Mendengar suara Mughni yang terlihat kaget, membuat Rahma dan Dahayu menoleh ke arah belakang. Dahayu melepaskan pelukannya kemudian undur diri keluar dari kamar karena sudah ada Mughni yang akan menemani tantenya.
"Eh! Mas, sudah pulang?" Rahma terdiam seketika. Ketika melihat Mama mertuanya masuk ke dalam kamar dengan seorang wanita yang sangat cantik dan elegan menurutnya. "Mama?" Rahma mencoba untuk tetap tersenyum ramah meski sapaannya tidak di gubris oleh mertuanya. Dahayu yang berpapasan dengan Mertua Rahma pun, mengangguk pelan. Kemudian Dahayu langsung keluar kamar karena tidak mau ikut campur dengan urusan rumah tangga tantenya. "Kamu masih sakit?" Rahma mengangguk pelan ketika sang Mertua bertanya keadaanya. "Perkenalkan, ini Lubis! Anak teman Mama yang akan Mama jodohkan dengan Mughni." "Ma!!" Mughni menggeleng, mencegah mamanya untuk tidak meneruskan ucapan yang mungkin akan lebih menyakitkan bila didengar oleh Rahma. "Hm?" Rahma tersenyum meringis. "Apa sih, Ni! Kan Mama udah bilang sama kamu, kalau dalam waktu satu tahun belum juga memberikan Mama seorang Cucu, atau istrimu masih sakit, Mama akan mencarikan perempuan lain untuk kamu!" Mughni berdecak kesal. Rahma mengusap lengan Mughni untuk tetap tenang. "Mama mau ngapain ke sini? Kalau tidak ada kepentingan lebih baik Mama pulang saja!" "Apa Mama tidak boleh main ke rumah Anak Mama sendiri?" "Bukan tidak boleh, Ma! Tapi sekarang Rahma sedang sakit. Mughni mohon jangan terus menawari Mughni wanita lain. Mama jangan terus atur-atur Mughni. Mughni sudah dewasa! Lebih tahu mana yang baik untuk Mughni sendiri!" "Terus kenapa belum mau menikah lagi? Sedangkan kamu seorang pria normal yang pasti butuh pelampiasan! bertahun-tahun kamu sabar terhadap istrimu, apa tidak lelah?" "Itu urusan Mughni, Ma! Mughni harap Mama jangan ikut campur. Sekarang Mama lebih baik pulang! Dan bawa perempuan yang Mama bawa." Rahma semakin erat memegang telapak tangan Mughni, saat suara Mughni mulai meninggi. "Jangan gitu, Mas! Bagaimanapun juga beliau ibumu, ibuku juga." ucap Rahma tersenyum kepada Mughni. "Mama kalau mau beristirahat, silahkan. Kalau mau makan juga di dapur ada Bi Darsih. Maafin aku, Ma! Gak bisa melayani Mama." Rahma menatap mertuanya sendu. Sedikit kecewa dengan mertuanya. Ketika Rahma masih sehat pun Mama Mertua selalu bersikap seakan-akan tidak menyukai kehadirannya. "Asal kamu tahu! Gak di suruh pun Mama akan beristirahat di rumah Anak Mama sendiri. Gak kaya kamu! Udah miskin, ditambah sakit-sakitan. Harusnya kamu bersyukur! Anak saya masih mau mengurusmu yang tidak bisa apa-apa!" Jleb! Rahma merasakan sesak di dadanya. Rahma hanya bisa tersenyum mendengar hinaan sang mertua. Mughni yang mengetahui perasaan istrinya pun menguatkan dengan mengusap lengannya, kemudian beranjak menghampiri mamanya dan seorang wanita yang tidak tahu diri itu. "Maaf, Ma! Kalau seandainya Mughni kurang sopan. Mughni harap Mama keluar dari kamar Mugni, terserah Mama kalau mau menginap di rumah Mughni. Asal jangan membahas yang tidak penting di hadapan Rahma." ucap Mughni pelan dengan merangkul