“Ma–Malika?”
Aurora tergagap. Matanya mengerjap beberapa kali. Tenggorokan yang memang kering bertambah kerontang hingga sulit mengeluarkan suara lebih banyak. Aurora mematung di belakang kursi tanpa sanggup melangkahkan kaki.
Di antara begitu banyak perusahaan Aurora malah bertemu dengan sahabat yang paling ia hindari selama ini. Malika. Seorang sahabat yang Aurora khianati dua tahun silam. Kini Malika tersenyum miring ke arahnya memerintahkan Aurora untuk duduk.
“Nggak nyangka ya, kita bakal ketemu lagi di sini dengan situasi yang kayaknya berbalik nggak sesuai impian.” Malika menegakkan punggungnya dan menatap Aurora panjang.
Suasana mendadak canggung. Terutama bagi Aurora yang tidak siap bertemu dengan Malika saat ini, di tengah kondisinya yang menyedihkan. Berulang kali Aurora menarik napas, memperbaiki duduknya, dan meremas jari-jari tangannya di bawah meja.
“Bisa kita langsung mulai wawancaranya, Mal?” Semakin cepat dimulai semakin cepat pertemuan itu selesai.
Aurora benar-benar kehilangan muka di hadapan Malika. Jangan sampai Malika membuka kembali kejadian di masa lalu yang berusaha keras ia lupakan.
“Kenapa buru-buru? Lagipula, kamu harusnya ingat posisi, Ra. Belum diterima aja kamu udah berani ngatur-ngatur,” jawab Malika tegas.
“S–sorry. Aku cuma khawatir waktu kamu jadi tersita karena ini.”
Hening. Aurora berusaha tidak menunduk, tapi tatapan Malika seakan menguliti nyalinya untuk mengangkat wajah.
“Denger-denger katanya kamu habis dikasih hadiah spesial ya sama Sakti di hari anniv kalian? Duh, sweet banget sih, Ra. Aku jadi iri. Eh, iri apa kasihan ya?” celoteh Malika tak habis-habisnya.
Rupanya meski sudah lama tidak bertemu, Malika masih bisa mendengar kabar terbaru tentang Aurora. Tanpa Aurora tahu, kejadian hari itu ternyata tersiar live di sebuah akun I*******m teman Sakti yang juga berteman dengan Malika di media sosial.
“Maaf, Mal. Aku ke sini buat interviu kerja, bukan bahas masalah pribadi.” Aurora mengangkat kepalanya yang dari tadi tertunduk lalu menantang tatapan Malika balik. Kali ini keberaniannya kembali muncul.
Bagi Aurora urusan kerja dan pribadi tidak seharusnya dicampur aduk. Apalagi Malika sebagai manager HC di sana musti bisa professional meskipun hatinya meledak-ledak bertemu dengan Aurora saat ini.
“Emangnya Sakti nggak ngasih kamu gono-gini? Atau minimal uang saku gitu buat mantan istri. Talaknya baru jatuh, kan?”
Aurora menarik napas panjang. Kini tatapan mereka semakin lekat menunjukkan jati diri masing-masing. Persahabatan yang dulu ada kini hanya tinggal cerita lama di antara mereka.
“Kenapa? Kamu nggak terima aku ngomong gitu?” tantang Malika semakin percaya diri, yakin kali ini ia bisa membalas Aurora.
Aurora membulatkan mata coklatnya. Tangan yang dari tadi berdiam di bawah maja langsung meremas ujung pakaian yang Aurora kenakan, geram. Jika tidak ingat sedang ada di mana sekarang mungkin jari lentiknya itu sudah meninggalkan jejak di kulit mulus Malika.
Sayangnya, Aurora sedang ada pada situasi yang tidak memungkinkan untuk mempertahankan harga dirinya. Aurora sadar saat ini sangat membutuhkan pekerjaan itu. Ia harus mendapatkannya.
