Aurora tertunduk lesu di dalam lift yang akan membawanya ke lantai satu. Ada barang yang harus ia ambil di lobi, milik staff HC. Ucapan Malika dan kebencian yang terus terpancar di matanya membuat Aurora tidak bisa tenang. Keadaan berbalik begitu cepat. Menghancurkan persahabatan mereka yang begitu indah dulunya.
Ting!
Tangan seseorang ternyata menahan pintu lift yang akan tertutup. Aurora mendongak seketika dan langsung malas saat melihat sosok Keenan menyunggingkan senyum ke arahnya. Kini hanya ada mereka berdua di dalam lift.
“Aku mau ngobrol sama kamu, Ra,” ucap Keenan begitu lift bergerak turun perlahan.
“Maaf, Nan, aku masih banyak kerjaan. Ada barang yang harus aku angkut ke atas.”
“Kamu belum jawab pertanyaan aku tadi, Ra.”
Aurora menarik napas dalam. Ia tidak punya tenaga lagi untuk berdebat. Kepalanya masih penuh dengan benang kusut.
“Pertanyaan apa lagi, Nan?”
“Apa kamu bahagia setelah menikah?”
Ting!
Belum jadi Aurora menggerakkan bibirnya menjawab pertanyaan Keenan, pintu lift terbuka perlahan dan menampakkan suasana lobi yang cukup ramai di depan mereka. Aurora—yang menyadari tatapan orang-orang di lantai itu tertuju kepadanya dan Keenan—langsung melangkah lebih dulu keluar dari lift. Setidaknya ia selamat dari pertanyaan tersebut.
Saat ini Aurora merasa belum siap jika Keenan sampai tahu pernikahannya sudah berakhir. Aurora malu. Itu pasti. Dulu ia meninggalkan Keenan begitu saja tanpa penjelasan apa-apa. Bahkan setelah itu Aurora tidak tahu ke mana Keenan pergi sebab kontaknya sudah diblokir oleh Keenan. Hanya satu yang Aurora tahu kala itu, Keenan pasti sangat sakit dan membencinya. Sama halnya dengan Malika yang sangat terluka begitu tahu kekasihnya dijodohkan dengan sahabatnya sendiri, Aurora.
“Bang Sup!” Keenan mengangkat tangan melambai ke arah seorang pria berseragam serupa dengan Aurora yang tengah sibuk membersihkan lantai di dekat meja resepsionis.
Bang Supri—nama lengkap pria tersebut—langsung menoleh dan menyambut panggilan Keenan dengan senyum lebar. Dengan langkah panjang Bang Supri menghampiri Keenan sambil melirik Aurora yang berhenti tepat di samping Keenan. Rupanya Keenan sengaja menginjak tali sepatu Aurora—yang terlepas—agar tidak bisa menjauh dan pergi lebih dulu meninggalkannya.
“Kenapa, Pak?” tanya Bang Supri antusias.
“Mana, Ra, barang yang mau kamu ambil?” Keenan beralih pada Aurora.
Aurora yang masih berusaha menarik langkahnya yang terkunci sontak mendongak dan mengedarkan pandangan mencari kardus yang harus ia ambil.
“Itu, Pak.” Tunjuk Aurora sedikit canggung.
Keenan dan Bang Supri kompak mengikuti arah telunjuk Aurora ke depan meja resepsionis, sedikit ke arah pintu masuk. Di sana sudah menanti tiga kardus yang ditumpuk dan siap untuk diangkut.
“Tolong angkut ke lantai dua ya, Bang Sup. Saya ada urusan sebentar sama Aurora,” perintah Keenan mengalihkan tugas Aurora kepada Bang Supri.
Bang Supri yang sangat mencintai pekerjaannya langsung mengangguk. Meski dalam hati sedikit penasaran dengan urusan antara bos dan office girl tersebut. Terlebih status Aurora sebagai karyawan baru di sana, tentu mengherankan melihat kedekatan Aurora dan Keenan saat ini. Hanya Bang Supri tidak berani bertanya lebih jauh. Baginya itu bukan bagian dari tugasnya di sana.