bahu mamanya. "Apa kamu tidak mau kenalan dengan Lubis?" Mughni menggeleng. "Tidak, Ma! Mughni masih punya istri. Sampai kapanpun Mughni akan setia sama istri Mughni!" Mama Dahlia berdecak kesal. "Ya sudah, lah! Mama mau pulang aja, percuma di sini juga!" Mughni mengangguk, kemudian berjalan ke luar rumah menemani mamanya. "Maafin Mughni, Ma! Gak bisa ngantar Mama! Mama hati-hati ya." "Hm ...." jawab Mama Dahlia dengan cueknya. Sedangkan wanita yang bernama Lubis itu, sedari tadi terus mencuri-curi pandang kepada Mughni yang membuat Mughni semakin muak. "Yuk, kita pulang, Lu! Mama gerah kalau di sini terus!" Mughni menggeleng, kemudian menghela nafas dan menghembuskannya. Mughni menatap punggung mamanya, ia merasa muak dengan tingkah dua perempuan yang sudah berlalu dari hadapannya. Setelah mobil yang ditumpangi mamanya menghilang dari pandangan. Mughni langsung berlalu menuju kamarnya, Ia begitu khawatir dengan Rahma yang mungkin sedang kecewa. "Maafin Mama, ya?" Maaf Mughni kepada Rahma yang sedang duduk di atas ranjang. "Tidak apa-apa, Mas! Ucapan mama memang benar adanya. Aku miskin, dan sekarang penyakitan. Seandainya dulu Mas tidak memilihku, mungkin Mas bakal hidup bahagia." Rahma menangis tersedu. Ia meratapi hidupnya yang tidak berguna. "Mas, kan udah bilang berkali-kali. Mas mencintaimu apa adanya. Mas gak peduli kamu miskin ataupun penyakitan. Bagi Mas, kamu segalanya." Mughni mengusap punggung Rahma yang berada di pelukannya. "Mas ...." Rahma melepas pelukan Mughni."Hum?" Mughni mengerutkan dahinya, "apa?" "Aku punya permintaan, tapi kamu harus janji dulu." "Iya, apa?" "Nikahi, Dahayu!" "Ngaco!" Mughni terkekeh, menganggap permintaan Rahma adalah sebuah lelucon. "Aku gak rela, kalau kamu menikah dengan orang lain. Aku harap kamu mau menikahi Dahayu." "Kamu istirahat, ya! Sepertinya kamu lelah." Mughni membaringkan Rahma, Mughni tersenyum dan mengecup kening Rahma, lalu menyelimutinya dengan selimut tebal. setelah Rahma memejamkan matanya, Mughni pun beranjak pergi ke kamar mandi untuk mendinginkan pikirannya. ** ** Setelah keluar dari kamar tantenya, Dahayu pergi ke kamar Bi Darsih. Ia menunggu Bi Darsih yang sedang beribadah. "Ada apa, Neng?" tanya Bi Darsih setelah membereskan kegiatan beribadahnya. "Ada mamanya Om Mughni, seram banget lihat wajahnya!" Bi Darsih terkekeh. "Memang seperti itu. Tapi kalau udah kenal dekat pasti nyaman, kok!" "Mau dekat gimana, Bi! Orang beliaunya saja membatasi diri supaya tidak berdekatan dengan orang miskin. Tuh! buktinya barusan Dayu dengar, Tante dimaki-maki dikatain miskin." Bi Darsih meringis perihatin. Pasalnya bukan sekali dua kali Rahma di maki mertuanya. Bi Darsih sering melihat pertengkaran, kesalahan pahaman Rahma dengan mertuanya. Namun dibalik itu juga Bi Darsih bersyukur, karena Mughni yang menjadi Anak serta suami bisa mengatasinya. "Rumah tangga itu memang seperti itu, terkadang juga mempunyai suami yang baik, perhatian, sayang sama kita. Akan tetapi ada ujian dari mertua yang tidak suka dengan kita. Begitupun sebaliknya, terkadang punya mertua baik, royal, penyayang