Tatiana merebahkan diri di kasur. Hari ini cukup melelahkan baginya. Semua yang dialaminya begitu mengejutkan. Mulai dari Bian yang mengajaknya ke rumah, keputusan mendadak untuk balikan lagi, periksa kandungan ke dokter, hingga pernyataan Bian di telepon yang akan memutuskan Gladys. Semua terjadi begitu cepat dan mengejutkannya. Tatiana juga baru ingat sejak keluar dari kantor siang tadi belum memberitahu kalau tidak akan balik lagi. Rei juga tidak menghubunginya. Mungkin dia sudah paham sendiri dan tidak ingin mengganggu.Bian yang baru selesai mengganti baju ikut berbaring miring di sebelah Tatiana. Tangannya kembali melingkar di perut istrinya itu. “Kamu mikirin apa lagi?” tanyanya saat melihat sorot mata Tatiana yang menerawang jauh.“Bi, aku lupa kasih tahu Rei kalau tadi nggak balik lagi ke kantor.”“Udahlah, nggak usah dipikirin. Dia pasti ngerti kok.”Tatiana terdiam sesaat, namun kemudian dia pun teringat sesuatu. “Astaga! Aku belum kasih tahu mama.” Tatiana akan bergerak
To love someone is nothing, to be loved by someone is something, but to be loved by the one you love is everything.Itu quote sederhana dari Bill Russel. Tapi sepertinya mendiskripsikan diri Tatiana dengan begitu baik. Seperti pagi ini, dia berada di sini. Di sisi seseorang yang keberadaannya masih berada di zona abu-abu dalam hati Tatiana. Tapi orang itu mengaku menyayanginya, yang menurut Tatiana mengarah pada cinta. Meski hingga detik ini Bian tidak pernah bilang cinta, hanya sayang. Itu seingatnya.Perlahan kedua kelopak mata Tatiana terbuka. Perempuan itu mengerjap pelan, menyesuaikan cahaya lampu di sepasang matanya. Pandangannya kemudian turun ke bawah, memerhatikan dirinya sendiri, tepat pada selimut putih yang menutupi tubuhnya. Matanya mencoba mengintip ke balik selimut. Dan dia tidak menemukan penutup yang lain kecuali selimut itu sendiri.Jadi yang kemarin itu nyata? Dari tubuhnya sendiri, mata Tatiana kemudian pindah pada sosok di sebelahnya. Bian masih tertidur pulas.
Bian mengantar Tatiana langsung ke kantornya. Sepanjang perjalanan Tatiana tidak banyak bicara dan lebih memilih memandang jalan. Jujur saja sejak bangun tidur tadi perasaannya mulai tidak enak. Tapi Tatiana terus mencoba berpikir positif dan menepis semua pikiran buruk yang mencoba mengisi penuh kepalanya.“Mikirin apa lagi, Tia?” tegur Bian pada Tatiana yang menyimpan suara sejak tadi. Setiap kali dia menoleh, Tatiana masih tak lepas memandang jalan. “Nggak mikir apa-apa,” jawab Tatiana sembari menyembunyikan keresahan hatinya jauh-jauh.“Kamu mual lagi? Pusing? Atau pengen muntah?” tebak Bian mengira-ngira.Tatiana menggelengkan kepala. “Nggak kok,” jawabnya seraya tersenyum guna meyakinkan Bian kalau dia baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.Bian tersenyum kecil dan mencoba percaya, lalu kembali memusatkan perhatian pada lalu lintas di depannya. Terbersit rencana untuk mengajak Tatiana makan siang bareng. Namun kemudian berbagai agenda kerjanya hari ini melintas
“Nanti kamu akan tahu baik atau buruknya.” Bian menjawab seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk mencari tempat yang tepat untuk bicara.“Kamu jangan sok-sok pake rahasia gitu deh, bilang aja kenapa sih?” Gladys semakin penasaran oleh apa yang akan disampaikan Bian.Sekali lagi Bian menatap wajah Gladys. Rasa tidak tega sempat muncul, terlebih ketika satu per satu kilasan memori hubungan mereka bergantian melintas. Namun sejauh ini Bian masih mampu bertahan. Dia sudah membulatkan tekad. Satu-satunya pilihan baginya adalah Tatiana. Bian tidak akan menyia-nyiakan kesempatan terakhir yang Tatiana berikan padanya atau dia kehilangan Tatiana selamanya.“Dys, ayo kita bicara di sana.” Bian menggamit lengan Gladys, mengajaknya menjauh dari keramaian agar bisa bicara dengan tenang dari hati ke hati tanpa ada gangguan apa pun.“Bilang dulu yang mau dibicarakan cerita baik atau buruk? Pokoknya aku nggak mau dengar kalau cerita buruk.” Gladys menutup telinganya kuat-kuat, bersikeras tid
