Meninggalkan coffee shop, Tatiana menarik langkah panjang menuju lantai dua puluh lima. Bukan ke kantornya, tapi dia mampir di toilet. Tatiana rasa dia butuh waktu untuk menenangkan diri. Ucapan dan sikap Bian tadi membuatnya sakit, bahkan teramat sakit.Di depan kaca wastafel Tatiana berdiri sambil memandangi wajahnya sendiri. Berkali-kali dia mengerjap, menahan air matanya yang hampir saja tumpah. ‘Aku nggak boleh nangis, aku nggak boleh lemah. It’s okay, i’m fine.’ Tatiana mensugesti dirinya sendiri sama seperti sebelum-sebelumnya setiap kali dia merasa jatuh. Ini adalah fase paling terendah dalam hidupnya. Tapi sejauh ini Tatiana mampu bertahan. Dan dia yakin kali ini pun pasti bisa. ‘Aku nggak butuh dia. Aku bisa sendiri menjaga anak ini, sampai dia lahir, sampai dia besar, sampai dia dewasa.’Tatiana menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Dia mencoba berpikir positif dan membuang segala pikiran negatif. Ada atau tidak ada Bian hasilnya akan sama saja. Sekarang
Dua hari berlalu sejak pertemuan terakhir Bian dengan Tatiana. Namun hingga detik ini semua kata-kata Tatiana masih terngiang olehnya. Berdenging seperti lebah yang terus mengelilingi telinganya.“Aku hamil anak kamu. Anak kita berdua.”Nggak mungkin. Itu nggak mungkin terjadi. Bagaimana bisa? Sedangkan banyak orang yang sudah menunggu bertahun-tahun atau mungkin belasan tahun namun tak jua dianugerahi keturunan. Lalu apa kabar dengan dirinya dan Tatiana? Kenapa bisa seekspres itu? Melakukannya juga hanya dua kali. Rasanya agak sulit diterima logika Bian.Semakin keras Bian berusaha untuk mengenyahkan pikirannya tentang Tatiana, maka semakin kuat pula bertahta di ingatannya. Kenapa bisa seperti ini? Bian rasa dia butuh seseorang untuk bicara. Seseorang yang bisa mendengar uneg-unegnya lalu memberinya pencerahan. Bukan seseorang yang akan mencecar dan menghakiminya. Tapi siapa? Tora? Meskipun Bian kerap memperlakukan Tora seperti tempat sampah, dalam artian tempat dia membuang seg
“Tia, tolong maafkan aku.” Suara Bian terdengar lagi, menghalau lamunan singkat Tatiana.“Maaf untuk apa?” Tatiana akhirnya bersuara setelah sedari tadi menyimpan kata.“Karena waktu itu aku meragukan kamu dan anak kita.”Tatiana tersenyum miring. “Anak kita? Memangnya sekarang kamu udah yakin kalau dia anak kita? Kita kan baru melakukannya dua kali. Jadi gimana mungkin? Sedangkan orang yang sudah menikah bertahun-tahun saja banyak yang nggak punya anak. Iya kan?”Bian tak berkutik saat Tatiana membalikkan semua argumennya dulu. Sekarang dia merasa seperti menjilat air ludahnya sendiri.“Pulanglah! Sudah malam. Aku rasa kamu perlu beristirahat agar pikiranmu jernih. Oh iya, sekarang kamu nggak lagi mabuk kan? Maaf, aku tutup pintunya dulu.”Terdengar suara pintu yang ditutup setelahnya. Tatiana sudah masuk ke dalam rumah, meninggalkan Bian yang berdiri sendiri, terpaku dalam sepi.Sepertinya Bian harus mengapresiasi dirinya sendiri karena kali ini mampu membendung emosi. Hebatnya lagi