“Baik, Bos, laksanakan.” Bang Supri mengangkat tangan dan menempelkan ke pelipis dengan sikap tegak. Membuat Keenan tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Tapi, itu nggak mau diangkat dulu, Pak, kakinya dari tali sepatu Neng Aurora? Kasihan nanti kejengkang pas mau jalan,” usul Bang Supri menatap kaki Keenan yang masih menahan tali sepatu Aurora.
“Oh, iya. Sorry, saya nggak lihat,” kilah Keenan berusaha senatural mungkin seolah itu sebuah ketidaksengajaan.
“Makasih, ya, Bang Sup,” ucap Aurora tersenyum lebar saat Bang Supri sudah berbalik sempurna dan melangkah dari hadapan mereka.
“Never mind, Neng.” Tangan Bang Supri diangkat tanpa berbalik sama sekali.
Ucapan terima kasih Aurora bukan saja pada kebaikan Bang Supri yang mau menggantikan tugasnya tanpa mengeluh dan banyak tanya, namun juga karena Bang Supri sudah menyelamatkan tali sepatunya dari Keenan. Aurora langsung menurunkan tubuhnya memperbaiki tali sepatu yang lepas. Sedang Keenan turut menunduk menatap Aurora yang sibuk sendiri.
“Memangnya kita ada urusan apa?” tanya Aurora kemudian setelah berdiri kembali.
“Ikut aja.” Keenan melangkah lebih dulu dan hendak menarik tangan Aurora agar mengikutinya, namun Aurora dengan gesit menarik tangan menjauh sehingga Keenan gagal menggenggamnya.
Menyadari tangannya hanya merengkuh angin, Keenan langsung berbalik menatap Aurora tajam.
“Ke mana?” tanya Aurora sekali lagi dengan suara pelan nyaris seperti berbisik.
“Makan siang. Kamu harus tanggung jawab. Gara-gara kamu tadi, aku jadi kehilangan jam makan siang.”
“Kenapa aku?” Aurora mengernyit merasa tidak berbuat salah sama sekali pada bos sekaligus mantannya itu.
Keenan mengedarkan pandangan ke sekitar. Beberapa karyawan yang melintas diam-diam melirik ke arah mereka dengan tatapan penasaran. Baru kali ini seorang atasan terlibat perdebatan dengan office girl layaknya sepasang kekasih, mungkin itu yang mereka pikirkan.
“Dia bukannya pelakor yang ditulis dalam statusnya Ibu Malika, ya?” bisik seorang karyawati pada temannya saat melewati Keenan dan Aurora.
Tentu saja ucapan itu—yang meskipun berbisik—tetap bisa terdengar oleh Aurora. Pasalnya mereka berbisik tepat satu langkah di belakang Aurora. Aurora langsung memutar kepalanya memastikan siapa yang berbicara itu lagi. Namun, hanya punggung keduanya yang Aurora dapatkan. Mereka sudah menjauh sebelum Aurora sempat menghampiri dan ingin meluruskan.
“Malika kayaknya benci banget sama kamu. Kalian beneran sahabatan? Kok, dulu aku nggak tahu?” tutur Keenan pelan seolah berbicara pada dirinya sendiri.
“Kamu mau makan di mana?” Aurora belum mau menanggapi pertanyaan tersebut, terutama setelah mengetahui rumor tentangnya mulai menyebar di kantor.
Keenan pun tersenyum lebar mendengar ucapan Aurora yang menyerah dan menerima ajakannya. Tanpa menunggu lama Keenan bergegas mengurai langkah menuju pintu keluar dan Aurora mengikutinya di belakang dengan pasrah. Setelah bisik-bisik menyebalkan itu, Aurora merasa butuh tempat untuk menenangkan diri.
Sebuah restoran Padang menjadi pilihan Keenan siang ini. Restoran dengan gaya penyajian yang khas itu berada cukup jauh dari kantor. Sehingga untuk sampai ke sana Keenan harus menyetir mobil selama setengah jam. Keenan memang sengaja mencari tempat yang jauh agar tidak ada karyawan kantornya yang melihat mereka berdua.
Keenan bukan ingin menghindar dan menutupi kedekatannya—kembali—dengan Aurora. Ia hanya ingin membuat Aurora merasa nyaman tanpa harus mencemaskan kuping-kuping nakal yang bisa mencuri dengar obrolan mereka.
“Jadi, bagaimana rumah tangga kalian?” tanya Keenan begitu hidangan terakhir tersaji dan memenuhi satu meja di depan mereka.
