Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, Aurora duduk diam di samping Keenan tanpa mengatakan apapun. Pengakuan Keenan tentang perasaannya membuat Aurora resah harus menyikapi seperti apa. Pasalnya, Aurora baru saja mengalami perjalanan panjang yang tidak mudah selama dua tahun ini. Bukan soal hati, sebab Aurora tidak pernah mengeluarkan Keenan dari sana.
Ini adalah tentang kepantasan. Aurora merasa setelah semua yang dilakukan pada Keenan, ia tidak lagi pantas menjadi pendamping sebagaimana harapan keduanya.
“Aku kira tadinya kamu akan dendam dan benci sama aku, Nan. Tapi ternyata … Kamu masih sama kayak dulu,” ucap Aurora memperbaiki sabuk pengaman yang melintang di tubuhnya. Mobil Keenan melaju tenang membelah lautan kendaraan yang memadati jalan.
“Aku tahu kamu pasti punya alasan logis kenapa dulu mau dijodohkan dengan laki-laki itu, Ra,” jawab Keenan sangat tenang. Senyum masih saja mengembang di wajahnya yang tampan. Membuat Aurora candu meliriknya sesekali dalam diam.
Aurora yakin jika Malika juga bisa berpikir terbuka seperti yang Keenan sampaikan tentu ia tidak perlu mendapat gelar pelakor sekarang. Bahkan mungkin kini satu kantor sudah mendengar rumor tersebut.
“Soal Malika, biarin aja, Ra. Dia nanti juga pasti diam sendiri. Wajar, sih, kalau dia masih sakit hati,” celetuk Keenan tiba-tiba. Seratus meter lagi mereka akan sampai di kantor dan keduanya harus berpisah di parkiran.
Aurora tidak mau satu kantor semakin heboh melihat ia dan Keenan kembali dari luar berbarengan. Cukup tadi saat akan meninggalkan kantor saja mereka tertangkap keluar bersama dengan alasan ada urusan. Setidaknya sampai rumor itu mereda dan hilang.
“Tapi, aku harus jelasin semuanya ke Malika, Nan. Aku nggak mau gosip ini terus berkembang. Bisa-bisa satu kantor mencap pelakor.”
Entah sejak kapan akhirnya obrolan mereka jadi cair dan mengalir. Walau rumit untuk kembali bersama Aurora merasa tidak ada salahnya menjadi teman biasa. Sehingga untuk kali ini dengan kehadiran Keenan kembali di hidupnya, Aurora merasa lega memiliki tempat bercerita.
Siapa sangka hubungan mereka sebagai mantan kekasih ternyata tidak secanggung itu setelah dijalani? Aurora memang merasa tidak pantas menjadi pasangan Keenan, namun pantas sebagai teman.
“Terima kasih, ya, Nan.” Aurora menatap Keenan dalam. Begitu juga dengan Keenan yang menoleh sebentar membalas tatapan Keenan.
Keenan tersenyum lembut. “Nggak perlu minta maaf atas cinta, Ra.”
Seketika pipi Aurora menggembung terisi angin. Ia cemberut. Lagi-lagi Keenan membahas soal cinta. Sedang Aurora berusaha sekuat tenaga menormalkan hubungan mereka sebagai teman biasa.
“Nggak capek apa, Nan, ngomongin cinta mulu?” protes Aurora berusaha tidak salah tingkah.
“Memangnya kenapa? Kamu nggak percaya kalau perasaan aku masih sama?” Keenan menatap lurus ke jalan di depannya.
“Kita itu udah beda, Nan. Kamu masih single, perjaka, sedangkan aku?” Mata Aurora melirik kesal ke arah Keenan.
Aurora tidak menutup mata akan statusnya sekarang. Ia dan Keenan jelas berbeda. Dan, bagi Aurora mengharapkan hidup bahagia dengan Keenan hanyalah hal yang sia-sia.
“Kamu tahu dari mana kalau aku belum pernah menikah?”
Demi mendengar ucapan Keenan tersebut, Aurora merasa angin panas baru saja menyerang tengkuk dan punggungnya. Seketika basah. Keringat tanpa pancaran terik matahari mengucur membasahi pakaian belakangnya. Aurora diserang api cemburu membakar sampai ke luar tubuhnya.
