“Sampai kapan kamu menghindar terus, Ra?”
Suara berat khas seorang pria muncul tiba-tiba di belakang Aurora. Pantri pada jam makan siang mulai sepi. Staff OB lain banyak yang memilih makan siang di kantin bawah.
Aurora yang tengah menyeduh mie instan langsung tersentak dan menoleh ke sumber suara. Seperti dugaannya, suara itu amat Aurora kenal.
“Aku nggak mau karyawan di sini salah paham, Nan. Mereka nggak boleh tau kalau kita pernah punya hubungan dulu,” jawab Aurora kembali membelakangi Keenan.
Keenan kini duduk di kursi kayu dengan meja panjang terhampar di depannya. Tatapannya terus lekat memperhatikan punggung Aurora dan rambut halusnya yang terikat rapi seperti ekor kuda.
“Mereka nggak akan tahu kalau kita nggak kasih tahu, kan? Jadi, mari bersikap biasa dan seperti dua teman baru.” Keenan menaikkan alisnya menatap Aurora.
“Kalau aku sama karyawan lain mungkin akan biasa. Tapi, kamu bos di sini. Gosip apa yang akan tersebar kalau mereka lihat bos berteman dekat dengan office girl. Lagipula, ini bukan drama di TV-TV, Nan.” Aurora masih sibuk dengan mie instan sebagai menu makan siangnya. Hari pertama kerja dengan sisa uang mulai menipis membuat Aurora harus hidup lebih hemat. Dan, setahunya mie instan adalah penyelamat saat dompet sedang sekarat.
“Jadi, please, aku mohon sama kamu, jangan pernah bahas apapun tentang kita di sini.” Aurora berbalik dan mengangkat garpu di tangannya.
Permintaan itu membuat Keenan tersenyum penuh arti. Ia segera bangkit dan berjalan menghampiri Aurora yang tenggelam lagi dengan mie yang baru siap diseduh di depannya. Sambil melirik mangkuk dan Aurora bergantian, Keenan merapatkan posisinya sampai jarak mereka hanya tersisa dua jengkal saja.
“Kalau gitu, kita makan siang di luar bareng, yuk. Biar ngobrolnya leluasa,” ajak Keenan memberikan solusi.
“Nggak. Aku nggak bisa. Lagipula, nggak ada yang perlu kita obrolin.”
Aurora terpaksa mengatakan sesuatu yang berseberangan dengan hatinya. Sambil menghirup aroma menggiurkan mie instan di depannya, Aurora memicing. Ingatan tentang ia dan Keenan di masa lalu berkelebat, namun segera ditepis.
“Mungkin itu menurut kamu, Ra. Kalau aku, banyak tanya yang belum ada jawabannya sejak dua tahun lalu. Bagaimana pernikahan kamu? Kamu bahagia, kan?”
Saat tengah berbincang dalam posisi yang cukup dekat itu, seorang OB tiba-tiba masuk dan langsung rikuh menyaksikan Keenan begitu akrab dengan office girl baru. Keenan terkesiap buru-buru mengambil cangkir di depannya saat OB tersebut batuk kecil menghampiri mereka.
“Eh, ada Pak Keenan. Kenapa nggak suruh OB aja Pak kalau mau minum teh?” tanya OB tersebut berdiri tepat di samping Keenan. Kini mereka bertiga sama-sama menghadap kitchen set.
“Siapa yang mau teh?” Keenan belum sadar apa yang ada di tangannya.
“Loh? Itu yang Pak Keenan masukin ke dalam gelas, kan, teh. Menurut Pak Keenan itu apa?”
Keenan ikut menunduk kembali memperhatikan gelas di depannya. Seutas tali kecil dari teh celup menjuntai keluar dari cangkir.
“Oh, iya, lagi mau minum teh buatan sendiri,” dalih Keenan menyembunyikan kegugupannya.
Office boy teman baru Aurora itu hanya tertawa sambil geleng-geleng kepala. Tubuhnya yang gempal kini beranjak meninggalkan pantri. Tanpa Keenan sadari Aurora tidak lagi berdiri di sampingnya sejak OB itu mendekat.