“Kenapa kamu bertanya soal itu terus dari tadi, Nan?” Bukannya langsung menjawab, Aurora malah memulangkan tanya yang lain pada Keenan.
“Karena aku mau memastikan orang yang paling aku cintai bahagia dengan keputusan yang diambil, Ra.”
Aurora terdiam. Tangannya yang sudah berlumur nasi dan kuah rendang tertahan di atas piring. Matanya memerah begitu saja. Ada cairan bening yang siap jatuh berkumpul di kelopak bawah matanya.
“Lupakan soal ucapanku tadi, Ra.” Keenan memperbaiki posisi tangannya dan menarik tubuh mendekat ke piring untuk segera makan. Kalimat sebelumnya yang keluar dari lisan Keenan mengalir begitu saja dan langsung membuat raut wajah Aurora berubah drastis. Bukan bahagia seperti yang Keenan bayangkan ketika seorang wanita tahu bahwa ia masih dicintai. Justru Aurora bereaksi sebaliknya. Tidak nyaman atau mungkin merasa tidak pantas. “Aku sudah cerai, Nan.” Keenan terbatuk. Nasi yang baru masuk ke dalam mulutnya nyaris keluar kalau saja Keenan tidak berhasil mengendalikan diri. Aurora yang melihat pria di depannya itu kesulitan langsung meraih gelas tinggi di meja dan menyodorkan pada Keenan. Entah Keenan tersedak karena ucapannya atau bukan, yang jelas Aurora merasa khawatir. Jauh dalam hatinya Aurora menyadari apa yang dulu pernah ia rasakan belum pernah sekalipun hilang. Setelah Keenan meneguk setengah isi gelas, Aurora tidak langsung melanjutkan ceritanya. Ia diam sejenak sambil matan
Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, Aurora duduk diam di samping Keenan tanpa mengatakan apapun. Pengakuan Keenan tentang perasaannya membuat Aurora resah harus menyikapi seperti apa. Pasalnya, Aurora baru saja mengalami perjalanan panjang yang tidak mudah selama dua tahun ini. Bukan soal hati, sebab Aurora tidak pernah mengeluarkan Keenan dari sana.Ini adalah tentang kepantasan. Aurora merasa setelah semua yang dilakukan pada Keenan, ia tidak lagi pantas menjadi pendamping sebagaimana harapan keduanya.“Aku kira tadinya kamu akan dendam dan benci sama aku, Nan. Tapi ternyata … Kamu masih sama kayak dulu,” ucap Aurora memperbaiki sabuk pengaman yang melintang di tubuhnya. Mobil Keenan melaju tenang membelah lautan kendaraan yang memadati jalan.“Aku tahu kamu pasti punya alasan logis kenapa dulu mau dijodohkan dengan laki-laki itu, Ra,” jawab Keenan sangat tenang. Senyum masih saja mengembang di wajahnya yang tampan. Membuat Aurora candu meliriknya sesekali dalam diam.Aurora ya
Setelah mendapat teguran dari Keenan, Malika bukannya berhenti malah justru semakin jadi menguliti Aurora. Bukan hanya statusnya sebagai randa yang dijadikan bahan, melainkan juga tuduhan Malika yang menyebut Aurora sebagai pelakor.Pelakor. Julukan itu kini membuat telinga Aurora terasa panas saat mendengarnya. Ia tidak merasa melakukannya, tentu saja. Aurora tidak pernah bermaksud melakukan apa yang Malika tuduhkan. Lagipula, saat itu hubungan Malika dan Sakti belum terikat dalam pernikahan.“Pelakor ada di mana-mana.” Tulis Malika di status media sosialnya. Sontak satu kantor tidak lagi bisa diam begitu melihat Aurora memasuki gedung kantor pagi harinya. Selalu ada tatapan miring yang Aurora dapatkan. Beserta bisik-bisik bak dengung lebah yang sulit dihentikan.Sambil mengayunkan langkah memasuki elevator menuju lantai dua, di mana Aurora ditugaskan hari-hari, Aurora menajamkan telinga mendengar setiap bisikan yang ia lewati. Anehnya, mereka yang menyadari kehadiran Aurora seolah s