“Apa aku pantas merasakan ini?” Batin Aurora merasa bersalah akan perasaan aneh yang datang tiba-tiba.
Baru genap dua hari mereka bertemu, dan Aurora langsung menyadari ternyata perasaannya masih ada di sana, di kedalaman hati Aurora untuk Keenan yang selama dua tahun tidak pernah ia lupa.
“Jadi, kamu sekarang …” Aurora tidak melanjutkan pertanyaannya.
Bukannya menjawab, Keenan malah tertawa lepas sampai kedua pundaknya bergerak pelan. Membuat Aurora mengernyit heran melihat respon Keenan yang aneh itu.
“Kenapa ketawa?”
“Kamu lucu, Ra. Mana mungkin aku ngomong cinta berkali-kali kalau aku sudah jadi suami orang,” timpak Keenan menertawakan pertanyaan Aurora.
Kini Aurora bisa menyimpulkan sambil kepalanya mengangguk beberapa kali. Setidaknya Aurora jadi tahu status Keenan yang masih sendiri. Sehingga tidak perlu baginya untuk khawatir jika ke depan akan terjalin kedekatan kembali antara keduanya. Aurora tidak mau makin disebut sebagai pelakor nantinya.
“Kenapa, Nan?” tanya Aurora penasaran.
“Apanya?”
“Kenapa kamu masih sendiri?” Pertanyaan itu terlontar cepat dari bibir Aurora sampai membuat Keenan langsung menoleh ke arahnya.
Untuk pria semapan dan setampan Keenan, tentu bukan hal yang sulit menemukan kekasih baru menggantikan posisi Aurora. Terlebih Keenan merupakan pria baik yang selalu berhasil membuat Aurora bahagia saat bersamanya. Wanita mana yang tidak akan tertarik pada Keenan. Apalagi menolaknya.
“Tanpa aku jawab pun, kamu pasti tahu, Ra, alasannya.” Senyum itu kembali Keenan berikan untuk menutup pernyataannya.
Sambil mengangkat sebelah alisnya bingung, Aurora menatap ke luar jendela. Jalanan masih ramai. Dan, gedung di mana kantor mereka berada mulai terlihat menjulang di depan sana. Aurora pun bergegas merapikan diri, menyimpan ponsel ke dalam saku celana dan mengedarkan pandangan ke sekitar gedung. Mengawasi kehadiran karyawan lain yang mungkin masih berada di luar kantor.
“Aku turun di depan sini aja, Nan,” pinta Aurora saat mobil Keenan baru akan memasuki gerbang masuk kawasan gedung.
“Loh, kenapa, Ra?” tanya Keenan bingung.
“Aku nggak mau karyawan lain sampai lihat aku jalan sama kamu, Nan. Aku nggak mau mereka makin heboh ngomongin aku. Setidaknya sampai aku bisa jelasin ke Malika kesalahpahaman dulu dan dia berhenti sebut aku pelakor.” Aurora membuka pintu mobil dan bergegas turun tanpa membiarkan Keenan membalas ucapannya.
Rambut terikat kuncir kuda itu bergerak pelan mengikuti irama tubuh Aurora yang berlari kecil memasuki gedung. Sementara Keenan hanya bisa menatap punggung yang semakin jauh itu dengan hati kembang-kempis. Setelah dua tahun, Keenan akhirnya bisa menatap Aurora lagi dan sebuah impian lama seakan bangun dalam benaknya kini.
“Ke mana aja? Baru hari pertama udah keluyuran!” Baru saja pintu lift terbuka, Malika sudah menyambut Aurora dengan bentakan dan omelan di lantai dua.
“Tadi ada urusan sebentar, Mal—”
“Mal? Jangan kamu pikir kita pernah kenal, terus kamu seenaknya manggil nama kayak gitu. Mana sopan santunnya?” omel Malika melipat kedua tangan di dada memarahi Aurora.
Aurora hanya tertunduk. Bukan karena dirinya lemah atau tunduk di depan Malika. Melainkan sebab kini pasang demi pasang mata karyawan di lantai dua yang sedang lalu lalang langsung tertuju kepadanya. Membuat Aurora merasa tengah diserang bersamaan dengan anak-anak panah.
