayu menerawang kisahnya sebelum Ibu dan Bapaknya bercerai. Dahayu begitu bahagia karena sang Bapak selalu mengantar jemput sekolah dirinya dan selalu memberi apapun yang dirinya inginkan. Keharmonisan orang tua yang Dahayu lihat membuat dirinya merasa sempurna. Namun, entah karena apa, pada suatu hari Bapak meminta izin serta pamit pada Dahayu untuk bekerja. yang Dahayu tahu, sebelum Bapaknya per

  • Wasiat Turun Ranjang   Kedatangan Dahayu

    Sinar mentari mulai menyoroti kaca jendela kamar yang sudah beberapa hari ini ditempati. Rumah lantai dua, paling besar diantara para tetangga yang berada di perumahan, menandakan pemilik rumah bukanlah orang biasa. "Jam berapa Ini?!" Dahayu mengucek matanya, Ia melirik jam yang berada di dinding kamarnya di lantai dua. "Sudah hampir jam tujuh! Kenapa si Om gak bangunin aku, sih!" decak Dahayu, ia menepuk keningnya lalu bergegas bangun dari tidurnya. Setelah membereskan tempat tidurnya, Dahayu pergi ke kamar mandi yang masih berada di dalam kamarnya. Sejak pertama masuk rumah tantenya, Dahayu begitu takjub dengan interiornya. Rumah ini begitu besar dan tertata rapih, sangat jauh bila dibandingkan dengan rumahnya yang berada di kampung. Dahayu segera menyelesaikan kegiatan di kamar mandi. Kemudian ia keluar kamar untuk menyiapkan makanan. Setelah sampai di dapur, ternyata Omnya suami dari tantenya yang bernama Mughni itu sudah nangkring di depan kompor sedang membuat kopi. "O

DMCA.com Protection Status