menantu. Akan tetapi, terkadang suaminya yang kurang pengertian, atau malas bekerja. Ada juga yang mertuanya baik, suami juga baik. Akan tetapi Gusti Allah uji dia dengan kekurangan ekonomi, sudah kerja keras sana sini, tetap saja kekurangan! Sehingga banyak yang memilih untuk berpisah karena masalah ekonomi yang terus menerus kekurangan." Dahayu mengangguk. "Ibu sama Bapak Dayu juga cerai, Bi! Entah apa alasannya. Yang Dayu tahu, mereka selalu harmonis di depan Dahayu." Bi Darsih mendekati Dahayu yang sedang duduk di atas ranjang. "Orang tua kamu cerdas, Yu! Mereka bisa menyembunyikan masalahnya dari Anak mereka. Mereka tidak mau kamu merasakan getahnya. Jadi mereka menyembunyikan masalahnya darimu." Dahayu mengangguk. "Dulu Dahayu sempat kecewa sama Bapak! Karena datang-datang Bapak ngajak Dahayu untuk menyaksikan beliau menikah lagi. Dulu Dahayu pengen ngamuk sama Bapak, tapi gak bisa! Sedangkan Ibu, dia berjuang sendiri bekerja serabutan untuk mencukupi keperluan Dahayu. Karena Dahayu kasihan, akhirnya Dahayu ikut sama Tante saja. Biar tidak terlalu membebani Ibu. Tapi sekarang Ibu sama Bapak, sudah bahagia dengan kehidupannya masing-masing, sedangkan Dahayu masih pontang panting." ucap Dahayu terkekeh. Ia meringis memikirkan dirinya yang sendirian. "Kamu bisa aja! Pontang panting gimana, di sini semua sayang sama kamu. Jangan merasa sendiri." Dahayu mengangguki ucapan Bi Darsih. Di sebuah kamar yang berukuran 4 x 4 itu, mereka saling berbagi kisah kehidupannya. Bi Darsih yang merindukan Anak serta cucunya merasa terobati dengan keberadaan Dahayu. Begitu pula dengan Dahayu, ia merasakan kehangatan memiliki seorang Nenek ketika bersama Bi Darsih."Oiya Bi, tadi Tante nyuruh aku untuk menelepon Ibu, katanya suruh ke sini. Tante pengen ketemu, padahal baru minggu kemarin Ibu kesini." "Bilangin saja, Neng! Kasihan. Dulu Bibi juga pernah punya saudara, beliau sering menyuruh Bibi untuk menemaninya, Padahal di rumah banyak Anak-anaknya yang ikut tinggal dengannya, akan tetapi beliau sering merasa kesepian. Tidak lama setelah itu beliau wafat." "Bibi, jangan nakut-nakutin Dayu!" Dayu mengerucutkan bibirnya. Bi Darsih tersenyum menanggapi Dahayu yang sedang kesal. "Bibi enggak nakutin kamu, tapi memang kaya gitu. Biasanya kalau orang itu tidak lama lagi hidup di dunia, ia akan selalu merasa kesepian atau sering melihat bayangan-bayangan orang yang sudah meninggal. Karena sebenarnya, 40 hari menjelang orang itu meninggal, di langit itu dia sudah menjadi mayit. Jadi, ruhnya bertemu dengan ruh-ruh orang yang sudah meninggal seperti keluarganya." "Kok, Dayu merinding ya Bi dengarnya!" Bi Darsih merangkul Dahayu yang bergidik nger