“Ma—maaf … I—Ibu Malika,” ucap Aurora pelan dan terbata-bata.
“Jangan ibu juga, dong! Memangnya aku ibu kamu?” Malika seperti senang mempermainkan Aurora sekarang.
“Sampai kapan kamu mau ngerjain Aurora kayak gitu, Mal? Mau jabatan kamu saya copot?” Tiba-tiba suara Keenan menggema di belakang mereka dan membuat bulu kuduk Malika langsung berdiri.
Setelah mendapat teguran dari Keenan, Malika bukannya berhenti malah justru semakin jadi menguliti Aurora. Bukan hanya statusnya sebagai randa yang dijadikan bahan, melainkan juga tuduhan Malika yang menyebut Aurora sebagai pelakor.Pelakor. Julukan itu kini membuat telinga Aurora terasa panas saat mendengarnya. Ia tidak merasa melakukannya, tentu saja. Aurora tidak pernah bermaksud melakukan apa yang Malika tuduhkan. Lagipula, saat itu hubungan Malika dan Sakti belum terikat dalam pernikahan.“Pelakor ada di mana-mana.” Tulis Malika di status media sosialnya. Sontak satu kantor tidak lagi bisa diam begitu melihat Aurora memasuki gedung kantor pagi harinya. Selalu ada tatapan miring yang Aurora dapatkan. Beserta bisik-bisik bak dengung lebah yang sulit dihentikan.Sambil mengayunkan langkah memasuki elevator menuju lantai dua, di mana Aurora ditugaskan hari-hari, Aurora menajamkan telinga mendengar setiap bisikan yang ia lewati. Anehnya, mereka yang menyadari kehadiran Aurora seolah s
Bukti. Kata itu kini menjadi perhatian Aurora. Harusnya ucapannya sendiri sudah cukup menjadi bukti bagi Malika. Toh, ia sendiri yang menjadi tokoh utama dalam kejadian masa lalu tersebut. Aurora tahu persis apa yang melatarbelakangi pernikahannya dengan Sakti dulu. Namun, Malika enggan mendengar kata-katanya dan justru meminta bukti lain untuk meyakinkannya.“Aku buktinya, Mal. Aku yang ada dalam pernikahan itu.” Kalimat Aurora itu tidak serta merta mempengaruhi Malika.“Semua yang keluar dari mulut kamu itu nggak ada artinya buat aku, Ra. Aku nggak bisa percaya lagi sama kamu,” ucap Malika memilih meninggalkan ruangannya dibanding meminta Aurora yang pergi.Aurora hanya bisa memutar tubuhnya mengikuti arah langkah Malika yang kini sudah sampai di ambang pintu. Jemari lentik Malika meraih gagang pintu dan mendorongnya sampai terbuka sebagian. Malika tidak lagi bersedia mendengar perkataan Aurora. Kini hanya satu yang ia minta, yaitu bukti. Aurora harus mendatangkan bukti atas ucapann
Aurora melangkah cepat menyusuri pedestrian dipayungi langit senja yang kemerahan. Sesuai janji yang sudah dibuat dengan Sakti, sore ini sepulang dari kantor Aurora akan menemuinya demi sebuah misi. Aurora tahu hatinya masih sakit dengan semua sikap dan perbuatan Sakti kala itu. Hanya saja ia tidak punya pilihan lain demi membersihkan namanya kembali dari sebutan pelakor yang kini menghantui.Harusnya sudah dari dulu mereka berdua menjelaskan pada Malika, agar sahabat Aurora itu tidak salah sangka dan menyimpan dendam begitu lama. Aurora sudah mengunjungi kediaman Malika untuk menerangkan duduk perkara sebenarnya. Namun, Malika tidak ada lagi di rumahnya. Rumahnya kosong tanpa meninggalkan jejak dan petunjuk kepergian sama sekali. Malika seolah ditelan bumi usai mengetahui pernikahan Aurora dan Sakti.“Jadi, ada apa? Apa benar kamu tahu di mana Malika? Awas, kalau kamu bohong dan cuma cari alasan buat ketemu aku,” ucap Sakti ketika Aurora sampai di hadapannya.Pria itu sangat tidak so