Bukti. Kata itu kini menjadi perhatian Aurora. Harusnya ucapannya sendiri sudah cukup menjadi bukti bagi Malika. Toh, ia sendiri yang menjadi tokoh utama dalam kejadian masa lalu tersebut. Aurora tahu persis apa yang melatarbelakangi pernikahannya dengan Sakti dulu. Namun, Malika enggan mendengar kata-katanya dan justru meminta bukti lain untuk meyakinkannya.“Aku buktinya, Mal. Aku yang ada dalam pernikahan itu.” Kalimat Aurora itu tidak serta merta mempengaruhi Malika.“Semua yang keluar dari mulut kamu itu nggak ada artinya buat aku, Ra. Aku nggak bisa percaya lagi sama kamu,” ucap Malika memilih meninggalkan ruangannya dibanding meminta Aurora yang pergi.Aurora hanya bisa memutar tubuhnya mengikuti arah langkah Malika yang kini sudah sampai di ambang pintu. Jemari lentik Malika meraih gagang pintu dan mendorongnya sampai terbuka sebagian. Malika tidak lagi bersedia mendengar perkataan Aurora. Kini hanya satu yang ia minta, yaitu bukti. Aurora harus mendatangkan bukti atas ucapann
Aurora melangkah cepat menyusuri pedestrian dipayungi langit senja yang kemerahan. Sesuai janji yang sudah dibuat dengan Sakti, sore ini sepulang dari kantor Aurora akan menemuinya demi sebuah misi. Aurora tahu hatinya masih sakit dengan semua sikap dan perbuatan Sakti kala itu. Hanya saja ia tidak punya pilihan lain demi membersihkan namanya kembali dari sebutan pelakor yang kini menghantui.Harusnya sudah dari dulu mereka berdua menjelaskan pada Malika, agar sahabat Aurora itu tidak salah sangka dan menyimpan dendam begitu lama. Aurora sudah mengunjungi kediaman Malika untuk menerangkan duduk perkara sebenarnya. Namun, Malika tidak ada lagi di rumahnya. Rumahnya kosong tanpa meninggalkan jejak dan petunjuk kepergian sama sekali. Malika seolah ditelan bumi usai mengetahui pernikahan Aurora dan Sakti.“Jadi, ada apa? Apa benar kamu tahu di mana Malika? Awas, kalau kamu bohong dan cuma cari alasan buat ketemu aku,” ucap Sakti ketika Aurora sampai di hadapannya.Pria itu sangat tidak so
“Kamu nggak bisa giniin aku, Sak!” Perempuan dengan rambut sebahu itu berusaha keras mengangkat kedua tangannya agar mencapai lengan kiri pria yang duduk di sampingnya. Seutas tali yang melilit tangannya membuat perempuan itu kesulitan untuk melampiaskan kemarahannya. “Kenapa aku nggak bisa?” Pria di sampingnya itu berteriak tak kalah nyaring dari balik kemudi. “Kamu dengarkan, tadi, aku udah talak kamu di depan semuanya. Jadi, mulai sekarang kamu bukan siapa-siapa lagi. Kita bukan suami istri lagi. Masih kurang jelas?” “Nggak bisa gitu, dong. Kalau pun kamu udah talak aku, aku belum boleh keluar dari rumah kamu selama masa iddah.” “Kamu berharap aku udah menanam benih di rahim kamu? Jangan mimpi, Aurora. Kamu nggak akan pernah aku biarin jadi ibu dari anak-anakku. Kalaupun kamu hamil, aku yakin itu bukan anakku. Entah kenapa dulu orang tuaku bersikeras menjodohkan aku dengan kamu. Aku yakin kamu dulu yang paksa mereka, kan?” “Jaga omongan kamu, Sakti!” Aurora membasahi pipi Sakt
“Ma–Malika?” Aurora tergagap. Matanya mengerjap beberapa kali. Tenggorokan yang memang kering bertambah kerontang hingga sulit mengeluarkan suara lebih banyak. Aurora mematung di belakang kursi tanpa sanggup melangkahkan kaki. Di antara begitu banyak perusahaan Aurora malah bertemu dengan sahabat yang paling ia hindari selama ini. Malika. Seorang sahabat yang Aurora khianati dua tahun silam. Kini Malika tersenyum miring ke arahnya memerintahkan Aurora untuk duduk. “Nggak nyangka ya, kita bakal ketemu lagi di sini dengan situasi yang kayaknya berbalik nggak sesuai impian.” Malika menegakkan punggungnya dan menatap Aurora panjang. Suasana mendadak canggung. Terutama bagi Aurora yang tidak siap bertemu dengan Malika saat ini, di tengah kondisinya yang menyedihkan. Berulang kali Aurora menarik napas, memperbaiki duduknya, dan meremas jari-jari tangannya di bawah meja. “Bisa kita langsung mulai wawancaranya, Mal?” Semakin cepat dimulai semakin cepat pertemuan itu selesai. Aurora benar