Drttt ... Drtt ... Mughni merasakan getaran ponselnya yang berada di dalam saku bajunya. Ia membiarkan panggilan itu hingga berhenti bergetar. Karena perjalanan menuju toko miliknya hanya tinggal beberapa langkah saja. "Dayu," gumam Mughni ketika melihat siapa yang meneleponnya. "Ada apa ya?" Karena rasa penasarannya. Mughni pun balik menghubungi Dahayu. "Hallo, Om!" "Ada apa, Yu?" "Om sudah sampai mana?!" "Ini baru sampai. Ada apa?" "Om, ini Tante pingsan! Dari tadi Ibu bangunin gak bangun-bangun. Kata Ibu, Om pulang dulu! Dayu takut Tante kenapa-napa," ucap Dahayu yang membuat Mughni mengernyitkan dahi. Karena baru saja sebelum berangkat ia melihat sang istri biasa saja. "Iya Yu, Om pulang sekarang!." "Hati-hati di jalan Om!" "Iya." Setelah mengakhiri panggilan dengan Dahayu. Mughni langsung masuk kembali ke dalam mobilnya meninggalkan toko tanpa bertemu dahulu dengan para karyawannya. Selama di perjalanan menuju rumah, Mughni terus berdo'a dan berharap semua ba
"Serangan jantung? Istri saya memang mempunyai penyakit jantung, Dok! Tetapi selama ini dia baik-baik saja meski dalam keadaan tubuhnya yang lumpuh," jelas Mughni. "Apa sebelum Bapak keluar dari kamar, Ibu Rahma dibiarkan sendiri?" Mughni mengangguk, "iya Dok, karena kebetulan ada kakak ipar saya di rumah yang sedang memasak." Dokter itu mengangguk, kemudian terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. "Apa ada kamera tersembunyi di kamar, Pak?" "Kebetulan ada, memangnya kenapa, Dok?" tanya Mughni penasaran. Dokter pun mengangguk, "belum tahu alasannya apa yang membuat istri napak kena serangan jantung. Coba Bapak lihat saja lewat kamera itu, barangkali ada petunjuk." "Baik Dok. Nanti saya akan cek." Setelah perbincangan itu Mughni kembali ke tempat dimana Rahma di baringkan. Ia melihat suami kakak iparnya masuk ke dalam ruangan. Mungkin baru saja datang setelah Dahayu memberitahunya. "Yang sabar!" Suami kakak iparnya itu menepuk bahu Mughni. Mencoba memberikan semangat at
Sebagai pria yang mempunyai bakat penulis, ia juga harus bisa menjadi seseorang yang ramah untuk bisa menarik hati para pembaca. Setelah membalas komentaran dari Dahayu, Mughni langsung membuka kamera tersembunyi yang sempat tertunda. Mughni mengepalkan telapak tangannya hingga terlihat urat jarinya. Nafasnya begitu memburu. Ia menggebrak meja dengan kilatan amarah terlihat dari sorot mata tajamnya. "Sialan!" Mughni berusaha untuk tetap tenang meski ingin berteriak memaki orang yang terlihat di kamera tersebut. Ia harus tahu kenapa orang itu tega melakukannya kepada sang istri yang sudah menganggapnya orang yang sangat dipercayainya. Mughni teringat dengan wajah sang istri yang selalu bersamanya. Mughni tidak menyangka. Orang yang ia percayai adalah orang yang pertama menghancurkan kebahagiaannya. Mughni bangkit dari duduknya. Kemudian keluar menuju kamar orang yang ia maksud. Ia butuh penjelasan kenapa orang itu melakukannya. Tok Tok! Hening.Tok Tok! Masih hening. Kam
Sinar mentari mulai menyoroti kaca jendela kamar yang sudah beberapa hari ini ditempati. Rumah lantai dua, paling besar diantara para tetangga yang berada di perumahan, menandakan pemilik rumah bukanlah orang biasa. "Jam berapa Ini?!" Dahayu mengucek matanya, Ia melirik jam yang berada di dinding kamarnya di lantai dua. "Sudah hampir jam tujuh! Kenapa si Om gak bangunin aku, sih!" decak Dahayu, ia menepuk keningnya lalu bergegas bangun dari tidurnya. Setelah membereskan tempat tidurnya, Dahayu pergi ke kamar mandi yang