“Kamu nggak bisa giniin aku, Sak!” Perempuan dengan rambut sebahu itu berusaha keras mengangkat kedua tangannya agar mencapai lengan kiri pria yang duduk di sampingnya. Seutas tali yang melilit tangannya membuat perempuan itu kesulitan untuk melampiaskan kemarahannya. “Kenapa aku nggak bisa?” Pria di sampingnya itu berteriak tak kalah nyaring dari balik kemudi. “Kamu dengarkan, tadi, aku udah talak kamu di depan semuanya. Jadi, mulai sekarang kamu bukan siapa-siapa lagi. Kita bukan suami istri lagi. Masih kurang jelas?” “Nggak bisa gitu, dong. Kalau pun kamu udah talak aku, aku belum boleh keluar dari rumah kamu selama masa iddah.” “Kamu berharap aku udah menanam benih di rahim kamu? Jangan mimpi, Aurora. Kamu nggak akan pernah aku biarin jadi ibu dari anak-anakku. Kalaupun kamu hamil, aku yakin itu bukan anakku. Entah kenapa dulu orang tuaku bersikeras menjodohkan aku dengan kamu. Aku yakin kamu dulu yang paksa mereka, kan?” “Jaga omongan kamu, Sakti!” Aurora membasahi pipi Sakt
“Ma–Malika?” Aurora tergagap. Matanya mengerjap beberapa kali. Tenggorokan yang memang kering bertambah kerontang hingga sulit mengeluarkan suara lebih banyak. Aurora mematung di belakang kursi tanpa sanggup melangkahkan kaki. Di antara begitu banyak perusahaan Aurora malah bertemu dengan sahabat yang paling ia hindari selama ini. Malika. Seorang sahabat yang Aurora khianati dua tahun silam. Kini Malika tersenyum miring ke arahnya memerintahkan Aurora untuk duduk. “Nggak nyangka ya, kita bakal ketemu lagi di sini dengan situasi yang kayaknya berbalik nggak sesuai impian.” Malika menegakkan punggungnya dan menatap Aurora panjang. Suasana mendadak canggung. Terutama bagi Aurora yang tidak siap bertemu dengan Malika saat ini, di tengah kondisinya yang menyedihkan. Berulang kali Aurora menarik napas, memperbaiki duduknya, dan meremas jari-jari tangannya di bawah meja. “Bisa kita langsung mulai wawancaranya, Mal?” Semakin cepat dimulai semakin cepat pertemuan itu selesai. Aurora benar
Keenan segera beranjak menuju pintu ruangan dan membubarkan karyawan lain yang mulai berkumpul. Tentu tindakan itu mengundang riuh rendah protes dari mereka. Setelah menutup pintu, Keenan kembali menghampiri Malika dan mengusap lengannya lembut. Malika masih mendengus kesal. Gara-gara gagal menahan emosi, atasannya itu jadi melihat sisi buruknya. Padahal, selama ini Malika selalu berusaha menjaga image sebagai wanita lembut di kantor. “Tarik napas dulu, Malika. Kamu mau bikin satu kantor heboh sama masalah pribadi kamu? Kalau saya jadi kamu saya malu.” Keenan menatap Malika serius dan berusaha menenangkan. Bukannya tenang, Malika kembali meradang. Matanya menatap Keenan tidak terima. Lelaki yang tidak tahu apa-apa itu berada di tempat dan waktu yang salah. Yang Malika butuh bukan masukan apalagi nasehat yang seolah memojokkan sekalipun itu dari atasannya. “Tapi saya nggak mau, Pak, lihat wanita ini ada di sekitar saya,” sanggah Malika masih tetap pada emosinya yang sudah memuncak.