Situasi tidak nyaman itu pun berakhir setelah sesi wawancara selesai. Dan sekarang hanya tinggal mereka bertiga menyisakan kecanggungan baru. Bian memandang pada Gladys yang berdiri di sisi kirinya. Perempuan itu balas menatap Bian dengan penuh arti. Hanya sesaat, karena kemudian Gladys pergi meninggalkannya tanpa berkata apa pun.Bian tahu, pasti Gladys sedih karena tidak dianggap seperti tadi. Tapi tidak ada yang bisa dilakukannya karena hatinya sudah bulat untuk memilihTatiana, bukan Gladys.“Kamu nggak jadi ngomong sama pacar kamu?” tanya Tatiana. Tatiana masih ingat janji Bian yang akan berbicara serius dengan Gladys dan mengakhiri hubungan mereka.“Tia, jangan bilang kayak gitu, dia bukan pacarku,” sangkal Bian. Dia tidak suka mendengar sebutan Tatiana untuk Gladys.‘’Selama kamu belum putus sama dia, itu artinya kalian masih punya hubungan,” balas Tatiana berargumen.“Iya, kamu sabar ya, nanti setelah selesai acara kita ngomong bertiga.” Bian berjanji lagi.Tatiana mengganggu
Tatiana berjalan mengikuti arah yang tadi Wiryawan tunjukkan. Dia sedikit memacu langkahnya sebelum terlambat dan memuntahkannya di jalan. Saat berhasil menemukannya dia segera masuk. Ada dua bilik di dalam toilet tersebut.Tatiana tidak masuk ke dalamnya, melainkan langsung muntah di wastafel. Meskipun sering disebut morning sickness, tapi Tatiana mengalaminya tidak hanya saat pagi, melainkan sepanjang hari. Tatiana tidak tahu berapa lama lagi akan menjalani all day sickness seperti ini. Tapi Tatiana sedikit pun tidak akan mengeluh. Dia menikmati setiap prosesnya karena Tatiana yakin apa yang dia alami dalam perjalanan hidupnya sekarang merupakan hal yang akan dirindukannya pada suatu hari nanti.Tatiana mengatur napas sambil menatap refleksi dirinya sendiri di kaca wastafel. Mukanya sedikit pucat. Dan sekarang dia merasa kesusahan menahan ngantuk. Mungkin karena dia kurang tidur akibat Bian yang memaksanya lembur. Ingat itu semua, Tatiana tersenyum getir. Baru
Bian dan Tatiana kembali ke tempat acara diadakan. Sudah menunggu sejak tadi tapi acara masih belum dimulai. Duduk di samping Bian, mata Tatiana menjelajah mengitari seisi ruangan untuk mencari sosok Rei. Dari tadi Tatiana tidak melihat sosok lelaki itu. Lebih tepatnya sejak mereka datang ke sini dan Bian menariknya dari sisi Rei. Akhirnya Tatiana menemukan Rei sedang duduk di kursi belakang paling kanan. Saat Tatiana memandang padanya ternyata Rei juga sedang menatapnya. Tatiana melambaikan tangan pada Rei dan memberi isyarat agar pindah duduk ke kursi disebelahnya yang kebetulan memang kosong. Tapi Rei hanya diam sambil memandangnya dengan tatapan sendu. Rei kenapa ya? Dia kelihatan sedih. Auranya juga tampak berbeda. Apa dia sedang ada masalah?“Mbak Tia, di depan ada Ibu Alya, katanya mau ketemu sebentar.” Pegawai Wiryawan yang mengurus konsumsi datang memberitahu Tatiana.“Iya, Mbak, makasih, saya akan ke sana sekarang.” Tatiana segera ber
Saat membuka mata, yang pertama kali dilihat Tatiana adalah Bian yang sedang duduk di dekatnya sambil menggenggam erat tangannya. Hal lain yang tertangkap oleh netranya adalah ruangan tempatnya berada yang didominasi oleh warna putih. Tanpa perlu dijelaskan, Tatiana sudah tahu tempatnya berada sekarang. Terlebih ketika menghirup bau obat-obatan, antiseptik, karbol, atau apa pun namanya. Pasti saat ini dia sedang berada di rumah sakit. Tapi kenapa? Apa yang sudah terjadi? “Kamu sudah bangun?” Bian menyadari hal itu ketika merasakan gerakan tangan Tatiana dalam genggamannya. “Bi, aku kenapa?” lirih suara Tatiana. Dia ingin segera tahu apa yang sudah terjadi. Atau jangan-jangan tadi dia pingsan?“Tia, tadi kamu pingsan.” Bian menjawab sambil mengusap halus kepala Tatiana.Oh, ternyata benar dugaannya. Tatiana mencoba mengingat-ingat kejadian terakhir sebelum kehilangan kesadaran diri. Wajah lembut Alya yang pertama kali terbayang olehnya. Selanjutnya raut tegas Wiryawan serta muka cant