Home / Pernikahan / Wasiat Turun Ranjang / Wasiat Turun Ranjang 8

Share

Wasiat Turun Ranjang 8

Author: Mariah Siti
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Serangan jantung? Istri saya memang mempunyai penyakit jantung, Dok! Tetapi selama ini dia baik-baik saja meski dalam keadaan tubuhnya yang lumpuh," jelas Mughni.

"Apa sebelum Bapak keluar dari kamar, Ibu Rahma dibiarkan sendiri?"

Mughni mengangguk, "iya Dok, karena kebetulan ada kakak ipar saya di rumah yang sedang memasak." Dokter itu mengangguk, kemudian terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Apa ada kamera tersembunyi di kamar, Pak?"

"Kebetulan ada, memangnya kenapa, Dok?" tanya Mughni penasaran.

Dokter pun mengangguk, "belum tahu alasannya apa yang membuat istri napak kena serangan jantung. Coba Bapak lihat saja lewat kamera itu, barangkali ada petunjuk."

"Baik Dok. Nanti saya akan cek."

Setelah perbincangan itu Mughni kembali ke tempat dimana Rahma di baringkan. Ia melihat suami kakak iparnya masuk ke dalam ruangan. Mungkin baru saja datang setelah Dahayu memberitahunya.

"Yang sabar!" Suami kakak iparnya itu menepuk bahu Mughni. Mencoba memberikan semangat atas ujian yang menimpanya.

Mughni mengangguk, "kita bawa pulang Rahma sekarang Mbak. Apa Bi Darsih sudah di beritahu?"

"Sudah Dek, barusan diberitahu sama Dahayu, katanya di sana akan siap-siap."

Mughni membereskan semua barangnya yang sempat ia bawa ke Rumah Sakit. Lalu menyimpan di dalam mobilnya yang akan dibawa oleh sang sopir. Ia kembali ke ruangan IGD untuk menjemput Rahma lalu ikut pulang dengan mengendarai mobil ambulance.

Ketika sudah sampai di rumah, ternyata sudah banyak saudara dan tetangga yang bertakziah memenuhi ruangan rumahnya.

"Syukurlah! Sekarang kamu bebas, Ni!"

Mughni menghela nafas, "jangan mulai, Ma! Ini masih berduka."

"Yang berduka itu cuma kamu! Orang lain malah senang kalau istrimu tiada."

Mughni terdiam, bila dijawab pasti ia akan tetap kalah bila lawan bicaranya adalah perempuan yang melahirkannya.

"Mughni mau mengurus Rahma dulu, Ma. Kalau ada apa-apa Mama bisa minta tolong Bi Darsih atau Dahayu."

"Ck! IYa sudah, sana!" decaknya sembari mengipas-ngipas wajahnya karena merasa gerah dengan hijab yang jarang beliau pakai.

Mughni meninggalkan Mamanya lalu menghampiri Dahayu yang sedang menyiapkan alat-alat untuk ikut memandikan jenazah tantenya.

"Yu!"

"Ia Om, Kenapa?"

"Kamu mau ikut memandikan jenazahnya Tante?"

Dahayu mengangguk, "kapan lagi Dahayu memandikan Tante, ini kesempatan terakhir Dayu bisa lihat wajah Tante," terang Dahayu sembari mendekap kain untuk jenazah tantenya.

"Ya sudah, gak jadi." Mughni langsung pergi meninggalkan Dahayu yang sedang kebingungan.

Dahayu mengerutkan keningnya melihat tingkah sang paman, Karena tidak mendapatkan jawaban, ia pun mengangkat kedua bahunya lalu pergi untuk ikut memandikan jenazah sang tante untuk terakhir kalinya.

Beberapa jam kemudian rangkaian mengurus jenazah selesai. Jenazah Rahma di makamkan di TPU Umum. Karena Mughni pikir bila di makamkan di halaman rumah takutnya rumahnya di jual dan tidak ada yang mengurusnya.