Keenan sempat kaget melirik ke samping dan tidak ada Aurora di sana. Rupanya Aurora sudah duduk di meja panjang di tengah ruangan.
“Ayo, Ra. Makan siang di luar. Kamu nggak akan kuat cuma makan mie instan. Aku yang traktir, deh,” bujuk Keenan tidak habis ide.
“Kenapa salah tingkah waktu OB tadi datang? Kamu juga nggak mau, kan, orang lain lihat kamu lagi sama aku,” tanya Aurora mengalihkan pembicaraan.
“Buat apa aku mikirin orang. Tadi cuma kaget aja, itu orang munculnya tiba-tiba.”
Aurora sangat mengenal Keenan. Meski sudah berpisah selama dua tahun, pria itu tidak mengalami banyak perubahan. Apalagi dalam menghadapinya. Keenan begitu sabar dan pengertian.
Aurora diam-diam tersenyum di dalam hati. Selama dengan Sakti belum pernah ia merasa berdebar seperti ini. Pernikahan atas dasar paksaan memang tidak akan pernah bisa membekas di hati.
“Waw … Apa, nih?” Baru saja memasukkan satu sendok mie ke dalam mulutnya, Aurora langsung terbatuk melihat kemunculan Malika di ambang pintu.
Seperti sudah Aurora duga. Malika tidak akan suka jika melihat ia dan Keenan terlibat komunikasi apalagi sedekat itu. Mereka hanya dipisahkan sebuah meja yang membentang di tengah-tengah.
Dengan cepat Aurora meninggalkan meja dan menghampiri Malika. Kuah mie menjejak di sudut bibirnya. Ia selayaknya pelakor yang tertangkap basah dengan suami orang.
“Ini nggak kayak yang kamu pikirin, Mal,” ucap Aurora membela diri.
Aurora tahu ia tidak perlu menjelaskan sebab ia dan Keenan memang tidak melakukan apa-apa selain berbincang. Walaupun dari tadi Keenan terus mendesaknya untuk ikut makan siang di luar.
“Memang apa yang akan kamu pikirkan, Mal, kalau melihat saya dan Aurora sedang berdua begini?” Keenan menatap Malika tajam.
“Nggak, Pak. Saya nggak mikirin apa-apa. Aurora aja yang suuzon. Ya … saya cuma mau ingetin Pak Keenan lagi aja. Aurora ini—”
“Pelakor?” potong Keenan sudah hafal kata yang akan Malika keluarkan.
Netra Aurora yang dari tadi menatap Malika kini beralih pada Keenan saat mendengar gelar itu disebut oleh mantan kekasihnya itu. Aurora merasa Keenan kini juga percaya kalau dirinya seorang pelakor seperti yang Malika tuduhkan sejak pertama kali mereka bertemu lagi.
“Itu Pak Keenan tahu.”
“Omong kosong murahan seperti itu jangan dibawa-bawa ke kantor, Mal. Saya nggak mau karyawan kantor ini menyibukkan diri dengan gosip nggak bermanfaat begitu,” bela Keenan membuat Aurora menyesali dugaannya.
Dalam hati, Aurora berjanji akan menjelaskan pada Keenan semua yang terjadi semenjak perpisahan mereka dulu. Alasan kenapa Aurora tidak bisa melanjutkan impian mereka dan tentu saja Aurora juga ingin menanyakan ke mana saja Keenan selama ini tidak pernah menghubunginya lagi.
“Ini bukan gosip murahan, Pak. Saya ini korbannya. Aurora sudah merebut kekasih saya dan menikah dengannya. Saya pikir dia sahabat yang baik tetapi ternyata dia musuh dalam selimut,” cerca Malika tidak menghargai posisi Keenan sebagai atasan lagi. Hatinya masih saja sakit setiap melihat Aurora. Terlebih kini Aurora sering tertangkap penglihatannya berada di dekat Keenan. Malika makin panas dan dendam di hatinya terus menyala.
“Malika cukup! Aku udah bilang, kan, aku bukan pelakor. Kamu cuma salah paham.” Air mata Aurora tiba-tiba jatuh membasahi pipinya. Tadinya ia berusaha kuat saat Malika mencacinya dengan sebutan pelakor—bahkan sudah berkali-kali—tetapi kini ia tidak tahan lagi.