Keenan segera beranjak menuju pintu ruangan dan membubarkan karyawan lain yang mulai berkumpul. Tentu tindakan itu mengundang riuh rendah protes dari mereka. Setelah menutup pintu, Keenan kembali menghampiri Malika dan mengusap lengannya lembut. Malika masih mendengus kesal. Gara-gara gagal menahan emosi, atasannya itu jadi melihat sisi buruknya. Padahal, selama ini Malika selalu berusaha menjaga image sebagai wanita lembut di kantor. “Tarik napas dulu, Malika. Kamu mau bikin satu kantor heboh sama masalah pribadi kamu? Kalau saya jadi kamu saya malu.” Keenan menatap Malika serius dan berusaha menenangkan. Bukannya tenang, Malika kembali meradang. Matanya menatap Keenan tidak terima. Lelaki yang tidak tahu apa-apa itu berada di tempat dan waktu yang salah. Yang Malika butuh bukan masukan apalagi nasehat yang seolah memojokkan sekalipun itu dari atasannya. “Tapi saya nggak mau, Pak, lihat wanita ini ada di sekitar saya,” sanggah Malika masih tetap pada emosinya yang sudah memuncak.
Aurora melangkah cepat menyusuri pedestrian dipayungi langit senja yang kemerahan. Sesuai janji yang sudah dibuat dengan Sakti, sore ini sepulang dari kantor Aurora akan menemuinya demi sebuah misi. Aurora tahu hatinya masih sakit dengan semua sikap dan perbuatan Sakti kala itu. Hanya saja ia tidak punya pilihan lain demi membersihkan namanya kembali dari sebutan pelakor yang kini menghantui.Harusnya sudah dari dulu mereka berdua menjelaskan pada Malika, agar sahabat Aurora itu tidak salah sangka dan menyimpan dendam begitu lama. Aurora sudah mengunjungi kediaman Malika untuk menerangkan duduk perkara sebenarnya. Namun, Malika tidak ada lagi di rumahnya. Rumahnya kosong tanpa meninggalkan jejak dan petunjuk kepergian sama sekali. Malika seolah ditelan bumi usai mengetahui pernikahan Aurora dan Sakti.“Jadi, ada apa? Apa benar kamu tahu di mana Malika? Awas, kalau kamu bohong dan cuma cari alasan buat ketemu aku,” ucap Sakti ketika Aurora sampai di hadapannya.Pria itu sangat tidak so
Bukti. Kata itu kini menjadi perhatian Aurora. Harusnya ucapannya sendiri sudah cukup menjadi bukti bagi Malika. Toh, ia sendiri yang menjadi tokoh utama dalam kejadian masa lalu tersebut. Aurora tahu persis apa yang melatarbelakangi pernikahannya dengan Sakti dulu. Namun, Malika enggan mendengar kata-katanya dan justru meminta bukti lain untuk meyakinkannya.“Aku buktinya, Mal. Aku yang ada dalam pernikahan itu.” Kalimat Aurora itu tidak serta merta mempengaruhi Malika.“Semua yang keluar dari mulut kamu itu nggak ada artinya buat aku, Ra. Aku nggak bisa percaya lagi sama kamu,” ucap Malika memilih meninggalkan ruangannya dibanding meminta Aurora yang pergi.Aurora hanya bisa memutar tubuhnya mengikuti arah langkah Malika yang kini sudah sampai di ambang pintu. Jemari lentik Malika meraih gagang pintu dan mendorongnya sampai terbuka sebagian. Malika tidak lagi bersedia mendengar perkataan Aurora. Kini hanya satu yang ia minta, yaitu bukti. Aurora harus mendatangkan bukti atas ucapann