Semua orang kembali ke rumah masing-masing. Sang Mama juga telah berpulang kembali ke rumahnya yang lumayan berjarak jauh. Kini rumah itu terasa sepi. Semua penghuni sudah masuk kedalam kamarnya masing-masing.

Hari Mulai beranjak malam. Mughni mengamati kamarnya yang sudah bertahun-tahun ditempati oleh dirinya dan sang istri. Rasa sepi itu mulai menghinggapi dirinya, menyeruak hingga ke benda-benda yang berada di sekitarnya.

Mughni tidak menyangka bahwa malam kemarin adalah malam terakhir bersama sang istri. Ia berjalan menuju rak kecil yang berada di sudut ranjang, lalu mengambil bingkai foto dirinya bersama sang istri ketika mereka bulan madu di puncak.

"Sesingkat inikah kisah kita, Sayang?"

"Kita belum merasakan kehangatan dalam mahligai pernikahan. Namun, takdir memilihmu pergi meninggalkanku secepat ini," gumam Mughni dengan tangan yang mengusap foto wajah sang istri.

Mughni beristigfar memohon ampunan untuk dirinya dan sang istri. Ia mencium foto itu kemudian meletakan kembali ketempat semula.

Mughni langsung membaringkan tubuhnya di atas ranjang yang pernah ditempati oleh sang istri. Ia mendekap bekas selimut Rahma yang mempunyai aroma yang selalu membuatnya candu.

Mughni menghirup nafas dalam lalu menghembuskannya. Ia berdo'a sebelum matanya tertutup dan pikirannya melalang buana ke alam mimpi.

Keesokan harinya Mughni tidak berangkat ke toko. Ia menyerahkan semua pekerjaannya kepada orang-orang yang ia percayai.

Di rumah masih ada kakak ipar serta suaminya yang akan mengurus pengajian untuk mendoakan sang istri.

"Untuk cemilannya biar gak ribeut pesan saja, Dek. Biar nanti langsung dibagikan saja kepada jamaah yang datang."

Mughni mengangguk, "saya serahkan semuanya kepada Mbak aja. Nanti saya yang bayar."

"Ya sudah. Mas, kamu bersedia sama Dahayu pergi ke tempat makan yang ada di depan?" tanya Bu Destri kepada sang suami.

"Iya, ayo."

"Ya sudah, sekarang saja berangkatnya. Mumpung masih pagi."

Dahayu mengangguk, kemudian beranjak menuju kamarnya untuk mengambil ponsel miliknya, lalu kembali ke ruangan yang sedang berkumpul.

"Bapak sudah nunggu di depan, katanya kamu langsung kesana aja." Dahayu mengangguk. Kemudian mencium tangan ibunya serta Om Mughni.

Seharian itu Mughni begitu sibuk mondar mandir membantu membereskan rumah bersama Bi Darsih.

Waktu sore pun tiba. Acara berdoa untuk sang istri telah dilaksanakan hingga waktu sore. Setelahnya Mughni kembali membereskan tempat duduk para jamaah.

Mughni berbaring di sofa yang ada di ruangan televisi. Disana ada Dahayu yang sedang cekikikan asik dengan ponsel digenggamannya.

"Lagi apa Yu? Ketawa sendiri kaya orang stres." ucapnya membuat Dahayu menoleh ke arah Mughni.

"Ini om.! Aku lagi baca novel. Novelnya seru!"

"Siapa yang nulis?" tanya Mughni penasaran.

"Gak tahu, Om. Nama penanya disamarkan."

Mughni tidak menjawab kembali ucapan Dahayu. Ia malah meneruskan berbaring di atas sofa karena merasa lelah.

Malam yang gelap telah tiba. Mughni mengambil laptopnya yang sedari kemarin belum sempat ia lihat. Ia membuka akun sosial medianya yang tidak ada satu orang pun yang tahu nama samaran yang ia gunakan bersamaan dengan nama penanya.