“Sampai kapan kamu menghindar terus, Ra?” Suara berat khas seorang pria muncul tiba-tiba di belakang Aurora. Pantri pada jam makan siang mulai sepi. Staff OB lain banyak yang memilih makan siang di kantin bawah. Aurora yang tengah menyeduh mie instan langsung tersentak dan menoleh ke sumber suara. Seperti dugaannya, suara itu amat Aurora kenal. “Aku nggak mau karyawan di sini salah paham, Nan. Mereka nggak boleh tau kalau kita pernah punya hubungan dulu,” jawab Aurora kembali membelakangi Keenan. Keenan kini duduk di kursi kayu dengan meja panjang terhampar di depannya. Tatapannya terus lekat memperhatikan punggung Aurora dan rambut halusnya yang terikat rapi seperti ekor kuda. “Mereka nggak akan tahu kalau kita nggak kasih tahu, kan? Jadi, mari bersikap biasa dan seperti dua teman baru.” Keenan menaikkan alisnya menatap Aurora. “Kalau aku sama karyawan lain mungkin akan biasa. Tapi, kamu bos di sini. Gosip apa yang akan tersebar kalau mereka lihat bos berteman dekat dengan offi
Aurora tertunduk lesu di dalam lift yang akan membawanya ke lantai satu. Ada barang yang harus ia ambil di lobi, milik staff HC. Ucapan Malika dan kebencian yang terus terpancar di matanya membuat Aurora tidak bisa tenang. Keadaan berbalik begitu cepat. Menghancurkan persahabatan mereka yang begitu indah dulunya. Ting! Tangan seseorang ternyata menahan pintu lift yang akan tertutup. Aurora mendongak seketika dan langsung malas saat melihat sosok Keenan menyunggingkan senyum ke arahnya. Kini hanya ada mereka berdua di dalam lift. “Aku mau ngobrol sama kamu, Ra,” ucap Keenan begitu lift bergerak turun perlahan. “Maaf, Nan, aku masih banyak kerjaan. Ada barang yang harus aku angkut ke atas.” “Kamu belum jawab pertanyaan aku tadi, Ra.” Aurora menarik napas dalam. Ia tidak punya tenaga lagi untuk berdebat. Kepalanya masih penuh dengan benang kusut. “Pertanyaan apa lagi, Nan?” “Apa kamu bahagia setelah menikah?” Ting! Belum jadi Aurora menggerakkan bibirnya menjawab pertanyaan Keen
Aurora melangkah cepat menyusuri pedestrian dipayungi langit senja yang kemerahan. Sesuai janji yang sudah dibuat dengan Sakti, sore ini sepulang dari kantor Aurora akan menemuinya demi sebuah misi. Aurora tahu hatinya masih sakit dengan semua sikap dan perbuatan Sakti kala itu. Hanya saja ia tidak punya pilihan lain demi membersihkan namanya kembali dari sebutan pelakor yang kini menghantui.Harusnya sudah dari dulu mereka berdua menjelaskan pada Malika, agar sahabat Aurora itu tidak salah sangka dan menyimpan dendam begitu lama. Aurora sudah mengunjungi kediaman Malika untuk menerangkan duduk perkara sebenarnya. Namun, Malika tidak ada lagi di rumahnya. Rumahnya kosong tanpa meninggalkan jejak dan petunjuk kepergian sama sekali. Malika seolah ditelan bumi usai mengetahui pernikahan Aurora dan Sakti.“Jadi, ada apa? Apa benar kamu tahu di mana Malika? Awas, kalau kamu bohong dan cuma cari alasan buat ketemu aku,” ucap Sakti ketika Aurora sampai di hadapannya.Pria itu sangat tidak so
Bukti. Kata itu kini menjadi perhatian Aurora. Harusnya ucapannya sendiri sudah cukup menjadi bukti bagi Malika. Toh, ia sendiri yang menjadi tokoh utama dalam kejadian masa lalu tersebut. Aurora tahu persis apa yang melatarbelakangi pernikahannya dengan Sakti dulu. Namun, Malika enggan mendengar kata-katanya dan justru meminta bukti lain untuk meyakinkannya.“Aku buktinya, Mal. Aku yang ada dalam pernikahan itu.” Kalimat Aurora itu tidak serta merta mempengaruhi Malika.“Semua yang keluar dari mulut kamu itu nggak ada artinya buat aku, Ra. Aku nggak bisa percaya lagi sama kamu,” ucap Malika memilih meninggalkan ruangannya dibanding meminta Aurora yang pergi.Aurora hanya bisa memutar tubuhnya mengikuti arah langkah Malika yang kini sudah sampai di ambang pintu. Jemari lentik Malika meraih gagang pintu dan mendorongnya sampai terbuka sebagian. Malika tidak lagi bersedia mendengar perkataan Aurora. Kini hanya satu yang ia minta, yaitu bukti. Aurora harus mendatangkan bukti atas ucapann