Aurora langsung berdiri meninggalkan meja pantri dan mie instan yang masih tersisa setengah bagian dalam mangkuk.
Aurora tertunduk lesu di dalam lift yang akan membawanya ke lantai satu. Ada barang yang harus ia ambil di lobi, milik staff HC. Ucapan Malika dan kebencian yang terus terpancar di matanya membuat Aurora tidak bisa tenang. Keadaan berbalik begitu cepat. Menghancurkan persahabatan mereka yang begitu indah dulunya. Ting! Tangan seseorang ternyata menahan pintu lift yang akan tertutup. Aurora mendongak seketika dan langsung malas saat melihat sosok Keenan menyunggingkan senyum ke arahnya. Kini hanya ada mereka berdua di dalam lift. “Aku mau ngobrol sama kamu, Ra,” ucap Keenan begitu lift bergerak turun perlahan. “Maaf, Nan, aku masih banyak kerjaan. Ada barang yang harus aku angkut ke atas.” “Kamu belum jawab pertanyaan aku tadi, Ra.” Aurora menarik napas dalam. Ia tidak punya tenaga lagi untuk berdebat. Kepalanya masih penuh dengan benang kusut. “Pertanyaan apa lagi, Nan?” “Apa kamu bahagia setelah menikah?” Ting! Belum jadi Aurora menggerakkan bibirnya menjawab pertanyaan Keen
“Lupakan soal ucapanku tadi, Ra.” Keenan memperbaiki posisi tangannya dan menarik tubuh mendekat ke piring untuk segera makan. Kalimat sebelumnya yang keluar dari lisan Keenan mengalir begitu saja dan langsung membuat raut wajah Aurora berubah drastis. Bukan bahagia seperti yang Keenan bayangkan ketika seorang wanita tahu bahwa ia masih dicintai. Justru Aurora bereaksi sebaliknya. Tidak nyaman atau mungkin merasa tidak pantas. “Aku sudah cerai, Nan.” Keenan terbatuk. Nasi yang baru masuk ke dalam mulutnya nyaris keluar kalau saja Keenan tidak berhasil mengendalikan diri. Aurora yang melihat pria di depannya itu kesulitan langsung meraih gelas tinggi di meja dan menyodorkan pada Keenan. Entah Keenan tersedak karena ucapannya atau bukan, yang jelas Aurora merasa khawatir. Jauh dalam hatinya Aurora menyadari apa yang dulu pernah ia rasakan belum pernah sekalipun hilang. Setelah Keenan meneguk setengah isi gelas, Aurora tidak langsung melanjutkan ceritanya. Ia diam sejenak sambil matan
Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, Aurora duduk diam di samping Keenan tanpa mengatakan apapun. Pengakuan Keenan tentang perasaannya membuat Aurora resah harus menyikapi seperti apa. Pasalnya, Aurora baru saja mengalami perjalanan panjang yang tidak mudah selama dua tahun ini. Bukan soal hati, sebab Aurora tidak pernah mengeluarkan Keenan dari sana.Ini adalah tentang kepantasan. Aurora merasa setelah semua yang dilakukan pada Keenan, ia tidak lagi pantas menjadi pendamping sebagaimana harapan keduanya.“Aku kira tadinya kamu akan dendam dan benci sama aku, Nan. Tapi ternyata … Kamu masih sama kayak dulu,” ucap Aurora memperbaiki sabuk pengaman yang melintang di tubuhnya. Mobil Keenan melaju tenang membelah lautan kendaraan yang memadati jalan.“Aku tahu kamu pasti punya alasan logis kenapa dulu mau dijodohkan dengan laki-laki itu, Ra,” jawab Keenan sangat tenang. Senyum masih saja mengembang di wajahnya yang tampan. Membuat Aurora candu meliriknya sesekali dalam diam.Aurora ya