Sebagai penulis rahasia, tidak ada yang tahu bahwa dirinya sudah menikah. Ia tidak pernah menjawab sapaan dan pertanyaan dari siapapun bila ada yang mengirim pesan padanya.

Mughni mulai merangkai kata, kata yang mewakili perasaannya saat ini. Ia biarkan jarinya bergerak sesuai arahan dari perasaannya.

BAHAGIA YANG HILANG

Kepergianmu membawa separuh bahagiaku

Tawa yang selalu kuberikan untukmu kini sirna bersama tiadanya dirimu

Kemana lagi aku mencari bahagia itu kembali?

Sedangkan separuh bahagiaku telah kuberikan hanya untukmu.

Pelataran Hati, 20:00 WIB.

Mughni mengunggah puisi itu di wall pribadinya. Belum juga satu menit, sudah banyak akun yang menyukai statusnya. Mughni mencoba melihat siapa saja yang menyukai dan memberikan komentar ke status yang ia buat.

Tidak sangka akun yang bernama Dahayu Nareswari memberikan reaksi love pada statusnya. Mughni kaget. Ia membuka profil akun itu untuk memastikan bahwa itu benar milik keponakannya. Ternyata benar! Kapan ia berteman dengan keponakannya itu. Padahal ia sudah menutupi identitasnya serapat mungkin

- Pikirnya.

[ @DahayuNareswari : Met malam Kak. Semoga bahagia selalu.]

Mughni begitu syok membaca komentaran dari Dahayu. Ia menepuk jidatnya kemudian menghela nafas.

Related chapters

  • Wasiat Turun Ranjang   Turun Ranjang 9

    Sebagai pria yang mempunyai bakat penulis, ia juga harus bisa menjadi seseorang yang ramah untuk bisa menarik hati para pembaca. Setelah membalas komentaran dari Dahayu, Mughni langsung membuka kamera tersembunyi yang sempat tertunda. Mughni mengepalkan telapak tangannya hingga terlihat urat jarinya. Nafasnya begitu memburu. Ia menggebrak meja dengan kilatan amarah terlihat dari sorot mata tajamnya. "Sialan!" Mughni berusaha untuk tetap tenang meski ingin berteriak memaki orang yang terlihat di kamera tersebut. Ia harus tahu kenapa orang itu tega melakukannya kepada sang istri yang sudah menganggapnya orang yang sangat dipercayainya. Mughni teringat dengan wajah sang istri yang selalu bersamanya. Mughni tidak menyangka. Orang yang ia percayai adalah orang yang pertama menghancurkan kebahagiaannya. Mughni bangkit dari duduknya. Kemudian keluar menuju kamar orang yang ia maksud. Ia butuh penjelasan kenapa orang itu melakukannya. Tok Tok! Hening.Tok Tok! Masih hening. Kam

  • Wasiat Turun Ranjang   Kedatangan Dahayu

    Sinar mentari mulai menyoroti kaca jendela kamar yang sudah beberapa hari ini ditempati. Rumah lantai dua, paling besar diantara para tetangga yang berada di perumahan, menandakan pemilik rumah bukanlah orang biasa. "Jam berapa Ini?!" Dahayu mengucek matanya, Ia melirik jam yang berada di dinding kamarnya di lantai dua. "Sudah hampir jam tujuh! Kenapa si Om gak bangunin aku, sih!" decak Dahayu, ia menepuk keningnya lalu bergegas bangun dari tidurnya. Setelah membereskan tempat tidurnya, Dahayu pergi ke kamar mandi yang masih berada di dalam kamarnya. Sejak pertama masuk rumah tantenya, Dahayu begitu takjub dengan interiornya. Rumah ini begitu besar dan tertata rapih, sangat jauh bila dibandingkan dengan rumahnya yang berada di kampung. Dahayu segera menyelesaikan kegiatan di kamar mandi. Kemudian ia keluar kamar untuk menyiapkan makanan. Setelah sampai di dapur, ternyata Omnya suami dari tantenya yang bernama Mughni itu sudah nangkring di depan kompor sedang membuat kopi. "O