Pagi ini Bian tiba di kantor dengan kepala berat. Dia sudah terlambat, bahkan sangat terlambat. Tapi dia tidak peduli. Memangnya siapa yang akan menyalahkannya? Bian langsung menghempaskan tubuh ke atas kursi kerjanya yang empuk dan besar setelah masuk ke ruangannya. Mungkin tubuhnya jauh lebih ringan setelah pelepasan solo tadi pagi. Tapi rasa pusing di kepala sisa hangover semalam masih membekas. Sepasang matanya pun memandang nanar pada tumpukan dokumen di atas meja yang harus dia periksa. Tapi ada yang lebih menarik perhatiannya. Selembar amplop coklat yang tergeletak pasrah di sebelah dokumen-dokumen itu. Paling surat penawaran kerja sama, pikir Bian.Malas-malasan Bian mengambilnya. Mata lelaki itu kemudian melebar saat melihat nama pengirimnya. Dari Pengadilan Agama. Detak jantungnya mengencang saat itu juga. Dengan tidak sabaran Bian segera membuka amplop itu, atau lebih tepatnya merobek. Begitu terbuka Bian segera membacanya. Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala tidak pe
Setelah berjibaku dengan kemacetan, serta menunggu lama di traffic light yang lampu hijaunya hanya menyala beberapa detik sedangkan lampu merahnya terasa sangat lama, Bian akhirnya sampai di kantor Rei.Dia memacu langkahnya dengan cepat. Begitu sulit untuk mentoleransi rasa sabar di saat-saat seperti ini. Beberapa orang yang mengenal Bian tersenyum sambil menyapa yang dibalasnya dengan anggukan samar, tanpa lengkungan bibir.Rasanya lantai dua puluh lima begitu jauh. Lift yang membawanya bergerak begitu lambat. Tidak ada bedanya saat berada di mobil tadi.Ting…Bian hampir saja keluar saat lift berhenti dan pintunya pun terbuka begitu seseorang masuk dan ikut bergabung bersamanya serta pengguna lift yang lain. Untung Bian segera sadar kalau sekarang masih berada di lantai lima belas.Ya Tuhan… Ternyata sesusah ini rasanya untuk bersabar. Bahkan untuk menunggu lift segera sampai saja terasa begitu berat.Ting…Pintu lift kembali terbuka. Dan Bian adalah orang paling pertama keluar da
Baru saja Bian pergi, Rei masuk ke ruangan Tatiana. “Bian sudah pergi?” tanyanya.“Sudah, barusan,” sahut Tatiana singkat. Dia sedang tidak ingin berbicara banyak. Sikap Bian tadi jujur saja membuatnya merasa tegang. “Tapi dia nggak nyakitin kamu kan?” tanya Rei tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya.“Gimana bisa kamu bilang begitu?”“Yaa… nanya aja sih.” Rei mengembangkan tangan. Tatiana tersenyum tipis. “Nggak. Tadi dia ngomongnya memang agak keras, tapi aku udah kebal. Kalau nggak keras dan nggak suka nyakitin bukan Bian namanya. Iya kan?”Rei meningkahi ucapan Tatiana dengan tawa. Sampai sekarang dia masih terheran-heran kenapa bisa sesantai itu Tatiana menanggapinya.“Terus tadi dia juga mengancamku. Katanya aku belum tahu siapa dia. Memangnya siapa sih dia, Rei?” Tatiana meledakkan tawa diujung kalimatnya. Kadang dia bingung sendiri dengan tingkah Bian yang konyol. Datang-datang langsung marah, men
“Pak Bian, saya stand by di sini atau ada tugas yang lain?” tanya Mario setelah mengantar Bian ke kantor.“Sekarang kamu beli tempat tidur yang baru.”“Untuk di mana, Pak?” tanya Mario dengan kening berkerut. Seingatnya semua kamar di rumah Bian sudah ada tempat tidurnya.“Untuk di kamarku. Jadi yang lama kamu keluarin soalnya udah kotor," ucap Bian. Dia kembali teringat kasurnya yang basah.“Kotor?” ulang Mario masih belum paham. Menurutnya kalau kotor bukankah bisa dibersihkan? Atau cukup dengan mengganti sprei. Tidak perlu sampai harus membeli yang baru. Apa memang nodanya permanen? Ada-ada saja.“Udah deh, Yo, nggak usah banyak tanya, pokoknya pas pulang nanti aku mau tempat tidurku sudah yang baru,” tandas Bian mengakhiri obrolan mereka, lalu turun dari mobil. Mario hanya diam. Yang dia tahu, dia harus segera melaksanakan perintah Bian.Bian tidak menghiraukan sapaan para pegawai yang berpapasan dengannya.Yang dia yakini mereka hanya berbasa-basi dan terlihat baik di depannya. S