masih berada di dalam kamarnya. Sejak pertama masuk rumah tantenya, Dahayu begitu takjub dengan interiornya. Rumah ini begitu besar dan tertata rapih, sangat jauh bila dibandingkan dengan rumahnya yang berada di kampung. Dahayu segera menyelesaikan kegiatan di kamar mandi. Kemudian ia keluar kamar untuk menyiapkan makanan. Setelah sampai di dapur, ternyata Omnya suami dari tantenya yang bernama Mughni itu sudah nangkring di depan kompor sedang membuat kopi. "O
Pukul 13:10 WIB. Dahayu melirik jam yang melingkar di tangannya. Saat ini ia sedang di dalam angkutan umum menuju rumah tantenya. Dahayu melirik keluar lewat kaca jendela angkutan umum yang sedang terbuka. Ia begitu takjub dengan kota yang ia tempati sekarang. Toko pakaian yang berdekatan, membuat jiwa pemborongnya meronta-ronta. 'Sekarang harus belajar hemat, Dayu! Ibu di kampung tidak mungkin sering memberi uang untukmu. Karena beliau sendiri sedang berjuang sebagai single parent. Minta sama Bapak?! Sepertinya tidak mungkin, pasti beliau sibuk dengan keluarga barunya.' gumam Dahayu. Dahayu menerawang kisahnya sebelum Ibu dan Bapaknya bercerai. Dahayu begitu bahagia karena sang Bapak selalu mengantar jemput sekolah dirinya dan selalu memberi apapun yang dirinya inginkan. Keharmonisan orang tua yang Dahayu lihat membuat dirinya merasa sempurna. Namun, entah karena apa, pada suatu hari Bapak meminta izin serta pamit pada Dahayu untuk bekerja. yang Dahayu tahu, sebelum Bapaknya per
Bi Darsih mengangguk pilu. "Alangkah baiknya, Ibu bicarakan soal ini dengan Pak Mughni. Kalau saya kan tidak punya kuasa apa-apa, takutnya nanti mereka tidak percaya dengan amanah Ibu yang disimpan di saya." "Aku sudah membicarakan ini dengan Mas Mughni, Bi! Tapi tidak membuahkan hasil. Akhirnya kami selalu bertengkar, Mas Mughni selalu menghindar." "Makanya Ibu jangan nyuruh-nyuruh Bapak menikah lagi. Bapak pasti kesal karena disuruh-suruh. Gimana kalau seandainya Bapak mengabulkan keinginan Ibu untuk menikah lagi? Apa Ibu tidak sakit hati? Apa Ibu tidak cemburu suami Ibu sama orang lain?" Rahma terdiam. Kemudian ia berkata, "Kalau soal itu. Pasti aku sakit hati, cemburu juga. Cuma aku kasihan sama Mas Mughni yang sudah bersabar terlalu lama." Bi Darsih mengangguk. "Bibi mengerti perasaan Ibu. Sekarang jangan terlalu dipikirkan. Bapak juga pasti berpikir mana yang baik dan tidaknya untuk dilakukan." Rahma mengangguk. "Do'akan aku ya, Bi! Semoga ada keajaiban Allah menyembu
Mughni menarik sudut bibirnya, ia tersenyum tipis melihat tingkah lucu Dahayu. Tanpa berkata apapun, Mughni beranjak pergi ke kamarnya meninggalkan Dahayu di meja makan. Dahayu mengambil air teh hangat tanpa gula yang berada di kitchen set, kemudian kembali duduk di kursi meja sembari menunggu omnya keluar dari kamarnya. Ceklek! Suara pintu dibuka terdengar oleh Dahayu, kemudian Dahayu melihat ke arah kamar Tante dan omnya. Dahayu tersenyum lebar, kemudian berlari menghampiri tantenya yang sedang duduk di kursi roda yang didorong oleh Mughni. "Selamat pagi tanteku tersayang ...." ucap Dahayu sembari memeluk tantenya yang sudah cantik serta wangi. "Selamat pagi juga keponakan Tante yang cantik!" jawab Rahma sembari menjepit hidung Dahayu. "Tante mau makan. Aku suapi yah?!" Rahma menggeleng. "Tante memang mau makan, tapi akan disuapi sama suami Tante sendiri." Mughni tersenyum. Ia merasakan kehangatan ketika sang istri bercanda dengan keponakannya. "Oke, Tan! Aku jadi peno