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 2

    Pukul 13:10 WIB. Dahayu melirik jam yang melingkar di tangannya. Saat ini ia sedang di dalam angkutan umum menuju rumah tantenya. Dahayu melirik keluar lewat kaca jendela angkutan umum yang sedang terbuka. Ia begitu takjub dengan kota yang ia tempati sekarang. Toko pakaian yang berdekatan, membuat jiwa pemborongnya meronta-ronta. 'Sekarang harus belajar hemat, Dayu! Ibu di kampung tidak mungkin sering memberi uang untukmu. Karena beliau sendiri sedang berjuang sebagai single parent. Minta sama Bapak?! Sepertinya tidak mungkin, pasti beliau sibuk dengan keluarga barunya.' gumam Dahayu. Dahayu menerawang kisahnya sebelum Ibu dan Bapaknya bercerai. Dahayu begitu bahagia karena sang Bapak selalu mengantar jemput sekolah dirinya dan selalu memberi apapun yang dirinya inginkan. Keharmonisan orang tua yang Dahayu lihat membuat dirinya merasa sempurna. Namun, entah karena apa, pada suatu hari Bapak meminta izin serta pamit pada Dahayu untuk bekerja. yang Dahayu tahu, sebelum Bapaknya per

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 3

    Bi Darsih mengangguk pilu. "Alangkah baiknya, Ibu bicarakan soal ini dengan Pak Mughni. Kalau saya kan tidak punya kuasa apa-apa, takutnya nanti mereka tidak percaya dengan amanah Ibu yang disimpan di saya." "Aku sudah membicarakan ini dengan Mas Mughni, Bi! Tapi tidak membuahkan hasil. Akhirnya kami selalu bertengkar, Mas Mughni selalu menghindar." "Makanya Ibu jangan nyuruh-nyuruh Bapak menikah lagi. Bapak pasti kesal karena disuruh-suruh. Gimana kalau seandainya Bapak mengabulkan keinginan Ibu untuk menikah lagi? Apa Ibu tidak sakit hati? Apa Ibu tidak cemburu suami Ibu sama orang lain?" Rahma terdiam. Kemudian ia berkata, "Kalau soal itu. Pasti aku sakit hati, cemburu juga. Cuma aku kasihan sama Mas Mughni yang sudah bersabar terlalu lama." Bi Darsih mengangguk. "Bibi mengerti perasaan Ibu. Sekarang jangan terlalu dipikirkan. Bapak juga pasti berpikir mana yang baik dan tidaknya untuk dilakukan." Rahma mengangguk. "Do'akan aku ya, Bi! Semoga ada keajaiban Allah menyembu

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 4

    Mughni menarik sudut bibirnya, ia tersenyum tipis melihat tingkah lucu Dahayu. Tanpa berkata apapun, Mughni beranjak pergi ke kamarnya meninggalkan Dahayu di meja makan. Dahayu mengambil air teh hangat tanpa gula yang berada di kitchen set, kemudian kembali duduk di kursi meja sembari menunggu omnya keluar dari kamarnya. Ceklek! Suara pintu dibuka terdengar oleh Dahayu, kemudian Dahayu melihat ke arah kamar Tante dan omnya. Dahayu tersenyum lebar, kemudian berlari menghampiri tantenya yang sedang duduk di kursi roda yang didorong oleh Mughni. "Selamat pagi tanteku tersayang ...." ucap Dahayu sembari memeluk tantenya yang sudah cantik serta wangi. "Selamat pagi juga keponakan Tante yang cantik!" jawab Rahma sembari menjepit hidung Dahayu. "Tante mau makan. Aku suapi yah?!" Rahma menggeleng. "Tante memang mau makan, tapi akan disuapi sama suami Tante sendiri." Mughni tersenyum. Ia merasakan kehangatan ketika sang istri bercanda dengan keponakannya. "Oke, Tan! Aku jadi peno