Setelah mendapat teguran dari Keenan, Malika bukannya berhenti malah justru semakin jadi menguliti Aurora. Bukan hanya statusnya sebagai randa yang dijadikan bahan, melainkan juga tuduhan Malika yang menyebut Aurora sebagai pelakor.Pelakor. Julukan itu kini membuat telinga Aurora terasa panas saat mendengarnya. Ia tidak merasa melakukannya, tentu saja. Aurora tidak pernah bermaksud melakukan apa yang Malika tuduhkan. Lagipula, saat itu hubungan Malika dan Sakti belum terikat dalam pernikahan.“Pelakor ada di mana-mana.” Tulis Malika di status media sosialnya. Sontak satu kantor tidak lagi bisa diam begitu melihat Aurora memasuki gedung kantor pagi harinya. Selalu ada tatapan miring yang Aurora dapatkan. Beserta bisik-bisik bak dengung lebah yang sulit dihentikan.Sambil mengayunkan langkah memasuki elevator menuju lantai dua, di mana Aurora ditugaskan hari-hari, Aurora menajamkan telinga mendengar setiap bisikan yang ia lewati. Anehnya, mereka yang menyadari kehadiran Aurora seolah s
Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, Aurora duduk diam di samping Keenan tanpa mengatakan apapun. Pengakuan Keenan tentang perasaannya membuat Aurora resah harus menyikapi seperti apa. Pasalnya, Aurora baru saja mengalami perjalanan panjang yang tidak mudah selama dua tahun ini. Bukan soal hati, sebab Aurora tidak pernah mengeluarkan Keenan dari sana.Ini adalah tentang kepantasan. Aurora merasa setelah semua yang dilakukan pada Keenan, ia tidak lagi pantas menjadi pendamping sebagaimana harapan keduanya.“Aku kira tadinya kamu akan dendam dan benci sama aku, Nan. Tapi ternyata … Kamu masih sama kayak dulu,” ucap Aurora memperbaiki sabuk pengaman yang melintang di tubuhnya. Mobil Keenan melaju tenang membelah lautan kendaraan yang memadati jalan.“Aku tahu kamu pasti punya alasan logis kenapa dulu mau dijodohkan dengan laki-laki itu, Ra,” jawab Keenan sangat tenang. Senyum masih saja mengembang di wajahnya yang tampan. Membuat Aurora candu meliriknya sesekali dalam diam.Aurora ya
“Lupakan soal ucapanku tadi, Ra.” Keenan memperbaiki posisi tangannya dan menarik tubuh mendekat ke piring untuk segera makan. Kalimat sebelumnya yang keluar dari lisan Keenan mengalir begitu saja dan langsung membuat raut wajah Aurora berubah drastis. Bukan bahagia seperti yang Keenan bayangkan ketika seorang wanita tahu bahwa ia masih dicintai. Justru Aurora bereaksi sebaliknya. Tidak nyaman atau mungkin merasa tidak pantas. “Aku sudah cerai, Nan.” Keenan terbatuk. Nasi yang baru masuk ke dalam mulutnya nyaris keluar kalau saja Keenan tidak berhasil mengendalikan diri. Aurora yang melihat pria di depannya itu kesulitan langsung meraih gelas tinggi di meja dan menyodorkan pada Keenan. Entah Keenan tersedak karena ucapannya atau bukan, yang jelas Aurora merasa khawatir. Jauh dalam hatinya Aurora menyadari apa yang dulu pernah ia rasakan belum pernah sekalipun hilang. Setelah Keenan meneguk setengah isi gelas, Aurora tidak langsung melanjutkan ceritanya. Ia diam sejenak sambil matan