Sebagai pria yang mempunyai bakat penulis, ia juga harus bisa menjadi seseorang yang ramah untuk bisa menarik hati para pembaca. Setelah membalas komentaran dari Dahayu, Mughni langsung membuka kamera tersembunyi yang sempat tertunda. Mughni mengepalkan telapak tangannya hingga terlihat urat jarinya. Nafasnya begitu memburu. Ia menggebrak meja dengan kilatan amarah terlihat dari sorot mata tajamnya. "Sialan!" Mughni berusaha untuk tetap tenang meski ingin berteriak memaki orang yang terlihat di kamera tersebut. Ia harus tahu kenapa orang itu tega melakukannya kepada sang istri yang sudah menganggapnya orang yang sangat dipercayainya. Mughni teringat dengan wajah sang istri yang selalu bersamanya. Mughni tidak menyangka. Orang yang ia percayai adalah orang yang pertama menghancurkan kebahagiaannya. Mughni bangkit dari duduknya. Kemudian keluar menuju kamar orang yang ia maksud. Ia butuh penjelasan kenapa orang itu melakukannya. Tok Tok! Hening.Tok Tok! Masih hening. Kam
"Serangan jantung? Istri saya memang mempunyai penyakit jantung, Dok! Tetapi selama ini dia baik-baik saja meski dalam keadaan tubuhnya yang lumpuh," jelas Mughni. "Apa sebelum Bapak keluar dari kamar, Ibu Rahma dibiarkan sendiri?" Mughni mengangguk, "iya Dok, karena kebetulan ada kakak ipar saya di rumah yang sedang memasak." Dokter itu mengangguk, kemudian terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. "Apa ada kamera tersembunyi di kamar, Pak?" "Kebetulan ada, memangnya kenapa, Dok?" tanya Mughni penasaran. Dokter pun mengangguk, "belum tahu alasannya apa yang membuat istri napak kena serangan jantung. Coba Bapak lihat saja lewat kamera itu, barangkali ada petunjuk." "Baik Dok. Nanti saya akan cek." Setelah perbincangan itu Mughni kembali ke tempat dimana Rahma di baringkan. Ia melihat suami kakak iparnya masuk ke dalam ruangan. Mungkin baru saja datang setelah Dahayu memberitahunya. "Yang sabar!" Suami kakak iparnya itu menepuk bahu Mughni. Mencoba memberikan semangat at
Drttt ... Drtt ... Mughni merasakan getaran ponselnya yang berada di dalam saku bajunya. Ia membiarkan panggilan itu hingga berhenti bergetar. Karena perjalanan menuju toko miliknya hanya tinggal beberapa langkah saja. "Dayu," gumam Mughni ketika melihat siapa yang meneleponnya. "Ada apa ya?" Karena rasa penasarannya. Mughni pun balik menghubungi Dahayu. "Hallo, Om!" "Ada apa, Yu?" "Om sudah sampai mana?!" "Ini baru sampai. Ada apa?" "Om, ini Tante pingsan! Dari tadi Ibu bangunin gak bangun-bangun. Kata Ibu, Om pulang dulu! Dayu takut Tante kenapa-napa," ucap Dahayu yang membuat Mughni mengernyitkan dahi. Karena baru saja sebelum berangkat ia melihat sang istri biasa saja. "Iya Yu, Om pulang sekarang!." "Hati-hati di jalan Om!" "Iya." Setelah mengakhiri panggilan dengan Dahayu. Mughni langsung masuk kembali ke dalam mobilnya meninggalkan toko tanpa bertemu dahulu dengan para karyawannya. Selama di perjalanan menuju rumah, Mughni terus berdo'a dan berharap semua ba