Setelah mendapat teguran dari Keenan, Malika bukannya berhenti malah justru semakin jadi menguliti Aurora. Bukan hanya statusnya sebagai randa yang dijadikan bahan, melainkan juga tuduhan Malika yang menyebut Aurora sebagai pelakor.Pelakor. Julukan itu kini membuat telinga Aurora terasa panas saat mendengarnya. Ia tidak merasa melakukannya, tentu saja. Aurora tidak pernah bermaksud melakukan apa yang Malika tuduhkan. Lagipula, saat itu hubungan Malika dan Sakti belum terikat dalam pernikahan.“Pelakor ada di mana-mana.” Tulis Malika di status media sosialnya. Sontak satu kantor tidak lagi bisa diam begitu melihat Aurora memasuki gedung kantor pagi harinya. Selalu ada tatapan miring yang Aurora dapatkan. Beserta bisik-bisik bak dengung lebah yang sulit dihentikan.Sambil mengayunkan langkah memasuki elevator menuju lantai dua, di mana Aurora ditugaskan hari-hari, Aurora menajamkan telinga mendengar setiap bisikan yang ia lewati. Anehnya, mereka yang menyadari kehadiran Aurora seolah s
Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, Aurora duduk diam di samping Keenan tanpa mengatakan apapun. Pengakuan Keenan tentang perasaannya membuat Aurora resah harus menyikapi seperti apa. Pasalnya, Aurora baru saja mengalami perjalanan panjang yang tidak mudah selama dua tahun ini. Bukan soal hati, sebab Aurora tidak pernah mengeluarkan Keenan dari sana.Ini adalah tentang kepantasan. Aurora merasa setelah semua yang dilakukan pada Keenan, ia tidak lagi pantas menjadi pendamping sebagaimana harapan keduanya.“Aku kira tadinya kamu akan dendam dan benci sama aku, Nan. Tapi ternyata … Kamu masih sama kayak dulu,” ucap Aurora memperbaiki sabuk pengaman yang melintang di tubuhnya. Mobil Keenan melaju tenang membelah lautan kendaraan yang memadati jalan.“Aku tahu kamu pasti punya alasan logis kenapa dulu mau dijodohkan dengan laki-laki itu, Ra,” jawab Keenan sangat tenang. Senyum masih saja mengembang di wajahnya yang tampan. Membuat Aurora candu meliriknya sesekali dalam diam.Aurora ya
“Lupakan soal ucapanku tadi, Ra.” Keenan memperbaiki posisi tangannya dan menarik tubuh mendekat ke piring untuk segera makan. Kalimat sebelumnya yang keluar dari lisan Keenan mengalir begitu saja dan langsung membuat raut wajah Aurora berubah drastis. Bukan bahagia seperti yang Keenan bayangkan ketika seorang wanita tahu bahwa ia masih dicintai. Justru Aurora bereaksi sebaliknya. Tidak nyaman atau mungkin merasa tidak pantas. “Aku sudah cerai, Nan.” Keenan terbatuk. Nasi yang baru masuk ke dalam mulutnya nyaris keluar kalau saja Keenan tidak berhasil mengendalikan diri. Aurora yang melihat pria di depannya itu kesulitan langsung meraih gelas tinggi di meja dan menyodorkan pada Keenan. Entah Keenan tersedak karena ucapannya atau bukan, yang jelas Aurora merasa khawatir. Jauh dalam hatinya Aurora menyadari apa yang dulu pernah ia rasakan belum pernah sekalipun hilang. Setelah Keenan meneguk setengah isi gelas, Aurora tidak langsung melanjutkan ceritanya. Ia diam sejenak sambil matan
Aurora tertunduk lesu di dalam lift yang akan membawanya ke lantai satu. Ada barang yang harus ia ambil di lobi, milik staff HC. Ucapan Malika dan kebencian yang terus terpancar di matanya membuat Aurora tidak bisa tenang. Keadaan berbalik begitu cepat. Menghancurkan persahabatan mereka yang begitu indah dulunya. Ting! Tangan seseorang ternyata menahan pintu lift yang akan tertutup. Aurora mendongak seketika dan langsung malas saat melihat sosok Keenan menyunggingkan senyum ke arahnya. Kini hanya ada mereka berdua di dalam lift. “Aku mau ngobrol sama kamu, Ra,” ucap Keenan begitu lift bergerak turun perlahan. “Maaf, Nan, aku masih banyak kerjaan. Ada barang yang harus aku angkut ke atas.” “Kamu belum jawab pertanyaan aku tadi, Ra.” Aurora menarik napas dalam. Ia tidak punya tenaga lagi untuk berdebat. Kepalanya masih penuh dengan benang kusut. “Pertanyaan apa lagi, Nan?” “Apa kamu bahagia setelah menikah?” Ting! Belum jadi Aurora menggerakkan bibirnya menjawab pertanyaan Keen