Satu tarikan napas panjang berhasil menetralkan emosi yang terpancing dan bergejolak dalam diri Aurora. Keinginan melawan kesombongan sahabatnya itu langsung sirna. Dengan berat Aurora menurunkan nada bicaranya.
“Bisa kita mulai interviunya, Mal? Aku tahu kamu sangat sibuk sekarang dan pasti kamu nggak mau kan waktu kamu yang berharga terbuang percuma karena aku?” Aurora berusaha bersikap setenang mungkin menghadapi Malika yang sudah kehilangan kendali atas kemarahannya.
Malika diam. Jari-jari tangannya bertaut satu sama lain dengan siku bertumpu di atas meja. Apa yang diucapkan Aurora tampaknya mempengaruhi Malika.
“Ya udah. Kalau gitu kamu nggak perlu interviu segala,” ucap sahabat Aurora itu masih penuh kesombongan.
“Lho? Aku diterima tanpa interviu?”
Aurora tersenyum lebar. Segera ia mengangkat tulang ekornya meninggalkan kursi, hendak menyalami Malika. Namun, Malika langsung mematahkan kegembiraan itu.
“Kamu ditolak, Ra. Aku nggak mau terima kamu kerja di kantor yang sama denganku. Pengkhianat nggak pantas ada di sini.”
“Malika …!” Aurora tidak tahan. Ucapan Malika mulai melebar membuka masalah lama di antara mereka.
Dalam hati, Aurora menyesal harus datang ke kantor tersebut. Kalau bukan karena keadaan yang tidak memihaknya, tentu Aurora tidak mau ada di sana. Kini hanya teriakan-teriakan kecil yang tertahan dalam benak Aurora menerima perlakuan Malika tersebut.
“Kenapa? Nggak terima? Lho, aku cuma ngomongin fakta, kok, Ra. Kamu nggak boleh keberatan, dong.”
Ruangan berpendingin udara itu perlahan menjelma menjadi sauna. Aurora gerah. Fisik dan hatinya panas. Semakin lama berurusan dengan Malika, semakin deras darah mengalir ke kepalanya.
“Jangan pernah menghakimi sesuatu yang kamu nggak tau kebenarannya, Mal!” tegas Aurora memperingatkan Malika untuk menjaga lisannya.
Ini sudah keterlaluan. Begitu yang Aurora rasakan saat mendengar kata demi kata keluar dari bibir bergincu merah ke oranye-oranyean itu. Aurora bisa sabar saat Malika menyindir rumah tangganya yang kandas. Namun, disebut pengkhianat dan ditolak untuk bekerja karena kejadian masa lalunya, Aurora tidak mampu menerimanya dengan hati lapang lagi.
“Oh ya? Kebenaran apa? Kebenaran kamu ngelakuin itu semua, pura-pura mendukung hubunganku dan Sakti tapi di belakang kamu malah ngerebut kekasih sahabat kamu sendiri? Bahkan, aku ragu kita beneran sahabatan atau bukan waktu itu. Tapi, lihat kamu kayak gini sekarang aku puas sih, Ra. Kayaknya karma itu mulai bekerja.”
Saat suasana makin tegang, seseorang muncul sebagai penjeda selama beberapa detik. Keduanya kompak menoleh ke arah pintu kaca yang terkuak sedikit. Kepala seseorang menyembul dengan senyum yang menggetarkan hati Aurora.
“Keenan?” batin Aurora menahan lidahnya menyebut nama itu.
“Pak Keenan?”
Demi mendengar Malika memperjelas nama pria di ambang pintu, Aurora langsung membuang muka. Hari ini ia mendapat banyak kejutan di kantor tersebut. Mulai dari Malika, lalu kini kemunculan Keenan—seseorang dari masa lalunya.
Lelaki yang terpaku cukup lama itu tampak kebingungan. Tangannya meraup wajah mengembalikan tatapannya yang sempat tertuju pada Aurora pindah ke Malika.
