Bian pikir kalau dia tidak melakukan apa-apa dan tetap berada di kantor, tidak akan ada gunanya. Mungkin dia harus langsung menemui Tatiana dan mengajaknya makan siang. Biarlah, apa pun hasilnya itu urusan nanti. Yang penting dia harus menunjukkan niat baiknya dulu.Pukul setengah dua belas, Bian sudah berada di parkiran mobil. Dia sudah membulatkan tekad untuk menemui Tatiana langsung di kantornya.“Kamu nggak usah ikut, biar aku pergi sendiri,” ujar Bian pada Mario.“Baik, Pak, ini kuncinya.” Mario memberikan kunci mobil pada Bian. Bian memang kerap pergi sendiri pada waktu-waktu tertentu apalagi kalau akan menemui Gladys. Dan Mario tidak tahu sekarang Bian akan ke mana. Ingin bertanya tapi takut kena marah. Apalagi akhir-akhir ini Bian terlihat seperti harimau kelaparan.***Tatiana sedang berada di ruangannya ketika pintu tiba-tiba dibuka dari luar tanpa aba-aba. Tidak ada ketukan atau suara pengetuk yang akan meminta izin ingin memasuki ruangannya. Tatiana sedikit kaget saat meli
Tatiana menepis rangkulan tangan Bian di pinggangnya, namun Bian melingkarkannya lagi. Begitu terus sampai tiga kali.Mengedarkan mata, Tatiana mengamati setiap sudut rumah Bian. Semuanya masih sama, tidak ada yang berubah sama sekali. Satu-satunya yang paling dirindukan Tatiana dari rumah itu adalah kamarnya bersama Bian. “Jadi kamu mau ke kamar dulu atau langsung makan?” tanya Bian saat melihat mata Tatiana yang berhenti di pintu kamar.“Makan aja,” sahut Tatiana singkat.Bian kembali merangkul Tatiana menuju ruang makan. Dari jauh Tatiana sudah menghirup aroma bawang goreng yang mengundang rasa mualnya datang. Sontak dia menutup hidung guna menghalangi agar bau itu tidak terlalu dalam terhirup olehnya.“Kamu kenapa, Tia?” Bian bertanya melihat Tatiana yang menutup hidungnya.“Aku mual, Bi, aku nggak suka bau bawang, kepalaku langsung pusing,” keluh Tatiana menyampaikan apa yang dirasakannya.“Kalau gitu kamu istirahat di kamar dulu sampai pusingnya hilang, gimana?”“Di kamar?”“I
Tatiana menggeliat pelan, kemudian membuka matanya perlahan. Dia berusaha mengenali tempatnya berada sekarang. Ini bukan kamar yang berada di rumah masa kecilnya. Tapi…Tatiana terkesiap saat menoleh ke samping dan melihat Bian berbaring di sebelahnya dengan tangan melingkar ke perutnya. Secepat kilat Tatiana menepis tangan Bian dan segera duduk. Apa ini memang Bian? Apa dia tidak sedang bermimpi? Astaga! Apa yang sudah terjadi? Kenapa dia berada di sini? Tatiana berusaha mengumpulkan serpihan ingatan guna mengingat apa yang sudah terjadi. Dia butuh waktu beberapa detik hingga ingatannya terkumpul menjadi satu.Ah, iya… Tadi dia menumpang istirahat karena kepalanya pusing. Maksudnya hanya sebentar, tahu-tahu malah ketiduran.Tunggu dulu! Sudah jam berapa sekarang? Seingatnya tadi dia keluar dari kantor jam dua belas lewat.Astaga! Tatiana kembali kaget saat matanya beradu dengan jam dinding. Jarum pendek berada di angka empat, sedangkan jarum panjang di angka dua. Ternyata sudah
Tatiana mengerjapkan mata berkali-kali. Kenyataan ini terlalu mengejutkan baginya. Sejak tadi hingga detik ini dia terus berusaha memercayai dirinya sendiri. Semua ini seperti di luar akal sehatnya. Yang terjadi hingga saat ini Bian tidak melepaskannya dari pelukan. Seolah dengan merenggangkannya sedikit saja maka Tatiana akan lolos dan lari darinya.Sekali lagi Tatiana berusaha memercayai kenyataan. Semua terlalu cepat baginya dan sulit untuk dipercayainya. Nyatanya saat ini kepalanya berada di atas lengan Bian dan menjadikannya sebagai bantal. Sejak tadi juga Bian tidak pernah berhenti mengusap-usap kepalanya. Menelusupkan jari ke tiap helai rambutnya yang panjang dan hitam. Tak terhitung lagi entah sudah berapa kali Bian memberinya kecupan. Tidak hanya di pipi, tapi hampir di seluruh bagian tubuhnya. Bian memperlakukannya bagai boneka yang bisa dia mainkan sepuas hati. Tapi kali ini Tatiana rela. Di menyukai permainan yang Bian lakukan. Sebuah permainan menyenangkan yang membuatny