"Oiya Bi, tadi Tante nyuruh aku untuk menelepon Ibu, katanya suruh ke sini. Tante pengen ketemu, padahal baru minggu kemarin Ibu kesini." "Bilangin saja, Neng! Kasihan. Dulu Bibi juga pernah punya saudara, beliau sering menyuruh Bibi untuk menemaninya, Padahal di rumah banyak Anak-anaknya yang ikut tinggal dengannya, akan tetapi beliau sering merasa kesepian. Tidak lama setelah itu beliau wafat." "Bibi, jangan nakut-nakutin Dayu!" Dayu mengerucutkan bibirnya. Bi Darsih tersenyum menanggapi Dahayu yang sedang kesal. "Bibi enggak nakutin kamu, tapi memang kaya gitu. Biasanya kalau orang itu tidak lama lagi hidup di dunia, ia akan selalu merasa kesepian atau sering melihat bayangan-bayangan orang yang sudah meninggal. Karena sebenarnya, 40 hari menjelang orang itu meninggal, di langit itu dia sudah menjadi mayit. Jadi, ruhnya bertemu dengan ruh-ruh orang yang sudah meninggal seperti keluarganya." "Kok, Dayu merinding ya Bi dengarnya!" Bi Darsih merangkul Dahayu yang bergidik nger
Mendengar suara Mughni yang terlihat kaget, membuat Rahma dan Dahayu menoleh ke arah belakang. Dahayu melepaskan pelukannya kemudian undur diri keluar dari kamar karena sudah ada Mughni yang akan menemani tantenya. "Eh! Mas, sudah pulang?" Rahma terdiam seketika. Ketika melihat Mama mertuanya masuk ke dalam kamar dengan seorang wanita yang sangat cantik dan elegan menurutnya. "Mama?" Rahma mencoba untuk tetap tersenyum ramah meski sapaannya tidak di gubris oleh mertuanya. Dahayu yang berpapasan dengan Mertua Rahma pun, mengangguk pelan. Kemudian Dahayu langsung keluar kamar karena tidak mau ikut campur dengan urusan rumah tangga tantenya. "Kamu masih sakit?" Rahma mengangguk pelan ketika sang Mertua bertanya keadaanya. "Perkenalkan, ini Lubis! Anak teman Mama yang akan Mama jodohkan dengan Mughni." "Ma!!" Mughni menggeleng, mencegah mamanya untuk tidak meneruskan ucapan yang mungkin akan lebih menyakitkan bila didengar oleh Rahma. "Hm?" Rahma tersenyum meringis. "Apa
Mughni menarik sudut bibirnya, ia tersenyum tipis melihat tingkah lucu Dahayu. Tanpa berkata apapun, Mughni beranjak pergi ke kamarnya meninggalkan Dahayu di meja makan. Dahayu mengambil air teh hangat tanpa gula yang berada di kitchen set, kemudian kembali duduk di kursi meja sembari menunggu omnya keluar dari kamarnya. Ceklek! Suara pintu dibuka terdengar oleh Dahayu, kemudian Dahayu melihat ke arah kamar Tante dan omnya. Dahayu tersenyum lebar, kemudian berlari menghampiri tantenya yang sedang duduk di kursi roda yang didorong oleh Mughni. "Selamat pagi tanteku tersayang ...." ucap Dahayu sembari memeluk tantenya yang sudah cantik serta wangi. "Selamat pagi juga keponakan Tante yang cantik!" jawab Rahma sembari menjepit hidung Dahayu. "Tante mau makan. Aku suapi yah?!" Rahma menggeleng. "Tante memang mau makan, tapi akan disuapi sama suami Tante sendiri." Mughni tersenyum. Ia merasakan kehangatan ketika sang istri bercanda dengan keponakannya. "Oke, Tan! Aku jadi peno