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 5

    Mendengar suara Mughni yang terlihat kaget, membuat Rahma dan Dahayu menoleh ke arah belakang. Dahayu melepaskan pelukannya kemudian undur diri keluar dari kamar karena sudah ada Mughni yang akan menemani tantenya. "Eh! Mas, sudah pulang?" Rahma terdiam seketika. Ketika melihat Mama mertuanya masuk ke dalam kamar dengan seorang wanita yang sangat cantik dan elegan menurutnya. "Mama?" Rahma mencoba untuk tetap tersenyum ramah meski sapaannya tidak di gubris oleh mertuanya. Dahayu yang berpapasan dengan Mertua Rahma pun, mengangguk pelan. Kemudian Dahayu langsung keluar kamar karena tidak mau ikut campur dengan urusan rumah tangga tantenya. "Kamu masih sakit?" Rahma mengangguk pelan ketika sang Mertua bertanya keadaanya. "Perkenalkan, ini Lubis! Anak teman Mama yang akan Mama jodohkan dengan Mughni." "Ma!!" Mughni menggeleng, mencegah mamanya untuk tidak meneruskan ucapan yang mungkin akan lebih menyakitkan bila didengar oleh Rahma. "Hm?" Rahma tersenyum meringis. "Apa

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 6

    "Oiya Bi, tadi Tante nyuruh aku untuk menelepon Ibu, katanya suruh ke sini. Tante pengen ketemu, padahal baru minggu kemarin Ibu kesini." "Bilangin saja, Neng! Kasihan. Dulu Bibi juga pernah punya saudara, beliau sering menyuruh Bibi untuk menemaninya, Padahal di rumah banyak Anak-anaknya yang ikut tinggal dengannya, akan tetapi beliau sering merasa kesepian. Tidak lama setelah itu beliau wafat." "Bibi, jangan nakut-nakutin Dayu!" Dayu mengerucutkan bibirnya. Bi Darsih tersenyum menanggapi Dahayu yang sedang kesal. "Bibi enggak nakutin kamu, tapi memang kaya gitu. Biasanya kalau orang itu tidak lama lagi hidup di dunia, ia akan selalu merasa kesepian atau sering melihat bayangan-bayangan orang yang sudah meninggal. Karena sebenarnya, 40 hari menjelang orang itu meninggal, di langit itu dia sudah menjadi mayit. Jadi, ruhnya bertemu dengan ruh-ruh orang yang sudah meninggal seperti keluarganya." "Kok, Dayu merinding ya Bi dengarnya!" Bi Darsih merangkul Dahayu yang bergidik nger

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 7

    Drttt ... Drtt ... Mughni merasakan getaran ponselnya yang berada di dalam saku bajunya. Ia membiarkan panggilan itu hingga berhenti bergetar. Karena perjalanan menuju toko miliknya hanya tinggal beberapa langkah saja. "Dayu," gumam Mughni ketika melihat siapa yang meneleponnya. "Ada apa ya?" Karena rasa penasarannya. Mughni pun balik menghubungi Dahayu. "Hallo, Om!" "Ada apa, Yu?" "Om sudah sampai mana?!" "Ini baru sampai. Ada apa?" "Om, ini Tante pingsan! Dari tadi Ibu bangunin gak bangun-bangun. Kata Ibu, Om pulang dulu! Dayu takut Tante kenapa-napa," ucap Dahayu yang membuat Mughni mengernyitkan dahi. Karena baru saja sebelum berangkat ia melihat sang istri biasa saja. "Iya Yu, Om pulang sekarang!." "Hati-hati di jalan Om!" "Iya." Setelah mengakhiri panggilan dengan Dahayu. Mughni langsung masuk kembali ke dalam mobilnya meninggalkan toko tanpa bertemu dahulu dengan para karyawannya. Selama di perjalanan menuju rumah, Mughni terus berdo'a dan berharap semua ba