Pagi-pagi sekali Tatiana sudah dikejutkan oleh kehadiran Hummer silver yang parkir di depan rumahnya. Itu mobil Bian yang selama ini dia pakai kemana-mana. Baru saja dia akan bertanya bagaimana bisa mobil itu ada di sini, rasa ingin tahunya itu segera terjawab saat Reza keluar dari dalam mobil itu.“Bu Tia, saya disuruh Pak Bian untuk menjemput Ibu.”“Mau ke mana memangnya?” tanya Tatiana. Dia tidak memiliki janji apa pun dengan siapa pun apalagi dengan Bian.“Ke kantor, Bu. Saya yang akan mengantar jemput Ibu mulai hari ini dan seterusnya.”“Duh, Za, sebelumnya makasih, tapi saya bisa berangkat sendiri kok. Maaf ya…,” tolak Tatiana halus. Dia tidak mengerti entah apalagi maksud Bian dan rencana yang sedang dijalankannya.“Tolonglah, Bu, nanti Pak Bian bisa marah sama saya, Bu.”“Itu sudah risikomu. Maaf ya, saya tutup pintunya, saya mau mandi dulu.” Tatiana langsung menghilang di balik pintu meninggalkan Reza yang termangu sendiri.Pasti Bian akan marah besar kalau begini. Padahal t
Tokyo pagi itu lebih dingin dari biasanya. Gerimis yang turun sejak tadi menimbulkan rasa sejuk yang menembus hingga ke tulang. Membuat sebagian orang enggan keluar dari rumah. Jangankan dari rumah, bahkan Davin terlalu malas keluar dari selimut dan memilih meringkuk di dalamnya bersama wanita tercintanya.Sudah satu tahun belakangan Davin memboyong Angel dan anak-anak ke negara sakura itu. Sesuai dengan keinginan opinya—Delta Mahendra, yang mewariskan seluruh aset padanya. Maka Davin pun menggantikan Delta yang sudah sepuh menjalankan tugas sebagai pemimpin perusahaan dan pemilik berbagai usaha.Si kembar tiga saat ini sudah berusia sembilan tahun, disusul dengan El yang tahun ini menginjak delapan tahun. Sedangkan Romeo, ini adalah tahun ketiga hidupnya di dunia. Repot? Itu pasti. Pusing apalagi. Sering kali terdengar keributan di rumah itu. Semakin bertambah usia anak-anak rumah itu semakin ramai dan ricuh. Setiap hari ada saja yang diributkan. Yang besar suka mengganggu, sedangka
Lima tahun kemudian.Davin mondar-mandir sepanjang lorong rumah sakit. Sudah sejak tadi dia melakukan hal tersebut. Pikirannya kacau balau. Hatinya resah dan gelisah memikirkan seseorang yang berada di dalam ruangan sana. Seharusnya Davin mendampinginya, menemaninya dan tetap berada di sisinya sambil membisikkan kata-kata cinta dan semangat, serta sesekali mengecup lembut keningnya dengan tangan saling menggenggam. Namun semua itu hanya ada di dalam angan-angannya. Karena…Sembilan bulan yang lalu.Saat itu Angel dan Davin sedang bercengkerama di suatu sore di teras belakang rumah mereka. Sementara itu El dan si kembar yang sudah bersekolah di bangku taman kanak-kanak sedang bermain di taman belakang rumah yang sudah mereka modifikasi menjadi mini playground lengkap dengan kolam renang.Anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan sehat dan cerdas membuat keduanya bahagia. Pelan-pelan mereka mulai menunjukkan bakat, minat, serta hobi masing-masing. Si kecil El mewarisi nyaris seratus