Setelah mendapat teguran dari Keenan, Malika bukannya berhenti malah justru semakin jadi menguliti Aurora. Bukan hanya statusnya sebagai randa yang dijadikan bahan, melainkan juga tuduhan Malika yang menyebut Aurora sebagai pelakor.Pelakor. Julukan itu kini membuat telinga Aurora terasa panas saat mendengarnya. Ia tidak merasa melakukannya, tentu saja. Aurora tidak pernah bermaksud melakukan apa yang Malika tuduhkan. Lagipula, saat itu hubungan Malika dan Sakti belum terikat dalam pernikahan.“Pelakor ada di mana-mana.” Tulis Malika di status media sosialnya. Sontak satu kantor tidak lagi bisa diam begitu melihat Aurora memasuki gedung kantor pagi harinya. Selalu ada tatapan miring yang Aurora dapatkan. Beserta bisik-bisik bak dengung lebah yang sulit dihentikan.Sambil mengayunkan langkah memasuki elevator menuju lantai dua, di mana Aurora ditugaskan hari-hari, Aurora menajamkan telinga mendengar setiap bisikan yang ia lewati. Anehnya, mereka yang menyadari kehadiran Aurora seolah s
Bukti. Kata itu kini menjadi perhatian Aurora. Harusnya ucapannya sendiri sudah cukup menjadi bukti bagi Malika. Toh, ia sendiri yang menjadi tokoh utama dalam kejadian masa lalu tersebut. Aurora tahu persis apa yang melatarbelakangi pernikahannya dengan Sakti dulu. Namun, Malika enggan mendengar kata-katanya dan justru meminta bukti lain untuk meyakinkannya.“Aku buktinya, Mal. Aku yang ada dalam pernikahan itu.” Kalimat Aurora itu tidak serta merta mempengaruhi Malika.“Semua yang keluar dari mulut kamu itu nggak ada artinya buat aku, Ra. Aku nggak bisa percaya lagi sama kamu,” ucap Malika memilih meninggalkan ruangannya dibanding meminta Aurora yang pergi.Aurora hanya bisa memutar tubuhnya mengikuti arah langkah Malika yang kini sudah sampai di ambang pintu. Jemari lentik Malika meraih gagang pintu dan mendorongnya sampai terbuka sebagian. Malika tidak lagi bersedia mendengar perkataan Aurora. Kini hanya satu yang ia minta, yaitu bukti. Aurora harus mendatangkan bukti atas ucapann
Aurora melangkah cepat menyusuri pedestrian dipayungi langit senja yang kemerahan. Sesuai janji yang sudah dibuat dengan Sakti, sore ini sepulang dari kantor Aurora akan menemuinya demi sebuah misi. Aurora tahu hatinya masih sakit dengan semua sikap dan perbuatan Sakti kala itu. Hanya saja ia tidak punya pilihan lain demi membersihkan namanya kembali dari sebutan pelakor yang kini menghantui.Harusnya sudah dari dulu mereka berdua menjelaskan pada Malika, agar sahabat Aurora itu tidak salah sangka dan menyimpan dendam begitu lama. Aurora sudah mengunjungi kediaman Malika untuk menerangkan duduk perkara sebenarnya. Namun, Malika tidak ada lagi di rumahnya. Rumahnya kosong tanpa meninggalkan jejak dan petunjuk kepergian sama sekali. Malika seolah ditelan bumi usai mengetahui pernikahan Aurora dan Sakti.“Jadi, ada apa? Apa benar kamu tahu di mana Malika? Awas, kalau kamu bohong dan cuma cari alasan buat ketemu aku,” ucap Sakti ketika Aurora sampai di hadapannya.Pria itu sangat tidak so
“Kamu nggak bisa giniin aku, Sak!” Perempuan dengan rambut sebahu itu berusaha keras mengangkat kedua tangannya agar mencapai lengan kiri pria yang duduk di sampingnya. Seutas tali yang melilit tangannya membuat perempuan itu kesulitan untuk melampiaskan kemarahannya. “Kenapa aku nggak bisa?” Pria di sampingnya itu berteriak tak kalah nyaring dari balik kemudi. “Kamu dengarkan, tadi, aku udah talak kamu di depan semuanya. Jadi, mulai sekarang kamu bukan siapa-siapa lagi. Kita bukan suami istri lagi. Masih kurang jelas?” “Nggak bisa gitu, dong. Kalau pun kamu udah talak aku, aku belum boleh keluar dari rumah kamu selama masa iddah.” “Kamu berharap aku udah menanam benih di rahim kamu? Jangan mimpi, Aurora. Kamu nggak akan pernah aku biarin jadi ibu dari anak-anakku. Kalaupun kamu hamil, aku yakin itu bukan anakku. Entah kenapa dulu orang tuaku bersikeras menjodohkan aku dengan kamu. Aku yakin kamu dulu yang paksa mereka, kan?” “Jaga omongan kamu, Sakti!” Aurora membasahi pipi Sakt