Latest chapter

  • Wasiat Turun Ranjang   Turun Ranjang 9

    Sebagai pria yang mempunyai bakat penulis, ia juga harus bisa menjadi seseorang yang ramah untuk bisa menarik hati para pembaca. Setelah membalas komentaran dari Dahayu, Mughni langsung membuka kamera tersembunyi yang sempat tertunda. Mughni mengepalkan telapak tangannya hingga terlihat urat jarinya. Nafasnya begitu memburu. Ia menggebrak meja dengan kilatan amarah terlihat dari sorot mata tajamnya. "Sialan!" Mughni berusaha untuk tetap tenang meski ingin berteriak memaki orang yang terlihat di kamera tersebut. Ia harus tahu kenapa orang itu tega melakukannya kepada sang istri yang sudah menganggapnya orang yang sangat dipercayainya. Mughni teringat dengan wajah sang istri yang selalu bersamanya. Mughni tidak menyangka. Orang yang ia percayai adalah orang yang pertama menghancurkan kebahagiaannya. Mughni bangkit dari duduknya. Kemudian keluar menuju kamar orang yang ia maksud. Ia butuh penjelasan kenapa orang itu melakukannya. Tok Tok! Hening.Tok Tok! Masih hening. Kam

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 8

    "Serangan jantung? Istri saya memang mempunyai penyakit jantung, Dok! Tetapi selama ini dia baik-baik saja meski dalam keadaan tubuhnya yang lumpuh," jelas Mughni. "Apa sebelum Bapak keluar dari kamar, Ibu Rahma dibiarkan sendiri?" Mughni mengangguk, "iya Dok, karena kebetulan ada kakak ipar saya di rumah yang sedang memasak." Dokter itu mengangguk, kemudian terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. "Apa ada kamera tersembunyi di kamar, Pak?" "Kebetulan ada, memangnya kenapa, Dok?" tanya Mughni penasaran. Dokter pun mengangguk, "belum tahu alasannya apa yang membuat istri napak kena serangan jantung. Coba Bapak lihat saja lewat kamera itu, barangkali ada petunjuk." "Baik Dok. Nanti saya akan cek." Setelah perbincangan itu Mughni kembali ke tempat dimana Rahma di baringkan. Ia melihat suami kakak iparnya masuk ke dalam ruangan. Mungkin baru saja datang setelah Dahayu memberitahunya. "Yang sabar!" Suami kakak iparnya itu menepuk bahu Mughni. Mencoba memberikan semangat at

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 7

    Drttt ... Drtt ... Mughni merasakan getaran ponselnya yang berada di dalam saku bajunya. Ia membiarkan panggilan itu hingga berhenti bergetar. Karena perjalanan menuju toko miliknya hanya tinggal beberapa langkah saja. "Dayu," gumam Mughni ketika melihat siapa yang meneleponnya. "Ada apa ya?" Karena rasa penasarannya. Mughni pun balik menghubungi Dahayu. "Hallo, Om!" "Ada apa, Yu?" "Om sudah sampai mana?!" "Ini baru sampai. Ada apa?" "Om, ini Tante pingsan! Dari tadi Ibu bangunin gak bangun-bangun. Kata Ibu, Om pulang dulu! Dayu takut Tante kenapa-napa," ucap Dahayu yang membuat Mughni mengernyitkan dahi. Karena baru saja sebelum berangkat ia melihat sang istri biasa saja. "Iya Yu, Om pulang sekarang!." "Hati-hati di jalan Om!" "Iya." Setelah mengakhiri panggilan dengan Dahayu. Mughni langsung masuk kembali ke dalam mobilnya meninggalkan toko tanpa bertemu dahulu dengan para karyawannya. Selama di perjalanan menuju rumah, Mughni terus berdo'a dan berharap semua ba