“Sampai kapan kamu menghindar terus, Ra?” Suara berat khas seorang pria muncul tiba-tiba di belakang Aurora. Pantri pada jam makan siang mulai sepi. Staff OB lain banyak yang memilih makan siang di kantin bawah. Aurora yang tengah menyeduh mie instan langsung tersentak dan menoleh ke sumber suara. Seperti dugaannya, suara itu amat Aurora kenal. “Aku nggak mau karyawan di sini salah paham, Nan. Mereka nggak boleh tau kalau kita pernah punya hubungan dulu,” jawab Aurora kembali membelakangi Keenan. Keenan kini duduk di kursi kayu dengan meja panjang terhampar di depannya. Tatapannya terus lekat memperhatikan punggung Aurora dan rambut halusnya yang terikat rapi seperti ekor kuda. “Mereka nggak akan tahu kalau kita nggak kasih tahu, kan? Jadi, mari bersikap biasa dan seperti dua teman baru.” Keenan menaikkan alisnya menatap Aurora. “Kalau aku sama karyawan lain mungkin akan biasa. Tapi, kamu bos di sini. Gosip apa yang akan tersebar kalau mereka lihat bos berteman dekat dengan offi
Keenan segera beranjak menuju pintu ruangan dan membubarkan karyawan lain yang mulai berkumpul. Tentu tindakan itu mengundang riuh rendah protes dari mereka. Setelah menutup pintu, Keenan kembali menghampiri Malika dan mengusap lengannya lembut. Malika masih mendengus kesal. Gara-gara gagal menahan emosi, atasannya itu jadi melihat sisi buruknya. Padahal, selama ini Malika selalu berusaha menjaga image sebagai wanita lembut di kantor. “Tarik napas dulu, Malika. Kamu mau bikin satu kantor heboh sama masalah pribadi kamu? Kalau saya jadi kamu saya malu.” Keenan menatap Malika serius dan berusaha menenangkan. Bukannya tenang, Malika kembali meradang. Matanya menatap Keenan tidak terima. Lelaki yang tidak tahu apa-apa itu berada di tempat dan waktu yang salah. Yang Malika butuh bukan masukan apalagi nasehat yang seolah memojokkan sekalipun itu dari atasannya. “Tapi saya nggak mau, Pak, lihat wanita ini ada di sekitar saya,” sanggah Malika masih tetap pada emosinya yang sudah memuncak.
“Ma–Malika?” Aurora tergagap. Matanya mengerjap beberapa kali. Tenggorokan yang memang kering bertambah kerontang hingga sulit mengeluarkan suara lebih banyak. Aurora mematung di belakang kursi tanpa sanggup melangkahkan kaki. Di antara begitu banyak perusahaan Aurora malah bertemu dengan sahabat yang paling ia hindari selama ini. Malika. Seorang sahabat yang Aurora khianati dua tahun silam. Kini Malika tersenyum miring ke arahnya memerintahkan Aurora untuk duduk. “Nggak nyangka ya, kita bakal ketemu lagi di sini dengan situasi yang kayaknya berbalik nggak sesuai impian.” Malika menegakkan punggungnya dan menatap Aurora panjang. Suasana mendadak canggung. Terutama bagi Aurora yang tidak siap bertemu dengan Malika saat ini, di tengah kondisinya yang menyedihkan. Berulang kali Aurora menarik napas, memperbaiki duduknya, dan meremas jari-jari tangannya di bawah meja. “Bisa kita langsung mulai wawancaranya, Mal?” Semakin cepat dimulai semakin cepat pertemuan itu selesai. Aurora benar