“Ma–Malika?” Aurora tergagap. Matanya mengerjap beberapa kali. Tenggorokan yang memang kering bertambah kerontang hingga sulit mengeluarkan suara lebih banyak. Aurora mematung di belakang kursi tanpa sanggup melangkahkan kaki. Di antara begitu banyak perusahaan Aurora malah bertemu dengan sahabat yang paling ia hindari selama ini. Malika. Seorang sahabat yang Aurora khianati dua tahun silam. Kini Malika tersenyum miring ke arahnya memerintahkan Aurora untuk duduk. “Nggak nyangka ya, kita bakal ketemu lagi di sini dengan situasi yang kayaknya berbalik nggak sesuai impian.” Malika menegakkan punggungnya dan menatap Aurora panjang. Suasana mendadak canggung. Terutama bagi Aurora yang tidak siap bertemu dengan Malika saat ini, di tengah kondisinya yang menyedihkan. Berulang kali Aurora menarik napas, memperbaiki duduknya, dan meremas jari-jari tangannya di bawah meja. “Bisa kita langsung mulai wawancaranya, Mal?” Semakin cepat dimulai semakin cepat pertemuan itu selesai. Aurora benar
Aurora melangkah cepat menyusuri pedestrian dipayungi langit senja yang kemerahan. Sesuai janji yang sudah dibuat dengan Sakti, sore ini sepulang dari kantor Aurora akan menemuinya demi sebuah misi. Aurora tahu hatinya masih sakit dengan semua sikap dan perbuatan Sakti kala itu. Hanya saja ia tidak punya pilihan lain demi membersihkan namanya kembali dari sebutan pelakor yang kini menghantui.Harusnya sudah dari dulu mereka berdua menjelaskan pada Malika, agar sahabat Aurora itu tidak salah sangka dan menyimpan dendam begitu lama. Aurora sudah mengunjungi kediaman Malika untuk menerangkan duduk perkara sebenarnya. Namun, Malika tidak ada lagi di rumahnya. Rumahnya kosong tanpa meninggalkan jejak dan petunjuk kepergian sama sekali. Malika seolah ditelan bumi usai mengetahui pernikahan Aurora dan Sakti.“Jadi, ada apa? Apa benar kamu tahu di mana Malika? Awas, kalau kamu bohong dan cuma cari alasan buat ketemu aku,” ucap Sakti ketika Aurora sampai di hadapannya.Pria itu sangat tidak so
Bukti. Kata itu kini menjadi perhatian Aurora. Harusnya ucapannya sendiri sudah cukup menjadi bukti bagi Malika. Toh, ia sendiri yang menjadi tokoh utama dalam kejadian masa lalu tersebut. Aurora tahu persis apa yang melatarbelakangi pernikahannya dengan Sakti dulu. Namun, Malika enggan mendengar kata-katanya dan justru meminta bukti lain untuk meyakinkannya.“Aku buktinya, Mal. Aku yang ada dalam pernikahan itu.” Kalimat Aurora itu tidak serta merta mempengaruhi Malika.“Semua yang keluar dari mulut kamu itu nggak ada artinya buat aku, Ra. Aku nggak bisa percaya lagi sama kamu,” ucap Malika memilih meninggalkan ruangannya dibanding meminta Aurora yang pergi.Aurora hanya bisa memutar tubuhnya mengikuti arah langkah Malika yang kini sudah sampai di ambang pintu. Jemari lentik Malika meraih gagang pintu dan mendorongnya sampai terbuka sebagian. Malika tidak lagi bersedia mendengar perkataan Aurora. Kini hanya satu yang ia minta, yaitu bukti. Aurora harus mendatangkan bukti atas ucapann