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 6

    "Oiya Bi, tadi Tante nyuruh aku untuk menelepon Ibu, katanya suruh ke sini. Tante pengen ketemu, padahal baru minggu kemarin Ibu kesini." "Bilangin saja, Neng! Kasihan. Dulu Bibi juga pernah punya saudara, beliau sering menyuruh Bibi untuk menemaninya, Padahal di rumah banyak Anak-anaknya yang ikut tinggal dengannya, akan tetapi beliau sering merasa kesepian. Tidak lama setelah itu beliau wafat." "Bibi, jangan nakut-nakutin Dayu!" Dayu mengerucutkan bibirnya. Bi Darsih tersenyum menanggapi Dahayu yang sedang kesal. "Bibi enggak nakutin kamu, tapi memang kaya gitu. Biasanya kalau orang itu tidak lama lagi hidup di dunia, ia akan selalu merasa kesepian atau sering melihat bayangan-bayangan orang yang sudah meninggal. Karena sebenarnya, 40 hari menjelang orang itu meninggal, di langit itu dia sudah menjadi mayit. Jadi, ruhnya bertemu dengan ruh-ruh orang yang sudah meninggal seperti keluarganya." "Kok, Dayu merinding ya Bi dengarnya!" Bi Darsih merangkul Dahayu yang bergidik nger

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 5

    Mendengar suara Mughni yang terlihat kaget, membuat Rahma dan Dahayu menoleh ke arah belakang. Dahayu melepaskan pelukannya kemudian undur diri keluar dari kamar karena sudah ada Mughni yang akan menemani tantenya. "Eh! Mas, sudah pulang?" Rahma terdiam seketika. Ketika melihat Mama mertuanya masuk ke dalam kamar dengan seorang wanita yang sangat cantik dan elegan menurutnya. "Mama?" Rahma mencoba untuk tetap tersenyum ramah meski sapaannya tidak di gubris oleh mertuanya. Dahayu yang berpapasan dengan Mertua Rahma pun, mengangguk pelan. Kemudian Dahayu langsung keluar kamar karena tidak mau ikut campur dengan urusan rumah tangga tantenya. "Kamu masih sakit?" Rahma mengangguk pelan ketika sang Mertua bertanya keadaanya. "Perkenalkan, ini Lubis! Anak teman Mama yang akan Mama jodohkan dengan Mughni." "Ma!!" Mughni menggeleng, mencegah mamanya untuk tidak meneruskan ucapan yang mungkin akan lebih menyakitkan bila didengar oleh Rahma. "Hm?" Rahma tersenyum meringis. "Apa

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 4

    Mughni menarik sudut bibirnya, ia tersenyum tipis melihat tingkah lucu Dahayu. Tanpa berkata apapun, Mughni beranjak pergi ke kamarnya meninggalkan Dahayu di meja makan. Dahayu mengambil air teh hangat tanpa gula yang berada di kitchen set, kemudian kembali duduk di kursi meja sembari menunggu omnya keluar dari kamarnya. Ceklek! Suara pintu dibuka terdengar oleh Dahayu, kemudian Dahayu melihat ke arah kamar Tante dan omnya. Dahayu tersenyum lebar, kemudian berlari menghampiri tantenya yang sedang duduk di kursi roda yang didorong oleh Mughni. "Selamat pagi tanteku tersayang ...." ucap Dahayu sembari memeluk tantenya yang sudah cantik serta wangi. "Selamat pagi juga keponakan Tante yang cantik!" jawab Rahma sembari menjepit hidung Dahayu. "Tante mau makan. Aku suapi yah?!" Rahma menggeleng. "Tante memang mau makan, tapi akan disuapi sama suami Tante sendiri." Mughni tersenyum. Ia merasakan kehangatan ketika sang istri bercanda dengan keponakannya. "Oke, Tan! Aku jadi peno