“Ada apa ini?” Suara Keenan berusaha setenang mungkin.
Sama halnya dengan Aurora, tentu Keenan juga tidak menduga jika akan bertemu dengan mantan kekasihnya itu di sana. Sudah dua tahun lamanya mereka berpisah tanpa pernah menjalin komunikasi satu sama lain.
“Ini Pak, saya sedang interviu karyawan baru.” Malika kembali melirik Aurora yang kali ini tertunduk dalam. Malika tidak tahu kalau Keenan dan Aurora dulu pernah menjalin hubungan.
“Diterima?” tanya Keenan urung pergi meninggalkan ruangan.
“Dia nggak memenuhi kualifikasi buat jadi office girl baru, Pak.” Aurora menatap Malika tidak percaya dengan jawabannya. Padahal, mereka belum melakukan wawancara apapun.
Mendengar ucapan Malika menarik minat Keenan untuk mendekat. Tangannya yang kekar meraih dokumen yang tergeletak di atas meja kerja Malika dan langsung memindainya. Dokumen tersebut berisi data diri dan surat lamaran yang diajukan Aurora.
“Sesuai, kok. Nggak ada yang kurang. Sudah, terima saja. Kita butuh OG baru secepatnya, lho.” Keenan melirik Aurora diam-diam. Sementara yang dilirik mendongak ragu ke arahnya. Tatapan mereka beradu sesaat sebelum Aurora buru-buru memalingkannya.
“Tapi, Pak … Bapak yakin mau terima perempuan ini?” Malika tidak bisa menahan diri lagi.
“Lho? Memangnya kenapa? Kamu ada masalah sama dia?”
Malika tertunduk diam. Apa yang Keenan tanyakan seakan menyerangnya. Apalagi Malika tahu Keenan tidak suka masalah pekerjaan dicampur aduk dengan urusan pribadi. Keenan dan Aurora kembali beradu tatap beberapa saat ditutup dengan senyum ramah dari lelaki itu. Tentu pemandangan tersebut menyulut api kemarahan di wajah Malika. Mukanya merah padam.
“Wanita ini pelakor, Pak. Dia udah ngancurin hidup saya!” Malika setengah berteriak menudingkan telunjuknya ke arah Aurora. Beberapa karyawan berkumpul diam-diam di depan pintu ruangan yang lupa ditutup. Mereka penasaran dengan kegaduhan tersebut.
“Aku bukan pelakor, Mal!” bantah Aurora segera tidak terima label itu diberikan atas dirinya. Apalagi oleh sahabatnya sendiri.
Aurora merasakan pipinya kini memanas. Malu dan sakit hati berkumpul jadi satu yang ia coba sembunyikan sedalam mungkin. Terlebih saat sepasang matanya beradu dengan Keenan.
Keenan segera beranjak menuju pintu ruangan dan membubarkan karyawan lain yang mulai berkumpul. Tentu tindakan itu mengundang riuh rendah protes dari mereka. Setelah menutup pintu, Keenan kembali menghampiri Malika dan mengusap lengannya lembut. Malika masih mendengus kesal. Gara-gara gagal menahan emosi, atasannya itu jadi melihat sisi buruknya. Padahal, selama ini Malika selalu berusaha menjaga image sebagai wanita lembut di kantor. “Tarik napas dulu, Malika. Kamu mau bikin satu kantor heboh sama masalah pribadi kamu? Kalau saya jadi kamu saya malu.” Keenan menatap Malika serius dan berusaha menenangkan. Bukannya tenang, Malika kembali meradang. Matanya menatap Keenan tidak terima. Lelaki yang tidak tahu apa-apa itu berada di tempat dan waktu yang salah. Yang Malika butuh bukan masukan apalagi nasehat yang seolah memojokkan sekalipun itu dari atasannya. “Tapi saya nggak mau, Pak, lihat wanita ini ada di sekitar saya,” sanggah Malika masih tetap pada emosinya yang sudah memuncak.