Setelah mendapat teguran dari Keenan, Malika bukannya berhenti malah justru semakin jadi menguliti Aurora. Bukan hanya statusnya sebagai randa yang dijadikan bahan, melainkan juga tuduhan Malika yang menyebut Aurora sebagai pelakor.Pelakor. Julukan itu kini membuat telinga Aurora terasa panas saat mendengarnya. Ia tidak merasa melakukannya, tentu saja. Aurora tidak pernah bermaksud melakukan apa yang Malika tuduhkan. Lagipula, saat itu hubungan Malika dan Sakti belum terikat dalam pernikahan.“Pelakor ada di mana-mana.” Tulis Malika di status media sosialnya. Sontak satu kantor tidak lagi bisa diam begitu melihat Aurora memasuki gedung kantor pagi harinya. Selalu ada tatapan miring yang Aurora dapatkan. Beserta bisik-bisik bak dengung lebah yang sulit dihentikan.Sambil mengayunkan langkah memasuki elevator menuju lantai dua, di mana Aurora ditugaskan hari-hari, Aurora menajamkan telinga mendengar setiap bisikan yang ia lewati. Anehnya, mereka yang menyadari kehadiran Aurora seolah s
Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, Aurora duduk diam di samping Keenan tanpa mengatakan apapun. Pengakuan Keenan tentang perasaannya membuat Aurora resah harus menyikapi seperti apa. Pasalnya, Aurora baru saja mengalami perjalanan panjang yang tidak mudah selama dua tahun ini. Bukan soal hati, sebab Aurora tidak pernah mengeluarkan Keenan dari sana.Ini adalah tentang kepantasan. Aurora merasa setelah semua yang dilakukan pada Keenan, ia tidak lagi pantas menjadi pendamping sebagaimana harapan keduanya.“Aku kira tadinya kamu akan dendam dan benci sama aku, Nan. Tapi ternyata … Kamu masih sama kayak dulu,” ucap Aurora memperbaiki sabuk pengaman yang melintang di tubuhnya. Mobil Keenan melaju tenang membelah lautan kendaraan yang memadati jalan.“Aku tahu kamu pasti punya alasan logis kenapa dulu mau dijodohkan dengan laki-laki itu, Ra,” jawab Keenan sangat tenang. Senyum masih saja mengembang di wajahnya yang tampan. Membuat Aurora candu meliriknya sesekali dalam diam.Aurora ya
“Lupakan soal ucapanku tadi, Ra.” Keenan memperbaiki posisi tangannya dan menarik tubuh mendekat ke piring untuk segera makan. Kalimat sebelumnya yang keluar dari lisan Keenan mengalir begitu saja dan langsung membuat raut wajah Aurora berubah drastis. Bukan bahagia seperti yang Keenan bayangkan ketika seorang wanita tahu bahwa ia masih dicintai. Justru Aurora bereaksi sebaliknya. Tidak nyaman atau mungkin merasa tidak pantas. “Aku sudah cerai, Nan.” Keenan terbatuk. Nasi yang baru masuk ke dalam mulutnya nyaris keluar kalau saja Keenan tidak berhasil mengendalikan diri. Aurora yang melihat pria di depannya itu kesulitan langsung meraih gelas tinggi di meja dan menyodorkan pada Keenan. Entah Keenan tersedak karena ucapannya atau bukan, yang jelas Aurora merasa khawatir. Jauh dalam hatinya Aurora menyadari apa yang dulu pernah ia rasakan belum pernah sekalipun hilang. Setelah Keenan meneguk setengah isi gelas, Aurora tidak langsung melanjutkan ceritanya. Ia diam sejenak sambil matan
Aurora tertunduk lesu di dalam lift yang akan membawanya ke lantai satu. Ada barang yang harus ia ambil di lobi, milik staff HC. Ucapan Malika dan kebencian yang terus terpancar di matanya membuat Aurora tidak bisa tenang. Keadaan berbalik begitu cepat. Menghancurkan persahabatan mereka yang begitu indah dulunya. Ting! Tangan seseorang ternyata menahan pintu lift yang akan tertutup. Aurora mendongak seketika dan langsung malas saat melihat sosok Keenan menyunggingkan senyum ke arahnya. Kini hanya ada mereka berdua di dalam lift. “Aku mau ngobrol sama kamu, Ra,” ucap Keenan begitu lift bergerak turun perlahan. “Maaf, Nan, aku masih banyak kerjaan. Ada barang yang harus aku angkut ke atas.” “Kamu belum jawab pertanyaan aku tadi, Ra.” Aurora menarik napas dalam. Ia tidak punya tenaga lagi untuk berdebat. Kepalanya masih penuh dengan benang kusut. “Pertanyaan apa lagi, Nan?” “Apa kamu bahagia setelah menikah?” Ting! Belum jadi Aurora menggerakkan bibirnya menjawab pertanyaan Keen