Angel dan Davin sama-sama menghempaskan badan ke kasur begitu mereka sampai di kamar hotel. Nyaris sembilan puluh menit tayangan film di bioskop, dan keduanya tidak tahu apa-apa. Mereka ikut keluar ketika para penonton lain juga keluar saat film sudah selesai.“Duh, capek banget…,” keluh Angel sambil mengembuskan nafas.“Nggak ngapa-ngapain kenapa capek?”Mereka mungkin hanya duduk saja, tapi tingkah Davin yang terus menggerayanginya membuat Angel lelah. “Capeknya kerena kamu.”“Memangnya aku ngapain?” tanya Davin pura-pura bodoh dengan ekspresi yang membuat Angel gemas. Angel mendekat, melingkari pundak Davin dengan tangannya lalu mengecup lembut bibirnya yang hangat.“Dave, kira-kira anak-anak sekarang lagi ngapain ya?” tanyanya kemudian. Seharian ini mereka sama sekali tidak tahu bagaimana keadaan para buah hati mereka.“Mungkin udah tidur,” jawab Davin mengira-ngira sambil melirik arloji mahalnya yang limited edition itu.“Kita telfon yuk, aku kangen.”“Nggal usah, Dek, katanya
Seperti rencana yang sudah tersusun di kepalanya, Davin membawa Angel ke hotel paling mewah di kota mereka. The Sun, namanya. Hotel itu teletak di pinggir kota dan jauh dari kawasan pemukiman penduduk. Namun sengaja dibangun dengan konsep all in one building. Semuanya ada di sana. Mulai dari pusat perbelanjaan, restoran, pusat kebugaran tubuh dan kecantikan hingga playground. Tempat itu memang dirancang bagi orang-orang yang ingin menghilangkan penat dan beristirahat sejenak, namun tetap bisa memanjakan diri dengan hal-hal apapun yang mereka butuhkan.Setelah check in dan meletakkan barang-barang di kamar hotel, Davin mengajak Angel ke pusat perawatan kecantikan. Davin memang paling mengerti perempuan dan memahami istrinya. Mereka akan melakukan perawatan tubuh di sana. Berpasang-pasang mata tertuju pada pasangan ideal tersebut ketika tangan Davin membuka pintu kaca dan mempersilakan Angel masuk terlebih dahulu. Untuk sesaat mata keduanya menyapu sekitar. Menyaksikan resepsionis dan
“Kita mau ngobrolin apa, Dave?” tanya Angel di atas pangkuan Davin. Embusan nafas hangat Davin menggelitik lehernya. Membuat sekujur tubuhnya meremang. Memanggil-manggil jiwa terdalamnya untuk datang.“Aku rasa kita perlu honeymoon lagi, Sayang…,” bisik Davin dari belakang. Tangannya melingkari Angel dengan erat dan rapat.“Maksudnya mau nambah anak lagi?” sahut Angle seperti tersentak.“Lho, kok nambah anak? Memangnya orang yang pergi honeymoon itu mau nambah anak?”“Tapi biasanya kan gitu. Aku nggak mau lagi lho, Dave, udah cukup El yang terakhir,” ucap Angel sambil memberengut.Davin tersenyum kecil. Dikecupnya pundak Angel yang membuatnya gemas. “Anak itu kan rezeki. Rezeki nggak boleh ditolak kan? Aku ngajak kamu honeymoon tapi kapan-kapan, kalo El udah bisa ditinggal lama-lama. Sekarang honeymoon-nya di sini aja dulu.”Bisikan Davin di telinganya membuat Angel kian meremang. Pasti sebentar lagi Davin akan mengeksekusinya.Davin membalikkan tubuh Angel mengarah padanya sehingga s
Jujur saja selama ada Gendiz sedikit banyak meringankan Angel dan Davin. Hampir setiap hari Gendiz bermain ke rumahnya, atau memboyong anak-anak ke rumah orang tua mereka. Saking sayangnya pada para bocah, Gendiz juga menahan si kembar agar menginap bersamanya dan tidak mengantarnya pulang. Sesekali Davin dan Angel membiarkan si kembar tidur bersama Gendiz di rumah Kiano dan Adizty. Mereka yakin dan percaya sepenuhnya kalau adiknya itu bisa menjaga ketiganya dengan baik. Meskipun sepanjang malam keduanya tidak bisa memejamkan mata karena tidak terbiasa berpisah dengan anak-anak mereka.“Kalian kalo mau kencan, pergi aja, biar anak-anak aku yang urus,” ucap Gendiz pada suatu hari. Melihat keseharian Angel yang disibukkan dengan mengasuh, menjaga, merawat dan mengurus anak-anaknya membuat Gendiz merasa kasihan. Begitu pula dengan Davin yang terlalu sibuk bekerja dari pagi hingga sore. Kadang sampai senja atau malam. Pasti keduanya butuh waktu untuk hanya berdua saja tanpa direcoki anak-