“Sampai kapan kamu menghindar terus, Ra?” Suara berat khas seorang pria muncul tiba-tiba di belakang Aurora. Pantri pada jam makan siang mulai sepi. Staff OB lain banyak yang memilih makan siang di kantin bawah. Aurora yang tengah menyeduh mie instan langsung tersentak dan menoleh ke sumber suara. Seperti dugaannya, suara itu amat Aurora kenal. “Aku nggak mau karyawan di sini salah paham, Nan. Mereka nggak boleh tau kalau kita pernah punya hubungan dulu,” jawab Aurora kembali membelakangi Keenan. Keenan kini duduk di kursi kayu dengan meja panjang terhampar di depannya. Tatapannya terus lekat memperhatikan punggung Aurora dan rambut halusnya yang terikat rapi seperti ekor kuda. “Mereka nggak akan tahu kalau kita nggak kasih tahu, kan? Jadi, mari bersikap biasa dan seperti dua teman baru.” Keenan menaikkan alisnya menatap Aurora. “Kalau aku sama karyawan lain mungkin akan biasa. Tapi, kamu bos di sini. Gosip apa yang akan tersebar kalau mereka lihat bos berteman dekat dengan offi
Aurora tertunduk lesu di dalam lift yang akan membawanya ke lantai satu. Ada barang yang harus ia ambil di lobi, milik staff HC. Ucapan Malika dan kebencian yang terus terpancar di matanya membuat Aurora tidak bisa tenang. Keadaan berbalik begitu cepat. Menghancurkan persahabatan mereka yang begitu indah dulunya. Ting! Tangan seseorang ternyata menahan pintu lift yang akan tertutup. Aurora mendongak seketika dan langsung malas saat melihat sosok Keenan menyunggingkan senyum ke arahnya. Kini hanya ada mereka berdua di dalam lift. “Aku mau ngobrol sama kamu, Ra,” ucap Keenan begitu lift bergerak turun perlahan. “Maaf, Nan, aku masih banyak kerjaan. Ada barang yang harus aku angkut ke atas.” “Kamu belum jawab pertanyaan aku tadi, Ra.” Aurora menarik napas dalam. Ia tidak punya tenaga lagi untuk berdebat. Kepalanya masih penuh dengan benang kusut. “Pertanyaan apa lagi, Nan?” “Apa kamu bahagia setelah menikah?” Ting! Belum jadi Aurora menggerakkan bibirnya menjawab pertanyaan Keen
“Lupakan soal ucapanku tadi, Ra.” Keenan memperbaiki posisi tangannya dan menarik tubuh mendekat ke piring untuk segera makan. Kalimat sebelumnya yang keluar dari lisan Keenan mengalir begitu saja dan langsung membuat raut wajah Aurora berubah drastis. Bukan bahagia seperti yang Keenan bayangkan ketika seorang wanita tahu bahwa ia masih dicintai. Justru Aurora bereaksi sebaliknya. Tidak nyaman atau mungkin merasa tidak pantas. “Aku sudah cerai, Nan.” Keenan terbatuk. Nasi yang baru masuk ke dalam mulutnya nyaris keluar kalau saja Keenan tidak berhasil mengendalikan diri. Aurora yang melihat pria di depannya itu kesulitan langsung meraih gelas tinggi di meja dan menyodorkan pada Keenan. Entah Keenan tersedak karena ucapannya atau bukan, yang jelas Aurora merasa khawatir. Jauh dalam hatinya Aurora menyadari apa yang dulu pernah ia rasakan belum pernah sekalipun hilang. Setelah Keenan meneguk setengah isi gelas, Aurora tidak langsung melanjutkan ceritanya. Ia diam sejenak sambil matan
Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, Aurora duduk diam di samping Keenan tanpa mengatakan apapun. Pengakuan Keenan tentang perasaannya membuat Aurora resah harus menyikapi seperti apa. Pasalnya, Aurora baru saja mengalami perjalanan panjang yang tidak mudah selama dua tahun ini. Bukan soal hati, sebab Aurora tidak pernah mengeluarkan Keenan dari sana.Ini adalah tentang kepantasan. Aurora merasa setelah semua yang dilakukan pada Keenan, ia tidak lagi pantas menjadi pendamping sebagaimana harapan keduanya.“Aku kira tadinya kamu akan dendam dan benci sama aku, Nan. Tapi ternyata … Kamu masih sama kayak dulu,” ucap Aurora memperbaiki sabuk pengaman yang melintang di tubuhnya. Mobil Keenan melaju tenang membelah lautan kendaraan yang memadati jalan.“Aku tahu kamu pasti punya alasan logis kenapa dulu mau dijodohkan dengan laki-laki itu, Ra,” jawab Keenan sangat tenang. Senyum masih saja mengembang di wajahnya yang tampan. Membuat Aurora candu meliriknya sesekali dalam diam.Aurora ya
Setelah mendapat teguran dari Keenan, Malika bukannya berhenti malah justru semakin jadi menguliti Aurora. Bukan hanya statusnya sebagai randa yang dijadikan bahan, melainkan juga tuduhan Malika yang menyebut Aurora sebagai pelakor.Pelakor. Julukan itu kini membuat telinga Aurora terasa panas saat mendengarnya. Ia tidak merasa melakukannya, tentu saja. Aurora tidak pernah bermaksud melakukan apa yang Malika tuduhkan. Lagipula, saat itu hubungan Malika dan Sakti belum terikat dalam pernikahan.“Pelakor ada di mana-mana.” Tulis Malika di status media sosialnya. Sontak satu kantor tidak lagi bisa diam begitu melihat Aurora memasuki gedung kantor pagi harinya. Selalu ada tatapan miring yang Aurora dapatkan. Beserta bisik-bisik bak dengung lebah yang sulit dihentikan.Sambil mengayunkan langkah memasuki elevator menuju lantai dua, di mana Aurora ditugaskan hari-hari, Aurora menajamkan telinga mendengar setiap bisikan yang ia lewati. Anehnya, mereka yang menyadari kehadiran Aurora seolah s
Bukti. Kata itu kini menjadi perhatian Aurora. Harusnya ucapannya sendiri sudah cukup menjadi bukti bagi Malika. Toh, ia sendiri yang menjadi tokoh utama dalam kejadian masa lalu tersebut. Aurora tahu persis apa yang melatarbelakangi pernikahannya dengan Sakti dulu. Namun, Malika enggan mendengar kata-katanya dan justru meminta bukti lain untuk meyakinkannya.“Aku buktinya, Mal. Aku yang ada dalam pernikahan itu.” Kalimat Aurora itu tidak serta merta mempengaruhi Malika.“Semua yang keluar dari mulut kamu itu nggak ada artinya buat aku, Ra. Aku nggak bisa percaya lagi sama kamu,” ucap Malika memilih meninggalkan ruangannya dibanding meminta Aurora yang pergi.Aurora hanya bisa memutar tubuhnya mengikuti arah langkah Malika yang kini sudah sampai di ambang pintu. Jemari lentik Malika meraih gagang pintu dan mendorongnya sampai terbuka sebagian. Malika tidak lagi bersedia mendengar perkataan Aurora. Kini hanya satu yang ia minta, yaitu bukti. Aurora harus mendatangkan bukti atas ucapann