Sejak keluar dari ruangan dokter, menebus obat di apotik, hingga akhirnya sampai ke mobil, tangan Bian tidak beranjak dari pinggang Tatiana. Sampai-sampai Tatiana merasa agak risih saat beberapa orang yang tidak terbiasa melihat kemesraan mereka melayangkan tatapan aneh.“Ini nanti kamu minum susunya dengan teratur ya, jangan sampai lupa.” Bian memasukkan kembali susu hamil dengan rasa coklat yang tadi dibeli di apotik ke dalam kantong.Lelaki itu kemudian menyalakan mesin mobil. Karena Tatiana tidak kunjung menjawab, dia pun kembali mengingatkan. “Tia, susunya jangan lupa diminum tiga kali sehari.”“Iya, Bi,” sahut Tatiana singkat.“Terus kamu nggak lupa kan kata dokter tadi? Perutnya nggak boleh kosong, nggak apa-apa makannya sedikit tapi sering,” ujar Bian lagi.Dan yang bisa Tatiana lakukan hanya menganggukkan kepala. Perempuan itu seolah kehilangan banyak kata. Hingga saat ini dia masih berupaya beradaptasi dengan perubahan sikap Bi
Tatiana merebahkan diri di kasur. Hari ini cukup melelahkan baginya. Semua yang dialaminya begitu mengejutkan. Mulai dari Bian yang mengajaknya ke rumah, keputusan mendadak untuk balikan lagi, periksa kandungan ke dokter, hingga pernyataan Bian di telepon yang akan memutuskan Gladys. Semua terjadi begitu cepat dan mengejutkannya. Tatiana juga baru ingat sejak keluar dari kantor siang tadi belum memberitahu kalau tidak akan balik lagi. Rei juga tidak menghubunginya. Mungkin dia sudah paham sendiri dan tidak ingin mengganggu.Bian yang baru selesai mengganti baju ikut berbaring miring di sebelah Tatiana. Tangannya kembali melingkar di perut istrinya itu. “Kamu mikirin apa lagi?” tanyanya saat melihat sorot mata Tatiana yang menerawang jauh.“Bi, aku lupa kasih tahu Rei kalau tadi nggak balik lagi ke kantor.”“Udahlah, nggak usah dipikirin. Dia pasti ngerti kok.”Tatiana terdiam sesaat, namun kemudian dia pun teringat sesuatu. “Astaga! Aku belum kasih tahu mama.” Tatiana akan bergerak
To love someone is nothing, to be loved by someone is something, but to be loved by the one you love is everything.Itu quote sederhana dari Bill Russel. Tapi sepertinya mendiskripsikan diri Tatiana dengan begitu baik. Seperti pagi ini, dia berada di sini. Di sisi seseorang yang keberadaannya masih berada di zona abu-abu dalam hati Tatiana. Tapi orang itu mengaku menyayanginya, yang menurut Tatiana mengarah pada cinta. Meski hingga detik ini Bian tidak pernah bilang cinta, hanya sayang. Itu seingatnya.Perlahan kedua kelopak mata Tatiana terbuka. Perempuan itu mengerjap pelan, menyesuaikan cahaya lampu di sepasang matanya. Pandangannya kemudian turun ke bawah, memerhatikan dirinya sendiri, tepat pada selimut putih yang menutupi tubuhnya. Matanya mencoba mengintip ke balik selimut. Dan dia tidak menemukan penutup yang lain kecuali selimut itu sendiri.Jadi yang kemarin itu nyata? Dari tubuhnya sendiri, mata Tatiana kemudian pindah pada sosok di sebelahnya. Bian masih tertidur pulas.
Bian mengantar Tatiana langsung ke kantornya. Sepanjang perjalanan Tatiana tidak banyak bicara dan lebih memilih memandang jalan. Jujur saja sejak bangun tidur tadi perasaannya mulai tidak enak. Tapi Tatiana terus mencoba berpikir positif dan menepis semua pikiran buruk yang mencoba mengisi penuh kepalanya.“Mikirin apa lagi, Tia?” tegur Bian pada Tatiana yang menyimpan suara sejak tadi. Setiap kali dia menoleh, Tatiana masih tak lepas memandang jalan. “Nggak mikir apa-apa,” jawab Tatiana sembari menyembunyikan keresahan hatinya jauh-jauh.“Kamu mual lagi? Pusing? Atau pengen muntah?” tebak Bian mengira-ngira.Tatiana menggelengkan kepala. “Nggak kok,” jawabnya seraya tersenyum guna meyakinkan Bian kalau dia baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.Bian tersenyum kecil dan mencoba percaya, lalu kembali memusatkan perhatian pada lalu lintas di depannya. Terbersit rencana untuk mengajak Tatiana makan siang bareng. Namun kemudian berbagai agenda kerjanya hari ini melintas