“Halo, Mbak Angel, masih ingat sama saya?” Suara Nilam mengagetkan Angel yang berdiri di tempatnya dan belum bergeming sejak berdetik-detik yang lalu.Angel maju beberapa langkah mendekati Gendiz dan Nilam. “Tentu saja aku ingat. Kamu yang dulu resek kan? Yang suka menggoda suamiku?” sahut Angel tidak suka. Kehadiran Nilam membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan karena dia takut akan kehilangan Davin, tapi tingkah Nilam begitu meresahkan.“Hehe…” Nilam tertawa canggung sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “maaf ya, Mbak Angel, tapi Mbak Angel jangan salah sangka dulu sama saya. Maksud saya baik kok. Saya hanya ingin menguji kadar cinta Mbak Angel sama mas Davin. Dan ternyata Mbak Angel cemburu sama saya. Hehehe…,” ucap Nilam penuh percaya diri.Angel tidak mengerti dengan gadis di hadapannya. Setelah minta maaf, eh bisa-bisanya bicara sesantai itu. Tidak ingin ambil pusing, Angel beralih pada Gendiz dan memeluk adik iparnya itu. Wangi vanila dari tubuh dan rambut Gendiz me
“Halo, Mas Davin, masih ingat siapa saya?” Nilam memamerkan senyum lebar pada Davin yang termangu saat beradu mata dengannya. Nilam harap pemuda tampan yang menawan hatiya sejak awal perkenalan itu tidak melupakannya.Davin membalas senyum Nilam sekenanya dan berbasa-basi sekadarnya. “Hai, apa kabar?”“Baik, Mas, bapak sama ibu juga sehat. Mereka titip salam buat Mas Davin.”“Terima kasih,” jawab Davin singkat, lalu segera menarik tangan Gendiz menjauh dari sana diiringi tatapan penuh tanda tanya Kiano, Adizty serta Nilam. Sedangkan anak-anak sibuk bermain dengan bonekanya.“Ada apa sih, Dave?” tanya Gendiz tidak mengerti karena Davin menarik tangannya tiba-tiba.“Ndiz, kenapa kamu bawa dia ke sini?” Suara Davin setengah berbisik. Meskipun saat itu mereka berada di ruangan yang terpisah, tapi bisa saja dinding mempunyai telinga dan menyampaikannya.“Maksudnya Nilam?”“Iya, siapa lagi kalo bukan dia,” jawab Davin kesal. D
“Dave, jangan lupa nanti jemput anak-anak di rumah mami,” kata Angel mengingatkan saat menelepon Davin melalui panggilan video sore itu, meskipun dia tahu kalau Davin tidak akan pernah melupakan hal tersebut.Davin tersenyum sambil merebahkan kepala ke sandaran kursi. Mendengar suara Angel mengusir penat yang menderanya.“Iya, Dek, aku nggak akan lupa kok. Mana mungkin aku bisa lupa. Kamu pasti modus kan?”“Modus apa?”“Bilang aja kalo sebenarnya kamu lagi kangen sama aku, pengen dengar suara aku terus pake alasan mengingatkan aku biar nggak lupa jemput anak-anak.”“Ih, apaan sih, Dave?” Angel tertawa saat merasakan pipinya menghangat digoda Davin.“Jadi serius kamu nelfon aku cuma buat kasih tahu jemput anak-anak?”“Kangen juga sih sebenarnya.”“Tuh kan ngaku akhirnya.” Davin tertawa karena berhasil menggoda Angel dan membuatnya mengakui perasaannya. “Aku juga kangen kamu, suara kamu itu bagai candu buat aku. Kamu nelfon kayak gini udah bikin aku bersemangat dan ngilangin semua rasa