Aurora melangkah cepat menyusuri pedestrian dipayungi langit senja yang kemerahan. Sesuai janji yang sudah dibuat dengan Sakti, sore ini sepulang dari kantor Aurora akan menemuinya demi sebuah misi. Aurora tahu hatinya masih sakit dengan semua sikap dan perbuatan Sakti kala itu. Hanya saja ia tidak punya pilihan lain demi membersihkan namanya kembali dari sebutan pelakor yang kini menghantui.Harusnya sudah dari dulu mereka berdua menjelaskan pada Malika, agar sahabat Aurora itu tidak salah sangka dan menyimpan dendam begitu lama. Aurora sudah mengunjungi kediaman Malika untuk menerangkan duduk perkara sebenarnya. Namun, Malika tidak ada lagi di rumahnya. Rumahnya kosong tanpa meninggalkan jejak dan petunjuk kepergian sama sekali. Malika seolah ditelan bumi usai mengetahui pernikahan Aurora dan Sakti.“Jadi, ada apa? Apa benar kamu tahu di mana Malika? Awas, kalau kamu bohong dan cuma cari alasan buat ketemu aku,” ucap Sakti ketika Aurora sampai di hadapannya.Pria itu sangat tidak so
Aurora melangkah cepat menyusuri pedestrian dipayungi langit senja yang kemerahan. Sesuai janji yang sudah dibuat dengan Sakti, sore ini sepulang dari kantor Aurora akan menemuinya demi sebuah misi. Aurora tahu hatinya masih sakit dengan semua sikap dan perbuatan Sakti kala itu. Hanya saja ia tidak punya pilihan lain demi membersihkan namanya kembali dari sebutan pelakor yang kini menghantui.Harusnya sudah dari dulu mereka berdua menjelaskan pada Malika, agar sahabat Aurora itu tidak salah sangka dan menyimpan dendam begitu lama. Aurora sudah mengunjungi kediaman Malika untuk menerangkan duduk perkara sebenarnya. Namun, Malika tidak ada lagi di rumahnya. Rumahnya kosong tanpa meninggalkan jejak dan petunjuk kepergian sama sekali. Malika seolah ditelan bumi usai mengetahui pernikahan Aurora dan Sakti.“Jadi, ada apa? Apa benar kamu tahu di mana Malika? Awas, kalau kamu bohong dan cuma cari alasan buat ketemu aku,” ucap Sakti ketika Aurora sampai di hadapannya.Pria itu sangat tidak so
Bukti. Kata itu kini menjadi perhatian Aurora. Harusnya ucapannya sendiri sudah cukup menjadi bukti bagi Malika. Toh, ia sendiri yang menjadi tokoh utama dalam kejadian masa lalu tersebut. Aurora tahu persis apa yang melatarbelakangi pernikahannya dengan Sakti dulu. Namun, Malika enggan mendengar kata-katanya dan justru meminta bukti lain untuk meyakinkannya.“Aku buktinya, Mal. Aku yang ada dalam pernikahan itu.” Kalimat Aurora itu tidak serta merta mempengaruhi Malika.“Semua yang keluar dari mulut kamu itu nggak ada artinya buat aku, Ra. Aku nggak bisa percaya lagi sama kamu,” ucap Malika memilih meninggalkan ruangannya dibanding meminta Aurora yang pergi.Aurora hanya bisa memutar tubuhnya mengikuti arah langkah Malika yang kini sudah sampai di ambang pintu. Jemari lentik Malika meraih gagang pintu dan mendorongnya sampai terbuka sebagian. Malika tidak lagi bersedia mendengar perkataan Aurora. Kini hanya satu yang ia minta, yaitu bukti. Aurora harus mendatangkan bukti atas ucapann
Setelah mendapat teguran dari Keenan, Malika bukannya berhenti malah justru semakin jadi menguliti Aurora. Bukan hanya statusnya sebagai randa yang dijadikan bahan, melainkan juga tuduhan Malika yang menyebut Aurora sebagai pelakor.Pelakor. Julukan itu kini membuat telinga Aurora terasa panas saat mendengarnya. Ia tidak merasa melakukannya, tentu saja. Aurora tidak pernah bermaksud melakukan apa yang Malika tuduhkan. Lagipula, saat itu hubungan Malika dan Sakti belum terikat dalam pernikahan.“Pelakor ada di mana-mana.” Tulis Malika di status media sosialnya. Sontak satu kantor tidak lagi bisa diam begitu melihat Aurora memasuki gedung kantor pagi harinya. Selalu ada tatapan miring yang Aurora dapatkan. Beserta bisik-bisik bak dengung lebah yang sulit dihentikan.Sambil mengayunkan langkah memasuki elevator menuju lantai dua, di mana Aurora ditugaskan hari-hari, Aurora menajamkan telinga mendengar setiap bisikan yang ia lewati. Anehnya, mereka yang menyadari kehadiran Aurora seolah s
Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, Aurora duduk diam di samping Keenan tanpa mengatakan apapun. Pengakuan Keenan tentang perasaannya membuat Aurora resah harus menyikapi seperti apa. Pasalnya, Aurora baru saja mengalami perjalanan panjang yang tidak mudah selama dua tahun ini. Bukan soal hati, sebab Aurora tidak pernah mengeluarkan Keenan dari sana.Ini adalah tentang kepantasan. Aurora merasa setelah semua yang dilakukan pada Keenan, ia tidak lagi pantas menjadi pendamping sebagaimana harapan keduanya.“Aku kira tadinya kamu akan dendam dan benci sama aku, Nan. Tapi ternyata … Kamu masih sama kayak dulu,” ucap Aurora memperbaiki sabuk pengaman yang melintang di tubuhnya. Mobil Keenan melaju tenang membelah lautan kendaraan yang memadati jalan.“Aku tahu kamu pasti punya alasan logis kenapa dulu mau dijodohkan dengan laki-laki itu, Ra,” jawab Keenan sangat tenang. Senyum masih saja mengembang di wajahnya yang tampan. Membuat Aurora candu meliriknya sesekali dalam diam.Aurora ya
“Lupakan soal ucapanku tadi, Ra.” Keenan memperbaiki posisi tangannya dan menarik tubuh mendekat ke piring untuk segera makan. Kalimat sebelumnya yang keluar dari lisan Keenan mengalir begitu saja dan langsung membuat raut wajah Aurora berubah drastis. Bukan bahagia seperti yang Keenan bayangkan ketika seorang wanita tahu bahwa ia masih dicintai. Justru Aurora bereaksi sebaliknya. Tidak nyaman atau mungkin merasa tidak pantas. “Aku sudah cerai, Nan.” Keenan terbatuk. Nasi yang baru masuk ke dalam mulutnya nyaris keluar kalau saja Keenan tidak berhasil mengendalikan diri. Aurora yang melihat pria di depannya itu kesulitan langsung meraih gelas tinggi di meja dan menyodorkan pada Keenan. Entah Keenan tersedak karena ucapannya atau bukan, yang jelas Aurora merasa khawatir. Jauh dalam hatinya Aurora menyadari apa yang dulu pernah ia rasakan belum pernah sekalipun hilang. Setelah Keenan meneguk setengah isi gelas, Aurora tidak langsung melanjutkan ceritanya. Ia diam sejenak sambil matan
Aurora tertunduk lesu di dalam lift yang akan membawanya ke lantai satu. Ada barang yang harus ia ambil di lobi, milik staff HC. Ucapan Malika dan kebencian yang terus terpancar di matanya membuat Aurora tidak bisa tenang. Keadaan berbalik begitu cepat. Menghancurkan persahabatan mereka yang begitu indah dulunya. Ting! Tangan seseorang ternyata menahan pintu lift yang akan tertutup. Aurora mendongak seketika dan langsung malas saat melihat sosok Keenan menyunggingkan senyum ke arahnya. Kini hanya ada mereka berdua di dalam lift. “Aku mau ngobrol sama kamu, Ra,” ucap Keenan begitu lift bergerak turun perlahan. “Maaf, Nan, aku masih banyak kerjaan. Ada barang yang harus aku angkut ke atas.” “Kamu belum jawab pertanyaan aku tadi, Ra.” Aurora menarik napas dalam. Ia tidak punya tenaga lagi untuk berdebat. Kepalanya masih penuh dengan benang kusut. “Pertanyaan apa lagi, Nan?” “Apa kamu bahagia setelah menikah?” Ting! Belum jadi Aurora menggerakkan bibirnya menjawab pertanyaan Keen