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 3

    Bi Darsih mengangguk pilu. "Alangkah baiknya, Ibu bicarakan soal ini dengan Pak Mughni. Kalau saya kan tidak punya kuasa apa-apa, takutnya nanti mereka tidak percaya dengan amanah Ibu yang disimpan di saya." "Aku sudah membicarakan ini dengan Mas Mughni, Bi! Tapi tidak membuahkan hasil. Akhirnya kami selalu bertengkar, Mas Mughni selalu menghindar." "Makanya Ibu jangan nyuruh-nyuruh Bapak menikah lagi. Bapak pasti kesal karena disuruh-suruh. Gimana kalau seandainya Bapak mengabulkan keinginan Ibu untuk menikah lagi? Apa Ibu tidak sakit hati? Apa Ibu tidak cemburu suami Ibu sama orang lain?" Rahma terdiam. Kemudian ia berkata, "Kalau soal itu. Pasti aku sakit hati, cemburu juga. Cuma aku kasihan sama Mas Mughni yang sudah bersabar terlalu lama." Bi Darsih mengangguk. "Bibi mengerti perasaan Ibu. Sekarang jangan terlalu dipikirkan. Bapak juga pasti berpikir mana yang baik dan tidaknya untuk dilakukan." Rahma mengangguk. "Do'akan aku ya, Bi! Semoga ada keajaiban Allah menyembu

  • Wasiat Turun Ranjang   Wasiat Turun Ranjang 2

    Pukul 13:10 WIB. Dahayu melirik jam yang melingkar di tangannya. Saat ini ia sedang di dalam angkutan umum menuju rumah tantenya. Dahayu melirik keluar lewat kaca jendela angkutan umum yang sedang terbuka. Ia begitu takjub dengan kota yang ia tempati sekarang. Toko pakaian yang berdekatan, membuat jiwa pemborongnya meronta-ronta. 'Sekarang harus belajar hemat, Dayu! Ibu di kampung tidak mungkin sering memberi uang untukmu. Karena beliau sendiri sedang berjuang sebagai single parent. Minta sama Bapak?! Sepertinya tidak mungkin, pasti beliau sibuk dengan keluarga barunya.' gumam Dahayu. Dahayu menerawang kisahnya sebelum Ibu dan Bapaknya bercerai. Dahayu begitu bahagia karena sang Bapak selalu mengantar jemput sekolah dirinya dan selalu memberi apapun yang dirinya inginkan. Keharmonisan orang tua yang Dahayu lihat membuat dirinya merasa sempurna. Namun, entah karena apa, pada suatu hari Bapak meminta izin serta pamit pada Dahayu untuk bekerja. yang Dahayu tahu, sebelum Bapaknya per

  • Wasiat Turun Ranjang   Kedatangan Dahayu

    Sinar mentari mulai menyoroti kaca jendela kamar yang sudah beberapa hari ini ditempati. Rumah lantai dua, paling besar diantara para tetangga yang berada di perumahan, menandakan pemilik rumah bukanlah orang biasa. "Jam berapa Ini?!" Dahayu mengucek matanya, Ia melirik jam yang berada di dinding kamarnya di lantai dua. "Sudah hampir jam tujuh! Kenapa si Om gak bangunin aku, sih!" decak Dahayu, ia menepuk keningnya lalu bergegas bangun dari tidurnya. Setelah membereskan tempat tidurnya, Dahayu pergi ke kamar mandi yang masih berada di dalam kamarnya. Sejak pertama masuk rumah tantenya, Dahayu begitu takjub dengan interiornya. Rumah ini begitu besar dan tertata rapih, sangat jauh bila dibandingkan dengan rumahnya yang berada di kampung. Dahayu segera menyelesaikan kegiatan di kamar mandi. Kemudian ia keluar kamar untuk menyiapkan makanan. Setelah sampai di dapur, ternyata Omnya suami dari tantenya yang bernama Mughni itu sudah nangkring di depan kompor sedang membuat kopi. "O

DMCA.com Protection Status