Aurora tertunduk lesu di dalam lift yang akan membawanya ke lantai satu. Ada barang yang harus ia ambil di lobi, milik staff HC. Ucapan Malika dan kebencian yang terus terpancar di matanya membuat Aurora tidak bisa tenang. Keadaan berbalik begitu cepat. Menghancurkan persahabatan mereka yang begitu indah dulunya. Ting! Tangan seseorang ternyata menahan pintu lift yang akan tertutup. Aurora mendongak seketika dan langsung malas saat melihat sosok Keenan menyunggingkan senyum ke arahnya. Kini hanya ada mereka berdua di dalam lift. “Aku mau ngobrol sama kamu, Ra,” ucap Keenan begitu lift bergerak turun perlahan. “Maaf, Nan, aku masih banyak kerjaan. Ada barang yang harus aku angkut ke atas.” “Kamu belum jawab pertanyaan aku tadi, Ra.” Aurora menarik napas dalam. Ia tidak punya tenaga lagi untuk berdebat. Kepalanya masih penuh dengan benang kusut. “Pertanyaan apa lagi, Nan?” “Apa kamu bahagia setelah menikah?” Ting! Belum jadi Aurora menggerakkan bibirnya menjawab pertanyaan Keen
“Sampai kapan kamu menghindar terus, Ra?” Suara berat khas seorang pria muncul tiba-tiba di belakang Aurora. Pantri pada jam makan siang mulai sepi. Staff OB lain banyak yang memilih makan siang di kantin bawah. Aurora yang tengah menyeduh mie instan langsung tersentak dan menoleh ke sumber suara. Seperti dugaannya, suara itu amat Aurora kenal. “Aku nggak mau karyawan di sini salah paham, Nan. Mereka nggak boleh tau kalau kita pernah punya hubungan dulu,” jawab Aurora kembali membelakangi Keenan. Keenan kini duduk di kursi kayu dengan meja panjang terhampar di depannya. Tatapannya terus lekat memperhatikan punggung Aurora dan rambut halusnya yang terikat rapi seperti ekor kuda. “Mereka nggak akan tahu kalau kita nggak kasih tahu, kan? Jadi, mari bersikap biasa dan seperti dua teman baru.” Keenan menaikkan alisnya menatap Aurora. “Kalau aku sama karyawan lain mungkin akan biasa. Tapi, kamu bos di sini. Gosip apa yang akan tersebar kalau mereka lihat bos berteman dekat dengan offi
Keenan segera beranjak menuju pintu ruangan dan membubarkan karyawan lain yang mulai berkumpul. Tentu tindakan itu mengundang riuh rendah protes dari mereka. Setelah menutup pintu, Keenan kembali menghampiri Malika dan mengusap lengannya lembut. Malika masih mendengus kesal. Gara-gara gagal menahan emosi, atasannya itu jadi melihat sisi buruknya. Padahal, selama ini Malika selalu berusaha menjaga image sebagai wanita lembut di kantor. “Tarik napas dulu, Malika. Kamu mau bikin satu kantor heboh sama masalah pribadi kamu? Kalau saya jadi kamu saya malu.” Keenan menatap Malika serius dan berusaha menenangkan. Bukannya tenang, Malika kembali meradang. Matanya menatap Keenan tidak terima. Lelaki yang tidak tahu apa-apa itu berada di tempat dan waktu yang salah. Yang Malika butuh bukan masukan apalagi nasehat yang seolah memojokkan sekalipun itu dari atasannya. “Tapi saya nggak mau, Pak, lihat wanita ini ada di sekitar saya,” sanggah Malika masih tetap pada emosinya yang sudah memuncak.
“Ma–Malika?” Aurora tergagap. Matanya mengerjap beberapa kali. Tenggorokan yang memang kering bertambah kerontang hingga sulit mengeluarkan suara lebih banyak. Aurora mematung di belakang kursi tanpa sanggup melangkahkan kaki. Di antara begitu banyak perusahaan Aurora malah bertemu dengan sahabat yang paling ia hindari selama ini. Malika. Seorang sahabat yang Aurora khianati dua tahun silam. Kini Malika tersenyum miring ke arahnya memerintahkan Aurora untuk duduk. “Nggak nyangka ya, kita bakal ketemu lagi di sini dengan situasi yang kayaknya berbalik nggak sesuai impian.” Malika menegakkan punggungnya dan menatap Aurora panjang. Suasana mendadak canggung. Terutama bagi Aurora yang tidak siap bertemu dengan Malika saat ini, di tengah kondisinya yang menyedihkan. Berulang kali Aurora menarik napas, memperbaiki duduknya, dan meremas jari-jari tangannya di bawah meja. “Bisa kita langsung mulai wawancaranya, Mal?” Semakin cepat dimulai semakin cepat pertemuan itu selesai. Aurora benar