“Sampai kapan kamu menghindar terus, Ra?” Suara berat khas seorang pria muncul tiba-tiba di belakang Aurora. Pantri pada jam makan siang mulai sepi. Staff OB lain banyak yang memilih makan siang di kantin bawah. Aurora yang tengah menyeduh mie instan langsung tersentak dan menoleh ke sumber suara. Seperti dugaannya, suara itu amat Aurora kenal. “Aku nggak mau karyawan di sini salah paham, Nan. Mereka nggak boleh tau kalau kita pernah punya hubungan dulu,” jawab Aurora kembali membelakangi Keenan. Keenan kini duduk di kursi kayu dengan meja panjang terhampar di depannya. Tatapannya terus lekat memperhatikan punggung Aurora dan rambut halusnya yang terikat rapi seperti ekor kuda. “Mereka nggak akan tahu kalau kita nggak kasih tahu, kan? Jadi, mari bersikap biasa dan seperti dua teman baru.” Keenan menaikkan alisnya menatap Aurora. “Kalau aku sama karyawan lain mungkin akan biasa. Tapi, kamu bos di sini. Gosip apa yang akan tersebar kalau mereka lihat bos berteman dekat dengan offi
Keenan segera beranjak menuju pintu ruangan dan membubarkan karyawan lain yang mulai berkumpul. Tentu tindakan itu mengundang riuh rendah protes dari mereka. Setelah menutup pintu, Keenan kembali menghampiri Malika dan mengusap lengannya lembut. Malika masih mendengus kesal. Gara-gara gagal menahan emosi, atasannya itu jadi melihat sisi buruknya. Padahal, selama ini Malika selalu berusaha menjaga image sebagai wanita lembut di kantor. “Tarik napas dulu, Malika. Kamu mau bikin satu kantor heboh sama masalah pribadi kamu? Kalau saya jadi kamu saya malu.” Keenan menatap Malika serius dan berusaha menenangkan. Bukannya tenang, Malika kembali meradang. Matanya menatap Keenan tidak terima. Lelaki yang tidak tahu apa-apa itu berada di tempat dan waktu yang salah. Yang Malika butuh bukan masukan apalagi nasehat yang seolah memojokkan sekalipun itu dari atasannya. “Tapi saya nggak mau, Pak, lihat wanita ini ada di sekitar saya,” sanggah Malika masih tetap pada emosinya yang sudah memuncak.
“Ma–Malika?” Aurora tergagap. Matanya mengerjap beberapa kali. Tenggorokan yang memang kering bertambah kerontang hingga sulit mengeluarkan suara lebih banyak. Aurora mematung di belakang kursi tanpa sanggup melangkahkan kaki. Di antara begitu banyak perusahaan Aurora malah bertemu dengan sahabat yang paling ia hindari selama ini. Malika. Seorang sahabat yang Aurora khianati dua tahun silam. Kini Malika tersenyum miring ke arahnya memerintahkan Aurora untuk duduk. “Nggak nyangka ya, kita bakal ketemu lagi di sini dengan situasi yang kayaknya berbalik nggak sesuai impian.” Malika menegakkan punggungnya dan menatap Aurora panjang. Suasana mendadak canggung. Terutama bagi Aurora yang tidak siap bertemu dengan Malika saat ini, di tengah kondisinya yang menyedihkan. Berulang kali Aurora menarik napas, memperbaiki duduknya, dan meremas jari-jari tangannya di bawah meja. “Bisa kita langsung mulai wawancaranya, Mal?” Semakin cepat dimulai semakin cepat pertemuan itu selesai. Aurora benar