Bi Darsih mengangguk pilu. "Alangkah baiknya, Ibu bicarakan soal ini dengan Pak Mughni. Kalau saya kan tidak punya kuasa apa-apa, takutnya nanti mereka tidak percaya dengan amanah Ibu yang disimpan di saya." "Aku sudah membicarakan ini dengan Mas Mughni, Bi! Tapi tidak membuahkan hasil. Akhirnya kami selalu bertengkar, Mas Mughni selalu menghindar." "Makanya Ibu jangan nyuruh-nyuruh Bapak menikah lagi. Bapak pasti kesal karena disuruh-suruh. Gimana kalau seandainya Bapak mengabulkan keinginan Ibu untuk menikah lagi? Apa Ibu tidak sakit hati? Apa Ibu tidak cemburu suami Ibu sama orang lain?" Rahma terdiam. Kemudian ia berkata, "Kalau soal itu. Pasti aku sakit hati, cemburu juga. Cuma aku kasihan sama Mas Mughni yang sudah bersabar terlalu lama." Bi Darsih mengangguk. "Bibi mengerti perasaan Ibu. Sekarang jangan terlalu dipikirkan. Bapak juga pasti berpikir mana yang baik dan tidaknya untuk dilakukan." Rahma mengangguk. "Do'akan aku ya, Bi! Semoga ada keajaiban Allah menyembu
Pukul 13:10 WIB. Dahayu melirik jam yang melingkar di tangannya. Saat ini ia sedang di dalam angkutan umum menuju rumah tantenya. Dahayu melirik keluar lewat kaca jendela angkutan umum yang sedang terbuka. Ia begitu takjub dengan kota yang ia tempati sekarang. Toko pakaian yang berdekatan, membuat jiwa pemborongnya meronta-ronta. 'Sekarang harus belajar hemat, Dayu! Ibu di kampung tidak mungkin sering memberi uang untukmu. Karena beliau sendiri sedang berjuang sebagai single parent. Minta sama Bapak?! Sepertinya tidak mungkin, pasti beliau sibuk dengan keluarga barunya.' gumam Dahayu. Dahayu menerawang kisahnya sebelum Ibu dan Bapaknya bercerai. Dahayu begitu bahagia karena sang Bapak selalu mengantar jemput sekolah dirinya dan selalu memberi apapun yang dirinya inginkan. Keharmonisan orang tua yang Dahayu lihat membuat dirinya merasa sempurna. Namun, entah karena apa, pada suatu hari Bapak meminta izin serta pamit pada Dahayu untuk bekerja. yang Dahayu tahu, sebelum Bapaknya per
Sinar mentari mulai menyoroti kaca jendela kamar yang sudah beberapa hari ini ditempati. Rumah lantai dua, paling besar diantara para tetangga yang berada di perumahan, menandakan pemilik rumah bukanlah orang biasa. "Jam berapa Ini?!" Dahayu mengucek matanya, Ia melirik jam yang berada di dinding kamarnya di lantai dua. "Sudah hampir jam tujuh! Kenapa si Om gak bangunin aku, sih!" decak Dahayu, ia menepuk keningnya lalu bergegas bangun dari tidurnya. Setelah membereskan tempat tidurnya, Dahayu pergi ke kamar mandi yang masih berada di dalam kamarnya. Sejak pertama masuk rumah tantenya, Dahayu begitu takjub dengan interiornya. Rumah ini begitu besar dan tertata rapih, sangat jauh bila dibandingkan dengan rumahnya yang berada di kampung. Dahayu segera menyelesaikan kegiatan di kamar mandi. Kemudian ia keluar kamar untuk menyiapkan makanan. Setelah sampai di dapur, ternyata Omnya suami dari tantenya yang bernama Mughni itu sudah nangkring di depan kompor sedang membuat kopi. "O