“Sampai kapan kamu menghindar terus, Ra?” Suara berat khas seorang pria muncul tiba-tiba di belakang Aurora. Pantri pada jam makan siang mulai sepi. Staff OB lain banyak yang memilih makan siang di kantin bawah. Aurora yang tengah menyeduh mie instan langsung tersentak dan menoleh ke sumber suara. Seperti dugaannya, suara itu amat Aurora kenal. “Aku nggak mau karyawan di sini salah paham, Nan. Mereka nggak boleh tau kalau kita pernah punya hubungan dulu,” jawab Aurora kembali membelakangi Keenan. Keenan kini duduk di kursi kayu dengan meja panjang terhampar di depannya. Tatapannya terus lekat memperhatikan punggung Aurora dan rambut halusnya yang terikat rapi seperti ekor kuda. “Mereka nggak akan tahu kalau kita nggak kasih tahu, kan? Jadi, mari bersikap biasa dan seperti dua teman baru.” Keenan menaikkan alisnya menatap Aurora. “Kalau aku sama karyawan lain mungkin akan biasa. Tapi, kamu bos di sini. Gosip apa yang akan tersebar kalau mereka lihat bos berteman dekat dengan offi
Keenan segera beranjak menuju pintu ruangan dan membubarkan karyawan lain yang mulai berkumpul. Tentu tindakan itu mengundang riuh rendah protes dari mereka. Setelah menutup pintu, Keenan kembali menghampiri Malika dan mengusap lengannya lembut. Malika masih mendengus kesal. Gara-gara gagal menahan emosi, atasannya itu jadi melihat sisi buruknya. Padahal, selama ini Malika selalu berusaha menjaga image sebagai wanita lembut di kantor. “Tarik napas dulu, Malika. Kamu mau bikin satu kantor heboh sama masalah pribadi kamu? Kalau saya jadi kamu saya malu.” Keenan menatap Malika serius dan berusaha menenangkan. Bukannya tenang, Malika kembali meradang. Matanya menatap Keenan tidak terima. Lelaki yang tidak tahu apa-apa itu berada di tempat dan waktu yang salah. Yang Malika butuh bukan masukan apalagi nasehat yang seolah memojokkan sekalipun itu dari atasannya. “Tapi saya nggak mau, Pak, lihat wanita ini ada di sekitar saya,” sanggah Malika masih tetap pada emosinya yang sudah memuncak.
“Ma–Malika?” Aurora tergagap. Matanya mengerjap beberapa kali. Tenggorokan yang memang kering bertambah kerontang hingga sulit mengeluarkan suara lebih banyak. Aurora mematung di belakang kursi tanpa sanggup melangkahkan kaki. Di antara begitu banyak perusahaan Aurora malah bertemu dengan sahabat yang paling ia hindari selama ini. Malika. Seorang sahabat yang Aurora khianati dua tahun silam. Kini Malika tersenyum miring ke arahnya memerintahkan Aurora untuk duduk. “Nggak nyangka ya, kita bakal ketemu lagi di sini dengan situasi yang kayaknya berbalik nggak sesuai impian.” Malika menegakkan punggungnya dan menatap Aurora panjang. Suasana mendadak canggung. Terutama bagi Aurora yang tidak siap bertemu dengan Malika saat ini, di tengah kondisinya yang menyedihkan. Berulang kali Aurora menarik napas, memperbaiki duduknya, dan meremas jari-jari tangannya di bawah meja. “Bisa kita langsung mulai wawancaranya, Mal?” Semakin cepat dimulai semakin cepat pertemuan itu selesai. Aurora benar